Jumat, 23 Maret 2018

KELIRU

Oleh : Chandra Krisnawan

aku kira mereka salah nilai aku
dua gelas air tawar itu kubayar
di kantong masih cukup uang
buat beli makan
dan/atau sebungkus rokok
dan/atau yang lain lagi
pendeknya masih cukup uang padaku

aku pilih air tawar karena segar
aku pinta dua gelas
kerna tubuh berkeringat banyak
segelas es memang segar
tapi manisnya cekat tenggorokan
lagipula bukan lidah
yang mesti kupuaskan
– kenapa tidak beli air kemasan?

sebuah kendi tanah
terguling
di halaman rumah-rumah
disepak kaki-kaki jaman

ah, baru terpikir
setelah pewarung tolak uangku
“tinggal saja, mas”
kata seorang pembeli
seolah aku sengaja melakukannya
rampok dua gelas air
dengan uang yang kusodor

aku rasa, esok, mesti kemari lagi
buat luruskan soal
pesan kopi sambil istirah
supaya tahu
tak hendak aku meminta

TAWA KECILKU

Oleh : Chandra Krisnawan

begitu tiba di pintu rumah
anakku tinggalkan mainannya
kaki-kaki kecilnya hampiri
sambil tanya:
“ayah pulang bawa apa?”

kurayu dia agar bawakan sepatuku
dengan tunjukkan tas kecilku
sigap pula dia ambil
sambil tertawa gembira
bayangkan sesuatu dalam tas
yang bakal didapat
sebentar lagi

istriku mendekat ingin tahu
aku rasa tertipu juga dia
dengan bujukanku

anakku kembali dari belakang
masih tertawa gembira

keriangan serupa ini tak boleh padam
aku kira lembar limaribu
yang dilempar seorang tuan
bisa jadi sumbu keceriaannya

setelah kalah dari gelanggang
kebahagiaan kecil serupa ini
tak layak disia-sia

kugendong saja dia yang mendekat
sambil serahkan lembar lima ribu
pada ibunya
masih ada sesuatu
meski isi tasku kosong

kusuruh mereka ke warung
buat beli tawa kecilku

MAKAN SIANG

Oleh : Chandra Krisnawan

irisan daging bakar
bertabur minyak lada hitam
kusuap buat perut kecil anakku
antara rekan kerja
dan cahaya putih-hangat
restoran pusat kota

aku kira anakku ‘kan mengunyah
sambil angguk kepala
kelembutan daging diasapi
lumuri mulut hingga gembung pipi
lalu dia ambil garpu dan pisau
hendak potong sendiri
daging bertabur minyak lada hitam
buat puaskan lidahnya

kenapa masih bicara arus produksi
pasar bebas tak terbatas
dan janji peluang investasi
??
?

di luar langit cerah warna biru
dengan tarikan awan lembut
sajak yang tak selesai
timbul tenggelam antara derai
yang sembunyikan maksud

sungguh, tak dapat kusumbang
satu pernyataan buat makan siang ini
kerna daging yang baru saja dimakan
adalah daging anakku
mungkin sekarang dia sedang bermain
dengan boneka gajah kesayangan
yang telah lepas
kedua telinganya

BAYI YANG TERBUANG

Oleh : Chandra Krisnawan

kerna tangisnya tak didengar
dia iris kulit luar
dengan mulut-mulut parasit
yang hidup dari daging mati
dingin tak lagi menyayat
meski kantung plastik
yang selimuti koyak

kerna tangisnya tak didengar
dia titip pada angin luka terbuka
kembang di udara wangi rahim
sedang tawa dari mulut kecil
‘kan disimpan untuknya sendiri
tapi mata mungil bertanya selalu itu
tak hendak ditutup pada dunia

esok senyumnya ‘kan tegas
diayun tangan tak dikenal
lipatan kain basah darah
disalin dengan yang baru
warna putih bersih
kerna angin selalu tepat janji

tubuhnya yang terbungkus
dapat tempat hangat
berbaring di pangkuan bumi
tapi mata mungil bertanya selalu itu
ditinggal sama yang hidup

TERSERET ARUS

Oleh : Chandra Krisnawan

tak hendak meminta naiknya muka sungai
hujan tebal merata sabar diantar
pada rindu pangkuan  muara

tak hendak merenggut deras arus
bumi lebih hak simpan tubuh anak manusia
dalam dekap lengan lembut

seorang bocah terseret langkah kakinya
hendak dipulangkan ke muka pintu rumah
tak jauh dari tempatnya jatuh

tapi pendaman rindu penuh gejolak
atau amuknya tenggelamkan kota
kerna terlambat buat pulangkan si bocah

diangkatnya ke permukaan tubuh si bocah
supaya dunia berkabar pada ibu-bapaknya
“jemputlah di permukaan kerna tak dapat
kuantar ke depan pintu, anak kalian”

tapi kota tergenang tak mendengar
sementara arus terus bentur tubuh si bocah
supaya bangun kembali ke rumahnya

tiada batu atau akar pohon untuk dititipi
sungai kota tinggal jadi lorong panjang
tanpa kait untuk digelayuti

lepas dari pintu air sesudah tikungan
hendak dititipkan tubuh si bocah
pada jembatan yang bakal dilintasi

tiga–empat jembatan tolak tubuh mendingin
harapan kini tinggal pada bozem besar
kerna sesudahnya takkan bisa pulang si bocah

Rabu, 21 Maret 2018

PETANG DI PESISIR TIMUR

Oleh : Chandra Krisnawan
Kilasan warna merah di langit pudar
ketika aku pulang.
Angin darat menuruni selat.
Dua ratus tiang pancang jembatan,
menertawakanku.
Juga semarak lampunya.
Istriku, aku gagal mencari pinjaman.

Duduk di antara kerumunan berswafoto
isi kepalaku mampat. Darah merabung
Kantong tandus.
Bukan perut yang menuntut
Atau juga biaya sekolah.
Tapi hutang-hutang yang lalu.
Tak lupa tagihan kamar sewa.

Orang berkata aku kurang usaha.
Orang berkata aku harus investasi.
Aku bertanya, siapa yang mencuri?
Tanpa SK atau slip gaji
penyemai bunga tampak begitu memikat.
Atau, kurampas saja hape muda-mudi itu...

Istriku, aku tersesat.
Jalan pulang begitu panjang dan tajam.

Biarkan aku tertawa sejenak.
Dua ratus milyar pembangunan jembatan ini
melebihi kebutuhan kita
seumur hidup.
Tapi apa guna buat kita?

Sebentar lagi langkah jadi pendek.
Motor satu-satunya jadi penyambung esok
meski suratnya masih tertahan.

Langit sepenuhnya gelap.
Tak ada bintang pemandu di dadaku.

Kunyalakan motor karena kegelapan laut
Kian gencar merayu.
Surabaya, 02 april 2017

TERJAGA

Oleh : Chandra Krisnawan
Mengenang M.

aku rasa matanya belum terpejam
ketika tubuhnya dibaringkan di sebuah gubuk
di tengah hutan yang tak dikenal
“Aku hanya lelah, istirahat
sebentar!” bisiknya, padaku
selembar daun jati jatuh
membelah gelap malam

paginya beberapa anak menggoda
melempari kaki yang menyembul dari dalam gubuk
dengan batu-batu kerikil
“Anak-anak yang jenaka!” katanya tersenyum 

ia masih terjaga sedari malam
memandangi tulang pinggul yang remuk
darah mengering yang belum sempat diusap
memar yang membiru
kulit yang terbuka
dan amarah yang tertanam
di dada tiap insan
sekarang
dan nanti

ya, matanya tidak terpejam, pun, sedikit saja
meski tubuh lelah
dan kaki tak lagi beroleh gerak

tiap ruas kulitnya nanti akan dibongkar
oleh tanah dan pisau bedah
tapi matanya tidak terpejam,
sedikit
pun 

“Kenapa masih terjaga?”
Matanya hanya diam menatapku
Lembut dan dingin
Daun-daun jati tua gugur lagi
Meledak begitu sentuh tanah
Jadi serpih-serpih kecil 

“Kenapa masih terjaga?”
senyumnya tulus
berlabuh langsung di dadaku 

Tubuh yang dibaringkan kesewang-wenangan
Selamanya akan selalu terjaga

Kisahku mungkin berakhir di hutan ini
Tapi pertanyaanku akan bergema
Di tiap kepala
Di tiap tanya
Di tiap pena penyair
 
“Karena kesewenang-wenangan tidak pernah tidur
Aku pun akan tetap terjaga”
Surabaya, 2016

Sabtu, 17 Maret 2018

BALADA BUKIT KAPUR

Oleh : Chandra Krisnawan

Dada berwarna pualam yang dipalut
bongkah-bongkah batu kapur
tercabik. Tangan kotor.
Mata lusuh. Kata mendesis.
Semarak hari-hari panen terlipat.
Bumi menekur.

Musim hujan yang rapat. Angin
terbuai. Badai terbentuk.
Langit bergejolak. Di balik
tiap jengkal jangat berjuta kubik air
dikandung. Ditampung
dalam kokoh gua keramat.
Diperam supaya dari celah
celah bukit terbit mata air. Mengalir
anak-anak sungai bawah tanah.
Terpecah dari hulu, banjir.
Apa yang sebanding dengan ini?

Selalu berjaga di pergantian zaman.
Dada berwarna pualam tabah dibanduli
anak-anak. Tak lelah menyimpan benih
demi hari esok. Gembira
tatkala biji kembang.

Tapi tangan-tangan berbisa merobek
kesuburan. Dari dada ibu bumi
yang diam. Tangan-tangan keserakahan
tanpa ampun menghajar tanah kapur.
Tangan yang lamis. Mencuri
masa depan lewat tambang
tambang dan tambang.

Badai turun. Rumput hanyut. Kaki
tersemen. Dada yang dirampas,
terhempas.
Bumi meregang luka.
Surabaya, Februari 2017

KHAYALAN BOCAH PEREMPUAN

Oleh : Chandra Krisnawan

Seorang bocah perempuan menuding
ke arah langit
utara
barat timur
selatan
pada gedung-gedung pencakar langit.
Malam tanpa bintang.
Pelataran plaza kota digenangi cahaya.

Dengan riang dihitungnya tiap gedung.
Lalu dalam kepala kecilnya
tumbuh biji khayalan yang kini
kuterjemahkan:
Berjuta ton batu
pasir
kapur
dari perut bumi di gunung-gunung
di kali-kali aliran lahar
dan di dusun-dusun
diangkat dalam semalam
menjadi puncak-puncak kemewahan di kota.

Angin bergerak ketika telunjuk si bocah
kembali menyapu langit malam.
Gedung-gedung baru terkuak
ditata crane yang tinggi menjulang
menuntut pada si bocah
untuk dihitung.

Seperti dalam dongeng lama.
Dalam semalam
perut bumi harus dibedah
agar si bocah dapat menuding
lebih banyak. Sementara di balik langit
seorang bocah perempuan lain
menatap bulan yang tak lagi terbit
dari balik gunung di desanya.
Entah tentang apa
dia berkhayal.
Surabaya, Februari 2017

Kamis, 15 Maret 2018

PEREMPUAN BISU DI ATAS REL

Oleh : Chandra Krisnawan

Perempuan bisu di atas rel kereta malam hari
Dengan kaki terbuka tinggi
Berjalan di antara kertap batu kerikil
Lonjoran-lonjoran baja runduk bertumpuk
Arus udara memikat bau berahi melapuk

Malam bagai ribuan polivinil klorida hitam
yang dijereng serampangan
Sedang bulan bulat bak lingkaran kantung lateks

Perempuan bisu melembarkan tempat lungguhan
Di atas rel beralas sepotong koran
Ruang yang gagu hendak ia getarkan

Seorang lelaki mendekat dengan empat jari terangkat
Isyarat kian rapat dan lekat

Tentang apa mereka bertukar makna
Anak-anak ataukah tikar-tikar lusuh di kegelapan?

Perempuan bisu di atas rel kereta malam hari
Menggamit bayang-bayang si lelaki
Dalam sekejap paluh-paluh tenda melahap
keduanya

Awan putih di langit merusuk lamban
Bungkus warna perak sobek di pojokan

Perempuan bisu di atas rel kereta malam hari
Tahukah jalah pulang ke pangkuan pagi?
Surabaya, May–Juni 2017

Rabu, 14 Maret 2018

TIDURLAH, ISTRIKU

Oleh : Chandra Krisnawan

Tidurlah di atas pangkuan kata-kata, istriku
Selain janji dan mimpi
Tiada lain bisa kuberi
Sudah dihitung cukup rinci
Upah pada kita kini
Mesti diambil kembali
Lewat produk-produk paling trendi
Sudah pula dipikirkan dengan pasti
Agar kita menjadi malu diri
Jika tak turut membeli

Tidurlah dalam pelukan kata-kata, istriku
Hanya ada cumbu rayu di sini
Yang tak perlu kita beli
Biarpun berucap beribu kali

Kalau ‘kau jemu nanti
Kukisahkan buatmu riwayat Raden Panji
Berkelana sepanjang hari
Memburu sukma Dewi Anggraeni
Tapi tidak tentang film-film aksi
Dari luar negeri

Tidurlah berselimut kata-kata, istriku
Sudah lewat waktu lingsir
Sedang sepi, seperti kata para penyair,
tak pernah berakhir
Surabaya, 2017

Senin, 12 Maret 2018

NOMOR-NOMOR BUNTUT

Oleh : Chandra Krisnawan

nomor-nomor buntut di atas kertas buram
adalah saksi bisu
dari larat petualangan malam hari
di tempat-tempat keramat

nomor-nomor buntut di atas kertas buram
meruapkan aroma dupa
pada kain dan celana, dan pada
kulit yang pekat serta rambut
yang tak bersabun

di antara bangku-bangku kaki lima
mengayuh mimpi dan menerka kupon
mimpi menghamparkan lambang

kupon menawarkan peluang

nomor-nomor buntut di atas kertas buram
jadi bukti bagi undang-undang untuk menjeratnya

nomor-nomor buntut di atas kertas buram
melemparkan seorang lelaki ke dalam bui
sementara di ruang sebelah seorang lelaki berkerah
bernegosiasi dengan pintu jeruji

nomor-nomor buntut di atas kertas buram
bertanya kepada keping-keping cermin:
pisau mana yang tajam ke bawah
supaya nomor-nomor buntut yang dibeli
membedah pundi-pundi yang diimpi?
Surabaya, 2017

MENDUNG DI ATAS KAMAR SEWA


Oleh : Chandra Krisnawan
 
lebih tiga perempat langit berpalut warna kental kelabu
ketika seorang penagih hutang berteriak di muka pintu
sebuah kamar sewa

angin kembang. uap panas
menekan. pusaran terbentuk. sebentar lenyap sebentar
tampak, turun dari celah-celah permulaan badai
sementara di muka pintu
sang penagih hutang berkecak pinggang:

apa yang hendak diminta dari kamar yang ongkos
sewanya belum terbayar?

panci dan wajan kering ditabuh angin
anak-anak terbangun dari tidur siang
pecahan-pecahan hujan pertama tiba

seluruh langit kini menumpahkan beban
ketika penagih hutang itu pergi
meninggalkan pintu ‘nganga

sementara perempuan di dalam kamar
menakar upah mingguan suaminya
putus asa

langit di kepala dan di luar, betapa gelap:
“Kenapa tidak mati saja sekarang!”
Surabaya, 2017

Senin, 05 Maret 2018

BIJI-BIJI BULAN DI PERGELANGAN TANGAN

Oleh : Chandra Krisnawan

terbangun dengan dua puluh biji bulan melingkar
pergelangan tangan
seorang lelaki di kaki gunung lumpur
mengetam nasib
ke dalam lembar-lembar memori kasasi

udara sarat. jantung bergetar. daun-daun
tergelincir, ragu.

dua puluh biji bulan dihitung dengan jari tangan
dendam tersirap–pada siapa: hukum atau oknum?

perkutut bernyanyi dari dalam sangkar
ketika lembar demi lembar memori disusun
suaranya ungkul dan ulem
seperti hendak memantrai kata demi kata
supaya tidak timpang suara
palu diketuk

jalan 'kan panjang dan bercadas. berliku tanpa
pandu. tambah lagi: klik tak dapat ditebak!

tapi dua puluh biji bulan dari balik jeruji baja
bertanya kepada zaman:

akankah kebenaran berkilauan meski rapat belukar
membenamkannya?
Surabaya, 2017