Oleh : Chandra Krisnawan
Siang nan panjang di utara khatulistiwa
memekarkan
rel kereta. Batu-batu kerikil menguap.
Bantalan
beton menggelepar. Udara rengkah.
Debu terbelah. Angin membuncah.
Seorang pemuda biarkan hari
memanggang diri.
Arus muson timur kelambur penuh debu.
Dingin dataran
kering mengendap di langit. Bongkahan
padat awan
lebar merabung. Dan dari ketinggian
lintasan
kereta atap-atap rumah perkampungan
nampak seperti selebaran gelap
melekap di tembok-tembok pabrik.
Selarik tanah mendengkur tak terusik
di seberang kampung.
Rumput-rumput kering patah gemeretak
menahan beban menanjak.
Pecahan asam menghentak dinding lambung.
Daging yang membalut lutut dan punggung
mengejan tatkala beban melaras.
Juga tulang dan gelang-gelang.
Seorang pemuda menyiangi repih-repih
plastik
dari sisa air dan kotoran. Lalu
menjerang
di atas dengkur tanah tidur. Sampah
hendak dipuja supaya beras lekas
berbuah.
Matahari tak ragu menggelincir. Kaki
kian
licin. Anak-anak menampik seruan tidur.
Bermain dalam kesegaran sabun
di antara rapat repihan plastik dalam
drum.
Debu hendak disucikan.
Dan pada perjalanan bolak balik
kesekian pemuda itu
terjungkal terjal kerikil tanjakan.
Anak-anak meledakkan tawa
“Bengkreng jatuh! Bengkreng jatuh!”
Anak-anak yang manis. Tak tahu! Daging
yang dedah tak kembali selayak semula.
sedemikian rupa. Kali itu pengeringan
penghabisan.
Sebelum penghujung petang, musti
mengantongi
repih kering di depan rumah.
Tanpa kata.
Memanggul dan memondong meski kian kerap
lagi.
Surabaya, 25 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar