Sabtu, 17 Maret 2018

BALADA BUKIT KAPUR

Oleh : Chandra Krisnawan

Dada berwarna pualam yang dipalut
bongkah-bongkah batu kapur
tercabik. Tangan kotor.
Mata lusuh. Kata mendesis.
Semarak hari-hari panen terlipat.
Bumi menekur.

Musim hujan yang rapat. Angin
terbuai. Badai terbentuk.
Langit bergejolak. Di balik
tiap jengkal jangat berjuta kubik air
dikandung. Ditampung
dalam kokoh gua keramat.
Diperam supaya dari celah
celah bukit terbit mata air. Mengalir
anak-anak sungai bawah tanah.
Terpecah dari hulu, banjir.
Apa yang sebanding dengan ini?

Selalu berjaga di pergantian zaman.
Dada berwarna pualam tabah dibanduli
anak-anak. Tak lelah menyimpan benih
demi hari esok. Gembira
tatkala biji kembang.

Tapi tangan-tangan berbisa merobek
kesuburan. Dari dada ibu bumi
yang diam. Tangan-tangan keserakahan
tanpa ampun menghajar tanah kapur.
Tangan yang lamis. Mencuri
masa depan lewat tambang
tambang dan tambang.

Badai turun. Rumput hanyut. Kaki
tersemen. Dada yang dirampas,
terhempas.
Bumi meregang luka.
Surabaya, Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar