Jumat, 21 Desember 2018

BALADA PEMUDA KAMPUNG SENG


Oleh : Chandra Krisnawan

Siang nan panjang di utara khatulistiwa memekarkan
rel kereta. Batu-batu kerikil menguap. Bantalan
beton menggelepar. Udara rengkah.

Debu terbelah. Angin membuncah.

Seorang pemuda biarkan hari
memanggang diri.

Arus muson timur kelambur penuh debu. Dingin dataran
kering mengendap di langit. Bongkahan padat awan
lebar merabung. Dan dari ketinggian lintasan

kereta atap-atap rumah perkampungan
nampak seperti selebaran gelap
melekap di tembok-tembok pabrik.
Selarik tanah mendengkur tak terusik
di seberang kampung.

Rumput-rumput kering patah gemeretak
menahan beban menanjak.
Pecahan asam menghentak dinding lambung.

Daging yang membalut lutut dan punggung
mengejan tatkala beban melaras.
Juga tulang dan gelang-gelang.

Seorang pemuda menyiangi repih-repih plastik
dari sisa air dan kotoran. Lalu menjerang
di atas dengkur tanah tidur. Sampah

hendak dipuja supaya beras lekas berbuah.

Matahari tak ragu menggelincir. Kaki kian
licin. Anak-anak menampik seruan tidur.
Bermain dalam kesegaran sabun

di antara rapat repihan plastik dalam drum.
Debu hendak disucikan.

Dan pada perjalanan bolak balik
kesekian pemuda itu
terjungkal terjal kerikil tanjakan.

Anak-anak meledakkan tawa
“Bengkreng jatuh! Bengkreng jatuh!”

Anak-anak yang manis. Tak tahu! Daging
yang dedah tak kembali selayak semula.

 Memondong repih plastik dalam glangsing
sedemikian rupa. Kali itu pengeringan penghabisan.
Sebelum penghujung petang, musti mengantongi
repih kering di depan rumah.

Tanpa kata.
Memanggul dan memondong meski kian kerap lagi.
Surabaya, 25 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar