Ketika pertama kali datang ke tempat ini, aku segera
terpesona oleh suasana sekeliling yang dibangun khusus untuk kami1.
Dinding-dindingnya serba putih. Tidak ada satu hiasan dipasang di salah satu
sudutnya. Beberapa sketsa dan lukisan hanya dipasang di gedung depan, gedung
kepala panti, ruang berkunjung tamu, dan bagian administrasi. Juga meja dan
kursi terbuat dari kayu, polos tanpa ada taplak penghias atau ornamen di
sandaran kursi. Dan sejauh yang kuketahui dari pembicaraan beberapa orang di
dalam gedung tadi semua itu adalah hasil kerja yang dilakukan oleh orang-orang
di dalam.
Begitulah mereka menyebutnya, orang-orang dalam. Batas
dengan dunia luar adalah tembok setinggi lebih dari dua meter. Kami dikurung di
dalamnya. Atau sebaliknya, orang-orang dari luar jangan sampai mengganggu
ketentraman dunia kami. Ketentraman penghuni panti yang damai dan bahagia!
Petugas lelaki yang menggandengku saat mengantarku kemari tak
banyak bercerita. Jarang pula aku diajaknya bercakap. Pertukaran bahasa antara
kami berlangsung melalui pandangan mata dan goyangan kepala, gelengan dan
anggukan. Padahal dia sudah jauh-jauh menempuh perjalanan menuju perbatasan
desa yang sunyi dengan truk dinasnya khusus untuk menjemputku di kandang ayam yang telah
kubangun dari potongan-potongan kayu dan kain bekas.
Tapi biarlah. Petugas itu lelaki yang baik. Setelah
memberiku pakaian dia membawakan sebungkus nasi dengan lauk daging segar.
Sungguh merupakan kemewahan tersendiri bagiku mendapatkan pelayanannya! Ya,
petugas itu adalah pelayanku. Negara melalui aparatur-aparaturnya merupakan
pelayan bagi tiap warga negara, baik yang dikategorikan waras atau tidak. Baik yang
dikategorikan ber-tempat tinggal atau pun tidak! Dan mereka boleh dikategorikan
sebagai pelayan yang paling berjiwa sosial. Ketika yang lain sibuk memikirkan
tempat-tempat yang basah agar bisa kecipratan proyek-proyek yang menghabiskan
anggaran negara, mereka sibuk mengurus kami!
Dari gedung depan yang penuh dengan pigura-pigura dan
bunga-bunga aku digandeng melewati koridor panjang. Lalu di depan sebuah
bangunan panjang petugas itu memintaku duduk di atas dudukan dari semen. Tidak
ada papan nama di tiap pintu yang kudapati seperti halnya kasie urusan ini dan
itu seperti di gedung utama tadi. Lalu dia memanggil seorang lelaki yang sedari
kami keluar dari gedung utama terus mengikuti kami dan yang sekarang berdiri
agak jauh. Dia menyuruh lelaki itu untuk mengawasiku sementara dia akan membuat
laporan penerimaanku di sini.
Dalam hati aku tersenyum. Bahkan nyaris mendekati tawa
ejekan. Rupanya di sini aku mesti diawasi dan dilaporkan. Apakah aku termasuk
orang liar yang perlu diawasi tingkah lakunya agar tidak membahayakan orang
lain? Pada siapa pula aku akan dilaporkan? Pada anggaran-anggaran yang akan
membiayai kebutuhan makanku di sini? Baru kali ini aku mendengar perintah agar
aku diawasi, seolah aku hendak berbuat makar! Padahal yang perlu diawasi adalah
orang-orang yang dengan kekuatan modalnya mengusir kami dari rumah kami sehingga
kami harus menggelandang! Mereka membuat kami kehilangan pikiran waras kami! Bukankah
mereka sering meneriakkan, “Kalau kami waras tentu kami akan menerima uang yang
ditawarkan daripada bertahan di atas tanah yang jelas-jelas bukan milik kami!”
Tapi apakah tanah itu juga milik mereka sehingga mereka merasa berhak
membongkar rumah yang kami tempati puluhan tahun?
Setelah kepergian petugas itu, penghuni-penghuni panti lain
yang semula melihat dari jauh perlahan-lahan mendekat. Seorang perempuan
berdiri merapat dinding sambil terus memandangiku. Juga penghuni-penghuni panti
lain memilih tempat masing-masing yang lebih dekat untuk mengawasiku. Mereka mengawasiku
dengan diam. Aku heran, apakah tidak ada niat dari mereka untuk sekedar
bertanya dari mana aku datang? Juga pengawas baruku yang telah mendapat mandat,
dia memandangiku terus menerus tanpa mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Alangkah
berbelitnya memulai percakapan antara kami!
Menghadapi situasi seperti ini, darah dalam dadaku serasa mendidih.
Aku malu. Benar-benar malu. Di luar sana belum pernah aku dipermalukan seperti
ini! Pernah puluhan orang mengepungku untuk menangkapku karena aku terus
berteriak-teriak. Tapi puluhan orang itu punya tujuan sama terhadapku:
mendiamkanku. Karena itu aku tahu bagaimana menghadapi puluhan orang itu ketika
tangan-tangan mereka mulai mengcengkram tiap bagian tubuhku. Aku bisa meronta
sekuat yang aku mau dari tenaga yang bisa dilontarkan oleh tubuhku. Tapi
bagaimana menghadapi kepungan orang-orang yang tidak punya tujuan dan tidak jelas
apa maksudnya mengepungku?
Aku ingin tertunduk. Tidak ingin lain. Tapi sebungkus nasi
berlauk daging yang mengisi perutku sebelumnya menjadikan amarahku memiliki
kekuatan berlipat. Aku tahu aku dapat menindas masing-masing orang yang matanya
mengepungku tanpa hasrat itu. Aku yakin mereka dapat aku kalahkan dengan
kepalan tangan yang telah dilumuri sekepal daging. Aku hendak bangkit. Dan yang
pertama menjadi sasaran kemenanganku adalah lelaki yang mendapat tugas untuk
mengawasiku.
Kulayangkan tamparanku hingga mengenai bagian atas
telinganya. Lelaki itu tersungkur dan mengerang kesakitan. Belum puas aku
tubruk tubuhnya yang jatuh itu dengan seluruh berat badanku. Aku ingin membalaskan
dendam padanya karena sedari awal hingga akhir dialah yang terus menerus
menatapku serupa itu. Mungkin pengawas ini telah menyuruh penghuni-penghuni
lain untuk merubungku tanpa sepengetahuanku. Maka kutumpahkan seluruh hasratku
untuk mengalahkan tatapan yang mengelilingiku padanya. Juga dendamku pada orang-orang
yang menyebabkanku kehilangan tempat tinggal hingga terdampar di tempat ini.
Semua itu kutumpahkan padanya. Padanya seorang...!
Para pengerumun itu segera berteriak-teriak dan melarikan
diri. Di bagian sana, orang-orang yang tidak ikut mengerumuniku juga ikut lari
mengetahui kawan-kawannya berlari ketakutan. Mereka seperti lebah yang
sarangnya terjatuh di tanah. Aku jadi ingat bagaimana perempuan-perempuan di
kampungku berteriak histeris ketika rumah-rumah mereka diratakan sama tanah
oleh tangan-tangan dingin excavator. Aku jadi ingat bagaimana anak-anak mereka
ikut menangis melihat ibu mereka diseret menjauhi area penggusuran. Hanya saja
akulah yang kini menjadi si tangan besi penghancur tempat tinggal.
Dan lelaki itu tidak mencoba melawanku. Dia hanya berusaha
bangkit dan lari sambil terus meneriakkan erangan yang memilukan. Sayang, tiap
kali berusaha bangkit sebungkus nasi yang menjadi kekuatanku terus
merubuhkannya. Hingga pada suatu kali aku menubruknya hingga dia menabrak
dinding. Setelah itu dia berhenti mengerang. Tubuhnya yang terbaring di tanah
tidak mencoba lagi untuk bangkit. Baru aku sadar bahwa mungkin aku telah
membunuhnya. Selama itu, kami telah berpindah tempat sejauh belasan meter dari
tempat pertama kali dia kutampar.
Petugas yang datang belakangan terkejut melihat lelaki itu
terbaring di tanah dengan hidung dan mulut berlumuran darah. Mengetahui hal itu
mereka, para lelakinya, menjadi lebih siaga. Sedang petugas-petugas perempuan
yang terlanjur datang ke sumber kegaduhan berlari kembali sambil berteriak-teriak
memanggil nama seseorang.
Dua orang petugas lelaki yang tinggal segera mengambil sapu
untuk dijadikan pentungan yang diarahkan kepadaku. Mereka mengancam dengan
sapu-sapunya itu agar aku tidak berbuat macam-macam. Sementara beberapa orang
di kejauhan sana bergerak memutariku.
Aku tidak melawan ketika satu dari beberapa orang yang
memutariku menabrakku hingga jatuh. Lalu beramai-ramai mereka meringkusku
dengan tangan dan pentungan. Dan dalam satu hentak dunia yang semula terang
benderang ditimpa matahari menjadi gelap. Kepalaku terantuk tanah dengan keras.
Ketika tersadar lagi aku sudah berada di dalam ruangan yang
gelap. Hari sepertinya sudah malam meski tak terasa benar. Cahaya lampu dari
luar masuk melalui lubang-lubang angin di atas pintu. Dan pintu itu sepertinya
menjadi satu-satunya pemandangan yang bisa kusaksikan di ruangan ini. Empat
buah dinding, langit-langit, dan lantai, semuanya berwajah sama: mengurungku.
Juga pintu itu ketika kepalaku masih terasa pening yang kulihat padanya seperti
dinding-dinding dan langit-langit itu juga. Dia lebih mirip penjaga yang
mengawasiku agar aku tidak meninggalkan ruangan ini.
Aku hanya bisa berbaring sambil menempatkan kepalaku
sedemikian rupa agar luka di kepala yang sudah diberi perban itu tidak
menimbulkan rasa sakit. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan selain berbaring!
Bisa saja aku melihat-lihat luar dengan memanjat lubang-lubang angin di atas
pintu. Dengan begitu aku bisa tahu seperti apa ruangan lain yang terletak di
seberang ruang kosong di mana aku berada sekarang. Ini bisa dilakukan. Hanya
saja kepalaku masih terasa sakit.
Tapi bayang-bayang tentang sesuatu yang berada di ruangan
seberang itu tidak mau kubaringkan. Dia mengajakku keluar dari pintu dan
menerka-nerka apa saja yang mungkin ada di sana. Barangkali di sana ada
meja-meja dan kursi-kursi. Barangkali juga ada rak-rak dan lemari. Mungkin ada
benda-benda yang bisa digunakan sebagai penyangga kepalaku untuk berbaring!
Di luar tidak terdengar suara. Bayanganku mengatakan bahwa
ada beberapa orang di luar sana. Berbicara dengan berbisik-bisik atau dengan
bahasa isyarat agar tidak didengar oleh telinga lain yang berada di dalam sini.
Mungkin tiga atau empat orang berada di sana. Dan mereka tengah membicarakan
lelaki yang dikunci di dalam ruangan karena baru saja menghajar kawannya sesama
panti. Sial, ada orang yang sedang membicarakan aku dengan sembunyi-sembunyi!
Dengan sangat terpaksa kuangkat punggungku untuk mendengar
lebih seksama lagi. Indraku yang lain kupadamkan untuk menguatkan
pendengaranku. Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepengen2
perihal pergunjingan orang lain tentang aku. Ya, aku sangat berkepentingan
dengan hal ini. Aku tidak ingin mereka keliru menilai aku!
Meski sudah kucoba dengan segenap kemampuan yang aku bisa,
tetap saja pergunjingan itu tidak dapat aku dengar. Suara mereka terlalu lembut
untuk telinga manusia. Atau, sebaiknya aku menggeser dudukku ke dekat pintu.
Siapa tahu dari sana, dan ditambah dengan segenap kemampuan yang kumiliki,
dapat kutangkap suara-suara yang menggunjingkan aku.
Hanya saja aku sangat malas bergerak meski hanya beberapa
langkah saja. Kelembaman materi menguasaiku. Yang hendak kuperbuat selanjutnya
adalah berbaring lagi sambil berharap suara-suara itu lupa dengan nada
rahasianya sehingga meloloskan satu atau dua kata ke telingaku. Jika itu yang
terjadi, itu akan cukup untuk membantuku menerka-nerka apa yang tengah
digunjingkan tentang aku.
Sampai sekian lama kutunggu tak juga ada kelolosan kata-kata.
Juga di luar sana, tidak ada suara manusia. Yang ada hanya deru mesin-mesin
motor. Itu pun jauh. Kelewat jauh. seolah antara dunia di luar sana dengan di
dalam sini tidak hanya dipisahkan oleh dinding. Di mana aku sebenarnya kini?!
Mengenai keberadaanku saat ini tak perlu diragukan: aku
masih hidup. Dunia tidak terasa asing dan bisa kukenali; dinding,
langit-langit, lantai, pintu, dan cahaya lampu yang menerobos masuk. Juga
suara-suara di luar. Jelas aku masih berada di bumi tengah. Dan jika aku masih
berada di bumi tengah, tentu nanti akan ada orang yang datang kemari membuka
pintu itu dan membawaku keluar.
Itu nanti. Sekarang pikiranku membawakan sosok pengawasku
tadi. Bagaimana nasibnya sekarang? Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa dia
baik-baik saja. Mungkin dia mengalami luka di sana-sini. Tapi dia harus tetap
hidup dan bertingkah seperti sebelumnya, mengawasi tiap orang yang baru saja
datang.
Entah kenapa sekarang aku merasa harus menjadi lebih
simpati kepadanya. Dia memandangku dari mula sampai akhir hanya menuruti
dorongan batiniahnya yang wajar. Dorongan batiniah itu mungkin rasa ingin tahu
yang tinggi terhadap sesuatu yang nanti akan menjadi kawannya, aku atau
orang-orang baru yang akan datang.
Sebenarnya aku tidak tahu apakah dia berlaku seperti itu
pada setiap orang yang baru datang. Mungkin kebetulan dia ada di sebelah pintu
siang tadi, lalu mengikuti aku dan petugasku. Aku rasa dia ingin berbicara
denganku. Mungkin bertanya nama, asal, dan bagaimana aku bisa sampai di tempat
ini. Mungkin dia ingin berkata bahwa dia dan aku bernasib sama di jalinan
benang yang berbeda. Mungkin masih banyak lagi yang hendak dia tanyakan padaku.
Tapi tingginya dorongan batiniah yang ada pada dirinya
tidak serta merta diungkap lewat bahasa. Padahal bahasa perlu untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya. Bisa saja aku meracau dengan bunyi-bunyi aneh
seperti mantra. Tapi aku akan segera meninggalkannya karena aku yakin itu hanya
cara bagiku untuk menarik perhatian orang padaku. Ya, seharusnya setelah
petugas itu menyerahkanku padanya dia mesti bertanya sesuatu padaku. Itu akan
lebih mudah meski belum tentu juga kutanggapi ajakannya berdialog. Paling tidak
inisiatif harus dia yang memulai karena dia yang pertama mengajakku saling adu
pandang.
Kenapa kau hanya diam dan menatapku, hai, pengawasku?
Apakah dengan pandanganmu itu kau dapat menaksir seluruh diriku? Bahkan
petugas-petugas yang telah mencatat data-dataku dengan lengkap saja tidak dapat
menjawab jika pada mereka ditanya: dari mana asalnya gelandangan yang satu ini?
Juga orang-orang yang telah melapor kepada petugas, yang menurut mereka
keberadaanku mengganggu ketentraman kehidupan warga sekitar. Aku hanya
kebetulan lewat dan menemukan ada tempat kosong di antara belukar-belukar tinggi
yang lalu kudirikan kandang ayam untuk tidur. Aku menyebutnya kandang ayam karena
memang frasa itu mengena dan lazim digunakan di dunia sastra.
Jadi kalau melalui dialog saja mereka tidak dapat menemukan
jawab yang dicari, bagaiamana kau, dengan hanya tatapanmu, dapat mengetahui
siapa aku, hai, pengawasku?
Keluar dari ruangan ini aku harus memperbarui hubunganku
dengan pengawasku. Aku akan meminta maaf padanya dengan caraku sendiri, cara
seorang penyair. Akan kulambungkan dia dengan kata-kataku, dan kutempatkan di
bagian paling tinggi dalam hatiku. Lalu aku, dengan kekuatan yang telah
kutunjukkan pada setiap orang dilingkungan ini, akan menjadi pelindungnya yang
setia. Aku akan menjaganya dari tingkah orang-orang sepertiku!
Ya, aku bisa melakukan ini! Ini akan menjadi peran yang
menarik untuk dijalankan...
Tengah asyik memikirkan peran baru yang bakal kuemban, terdengar
derit sebuah pintu dibuka. Bukan pintuku, tapi pintu lain di luar ruangan.
Deritnya benar-benar menggangguku hingga membuatku heran, bagaimana aku bisa
yakin bahwa engsel itu menderita karena beban pintu yang dibuka? Bagaimana
otakku bisa menarik kesimpulan bahwa suara itu adalah suara pintu sedang aku
berada di ruangan lain yang tak dapat meyakinkan diri dengan penglihatan bahwa
suara itu adalah suara pintu? Juga bagaimana otakku mempercayai jika itu suara
sebuah pintu, jenis pintu yang terbuka pula? Apakah kecendrungan sebuah pintu
adalah tertutup sehingga ketika dia bersuara maka suaranya itu adalah suara
yang menyatakan bahwa dirinya sedang dibuka?
Lalu terdengar langkah kaki bergerak masuk; benarkah? Suara
klik yang sedetik kemudian diikuti padamnya lampu di luar. Pekat menyelimuti
ruangan di mana aku berada. Lalu kudengar langkah kaki diangkat, sangat lembut,
mendekati pintuku. Apa yang hendak dia caro di balik pintu itu dalam gelap? Lagipula,
bukankah lubang kunci di jaman ini tidak dapat digunakan untuk meneropong ruang
di baliknya? Apa dia ingin mendengar suara dengkurku untuk memastikan bahwa aku
masih hidup? Kenapa tidak membuka pintu itu dan memeriksa keadaanku dalam
keadaan terang benderang disinari lampu bertemperatur enam ribu lima ratus kelvin?
Bukankah lampu-lampu di jaman ini memiliki tingkat penampilan warna yang di
atas delapan puluh persen, artinya apa yang dilihat di bawah sinar lampu itu
kebenarannya mendekati penglihatan di bawah terangnya sinar matahari?
Dia diam di balik pintu sana. Aku pun diam di dalam sini.
Kami sama-sama diam. Aku rasa dia tahu bahwa aku juga mengetahui keberadaannya.
Karena itu dia memilih mengendap-endap ketimbang membukakan diri. Oh, hubungan
antar manusia yang berliku...
Cukup lama juga kami berdiam diri. Lalu kudengar langkah
kaki menjauh dan pintu terbuka kemudian tertutup. Terakhir yang kudengar
darinya adalah suara slot pintu dikunci. Setelah itu keheningan sempurna. Suara
televisi yang jauh tidak mendapat tempat dalam perhatianku karena itu bukan
duniaku.
Setelah hening tiba untuk pertama kalinya dalam ruangan ini
kubangkitkan tubuhku. Aku hendak merabai pintuku dan memanjat lubang angin di
atasnya. Kini setelah benar-benar yakin bahwa di luar tidak ada orang aku ingin
memastikan seperti apa ruangan di luar itu.
Aku harus benar bahwa di sekelilingku hanya ada kesunyian.
Aku harus pasti tentang ini! Sebab hendak kuhidupkan sosok pengawasku dalam
ruangan ini. Juga petugas yang menjemput dan menggandeng tanganku. Juga
orang-orang yang kutemui atau sekedar menatap padaku. Juga keputusan pengadilan
yang memenangkan gugatan atas tanah yang menurut badan pertanahan belum pernah
diterbitkan surat-suratnya. Aku hendak bercakap-cakap dengan mereka. Ini
kuperlukan supaya aku tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Lagipula di dalam
kesunyian, berbicara dengan sesuatu dapat membantuku melewatkan berat yang
menekan dada.
Yang pertama muncul dari diriku setelah turun dari
lubang-lubang angin adalah senyum tipis. Lalu tawa yang kelewat samar. Dan
dengan makin tegasnya sosok petugasku, tawaku mengeras. Pengawasku mendekat
dengan takut-takut. Juga pegawai kelurahan yang menunjukkan keberadaanku kepada
petugasku. Lalu bergantian datang manusia-manusia akrab dari masa lalu. Kecuali
kematian istriku, aku ingin semua itu hidup kembali....
Eh, aku gembira karena kini bertambah beberapa kawan baru.
Aku harap mereka tak bosan-bosan mengunjungiku ketika hening melarutkan aku.
Apalagi ini adalah malam pertamaku di tempat baru.
Surabaya,
05 Mei 2015
1)
Ditulis dengan ingatan pada cerpen Iwan Simatupang yang berjudul Lebih Hitam dari Hitam
2)
Dikutip dari sajak Chairil Anwar yang berjudul Malam Di Pegunungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar