Senin, 08 Januari 2018

HARI PERTAMA

Oleh : Chandra Krisnawan
 

Ketika pertama kali datang ke tempat ini, aku segera terpesona oleh suasana sekeliling yang dibangun khusus untuk kami1. Dinding-dindingnya serba putih. Tidak ada satu hiasan dipasang di salah satu sudutnya. Beberapa sketsa dan lukisan hanya dipasang di gedung depan, gedung kepala panti, ruang berkunjung tamu, dan bagian administrasi. Juga meja dan kursi terbuat dari kayu, polos tanpa ada taplak penghias atau ornamen di sandaran kursi. Dan sejauh yang kuketahui dari pembicaraan beberapa orang di dalam gedung tadi semua itu adalah hasil kerja yang dilakukan oleh orang-orang di dalam.

Begitulah mereka menyebutnya, orang-orang dalam. Batas dengan dunia luar adalah tembok setinggi lebih dari dua meter. Kami dikurung di dalamnya. Atau sebaliknya, orang-orang dari luar jangan sampai mengganggu ketentraman dunia kami. Ketentraman penghuni panti yang damai dan bahagia!

Petugas lelaki yang menggandengku saat mengantarku kemari tak banyak bercerita. Jarang pula aku diajaknya bercakap. Pertukaran bahasa antara kami berlangsung melalui pandangan mata dan goyangan kepala, gelengan dan anggukan. Padahal dia sudah jauh-jauh menempuh perjalanan menuju perbatasan desa yang sunyi dengan truk dinasnya khusus untuk menjemputku di kandang ayam yang telah kubangun dari potongan-potongan kayu dan kain bekas.

Tapi biarlah. Petugas itu lelaki yang baik. Setelah memberiku pakaian dia membawakan sebungkus nasi dengan lauk daging segar. Sungguh merupakan kemewahan tersendiri bagiku mendapatkan pelayanannya! Ya, petugas itu adalah pelayanku. Negara melalui aparatur-aparaturnya merupakan pelayan bagi tiap warga negara, baik yang dikategorikan waras atau tidak. Baik yang dikategorikan ber-tempat tinggal atau pun tidak! Dan mereka boleh dikategorikan sebagai pelayan yang paling berjiwa sosial. Ketika yang lain sibuk memikirkan tempat-tempat yang basah agar bisa kecipratan proyek-proyek yang menghabiskan anggaran negara, mereka sibuk mengurus kami!

Dari gedung depan yang penuh dengan pigura-pigura dan bunga-bunga aku digandeng melewati koridor panjang. Lalu di depan sebuah bangunan panjang petugas itu memintaku duduk di atas dudukan dari semen. Tidak ada papan nama di tiap pintu yang kudapati seperti halnya kasie urusan ini dan itu seperti di gedung utama tadi. Lalu dia memanggil seorang lelaki yang sedari kami keluar dari gedung utama terus mengikuti kami dan yang sekarang berdiri agak jauh. Dia menyuruh lelaki itu untuk mengawasiku sementara dia akan membuat laporan penerimaanku di sini.

Dalam hati aku tersenyum. Bahkan nyaris mendekati tawa ejekan. Rupanya di sini aku mesti diawasi dan dilaporkan. Apakah aku termasuk orang liar yang perlu diawasi tingkah lakunya agar tidak membahayakan orang lain? Pada siapa pula aku akan dilaporkan? Pada anggaran-anggaran yang akan membiayai kebutuhan makanku di sini? Baru kali ini aku mendengar perintah agar aku diawasi, seolah aku hendak berbuat makar! Padahal yang perlu diawasi adalah orang-orang yang dengan kekuatan modalnya mengusir kami dari rumah kami sehingga kami harus menggelandang! Mereka membuat kami kehilangan pikiran waras kami! Bukankah mereka sering meneriakkan, “Kalau kami waras tentu kami akan menerima uang yang ditawarkan daripada bertahan di atas tanah yang jelas-jelas bukan milik kami!” Tapi apakah tanah itu juga milik mereka sehingga mereka merasa berhak membongkar rumah yang kami tempati puluhan tahun?

Setelah kepergian petugas itu, penghuni-penghuni panti lain yang semula melihat dari jauh perlahan-lahan mendekat. Seorang perempuan berdiri merapat dinding sambil terus memandangiku. Juga penghuni-penghuni panti lain memilih tempat masing-masing yang lebih dekat untuk mengawasiku. Mereka mengawasiku dengan diam. Aku heran, apakah tidak ada niat dari mereka untuk sekedar bertanya dari mana aku datang? Juga pengawas baruku yang telah mendapat mandat, dia memandangiku terus menerus tanpa mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Alangkah berbelitnya memulai percakapan antara kami!

Menghadapi situasi seperti ini, darah dalam dadaku serasa mendidih. Aku malu. Benar-benar malu. Di luar sana belum pernah aku dipermalukan seperti ini! Pernah puluhan orang mengepungku untuk menangkapku karena aku terus berteriak-teriak. Tapi puluhan orang itu punya tujuan sama terhadapku: mendiamkanku. Karena itu aku tahu bagaimana menghadapi puluhan orang itu ketika tangan-tangan mereka mulai mengcengkram tiap bagian tubuhku. Aku bisa meronta sekuat yang aku mau dari tenaga yang bisa dilontarkan oleh tubuhku. Tapi bagaimana menghadapi kepungan orang-orang yang tidak punya tujuan dan tidak jelas apa maksudnya mengepungku?

Aku ingin tertunduk. Tidak ingin lain. Tapi sebungkus nasi berlauk daging yang mengisi perutku sebelumnya menjadikan amarahku memiliki kekuatan berlipat. Aku tahu aku dapat menindas masing-masing orang yang matanya mengepungku tanpa hasrat itu. Aku yakin mereka dapat aku kalahkan dengan kepalan tangan yang telah dilumuri sekepal daging. Aku hendak bangkit. Dan yang pertama menjadi sasaran kemenanganku adalah lelaki yang mendapat tugas untuk mengawasiku.

Kulayangkan tamparanku hingga mengenai bagian atas telinganya. Lelaki itu tersungkur dan mengerang kesakitan. Belum puas aku tubruk tubuhnya yang jatuh itu dengan seluruh berat badanku. Aku ingin membalaskan dendam padanya karena sedari awal hingga akhir dialah yang terus menerus menatapku serupa itu. Mungkin pengawas ini telah menyuruh penghuni-penghuni lain untuk merubungku tanpa sepengetahuanku. Maka kutumpahkan seluruh hasratku untuk mengalahkan tatapan yang mengelilingiku padanya. Juga dendamku pada orang-orang yang menyebabkanku kehilangan tempat tinggal hingga terdampar di tempat ini. Semua itu kutumpahkan padanya. Padanya seorang...!

Para pengerumun itu segera berteriak-teriak dan melarikan diri. Di bagian sana, orang-orang yang tidak ikut mengerumuniku juga ikut lari mengetahui kawan-kawannya berlari ketakutan. Mereka seperti lebah yang sarangnya terjatuh di tanah. Aku jadi ingat bagaimana perempuan-perempuan di kampungku berteriak histeris ketika rumah-rumah mereka diratakan sama tanah oleh tangan-tangan dingin excavator. Aku jadi ingat bagaimana anak-anak mereka ikut menangis melihat ibu mereka diseret menjauhi area penggusuran. Hanya saja akulah yang kini menjadi si tangan besi penghancur tempat tinggal.

Dan lelaki itu tidak mencoba melawanku. Dia hanya berusaha bangkit dan lari sambil terus meneriakkan erangan yang memilukan. Sayang, tiap kali berusaha bangkit sebungkus nasi yang menjadi kekuatanku terus merubuhkannya. Hingga pada suatu kali aku menubruknya hingga dia menabrak dinding. Setelah itu dia berhenti mengerang. Tubuhnya yang terbaring di tanah tidak mencoba lagi untuk bangkit. Baru aku sadar bahwa mungkin aku telah membunuhnya. Selama itu, kami telah berpindah tempat sejauh belasan meter dari tempat pertama kali dia kutampar.

Petugas yang datang belakangan terkejut melihat lelaki itu terbaring di tanah dengan hidung dan mulut berlumuran darah. Mengetahui hal itu mereka, para lelakinya, menjadi lebih siaga. Sedang petugas-petugas perempuan yang terlanjur datang ke sumber kegaduhan berlari kembali sambil berteriak-teriak memanggil nama seseorang.

Dua orang petugas lelaki yang tinggal segera mengambil sapu untuk dijadikan pentungan yang diarahkan kepadaku. Mereka mengancam dengan sapu-sapunya itu agar aku tidak berbuat macam-macam. Sementara beberapa orang di kejauhan sana bergerak memutariku.

Aku tidak melawan ketika satu dari beberapa orang yang memutariku menabrakku hingga jatuh. Lalu beramai-ramai mereka meringkusku dengan tangan dan pentungan. Dan dalam satu hentak dunia yang semula terang benderang ditimpa matahari menjadi gelap. Kepalaku terantuk tanah dengan keras.

Ketika tersadar lagi aku sudah berada di dalam ruangan yang gelap. Hari sepertinya sudah malam meski tak terasa benar. Cahaya lampu dari luar masuk melalui lubang-lubang angin di atas pintu. Dan pintu itu sepertinya menjadi satu-satunya pemandangan yang bisa kusaksikan di ruangan ini. Empat buah dinding, langit-langit, dan lantai, semuanya berwajah sama: mengurungku. Juga pintu itu ketika kepalaku masih terasa pening yang kulihat padanya seperti dinding-dinding dan langit-langit itu juga. Dia lebih mirip penjaga yang mengawasiku agar aku tidak meninggalkan ruangan ini.

Aku hanya bisa berbaring sambil menempatkan kepalaku sedemikian rupa agar luka di kepala yang sudah diberi perban itu tidak menimbulkan rasa sakit. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan selain berbaring! Bisa saja aku melihat-lihat luar dengan memanjat lubang-lubang angin di atas pintu. Dengan begitu aku bisa tahu seperti apa ruangan lain yang terletak di seberang ruang kosong di mana aku berada sekarang. Ini bisa dilakukan. Hanya saja kepalaku masih terasa sakit.

Tapi bayang-bayang tentang sesuatu yang berada di ruangan seberang itu tidak mau kubaringkan. Dia mengajakku keluar dari pintu dan menerka-nerka apa saja yang mungkin ada di sana. Barangkali di sana ada meja-meja dan kursi-kursi. Barangkali juga ada rak-rak dan lemari. Mungkin ada benda-benda yang bisa digunakan sebagai penyangga kepalaku untuk berbaring!

Di luar tidak terdengar suara. Bayanganku mengatakan bahwa ada beberapa orang di luar sana. Berbicara dengan berbisik-bisik atau dengan bahasa isyarat agar tidak didengar oleh telinga lain yang berada di dalam sini. Mungkin tiga atau empat orang berada di sana. Dan mereka tengah membicarakan lelaki yang dikunci di dalam ruangan karena baru saja menghajar kawannya sesama panti. Sial, ada orang yang sedang membicarakan aku dengan sembunyi-sembunyi!

Dengan sangat terpaksa kuangkat punggungku untuk mendengar lebih seksama lagi. Indraku yang lain kupadamkan untuk menguatkan pendengaranku. Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepengen2 perihal pergunjingan orang lain tentang aku. Ya, aku sangat berkepentingan dengan hal ini. Aku tidak ingin mereka keliru menilai aku!

Meski sudah kucoba dengan segenap kemampuan yang aku bisa, tetap saja pergunjingan itu tidak dapat aku dengar. Suara mereka terlalu lembut untuk telinga manusia. Atau, sebaiknya aku menggeser dudukku ke dekat pintu. Siapa tahu dari sana, dan ditambah dengan segenap kemampuan yang kumiliki, dapat kutangkap suara-suara yang menggunjingkan aku.

Hanya saja aku sangat malas bergerak meski hanya beberapa langkah saja. Kelembaman materi menguasaiku. Yang hendak kuperbuat selanjutnya adalah berbaring lagi sambil berharap suara-suara itu lupa dengan nada rahasianya sehingga meloloskan satu atau dua kata ke telingaku. Jika itu yang terjadi, itu akan cukup untuk membantuku menerka-nerka apa yang tengah digunjingkan tentang aku.

Sampai sekian lama kutunggu tak juga ada kelolosan kata-kata. Juga di luar sana, tidak ada suara manusia. Yang ada hanya deru mesin-mesin motor. Itu pun jauh. Kelewat jauh. seolah antara dunia di luar sana dengan di dalam sini tidak hanya dipisahkan oleh dinding. Di mana aku sebenarnya kini?!

Mengenai keberadaanku saat ini tak perlu diragukan: aku masih hidup. Dunia tidak terasa asing dan bisa kukenali; dinding, langit-langit, lantai, pintu, dan cahaya lampu yang menerobos masuk. Juga suara-suara di luar. Jelas aku masih berada di bumi tengah. Dan jika aku masih berada di bumi tengah, tentu nanti akan ada orang yang datang kemari membuka pintu itu dan membawaku keluar.

Itu nanti. Sekarang pikiranku membawakan sosok pengawasku tadi. Bagaimana nasibnya sekarang? Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja. Mungkin dia mengalami luka di sana-sini. Tapi dia harus tetap hidup dan bertingkah seperti sebelumnya, mengawasi tiap orang yang baru saja datang.

Entah kenapa sekarang aku merasa harus menjadi lebih simpati kepadanya. Dia memandangku dari mula sampai akhir hanya menuruti dorongan batiniahnya yang wajar. Dorongan batiniah itu mungkin rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang nanti akan menjadi kawannya, aku atau orang-orang baru yang akan datang.

Sebenarnya aku tidak tahu apakah dia berlaku seperti itu pada setiap orang yang baru datang. Mungkin kebetulan dia ada di sebelah pintu siang tadi, lalu mengikuti aku dan petugasku. Aku rasa dia ingin berbicara denganku. Mungkin bertanya nama, asal, dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini. Mungkin dia ingin berkata bahwa dia dan aku bernasib sama di jalinan benang yang berbeda. Mungkin masih banyak lagi yang hendak dia tanyakan padaku.

Tapi tingginya dorongan batiniah yang ada pada dirinya tidak serta merta diungkap lewat bahasa. Padahal bahasa perlu untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Bisa saja aku meracau dengan bunyi-bunyi aneh seperti mantra. Tapi aku akan segera meninggalkannya karena aku yakin itu hanya cara bagiku untuk menarik perhatian orang padaku. Ya, seharusnya setelah petugas itu menyerahkanku padanya dia mesti bertanya sesuatu padaku. Itu akan lebih mudah meski belum tentu juga kutanggapi ajakannya berdialog. Paling tidak inisiatif harus dia yang memulai karena dia yang pertama mengajakku saling adu pandang.

Kenapa kau hanya diam dan menatapku, hai, pengawasku? Apakah dengan pandanganmu itu kau dapat menaksir seluruh diriku? Bahkan petugas-petugas yang telah mencatat data-dataku dengan lengkap saja tidak dapat menjawab jika pada mereka ditanya: dari mana asalnya gelandangan yang satu ini? Juga orang-orang yang telah melapor kepada petugas, yang menurut mereka keberadaanku mengganggu ketentraman kehidupan warga sekitar. Aku hanya kebetulan lewat dan menemukan ada tempat kosong di antara belukar-belukar tinggi yang lalu kudirikan kandang ayam untuk tidur. Aku menyebutnya kandang ayam karena memang frasa itu mengena dan lazim digunakan di dunia sastra.

Jadi kalau melalui dialog saja mereka tidak dapat menemukan jawab yang dicari, bagaiamana kau, dengan hanya tatapanmu, dapat mengetahui siapa aku, hai, pengawasku?

Keluar dari ruangan ini aku harus memperbarui hubunganku dengan pengawasku. Aku akan meminta maaf padanya dengan caraku sendiri, cara seorang penyair. Akan kulambungkan dia dengan kata-kataku, dan kutempatkan di bagian paling tinggi dalam hatiku. Lalu aku, dengan kekuatan yang telah kutunjukkan pada setiap orang dilingkungan ini, akan menjadi pelindungnya yang setia. Aku akan menjaganya dari tingkah orang-orang sepertiku!

Ya, aku bisa melakukan ini! Ini akan menjadi peran yang menarik untuk dijalankan...

Tengah asyik memikirkan peran baru yang bakal kuemban, terdengar derit sebuah pintu dibuka. Bukan pintuku, tapi pintu lain di luar ruangan. Deritnya benar-benar menggangguku hingga membuatku heran, bagaimana aku bisa yakin bahwa engsel itu menderita karena beban pintu yang dibuka? Bagaimana otakku bisa menarik kesimpulan bahwa suara itu adalah suara pintu sedang aku berada di ruangan lain yang tak dapat meyakinkan diri dengan penglihatan bahwa suara itu adalah suara pintu? Juga bagaimana otakku mempercayai jika itu suara sebuah pintu, jenis pintu yang terbuka pula? Apakah kecendrungan sebuah pintu adalah tertutup sehingga ketika dia bersuara maka suaranya itu adalah suara yang menyatakan bahwa dirinya sedang dibuka?

Lalu terdengar langkah kaki bergerak masuk; benarkah? Suara klik yang sedetik kemudian diikuti padamnya lampu di luar. Pekat menyelimuti ruangan di mana aku berada. Lalu kudengar langkah kaki diangkat, sangat lembut, mendekati pintuku. Apa yang hendak dia caro di balik pintu itu dalam gelap? Lagipula, bukankah lubang kunci di jaman ini tidak dapat digunakan untuk meneropong ruang di baliknya? Apa dia ingin mendengar suara dengkurku untuk memastikan bahwa aku masih hidup? Kenapa tidak membuka pintu itu dan memeriksa keadaanku dalam keadaan terang benderang disinari lampu bertemperatur enam ribu lima ratus kelvin? Bukankah lampu-lampu di jaman ini memiliki tingkat penampilan warna yang di atas delapan puluh persen, artinya apa yang dilihat di bawah sinar lampu itu kebenarannya mendekati penglihatan di bawah terangnya sinar matahari?

Dia diam di balik pintu sana. Aku pun diam di dalam sini. Kami sama-sama diam. Aku rasa dia tahu bahwa aku juga mengetahui keberadaannya. Karena itu dia memilih mengendap-endap ketimbang membukakan diri. Oh, hubungan antar manusia yang berliku...

Cukup lama juga kami berdiam diri. Lalu kudengar langkah kaki menjauh dan pintu terbuka kemudian tertutup. Terakhir yang kudengar darinya adalah suara slot pintu dikunci. Setelah itu keheningan sempurna. Suara televisi yang jauh tidak mendapat tempat dalam perhatianku karena itu bukan duniaku.

Setelah hening tiba untuk pertama kalinya dalam ruangan ini kubangkitkan tubuhku. Aku hendak merabai pintuku dan memanjat lubang angin di atasnya. Kini setelah benar-benar yakin bahwa di luar tidak ada orang aku ingin memastikan seperti apa ruangan di luar itu.

Aku harus benar bahwa di sekelilingku hanya ada kesunyian. Aku harus pasti tentang ini! Sebab hendak kuhidupkan sosok pengawasku dalam ruangan ini. Juga petugas yang menjemput dan menggandeng tanganku. Juga orang-orang yang kutemui atau sekedar menatap padaku. Juga keputusan pengadilan yang memenangkan gugatan atas tanah yang menurut badan pertanahan belum pernah diterbitkan surat-suratnya. Aku hendak bercakap-cakap dengan mereka. Ini kuperlukan supaya aku tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Lagipula di dalam kesunyian, berbicara dengan sesuatu dapat membantuku melewatkan berat yang menekan dada.

Yang pertama muncul dari diriku setelah turun dari lubang-lubang angin adalah senyum tipis. Lalu tawa yang kelewat samar. Dan dengan makin tegasnya sosok petugasku, tawaku mengeras. Pengawasku mendekat dengan takut-takut. Juga pegawai kelurahan yang menunjukkan keberadaanku kepada petugasku. Lalu bergantian datang manusia-manusia akrab dari masa lalu. Kecuali kematian istriku, aku ingin semua itu hidup kembali....

Eh, aku gembira karena kini bertambah beberapa kawan baru. Aku harap mereka tak bosan-bosan mengunjungiku ketika hening melarutkan aku. Apalagi ini adalah malam pertamaku di tempat baru.

Surabaya, 05 Mei 2015

 

1) Ditulis dengan ingatan pada cerpen Iwan Simatupang yang berjudul Lebih Hitam dari Hitam

2) Dikutip dari sajak Chairil Anwar yang berjudul Malam Di Pegunungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar