Jumat, 21 Desember 2018

JANGGAWE


Oleh: Chandra Krisnawan

Janggawe! Adalah langkah telanjang di atas
ceceran beling-beling kolonial

Sajak duka laras dari pucuk daun tembakau
jelang musim panen

juga dari sari-sari nira yang menanjaki rendemen
atau bergelantungnya buah-buah kopi yang memerah

Anak-anak berlari menyerkah zaman
Klik pancaroba bertabuh berkali-berulang
Tapi Janggawe tetap Janggawe

Janggawe! Adalah puluhan tahun
mata cangkul-mata cangkul yang g
upil
membentur batu-batu
bisu

Dan ketika Janggawe bersuara:
Ini tanah
Janggawe yang garap!
Hantu serdadu tanah erpak meraung
di atas lumpur subur

Janggawe! Janggawe! Janggawe!
Pernahtah dikandung ibu pertiwi, engkau?
Surabaya, Desember 2017

BALADA MAT NGALI TUA


Oleh: Chandra Krisnawan

Bukan bulir-bulir pari yang runduk tertunduk
Di pojok pertokoan modern
Bukan pula kuningnya gading-gading gajah
Yang kecut tersenyum di pinggiran perumahan mewah
Tapi gigi dari mulut Mat Ngali tua
Yang tertunduk kepalanya

Zaman keemasan telah berlalu baginya
Zaman bahari tinggal bayang-bayang
Hamparan lumpur tempat lutut dan siku
Bersabung, bersama kerbau jantan pilihan
Serasa layu daun dari tangkai ingatan

Seorang pemuda dalam pakaian seragam mengawasi
Hatinya ragu mengusir Mat Ngali tua
Tapi juga was-was dan cemas

Mat Ngali tua mengingat-ingat
Di sebelah mana pematang yang dulu dijejak
Sambil berjalan memasuki perumahan
Karena barangkali di balik dinding-dinding itu
Masih berdiri dangau kecil
Yang dulu dibangunnya

Salak anjing penjaga menciutkan langkah
Mat Ngali tua ngungun
“Bagaimana bisa lenguh kerbau
Berubah jadi ancaman”

Mat Ngali tua undur lagi ke jalan
Ganti menyalak petugas keamanan
Mengusirnya pergi dari kawasan perumahan
Sementara dangau di balik dinding-dinding itu
Ambruk tanpa sebab
Surabaya, 02 february 2017 

BALADA PENJUAL SEMANGGI


Oleh: Chandra Krisnawan

Dengan apa mesti kubandingkan wajah ini:

Parit usia mengambil tempat yang lebar
Pada wajah perempuan itu
Rambutnya kelabu
Mengikis pula di banyak tempat.
Kisah selalu berupa tanda kosong

Menggendong bakul berisi semanggi
Di jalan-jalan kota yang menjadi jeram
Bagi ribuan kendaraan.

Siang terik
Berteduh di bawah naungan gedung
Yang menjadikan jalan-jalan di bawahnya
Sebagai ngarai yang panjang

Semanggi di punggung adalah makanan
Bagi cucu-cucunya

Cucu-cucu yang lahir dari perut plaza modern
Mengerubutinya di tengah jam istirahat
Lalu meninggalkannya karena masa muda
Begitu singkat.

Bagaimana mesti kubandingkan tubuh ini:

Dengan bakul melingkar di punggung
Perempuan itu mengarungi lautan nasib
Sebelum tiba waktu.
Surabaya, 20 maret 2017

CATATAN DARI DASAWARSA PERTAMA 1900

Oleh: Chandra Krisnawan

Seorang lelaki terbangun di atas ratusan hektar tanah
Yang ditelan mata uang gulden.

Zaman bergerak. Raja tanpa mahkota.
Rakyat tanpa tanah.
Di tengah majunya kota pelabuhan
kampung-kampung gelisah.

Tanah partikelir yang memangku bertangan dingin.
Hanya mengenal keuntungan
karena memeras bukan dari bangsa sendiri.

Melangkah di atas jalan-jalan baru
lelaki itu tertegun di halaman rumah.
Djoebinnya marmer dari Roma yang dibeli
dari Daendels dan Raffles;

Dari sinikah bermula?

Angin muson melipat daun di tanah.
Dataran kering di timur terpantul di langit.
Rumah dari batu yang dikelilingi pagar,
mengejeknya.

Dia berkata
"Jangan bebani kami
Tanah nenek moyang tuan
di negeri seberang laut.

Meski sangkur dan meriam membungkam
suara ini bergema sepanjang sejarah"

Tapi hanya ada batu.

Debu bergulung-gulung.


Debu yang selalu kembali
Di tiap pergantian zaman.
Surabaya, 12 maret 2017

PEREMPUAN YANG MEMBAWA DINGKLIK


Oleh: Chandra Krisnawan

Perempuan yang membawa dingklik
Duduk ditempias gelap palung-palung kota
Di atas duri dari batu-batu kerikil
Seberang pasar lama yang tersingkir

Karam desis besi-besi baja
Diluruskan kakinya di atas kerikil-kerikil nasib
Matanya mencari-cari
Di antara tubuh yang dilumuri temaram
Menyeberangi dinding pembatas
Berkelit di kerumunan pasar malam
Sementara tumitnya diserahkan pada hitam rel kereta

Malam selalu dingin bagi berahi lelaki
Embun waktu lingsir
Menggenangi pori-pori
Batu, besi, manusia,
Titik-titik api di warung
Dan perempuan yang membawa dingklik
Selalu saja pergi untuk duduk kembali
Di atas duri-duri
Surabaya, 05 February 2017

BALADA PENJUAL TAHU


Oleh: Chandra Krisnawan

Dalam rombongan kecil lima orang, seorang penjual tahu
Menangkap awan. Jarak mementang antara kota dan dusun.
Keping  doa yang melengking naik, turun
melalui kolong langit lalu menjelma truk tanpa muatan.

Petang jatuh. Roda berputar mengikuti peta pundi-pundi.
Istri turut mengayuh. Pula menepuk pundak
tatkala pembeli memanggil.

Tembang dari tempat yang jauh. Istri tertinggal
di dusun yang jauh. Anak merantau ke kota yang jauh.
Dan tatkala tahu yang dijual kian habis
berkisaran tawa lebar istrinya.

Ruji-ruji sepeda melantun. Nyala oblik tinggal seperempat
Liter. Semringah roda menggelinding.
Serasa menggenggam dunia.

Tapi bukan rindu memburu pulang. Mesti ditunda
sampai awan tercegat.Istri di rumah
sudah pasti resah,
Bertanya-tanya

"Berapa uang dari lakiku malam ini.
Esok hutang mesti dibayar"
Surabaya, 16 februari 2017


GEMAM SEBELUM PENGGUSURAN

Oleh : Chandra Krisnawan

(Di sebuah tanggul sungai puluhan gubuk melesak ke dindingnya
Di seberangnya puing perkampungan dikelilingi pagar beton
Aku ingat! Satu keluarga kecil pernah tinggal di sana)

Bila putik-putik rumput lalang di padang terbuka
Getar gemerencang kerna berebut ruang* di bumantara
Bila gemuruh arus kering dari lereng gunung melanda

Sebab bahara ditanggalkan dari pundak
Dan bila di atas khatulistiwa matahari tegak
Musim di belahan lintang tinggi beranjak;

Seorang lelaki bersama keluarga kecilnya
Membongkar gubuk dari potongan kayu sisa.
Lalu ia dengar dengut geliat gema mereda

Tinggal nisan dan kesan. Belukar merayap
Pulanglah: dusun di kaki gunung yang terselap
Puluhan tahun lalu menyeru dari dada yang sembap!

Tanah kota yang disauh tengah tengkar.
Dan tatkala daun-daun pintu berderit gemetar
Surat peringatan pembongkaran beredar.

Atap seng cemas dan berderak. Angin liar dan kotor.
Jalannya sidang melantunkan nada-nada mayor
Sumbang dan angkuh seangkuh cakar ekskavator.

Bak gubuk yang tercerabut dari bentala
Putik-putik rumput lalang berhamburan ke udara
Ringan namun lara.

Dan bagai keluarga kecil dalam truk bermuatan sisa gubuk
Putik rumput lalang menumpang arah angin menyerbuk.
Bumi yang luas hendak disauk.

Eksekusi penggusuran adalah keniscayaan.
Sedang gemam dari dada yang dalam adalah gugatan
kepada zaman:

Kapan kemiskinan dimenangkan!
Lirih larau minornya tersekat di tenggorokan
Surabaya, April–Juni 2017

* frasa ini diilhami dari judul buku Purnawan Basundoro yang Berjudul “Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an.
* Dalam puisi ini digunakan bentuk ‘kerna’ yang dalam bentuk bakunya ‘karena’. Penggunaan bentuk ‘kerna’ di luar bentuk bakunya dimaksudkan untuk memperpendek arus ujaran. Selain itu digunakan pula bentuk ‘gemam’ untuk menggantikan ‘gumam’.

BALADA PEMUDA KAMPUNG SENG


Oleh : Chandra Krisnawan

Siang nan panjang di utara khatulistiwa memekarkan
rel kereta. Batu-batu kerikil menguap. Bantalan
beton menggelepar. Udara rengkah.

Debu terbelah. Angin membuncah.

Seorang pemuda biarkan hari
memanggang diri.

Arus muson timur kelambur penuh debu. Dingin dataran
kering mengendap di langit. Bongkahan padat awan
lebar merabung. Dan dari ketinggian lintasan

kereta atap-atap rumah perkampungan
nampak seperti selebaran gelap
melekap di tembok-tembok pabrik.
Selarik tanah mendengkur tak terusik
di seberang kampung.

Rumput-rumput kering patah gemeretak
menahan beban menanjak.
Pecahan asam menghentak dinding lambung.

Daging yang membalut lutut dan punggung
mengejan tatkala beban melaras.
Juga tulang dan gelang-gelang.

Seorang pemuda menyiangi repih-repih plastik
dari sisa air dan kotoran. Lalu menjerang
di atas dengkur tanah tidur. Sampah

hendak dipuja supaya beras lekas berbuah.

Matahari tak ragu menggelincir. Kaki kian
licin. Anak-anak menampik seruan tidur.
Bermain dalam kesegaran sabun

di antara rapat repihan plastik dalam drum.
Debu hendak disucikan.

Dan pada perjalanan bolak balik
kesekian pemuda itu
terjungkal terjal kerikil tanjakan.

Anak-anak meledakkan tawa
“Bengkreng jatuh! Bengkreng jatuh!”

Anak-anak yang manis. Tak tahu! Daging
yang dedah tak kembali selayak semula.

 Memondong repih plastik dalam glangsing
sedemikian rupa. Kali itu pengeringan penghabisan.
Sebelum penghujung petang, musti mengantongi
repih kering di depan rumah.

Tanpa kata.
Memanggul dan memondong meski kian kerap lagi.
Surabaya, 25 Februari 2017

TERJAGA


Oleh:Chandra Krisnawan

aku rasa matanya belum terpejam
ketika tubuhnya dibaringkan di sebuah gubuk
di tengah hutan yang tak dikenal
“Aku hanya lelah, istirahat
sebentar!” bisiknya, padaku
selembar daun jati jatuh
membelah gelap malam

paginya beberapa anak menggoda
melempari kaki yang menyembul dari dalam gubuk
dengan batu-batu kerikil
“Anak-anak yang jenaka!” katanya tersenyum

ia masih terjaga sedari malam
memandangi tulang pinggul yang remuk
darah mengering yang belum sempat diusap
memar yang membiru
kulit yang terbuka
dan amarah yang tertanam
di dada tiap insan
sekarang
dan nanti

ya, matanya tidak terpejam, pun, sedikit saja
meski tubuh lelah
dan kaki tak lagi beroleh gerak

tiap ruas kulitnya nanti akan dibongkar
oleh tanah dan pisau bedah
tapi matanya tidak terpejam,
sedikit
pun

“Kenapa masih terjaga?”
Matanya hanya diam menatapku
Lembut dan dingin
Daun-daun jati tua gugur lagi
Meledak begitu sentuh tanah
Jadi serpih-serpih kecil

“Kenapa masih terjaga?”
senyumnya tulus
berlabuh langsung di dadaku

Tubuh yang dibaringkan kesewang-wenangan
Selamanya akan selalu terjaga

Kisahku mungkin berakhir di hutan ini
Tapi pertanyaanku akan bergema
Di tiap kepala
Di tiap tanya
Di tiap pena penyair

“Karena kesewenang-wenangan tidak pernah tidur
Aku pun akan tetap terjaga”
Surabaya, 2016

Senin, 03 Desember 2018

TERIAKAN PEREMPUAN

Oleh: Chandra Krisnawan

ada teriakan
ada deru jalur cepat
kelebat cahaya belah pekat
ada perempuan berjalan
di kegelapan
telinga-telinga di bawah
bertanya-tanya
ada teriak ketakutan
perempuan gila
di atas jalur cepat

siapa yang percaya
perempuan itu turun dari langit
seperti bidadari hilang selendang
setelah telapak kakinya
sentuh aspal jalan tol
lalu memekik-mekik langit
yang mendamparkannya

berada di bahu jalan tol malam hari
yang tampak kelebat cahaya mendekat
dari kejauhan: tampak serupa ancaman
tampak serupa bala maut

semoga tidak ada yang memintas
bahu jalan!

setelah diturunkan dari jalan tol
seorang pewarung memberinya es
dalam kantung plastik
lengkap sama sedotan
lalu membiarkannya
pergi
setiap orang

teka-teki lain turun
 benar-benar dari langit
selalu tak terjawab
tak beri tempat bernapas
dari mana datang dia!
Surabaya, 2016

TERBANGUN

Oleh: Chandra Krisnawan

Bangun dari tidur pendek
Sama gedung-gedung baru
Kental yang ditarik
Dari dasar tenggorokan
Jauh dilempar ke muka jalan
Ludahi tanya hari ini
Siang di emper toko mati

Beberapa pengendara menoleh
Lega terhindar sembur
Meski tak ada naga api

Rasa belum puas
Dia tinju lantai berulang
Lewat tangan telanjang
Mulutnya komat-kamit
Seolah hendak belah
Udara serta bumi

Tapi hari takkan rendah, sikutnya
Juga jarum jam
Arus di hadapan
Jalan-jalan dilebarkan
Tinggal yang kini berbenah
Gelang karet buat rambut
Dan tangan

Nanti jika dia bangkit
Tampak kelewat longgar
Pakaian melekat
Dari pemberian
Yang tak dicoba ukuran
Lalu juntai langkah
Seringan layang-layang
Hilang benang
Seolah tentang angkuh kota
Yang terus membangun

Tapi, sekali lagi, buat kesekian kali
Kental yang bersingungan
Hingga goncang dada
Dia tarik buat muka jalan
Sebelum tarik celana
Supaya lekat di pinggang
Lewat seutas rumput jepang
Surabaya, 2016

BERKAWAN BAYANG

Oleh: Chandra Krisnawan

Tak harus masuk di akal
Kata terlontar atas trotoar
Lebih dituju diri sendiri
Timbang gerak dunia yang
Deras dan tak mendengar

Mungkin ia ‘kan lelah
Ringkukkan tubuh punggungi jalan
Lalu pejam buat beberapa lama
Sembunyikan tangan antara kedua kaki
Kerna debu dihempas deru
Sia-sia selimuti tubuh

Mungkin ia ‘kan lelah
Kerna lawan bercakap
Tak sudi mengalah
Selembar kertas dibawa angin
Atas kepalanya

Sangat mungkin ia ‘kan lelah
biarkan batang ranting berai
Samping kaki
Berhasrat musnah daging
Yang hidupi lawan sepadan

Tapi sodokan kata
Dari yang terakhir disebut
Hentak punggung hingga bangkit
Teriak antara bingar lalu lalang
Dari satu kata akrab
Bagi rumpun bahasa ibu
Goooobbbllooooook!!!
Surabaya, 2016