Oleh : Chandra Krisnawan
Sehabis hujan. Udara basah
melukis wajah
Supinah dengan warna lebar kelabu
di atas genangan air. Rembang
remang. Angin merabung. Berlindung
di teras toko yang tutup Supardi
tidur di atas becak.
Gadis-gadis melintas. Jalanan
lecah. Debu terbenam. Butir-butir air meluncur
dari ujung talang. Pecah membisu.
Lukisan wajah Supinah koyak
dibelah roda.
Supardi bermimpi di siang sehabis hujan.
Punggungnya yang melingkar membawanya
terbang. Kakinya yang terangkat mencelup bening
air kali. Tubuh-tubuh gadis muda
mandi, bersembunyi di balik
belukar yang terlindung.
Di sana dada muda Supinah
dirayu air.
Supinah! Supinah! Supinah!
Mengapa dulu tak terjawab pinanganku
Mengapa dulu kau jawab
geliat berahi kota.
Keping-keping es kembali memadat di langit
februari. Badai terbentuk dalam sekejap
ketika Supinah
yang dulu dipuja
menggoyang kaki Supardi. Tapi
ragu dan undur kembali.
Karena Supardi tengah merayu
gadis di dalam kali.
Mungkinkah Supardi bermimpi bersama Supinah
tamasya ke luar negeri,
mengunjungi kota-kota asing. Tidur
di atas ranjang penuh bunga.
Lalu menua
dalam pelukan anak cucu
yang menyanjung namanya?
Tidak! Mimpi Supardi adalah mimpi kayuhan
becak. Menggotong tubuh Supinah
yang dilapisi gincu tebal, dari
kamar kecil di lorong kota
menuju dingin rel kereta malam hari
atau hitam pekuburan kota.
Tidak sekali-kali! Tentang kamar bercahaya sejuk
tiga ribu kelvin, mimpi Supardi.
Tapi, sesekali, tentang tanah yang belum
dia punya. Sesekali pula
tentang rumah dari batu bata.
Juga tentang angka-angka buntut.
Dan ketika bertemu lagi dengan Supinah
malam itu di pekuburan kota
terpisah setelah bertahun-tahun, mimpi itu
tentang dada muda Supinah
yang dirayu air kali
di tepi desa.
Hujan kembali turun. Panjang dan kerap.
Biji-biji badai berbenturan.
Angin bersabung. Pohon
tumbang.
Ledakan dekat dengan jantung.
Supardi terbangun
ketika Supinah yang jongkok
di dekat becak menatap langit
dengan mata nanap.
“Malam ini tak ada kayuhan becak”
Katanya kepada Supardi
lewat retakan petir
bertumpu tumpukan badai.
Surabaya, 17 February 2017
* Naskah ini mendapat penghargaan sebagai juara III lomba cipta puisi Fester tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Teater US dalam rangka Dies Natalis Universitas Surabaya yang ke-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar