Kamis, 18 Januari 2018

CELOTEH CAK OERIP: CAK OERIP MEMAKNAI PEMBANGUNAN


Bagi Cak Oerip, kota tidak hanya dipahami sebagai tempat di mana dia beserta para tetangga, beserta seluruh penduduk kota bermukim di salah satu sudutnya. Meski sudut itu kecil sekali pun dan nyaris tak tampak dalam peta tata kota. Pula tidak hanya dipahami sebagai pusat pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu. Atau sebagai motor penggerak produksi di mana pusat-pusat industri berada di dalamnya. Lebih dari itu, bagi Cak Oerip, kota juga dipahami sebagai tempat berkumpulnya modal sekaligus simbol-simbol yang direpresentasikannya.
Cak Oerip ingat, dulu ketika zaman penjajahan masih berlangsung Pemerintah Kolonial banyak menjadikan nama-nama Gubernur Jenderal mereka sebagai nama-nama jalan di kota ini. Daendels Straat misalnya, yang diambil dari nama Gubernur Jenderal yang telah membangun jalan raya pos mulai dari Anyer sampai Panarukan. Kini Daendels Straat telah berganti nama menjadi Jalan Imam Bonjol. Juga Speelman Straat, yang diambil dari nama penandatangan perjanjian Bongaya, yang kini jadi jalan MH. Thamrin. Atau juga Van Hogendorp Laan, Van Riebeeck Laan, yang masing-masing kini telah berubah nama menjadi Jl. RA. Kartini dan Jl. WR. Supratman. Penggunaan nama-nama Gubernur Jenderal itu tentu saja karena para Gubernur Jenderal itu telah banyak berjasa atas usahanya mencengkramkan kuku kolonialisme di Nusantara. Mereka merupakan pahlawan bagi bangsa mereka sendiri.
Pada masa itu banyak nama jalan di kota ini dinamai dalam nama-nama Belanda atau diambil dari nama-nama Belanda. Baik di ‘kota bawah’ seperti Heerenstraat, Boomstraat, Dwarstraat, atau pun HandelStraat. Nama-nama itu kini diubah menjadi jalan Rajawali, Branjangan, Mliwis, dan Kembang Jepun.
Begitu juga di ‘kota atas’ sebagai bagian dari perkembangan kota seperti Reinier 52 Boulevard yang kini diubah menjadi jalan Diponegoro. Juliana Boulevard yang kini menjadi Jl. Kombes Pol. M. Duryat, mau pun Anita Boulevard yang kini menjadi Jl. Dr. Soetomo. Sayangnya, Anita Plein yang terletak di tengah-tengah Anita Boulevard tidak diubah nama menjadi–misalnya saja– taman Dr. Soetomo mengikuti nama jalannya. Taman ini kini bernama taman Korea. Dinamakan demikian karena taman ini merupakan salah satu bentuk atau simbol persahabatan antara Indonesia dan Korea.
Cak Oerip berpikir, “Kenapa tidak dinamakan saja taman Dr. Soetomo yang dibangun atas kerjasama Indonesia-Korea.” Padahal seperti sudah diketahui Dr. Soetomo merupakan salah satu tokoh pergerakan dari kota ini. Ya, ya, Cak Oerip menggeleng-gelengkan kepala. “Taman Korea; bagaimana jika dinamai taman Dr. Soetomo?” tanya Cak Oerip Sekali lagi. “Siapa tahu dengan nama itu, semangat perjuangan yang digelorakan oleh Dr. Soetomo terus bergaung sampai generasi mendatang,” imbuh Cak Oerip.
Belum habis keheranannya, Cak Oerip ingat beberapa waktu lalu dia mengajak Iqbal, cucunya, berkeliling-keliling kota. Sekedar mengisi waktu di malam hari setelah sehari bekerja. Lagipula Iqbal terus mengganggu Yu Nipah, neneknya. Daripada bocah kecil itu mendapat semburan sakti dari si nenek, Cak Oerip mengajaknya keluar. Setelah mengenakan jaket dan helm, meluncurlah mereka berdua di jalan-jalan kota yang gemerlap.
Kota telah banyak berubah dibanding ketika Cak Oerip lebih muda dulu. Tapi Cak Oerip tidak terkejut dengan perubahan itu. Tiap hari toh dia melintasi jalan-jalan kota dan melihat pembangunan di mana-mana. Juga jalan-jalan dilebarkan, sungai-sungai ditutup jadi jalan, taman-taman kota diperbanyak dan diperindah. Bahkan tempat yang dulu merupakan timbunan sampah kota di daerah Keputih sana kini telah disulap menjadi taman. Juga wisata kampung nelayan, hutan mangrove di pesisir pantai timur Surabaya. Dan yang paling dahsyat, mega proyek yang telah puluhan tahun lalu direncanakan kini berdiri dengan anggunnya melintasi selat Madura menjadi simbol bagi Jawa Timur: jembatan Suramadu.
Tidak bisa tidak, Cak Oerip bangga dengan semua itu. Bangsa yang sekitar tigaperempat abad lalu berada di bawah kekuasaan penjajah, kini telah mampu membangun sebuah jembatan yang melintasi sebuah selat. Bukan main-main: selat! Yang dilintasinya bukan sekedar sungai atau bengawan, tapi bagian laut yang terapit di antara pulau Jawa dan Madura. “Bodohlah orang yang tidak bangga,” pikir Cak Oerip.
Sekali pun bangga dengan kemajuan yang dicapai bangsanya, tapi bukan itu yang Cak Oerip tunjukkan pada Iqbal, cucunya, ketika mereka berkeliling-keliling kota malam itu. Cak Oerip tidak menunjukkan kepada cucunya itu, misalnya saja aneka bunga yang ada di taman Korea. Juga Cak Oerip tidak menunjukkan kepada cucunya kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan Tunjungan. Apalagi tempat hiburan seperti Surabaya Carnival.
Bukan, bukan! Bukan itu yang ditunjukkan oleh Cak Oerip pada Iqbal, cucunya. Yang ditunjukkan Cak Oerip pada cucunya adalah tempat-tempat sunyi dan gelap sepanjang bantaran sungai. Sambil mengemudikan sepeda motornya perlahan-lahan, Cak Oerip bercerita bahwa tempat gelap yang membuat Iqbal takut itu dulu merupakan kampung tempat bermukim orang-orang seperti Cak Oerip si kakek dan Iqbal sang cucu. Begitu juga Yu Nipah, si nenek beserta bapak, ibu, paklik dan bulik-buliknya.
Juga dengan bantaran sungai di bagian timur, yang kini terdapat gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya, Cak Oerip bercerita hal serupa pada Iqbal. Cak Oerip bercerita pula bahwa di perkampungan yang telah digusur itu dulu bermukim beberapa orang kawannya. Kawan-kawan yang setelah dulu digusur dari bantaran sungai itu lalu digusur lagi yang membuat mereka harus mau berbagi tempat dengan mereka yang berumah di dalam tanah.
“Mbah, kenapa kok digusur?” tanya Iqbal ingin tahu.
Cak Oerip ingin menjawab karena sekarang ada gedung-gedung pencakar langit. Kalau di seberang gedung-gedung itu terdapat puluhan gubuk, tentu gedung itu akan kesulitan untuk dijual. Nilainya akan turun. Dan tidak ada yang mau berinvestasi di sana. Kalau sudah begitu, penanaman modal akan berkurang dan menyebabkan pembangunan di negeri kita berhenti. Padahal kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan. Tapi yang terucap hanyalah, “Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan.”
“Merdeka, Mbah, kita sekarang,” sahut Iqbal.
“Ya, sekarang kita sudah merdeka, Le. Meski orang kecil digusur-gusur sementara modal dari luar digadang-gadang,” jawab Cak Oerip.
“Seharusnya, Le, kita harus bisa berdikari, berdiri di atas kaki sendiri,” lanjut Cak Oerip setelah beberapa saat diam. “Bapak Bangsa kita tak henti menyerukan berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Kita sebagai bangsa yang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah harus bisa berdiri di atas kaki sendiri.”
“Berdiri di atas kaki sendiri itu seperti apa, Mbah?” tanya Iqbal.
“Ya, tidak hanya bergantung…”
“Koyok wong engkle ta?” tanya Iqbal polos, sebelum Cak Oerip sempat menerangkan lebih jauh mengenai berdikari.
Mungkin dalam benak cucunya itu ‘berdiri’ merupakan suatu bentuk sikap tegak di atas kaki. Ketika kata ‘bediri’ diikuti dengan frasa ‘di atas kaki sendiri’ yang terbayang dalam benaknya serupa berdiri dengan satu kaki seperti dalam permainan engkle pada anak-anak. Cak Oerip tertawa. Bukan karena keluguan pada pengertian cucunya itu. Tapi karena ternyata cucunya itu menyimak apa yang dikatakannya.
“Ya, benar,” pikir Cak Oerip kembali dari ingatannya ketika jalan-jalan bersama cucunya. Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan. Kota di mana Cak Oerip tinggal tak pernah berhenti membangun. Di banyak sudut telah berdiri gedung-gedung tinggi pencakar langit. Juga di banyak sudut, tengah berlangsung pembangunan gedung-gedung serupa. Jika kata ‘pembangunan’ dapat dimaknai  secara fisik sebagai pembangunan berbagai gedung mau pun infrastrukturnya, maka kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan-pahlawan bangsa, baik yang tercatat dalam sejarah mau pun tidak, baik yang dibaringkan di makam pahlawan atau pun di hutan-hutan sunyi yang menjadi basis kantung-kantung gerilya, juga mereka yang gugur di tempat-tempat pembuangan zaman kolonial, yang gugur tanpa kenangan seperti dalam kisah ‘Keluarga Gerilya’ karangan Pramoedya Ananta Toer, maka benar kemerdekaan itu telah terisi.
Sayangnya gedung-gedung megah itu tidak berkesempatan untuk diakses oleh sebagian besar rakyat. Apa pun yang ditawarkan oleh gedung-gedung itu baik melalui koran-koran nasional, lokal, atau pun lewat baliho-baliho raksasa di belantara kota, tidak terjangkau oleh daya beli sebagian besar rakyat. Rakyat memang telah bebas mendapatkan hak-haknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Juga diberi hak untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Apalagi hak untuk memilih presiden dan wakil rakyat mereka, sesuatu yang pada zaman sebelum kemerdekaan merupakan mimpi. Tapi rakyat juga harus dilindungi kekuatan modal!
“Mungkin mendengar nama gedung-gedung baru itu mereka sudah ketakutan,” celoteh Cak Oerip.
Bagaimana tidak! Nama-nama itu terdengar asing bagi rakyat yang selama hidupnya hanya mengenal Bahasa ibu dan bahasa pemersatu: Indonesia. Entah apa yang terlintas di benak mereka ketika mendengar misalnya: expo, grand, golden, trade center, town square, multipurpose, atau pun sport center, yang bisa ditemui di belantara kota. Apalagi mendengar nama yang terkesan angker bagi kantong-kantong mereka: Istana Kaya!
Kenapa tidak menggunakan nama untuk gedug-gedung itu, misalnya saja gedung serba guna Kyai Hasan Mukmin dari gedangan, yang dengan nama itu api penindasan melawan penjajah berkobar di dalamnya. Atau kenapa tidak menggunakan nama pusat perbelanjaan Mang Aen, yang konon merupakan seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno pada masa pergerakan. Kepada siapa sebenarnya pembangunan gedung-gedung baru itu akan ditawarkan? Kepada Mang Aen, kepada anak cucu pengikut Kyai Hasan Mukmin yang ikut memberontak terhadap penjajah, kepada mereka yang gubuk-gubuknya digusur, atau kepada siapa?
“Jadi,” kata Cak Oerip hendak mengakhiri renungannya. “Pembangunan saat ini telah terasing dari rakyatnya sendiri. Kemegahan kota hanya dinikmati oleh sedikit orang saja. Sedang sebagian besar lainnya hanya menyaksikan kemegahan itu dari jauh. Kalau bukan pembangunan yang terasing dari rakyat, apa ini namanya!?”
Surabaya, 29 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar