Oleh : Chandra Krisnawan
Menyaksikan matahari kota jam delapan pagi
adalah menyaksikan seorang lelaki mengeringkan diri
di bawah matahari kota jam delapan pagi
Air kali warna moka menggelegak
lumpur dan lemak
dan kencing
dan karat
dan tinja
dan timbal
dan sabun
dan sampah
dan segala ampas peradaban
memandikannya penuh kelembutan
Arus bergulung di muka pintu air terbuka
Buih-buihnya putih seputih busa pasta
Seekor burung terbang rendah di atas sadah mengalir
Angin membilas biji-biji air
Gedung-gedung batu debu semata
Seorang lelaki membukakan tubuhnya pada dunia
Tubuhnya yang kurus memekarkan tulang dan urat
Seolah pengelana di padang cengkar yang larat
Warna kulitnya yang legam memantulkan kesunyian
Dan dari kerempengnya dada berdengut gema kemiskinan
Duh, busur riwayat yang ‘kan segera rampung
Mengapa mimpi tak juga tiba berkunjung?
Matahari meninggi selang setengah sembilan
Daun-daun kering pepohonan luruh sepanjang jalan
Handuk dan sabun dan odol dan dompet di kotaknya tertata
Dengan kayuhan becak teriknya hari hendak disapa
Dan penyair hanyalah buih memutih
Bersila seorang diri di tepi kali
Menyaksikan matahari kota jam delapan pagi
adalah menyaksikan seorang lelaki menyucikan diri
ke dalam kali basin* yang membual sampai ke tepi
di tengah laju kota yang dingklang menjulang
Surabaya, Mei–Juli 2017
* Dari kata ‘bacin’ yang berarti ‘berbau busuk seperti bau busuk ludah ikan’. Dalam bentuk tuturan sering digunakan bentuk ‘basin’. Dalam puisi ini digunakan bentuk tuturannya ‘basin’ meski kata ‘basin’ sendiri mengacu pada bentuk tertentu di permukaan bumi.
Catatan: puisi ini dimuat dalam Antologi Puisi Terlanjur Lajang yang diterbitkan oleh Jendela Sastra Indonesia tahun 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar