Oleh: Chandra Krisnawan
Aku tidak suka anak-anak ini. Anak-anak usia dua puluhan. Anak-anak yang terlalu sering menggunakan kaos hitam. Anak-anak yang mencat rambut mereka, bercelana ketat, berkalung mirip anjing, melobangi kuping, hidung, bibir. Singkatnya berpenampilan aneh dan serampang. Anak-anak yang membedel knalpot motornya, mengebut dengan suara tarikan gas menggereng-gereng di jalan-jalan kampung. Anak-anak yang kelewat menonjolkan diri mereka, memadankan diri sebagai antonim dari nilai-nilai, lawan dari kemapanan, dan, pada akhirnya, ialah anak-anak yang, sekaligus dengan bangga, sanggup membantah apa-apa yang dikatakan orang tua. Anak-anak kemaren sore, merasa tidak puas di rumah lalu bertindak liar di luar dengan berbagai bentuk dalih kebebasan dan pelarian.
Di warung kopi ini sesekali mereka berkumpul; membicarakan pengalaman-pengalaman pahitnya, luka-lukanya; mengatakan segala yang dialami dengan bangga. Seperti badai besar pernah melanggar mereka, dan berseru bahwa mereka ialah orang-orang tangguh. Lalu, seperti menyerukan pada siapa saja di sekitarnya, aku misal: bagaimana denganmu? pernah kamu alami satu hal membanggakan yang bisa kau ceritakan pada kami atau orang-orang lain? pada anak-cucumu? pernah kau bertarung membela nilai-nilai yang kau yakini? Lalu cerita-cerita tentang orang tua, jalanan, perempuan, perkelahian dan tawuran, dan lainnya dan lainnya.
Cerita-cerita mereka makin gagah, lantaran yang lain menceritakan pula kisah-kisah lain. Biasanya masing-masing akan menyimpannya, kemudian menyampaikannya pada anak-anak sebaya lain yang mengajak mereka bercakap-cakap, terlebih anak-anak yang akan masuk dalam kelompok mereka. Akan mereka ceritakan kawan mereka sebagai si ‘A’ yang pernah ini dan itu; akan mereka ceritakan kejadian-kejadian yang melibatkan orang-orang berpangkat, bajingan-bajingan besar; akan mereka ceritakan orator-orator ulung di tengah demonstran, dan melanjutkan dengan kisahnya sendiri. Dengan begitu dia akan mendapat simpati dari si tercerita, yang pada gilirannya si tercerita akan mengisahkan kisah-kisah yang dialami si pencerita sehingga nampak hubungan dan kebenaran ini dari yang diucapkan dulu.
Orang-orang seperti mereka ini terlalu takut ceritanya tidak diterima. Mereka butuh lebih dari apa yang disebut sebagai tawa pembenaran. Sering mereka tambahkan dalam cerita mereka kalimat-kalimat seperti ‘tanya saja si A’, ‘saya tahu sendiri’ atau, jika si tercerita menanggapinya dengan santai ‘memang susah kalau tidak melihat sendiri’; dan bagaimana pun variasi kalimat semacam itu. Dan karena anak-anak baru ingin diterima dalam kelompok, kebohongan besar dalam cerita mesti diterima sebagai kenyataan, yang dilanjutkan dengan kebohongan lain.
Aku sering tersenyum mendengar cerita mereka. Kutanyakan pada diriku sendiri: tidak bisakah kita hidup tidak dengan pengalaman-pengalaman besar, cerita-cerita hebat, tindakan-tindakan mengesankan, dan ide-ide brilian yang menawan? Kalau mereka pernah bekerja seharian dengan lutut gemetaran yang disembunyikan, dan pulang menghadapi penagih yang berteriak-teriak di depan pintu, sedang tetangga dari dalam kamar kosnya tidak mungkin tertutup telinganya, mereka akan diam sekarang. Atau, setidaknya, mereka akan berjalan dengan kepala rikuh jika bersimpang seseorang di jalan. Ya, berjalan menunduk dan rikuh…tidak lempang begitu saja di antara orang ramai; malu karena gagal memukul seorang penghina! Oh, mereka terlalu muda untuk menyadari keterbatasannya sebagai satu titik di bawah busur langit yang tak terbatas.
Lihat! Sekarang mereka bicara perempuan! Risih juga mendengarnya meski di sini siapa pun boleh bicara dan apa saja. Pewarung, perempuan tiga puluhan, terpaksa terlibat. Warung itu kecil. Hanya ada pewarung (aku tidak tahu apakah dia betah dengan pelanggannya yang ini: aku tidak ingin menunjukkan pada pewarung ketidaksukaanku pada anak-anak itu dengan menanyakan pendapatnya; tidak perlu ada keberpihakan), mereka, dan beberapa orang lain yang tak begitu penting seperti aku. Kadang lebih baik bersikap diam meski itu bukan emas sekali pun!
Dengan kenes pewarung itu berusaha membelokkan percakapan mereka. Tapi sebaliknya, malah mensahkan itu semua. Makin tak karuan. Astaga, tidak pantas perempuan secantik dia tercebur dalam perbincangan cabul! Sesuatu yang lebih cantik dalam dirinya yang tidak pantas diucapkan…pembicaraan itu bisa mengarah ke sana!
Seseorang membayar jajannya dan pergi. Seorang lagi mengikuti dengan menyembunyikan cibirnya. Mungkin merasa risih juga, atau –atau itu tadi hanya kesan dari pikiranku yang kacau, sehingga melihat orang lain seakan-akan mencibir? Seorang lagi, selebihnya dari kelompok lima orang itu, ialah aku, membaca koran, menikmati rokok, dan kopi; berusaha untuk tidak bersikap mengintai percakapan mereka sekaligus: berbuat seperti aku tidak di sana.
Kopiku masih kurang dari separoh. Baru dua puluh menit aku duduk. Tapi lima belas menit terakhir membuatku tak jenjem. Entah mengapa aku tidak suka pada anak-anak ini. Tidak menyenangkan berada dekat-dekat dengan orang-orang semacam mereka. Mungkin karena sikap, tingkah laku, pakaian, asesoris, yang terkesan serampang. Mungkin karena mereka begitu ingin bersikap beda. Begitu ingin tampil unik. Begitu ingin dikagumi oleh anggota-anggota di dalam kelompok mereka, dan, pada akhirnya, oleh orang-orang di luar kelompok mereka. Lalu mencat rambut mereka, memberinya model tertentu, mengenakan gelang –karet, tali, atau besi– berlebihan, menggunakan kaos hampir selalu hitam, bercelana ketat, bersepatu. Memadankan diri mereka sebagai antonim dari nilai-nilai. Musuh dari kemapaman. Lawan dari keteraturan: enemy of the rule, dengan tulisan besar-besar. Seperti berkali-kali mereka katakan: tidak bermoral ialah bermoral, tidak beraturan ialah beraturan…cih, filsafah-filsafah obralan, tesis-tesis cempulang: terucap dari mulut-mulut mereka...
Sungguh, bukan ide-ide mereka yang aku tidak suka; aku mengagumi logika berpikir biar pun hampir semua tindakanku lebih banyak dikuasai naluri; tapi akibat-akibatnya pada diri mereka. Dengan ide-ide semacam itu, mereka seperti membolehkan diri mereka untuk bertindak semau mereka. Bahkan kehendak-kehendak Tuhan pun mereka permainkan. Dengan itu mereka merasa menjadi orang hebat di tengah kelompoknya. Aku pernah mendengar mereka mengatakan, ‘Tuhan tidak adil karena tidak menciptakan selaput pada kita…’. Astaga, dari mana mereka mendapat kata-kata itu? Bagaimana bila kelompok itu buyar atau pecah, dan masing-masing memandang dunia sebagai murni satu individu? Menulis dalam tembok-tembok kota yang menyatakan ‘kami tidak mati’? Siapa akan mengatakan, di zaman ini, ‘bubarkanlah kelompok-kelompok itu’, atau ‘cekal saja gembalanya’?
Sebenarnya aku sama seperti mereka. Aku suka mengkhayalkan bisnis, objekan, kisah-kisah besar dengan aku lakonnya, dan, tentu saja, perempuan. Tapi tak ada yang kucapai di kesemuanya itu. Pacar terakhirku, lima tahun lalu, kawin. Dan sejak kecil hidupku biasa saja, sedatar dan sesunyi jalan tol di atas warung ini dengan sesekali kecelakaan yang hanya diingat petugas jalan tol –sebagai bagian pekerjaan, dan, tentunya, masyarakat di sekitar jalan tol: yang sama dengan alam tak sadar dalam diriku (ada saat-saat tertentu di mana aku sangat iri dengan mereka). Tapi, dengan ketidakmungkinannya keadaanku sekarang…aku lebih memilih diam! Oh, betapa pencil dan hitam perasaan yang ‘kan terus dibawakan pelarian!
Kematian dua orang tuaku, aku hadapi dengan wajar. Tidak ada suasana mendalam yang kelewat larut. Pun tidak ada kesan-kesan kelabu: pemandangan senja muram di pelabuhan, kepak sayap kelelawar yang menjauh, sedih yang menggelora, musim yang mengental di atas kanvas… Mungkin karena mereka cukup menyayangiku. Tidak berlebihan, juga tidak sebaliknya, menuntut aku secara berlebihan. Tidak ada alasan bagiku untuk menahan mereka di dunia ini lebih lama. Apalagi menangguk sesal atas kesalahan, kebencian, dendam, dan sebagainya, yang belum terbayar semasa hidup mereka, yang membuat kita punya perasaan dan kesan-kesan mendalam pada orang-orang yang sudah meninggal, pada orang-orang yang tak mungkin lagi kita bertemu dan minta maaf padanya; pada orang mati. Apalagi tidak sesuatu pun ditinggalkan untuk dijaga selain kenangan yang terpelihara dengan sendirinya di dalam tempurung kepalaku. Oh, inikah perasaanku sesudah meninggalnya mereka…
Sekarang kembali pada hal-hal yang membuatku tidak suka pada anak-anak ini. Seorang petani melintas. Berkaos merah. Legam kulitnya. Menggenggam arit. Sebatang rokok terkantong di mulutnya. Di bawah panas jam satu siang. Seseorang dari mereka menyiulkan nada-nada dari lagu genjer-genjer..siapa pula yang mengajarkannya!
Luar biasa. Seorang dari mereka mencontohkan petani itu sebagai bentuk perjuangan hidup. Luar biasa. Sebab mereka menjadikan tiap tokoh yang mereka temui sebagai pengalaman hidup, patut dicontoh. Atau, sebaliknya, mesti dijauhi. Mesti dicap sebagai borok yang harus disembuhkan, dan dipotong dengan gagah dari tubuh sebagai tumpak hitam: selalu ada musuh bersama bagi mereka, atau, paling tidak, orang yang dengan gampang tindakannya mereka cela bersama. Jangan-jangan mereka pernah membicarakan aku. Sial, betapa mudah aku jadi perasa di tengah suasana ini!
Sesekali pewarung, perempuan manis bersuami itu menyela, menawarkan jajannya: ‘supaya tidak lapar ngomong terus’. Aku tersenyum ketika seseorang dari mereka nyeletuk: ‘jajan yang mana, mbak?’. Lalu mereka tertawa. Pewarung itu tersenyum, meski terlambat dan kikuk. Seorang dari mereka menasehati temannya tadi dengan kasar, dengan beberapa bentuk pisuhan di belakangnya: sebuah guyonan, sebab pewarung cantik itu akhirnya ‘ngerti yang dimaksudkan.
Kejadian itu terpaksa melibatkan aku dalam perhatian mereka. Mereka terlalu angkuh dengan menganggap lelucon itu bukan milik mereka sendiri. Sebaliknya, milik tiap orang yang ada di warung ini. Milik tiap orang yang mendengarkan. Dan aku tidak siap dengan keadaan baru ini. Aku menyadari tidak ada satu pun dalam diriku yang menonjol. Oleh karena itu mudah sekali diabaikan dan dilupakan dalam perhatian ramai. Dan aku tidak pernah ingin berada di antara anak-anak itu. Aktualitas ini mengguncangkan aku. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap, selain menunjukkan senyum pada mereka. Aku maki diriku sendiri setelah sempat tulus tersenyum tadi.
Setelah reda, mereka kembali berbicara dan bercanda. Sesekali terdengar pembicaraan kecil, mirip bisik-bisik. Kadang pembicaraan yang diam-diam itu, diikuti ledakan tawa. Kurang ajar! Apa yang harus disembunyikan di tempat ini, kecuali pembicaraan tentang orang-orang yang ada di sini, dan tentunya itu ialah tawa yang buruk. Tawa dari jenis yang mengejek. Bukankah tadi mereka berbicara dan tertawa dengan keras-keras? Tidak mungkin mereka merencanakan pencurian, perampokan, pembunuhan, apalagi sebuah kup. Siapa si terejek itu?
Jantungku berdebar. Kebencianku pada anak-anak ini… Aku selalu tidak suka pada orang-orang yang membicarakan sesuatu dengan suara-suara kecil, mirip bisik-bisik, dan menjaga suara mereka supaya tidak sampai ke mana-mana, sedang di sekitar ada orang lain yang tidak turut; orang-orang yang dengan sengaja mengucilkan orang lain, dan menjadikannya bahan pembicaraan mereka. Terlebih si terbisik itu ada di sekitarnya. Pun bukan itu yang dibisikkan, mau tak mau orang-orang di luar bisik-bisik, seperti aku sekarang misalnya, menganggap apa pun yang terbisik itu ialah dirinya. Maka, pembicaraan serupa itu sampai ke mana-mana dalam bentuk sangka buruk. Sangka buruk yang terlalu cukup untuk menyuburkan benci, dan ini di atas tanah yang bagus.
Tiba-tiba satu suasana mencekam. Seperti sudah kuperkirakan sebelumnya sebegitu anak-anak itu duduk tadi. Degap-degup jantungku mulai tak beraturan, mempertegas bentuknya pada dua tanganku. Aku berusaha keras meneraturkannya dengan menyatakan berulang-ulang, bahwa itu bukan aku, bukan keburukan-keburukanku. Tapi dari curian-curian pandang dan kata ‘masak’ berkali-kali yang meredam ledakan tawa mereka, membuat pola pacu yang kubangun rusak. Seseorang dari mereka memang mengenalku dengan cukup buruk…
Aku jatuhkan pilihan pada separoh kopi tersisa, meminta sebatang rokok, menyalakannya, bersandar, dan meneruskan membaca koran. Tak ada lawan bicara bagiku, kecuali berita-berita kabur. Makian lirihku mengundang senyum pewarung. Entah simpati atau tidak tahu harus bagaimana melihatku tiba-tiba meletup. Yang sedang kuusahakan: membuat makian tadi tertuju pada berita di koran. Bagaimana pun juga, aku tidak ingin pewarung tahu akulah yang dijadikan bahan tertawaan. Tiba-tiba saja aku merasa diriku konyol di depan semua itu.
Terlambat untuk berubah. Umurku tiga lima. Belum menikah. Kalau tiap manusia itu unik, mestinya mereka bisa bersikap sama bagusnya pada siapa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar