Senin, 15 Januari 2018

KAWAN SAYA DAN SAYA

Oleh: Chandra Krisnawan

Tiga puluh dua tahun. Apa yang sudah dilakukannya selama itu? Di tahun perkawinannya yang keempat ini, anak perempuannya sudah berumur tiga tahun. Hidupnya berkecukupan dengan gaji dan tunjangan teratur setiap bulannya. Tidak ada badai konflik dalam perkawinannya kecuali percekcokan kecil saja. Ditambah lagi setiap bulan tabungannya terus bertambah. Bisnis sampingannya juga tengah melonjak belakangan ini: batu akik.
Orang-orang di kampung banyak yang memuji mertuanya. Bagaimana tidak: menantu yang tampan, sabar, penurut, dan terutama berpenghasilan besar dan teratur. Berpenghasilan teratur dengan caranya sendiri merupakan jaminan untuk hidup lebih mewah dari yang mungkin bisa didapat. Rumah bisa dipenuhi berbagai perabot hanya dengan satu jurus: slip gaji. Surat sakti zaman ini. Terlebih jika anda bekerja di lingkungan dinas.
Dengan slip gaji pemberi hutang bisa mengukur kemampuan anda membayar. Bahwa sekian persen digunakan untuk kebutuhan dan sekian persen cukup untuk untuk membayar angsuran. Apalagi jika pembayaran angsuran dilakukan dengan tertib. Di akhir masa angsuran akan ditawari lagi hutang dengan jumlah yang lebih besar. Masuk akal memang. Lebih mudah bagi pemilik modal untuk memberi pinjaman kepada orang yang memiliki kemampuan melunasinya.
Apabila anda bertanya tentang dirinya kepada tetangga-tetangganya atau orang-orang yang mengenalnya mereka akan menjawab: hidupnya sudah mapan. Yang mana merupakan impian setiap kepala keluarga. Saya sendiri, meski tidak sependapat dengan kemapaman itu, sering mengiri padanya.
Saya yakin banyak orang diam-diam mengiri padanya. Bagaiamana tidak, di kota besar seperti ini anda tidak perlu memikirkan sesuatu yang krusial: tempat tinggal. Ketika orang lain menyisihkan uang yang didapat untuk biaya sewa tempat tinggal bulanan atau tahunan, dia menggunakannya untuk urusan lain yang menguntungkan: batu akik. Ketika orang lain harus tinggal berjubel dalam satu ruang yang sempit, dia duduk dengan lega di halamannya yang lebar. Dan kesehatan istri dan anak telah dijamin oleh asuransi.
Dan perlu saya kemukakan pandangan kawan saya mengenai pekerjaan sampingannya itu. Sering kawan saya berkata, kalau tidak dapat dikatakan berpesan, setiap orang harus memiliki bisnis sendiri yang dikembangkan sejak awal ketika masih muda. Harapannya nanti ketika masa pensiun tiba bisnis telah berkembang sedemikian rupa. Juga agar ada kesibukan yang menghasilkan sesudah pensiun.
Pendeknya, menantu idaman mertua melekat pada dirinya. Dan status sebagai suami dambaan istri disandangnya. Apabila anda kebetulan kenal dengan kawan saya ini, tentu anda akan setuju dengan pendapat saya. Meski sering pendapat itu saya benarkan untuk menindas kejengkelan sendiri. Kejengkelan yang lahir dari rasa putus asa: anda jengkel pada seseorang karena sebenarnya anda ingin menjadi seperti orang itu tapi anda tidak mampu melakukannya.
Saya akui saya memang tidak mampu. Tapi bukan diri saya yang hendak saya ceritakan di sini. Melainkan kawan saya yang pandai–bahkan istri saya pun sering memuji kepandaiannya dengan gaya berkelakar. Terlebih kalau uang belanja yang saya berikan tidak sesuai dengan harapannya.
Sangat wajar jika seorang lelaki dinilai dari kemampuannya menghasilkan uang. Bukan berarti perempuan mata duitan. Saya enderung akan menyalahkan gadis-gadis muda yang mengatakan bahwa materi atau uang bukan yang utama. Benar, memang bukan yang utama. Tapi tanpa uang tidak akan pernah ada yang utama. Saya yakin mereka masih polos dan sedang dimabuk asmara. Impian hidup berdampingan dan bercinta-cintaan sepanjang waktu dengan pujaan hatinya telah menenggelamkan kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya akan nampak ketika petang telah berlalu. Dan itu sudah terlambat karena mereka sudah beranak pinak.
Tidak ada yang salah dengan pandangan gadis-gadis itu. Malah saya bersyukur mereka berpikir seperti itu!
Suatu hari karena sedang merasa jengkel dengan istri, saya nongkrong ditempat penyelepan batu kawan saya. Sore tadi istri saya berkata, minggu depan waktunya bayar ongkos sewa kamar. Dan kaji Imam dua hari lalu mengatakan bahwa renovasi rumah yang rencananya akan saya kerjakan mulai minggu depan harus diundur entah sampai kapan. Padahal hasil dari pekerjaan renovasi itu saya rencanakan untuk membayar uang sewa.
Jika keadaan di rumah seperti ini hal terbaik yang bisa dilakukan adalah pergi keluar. Seolah-olah melarikan diri dari masalah dan membiarkan istri saya menghadapinya sendirian. Tapi dalam situasi seperti ini, di mana saya dan istri saya sama-sama tidak memiliki daya untuk memecahkan persoalan, menjadi pilihan yang tepat untuk tidak meneruskan pembicaraan. Pengalaman membuktikan jika pembicaraan itu dilanjutkan tentu akan mengarah pada persoalan-persoalan lain. Pertengkaran yang tidak perlu mudah tersulut karena hal-hal seperti ini. Ditambah lagi ada sosok suami idaman yang pandai dalam kepala istri saya.
Di tempat penyelepan saya menerka-nerka kehidupan batin sang suami idaman. Tampak bagi saya dia begitu teguh dan gagah. Seolah-olah paku bumi yang terus bergerak menembus tanah mengikuti kehendak palu godamnya. Dan dia memiliki cita rasa yang tinggi terhadap seni. Ini diakui oleh hampir setiap orang yang mengenalnya. Dia bisa membaca motif-motif acak pada batu akik yang belum terbentuk dan menjadikannya manis diatas emban ikat. Proses pembentukan batu akik itu sendiri memerlukan keuletan dan daya tahan seorang seniman. Sehingga batu akik yang dihasilkan berbentuk simetris dan elok dipandang. Orang-orang mengelu-elukan kemahirannya ini sehingga lambat laun pelanggannya menjadi makin banyak.
Hanya ada kami berdua di tempat penyelepan di halaman rumahnya malam itu. Batu yang dikerjakan sebagian besar merupakan pesanan. Pernah kami, saya dan beberapa tentangga, mengusulkan agar dia membuka penyelepan di pinggir jalan sana. Toh di mana-mana lagi marak. Tapi kawan saya menolak dengan mengatakan, tanpa repot-repot membuka lapak di pinggir jalan saja pekerjaan sudah kewalahan.
Memang benar. Setiap malam ba’da isya kawan saya ini selalu terlihat duduk di depan mesin gerinda mengerjakan batu. Kecuali ada keperluan lain, bisa dipastikan dia ada di sana setiap hari. Dan dia bekerja tanpa harus diganggu pelanggan yang menunggui pekerjaannya. Ini segi menguntungkan lainnya. Dengan begitu hasilnya rapi dan bagus karena pengerjaannya tidak terburu-buru. Dan bukan maksud saya mempromosikan kawan saya ini kepada anda, sama sekali bukan. Yang hendak saya sampaikan adalah: usaha sampingannya itu menjadi hiburan tersendiri bagi kami, saya dan para tetangga di sini.
Selalu ada kopi gratis di sini. Kali ini hanya satu gelas yang disuguhkan oleh istrinya, untuk saya. Entah ke mana tetangga yang biasa berkumpul di sini. Dan istrinya...saya tidak hendak memberi gambaran tentang istri kawan saya. Tapi sekiranya istri saya mau berias seperti itu, tentu tidak ada pekerjaan yang lepas dari tangan saya. Ah, rumah tangga yang komplit. Istri mengeluh, suami mengeluh!
 “Apa saja, Mas, yang sudah dihasilkan dari batu?” tanya saya.
“Apa yang bisa didapat dari batu, Mas?” jawabnya.
“Bisa saja, Sampeyan.” Kataku. “Kalau tidak menghasilkan, kok mau repot-repot tiap malam ngeloni batu.”
Kawan saya tertawa kecil dan menyuruhku mengambil kotak berisi batu yang sudah dibentuk di dalam rumah. Biasanya sesudah itu saya akan diminta untuk memoles batu-batu itu. Tidak ada upah untuk pekerjaan ini. Saya pun tidak mengharapkannya. Saya mengerjakannya karena kesenangan, kalau tidak dikatakan untuk membuang waktu dengan sia-sia. Lagipula tidak enak juga berdiam diri sementara kawan saya bekerja. Apalagi segelas kopi sudah tersaji. Dan dia sering mempersilahkan mengambil batu yang saya suka meski saya sering menolaknya.
Jadi demi melupakan jatuh tempo sewa rumah, istri yang cemberut, pekerjaan kaji Imam yang lepas, segelas kopi yang disuguhkan, dan yang lain-lainnya saya melakukan pekerjaan memoles batu untuknya. Saya jadi bertanya-tanya. Apa yang dilakukan istri saya untuk menghadapi persoalan-persoalan yang ada dalam benaknya?
“Sudah keluar plat nomor motor barunya?” tanya saya disela-sela pekerjaan.
“Sudah. Tapi belum saya pasang. Lagipula motor itu yang pakai istri saya. Jadi tidak akan pergi jauh-jauh. Paling-paling buat pergi ke pasar. Atau nanti kalau Zahra sudah sekolah dibuat untuk mengantar sekolah.”
Jadi transportasi sekolah anaknya sudah mulai diperhitungkan sejak saat ini, pikirku. Kalimat tentang transportasi sekolah itu tentu hanya pemanis percakapan. Supaya percakapan mengalir dengan hangat. Seharusnya saya merespon dengan memberi kata lain yang tidak berarti benar. Tapi saya hanya diam dan itu membangkitkan suasana tidak nyaman. Terlintas juga dalam pikiran saya bahwa kawan saya ini sekarang sedang memikirkan bahwa istri saya kelak akan mengantar anak saya ke sekolah dengan berjalan kaki, hal yang sebenarnya sangat wajar.
“Wah, sudah banyak juga ternyata tabungan Sampeyan,” kataku setelah diam agak lama.
“Kerja banting tulang kalau tidak untuk anak dan istri untuk siapa lagi,” katanya.
Lagi-lagi kata-katanya mendarat di bagian yang rentan dalam diriku. Dalam situasi sekarang, kata-kata itu seperti pukulan mata palu yang meleset dan mengenai jari-jari. Anda tidak bisa marah pada siapapun karena diri anda sendirilah yang melukai jari-jari anda. Marah pada situasi yang mengharuskan anda memaku dalam posisi yang tidak biasa, atau marah pada pikiran anda karena melayang-layang entah kemana ketika tengah menghantamkan mata palu ke kepala paku yang menyebabkannya melesat, adalah sama dengan menghantamkan kepalan tinju ke dinding.
“Jadi, inilah lelaki sejati!” Pikir saya. “Lelaki yang tahu kewajibannya pada anak dan istri dan sanggup memenuhinya.”
Tak lama kemudian istrinya keluar dengan piring penuh kue-kue. Sekarang tiba-tiba giliran anak perempuan saya tiba-tiba duduk di samping piring berisi kue. Sekiranya anak itu ada di sini tentu dia akan memandang saya dan dengan pandangannya itu bertanya, “apakah aku boleh mengambilnya?” dan saya akan menjawab, ambilah satu dan harus dihabiskan. Kawan saya tentu akan menyuruh anak saya menghabiskan semua kue itu.
Tapi anak saya berada di rumah bersama ibunya. Terkurung atau mengurung diri di sana, dua manusia itu. Seandainya tidak ada persoalan jatuh tempo ongkos sewa, saya akan mengajak anak saya kemari. Dan sekarang perut kecilnya akan merasakan hangatnya kue-kue itu. Tapi saya keluar karena jengkel dengan ibunya, atau entah karena apa. Akibatnya anak saya harus menderita juga akibat kejengkelan saya yang tidak beralasan. Dan sekarang anak saya menatap saya dengan matanya, duduk diam di sudut sana.
Jadi, kembali ke awal, sudah cukup banyak yang dikerjakannya di umurnya yang tigapuluh dua tahun itu. Sudah banyak pula yang dihasilkannya. Dan, sejauh pengakuannya, dia merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Jika pertanyaan yang diajukan, apa yang sudah dikerjakannya selama tigapuluh dua tahun hidupnya, kawan saya dapat menyebut dengan mudah barang-barang yang dimilikinya, simpanan di bank, jabatan yang disandangnya, asuransi kesehatan anak istrinya, dan semuanya itu konkret. Tidak sekedar ide abstrak yang sukar dibuktikan.
Belum lagi tanah kavling yang telah dibelinya tahun lalu. Rencananya dalam waktu dekat dia akan membeli lagi satu petak tak jauh letaknya dengan tanah yang sudah dibelinya. Untuk investasi, katanya. Dan saya yakin, seandainya mungkin dia akan membeli lebih banyak petak lagi. Atau kalau perlu hektar. Uh, tanah-tanah yang dibeli bukan untuk ditinggali tapi untuk menyimpan kelebihan uang yang ada sementara di bagian lain manusia harus tinggal berjubel dalam satu kamar sempit dan berjuang membayar sewanya. Tetangga sesama penyewa yang kemaren mengeluhkan dalam waktu dekat ongkos sewa akan dinaikkan, melintas di depan kami.
Tentu tanah-tanah itu adalah untuk anak cucunya kelak, sebagamana dikatakan kawan saya. Seorang lelaki memang harus berpikir dan bertindak tidak untuk generasinya saja. Tapi harus berpikir dan bertindak untuk satu atau dua generasi berikutnya.
Pendeknya, terjawab sudah pertanyaan itu dengan mudah. Dialah anak idaman bangsa yang bersemboyan kerja, kerja, kerja dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Saya yakin anda akan setuju. Sedang untuk saya, jika anda menanyakan hal yang sama pada saya, itulah saat saya harus mengakhiri tulisan ini.
Hari sudah larut. Istri saya akan membiarkan saya mengetuk pintu agak lama. Tapi biarlah karena mungkin itu caranya membalas saya. Dan esok pekerjaan dapat dipastikan rampung. Sorenya tinggal berhitung upah dengan pemilik rumah. Pulang dengan sejumlah uang tentu sangat membantu sebelum didapat kepastian pekerjaan baru dari kaji Imam atau dari yang lain.
Surabaya, 07 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar