Minggu, 07 Januari 2018

BALADA TARWIYAH TUA DAN GUBUKNYA


Oleh: Chandra Krisnawan

Ribuan lembar polimer yang tersangkut
di padang sampah
mendesah disapu suku-suku angin malam hari. Igau gelisah
memalut tidur. Pucuk-pucuk daun lamban berembun.

Dengut kidung malam bergelayut

dari musim hujan yang sudah. Bulan juni seiras rayu
lewat kata-kata merdu.

Dingin! Dingin yang purba dan liar. Dingin
dari tahang kemelaratan. Dingin yang tak hanya dingin.

Dingin lewat sulur-sulur gaib turun merusuk
Udara penuh arus aroma sampah membusuk
Langgam hari pekat melapuk

Dua matahari telah terbenam ke pangkuan alam
Dua matahari menanam benih ke dalam rahim. Dua matahari
meninggalkan di atas ruang yang bergolak, anak-anak

Tarwiyah tua menatap dinding di hadapannya
Dinding pembatas dari bangunan yang ditinggalkan
Dinding yang belasan tahun jadi tulang punggung gubuknya
Kini pucat terkapar di tanah

Kilau limau di langit pudar
Bulan bagai biji nikel membara

Bulan yang selalu luput kita tatap
Bulan yang tersiah kerling bayang-bayang kota

Kerling bayang-bayang kota menyanjung pembangunan
Pembangunan memuja gedung-gedung batu dan jalan-jalan aspal
Gedung-gedung batu dan jalan-jalan aspal mengepung dinding
kemiskinan. Kemiskinan sembunyi bagai kepinding
di bawah lempitan tilam

Dan ketika pembangunan meminta ruang
Ribuan gubuk digeser dan digusur. Digusur dan
diuruk. Diuruk dan digulung
bagai ampas sejarah. Bagai tak pernah nyata


Amboi, suara kemarin, hari ini, dan esok;
gedung-gedung baru nan megah
mengapa mesti menggilas gubuk-gubuk reyot?

Wujud-wujud puja menggeliat. Tiang-tiang
pancang melesak. Mesin-mesin berat
berkelebat. Tulang-tulang
baja gemerencang. Atap seng berkerencang.
Usuk bambu berderit. Dinding
tripek dan gedek gemeretak.
Beban jalan menekan punggung gubuk Tarwiyah tua

Tinggi dan jenuh, dan air yang sarat salah arah
Menghempas dinding ke tanah
Patah
Rebah

Bumi boleh ambles beriring derak kayu roboh
Atau debam batu-batu raksasa yang runtuh
Atau gemeleduk guruh di balik timbunan mendung

Juga matahari! Biar karam terjunam sama semburat
nuansa kelamnya.
Tapi tidak dengan gubuk Tarwiyah tua

Tidak sekali-kali dengan gubuk itu!
Juga tidak dengan bilik anak-anak menyemai mimpi
Tidak pula dengan tanah berpijak bagi batang rumput tua

Disauknya batu selingkaran tangan
Dihalaunya duka yang mengangkangi reruntuhan
Dihantamnya kegelapan. Ditumplaknya serapah.
Wahai, pembangunan mengapa mesti mencebik
kemelaratan?

Tapi hanya ada gemerusuk lembar-lembar polimer
Amuk jatuh di padang sampah
Kata pulang ke pangkal

Lelah dan kalah. Dan sendiri. Dan dingin.
Gelung rambut jatuh. Pesta kebak topeng dan taifun
tuntas. Tarwiyah tua tunduk.

Dari dalam gubuk baru terdengar suara memanggil

Suara anak perempuan yang putus sekolah
Suara gadis pekerja berumur belasan tahun

Suara seorang kakak yang meninggalkan adik
perempuannya bermain di tengah onggokan sampah kota

“Mak! Mak, tidur! Hari sudah malam.
Nanti kau masuk angin.”

Suaranya ulem namun pilu
Meriak telaga di dada

Tarwiyah tua memuja Zat Agung. Sukma sang rangda
berlapik hening. Nasib dan peruntungan
ke langit jua menjalanya.

“Duh, Gusti! Kawinkan segera anakku
Supaya mentas dari nestapa tempat ini.”

Doanya naik ke langit menunggang cahaya
Dalam lipatan detik memintas bimasakti

“Mak, Mak! Lekas masuk!”
Suara itu lekat selayak denging di telinga sendiri

Rembang lengang. Padang sampah menyisih.
Larik-larik lumen melemah.

Dua perempuan merangkum ruang yang sama
Satu mengibai emaknya

yang lain meratapi masa depan anaknya
– “Gubuk mana akan menampung mereka kelak?”
Surabaya, Juni–Agustus 2017
* Naskah ini masuk dalam 100 nominasi terbaik lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Himprobsi UNS tahun 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar