Oleh: Chandra Krisnawan
Seorang lelaki duduk di emper toko
Dari pasar tua yang mati perlahan
Matanya merah dari tidur gelisah
Yang tak sudah
Pagi menggeliat
Bangun mata roda
Bagi hari yang tak kembali
Bau lebu dan pesing
Tembok-tembok kota
Rebut tempat pada pakaian
Duh, siang yang terik, teriaknya
Jauh dalam batin tertanam
Segeralah datang ke atas ubun-ubun
Lalu enyahlah
Kerna kesadaran yang hitam
Ulung berkelit
Jangan usik lelaki itu
Kerna ia mudah meradang
Sawah lengan bertumpu
Rubah rupa jadi perindustrian
Lumpur subur basah
Rindu kaki telanjang
Dikubur tanah urug
Dari ratusan dump truk
Lalu tancap nisan
Dari kolom besi pondasi
Jangan usik lelaki itu
Kerna uang di tangan
Bicara banyak ketimbang
Riuh musim panen
Kerna jalan aspal pedalaman
Dibangun bukan buat gigi bajak
Jangan usik lelaki itu
Kerna anak-anak pemilik tanah
Lebih lihai ayun kemudi mobil
Timbang tajam mata sabit
Sudah empat hari ia di kota
Jalan dari satu kampung
Ke kampung lain
Cari kenalan lama yang rantau
Buat bangun lumpur subur baru
Kerna bukan mulut lapar saja
Mesti disuapi
Tapi juga sekolah anak-anak
Atau gelap tak terputus
Dari darah dialirkan
O, jangan usik lelaki itu
Pikir kepala kecilnya
Ongkos buat pulang
Ke mana mesti dicari
Surabaya, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar