Rabu, 24 Januari 2018

CELOTEH CAK OERIP: MEMIKIRKAN CAK SAS

Oleh : Chandra Krisnawan

“Aduoh!” teriak Cak Oerip dibarengi klontangan perkakas kerja dan ambruknya tangga almini. Kontan kawan-kawannya yang mendengar teriakan itu melempar perkakasnya dan berlari ke arah sumber suara.
“Ono opo, Mbah?” teriak Wawan melihat Cak Oerip duduk bersimpuh di lantai. Tangga almini ambruk persis di sebelahnya.
“Tibo ta, Mbah?” tanya Cahyo gantian.
Cak Oerip masih meringis sambil memegangi tangannya yang disembunyikan di antara kedua pahanya. Dia melambaikan tangannya untuk menjawab pertanyaan kawan-kawannya yang ingin tahu.
“O, Cak Oerip wes nyerah,” Celetuk Cahyo yang biasa diboncenginya. Melihat Cak Oerip masih meringis sambil menahan tawa mereka merasa lega. Pasalnya kekawatiran akut yang mereka duga tidak terjadi: Cak Oerip jatuh dari tangga. Sudah jelas bagi mereka kini, tangan Cak Oerip terkena palu.
“Opo mari ndelok demit, kok melambaikan tangan?” imbuh Cahyo yang diikuti tawa kawan-kawan lainnya.
“Yo awakmu kabeh iki demite. Ono wong kelaran kok malah ngguyu-ngguyu. Wes, golek-golek kopi kono, mari iki lautan. Aku tak leren sek.”
“Mangkane, Mbah, lek malu itu ojo mbayangno majalah-majalah nang prapatan kono,” goda Cahyo.
Sial, pikir Cak Oerip. Cahyo tahu saja kalau tiap kali lewat di persimpangan sana dia menyempat-nyempatkan melirik majalah-majalah yang dipajang di atas kaki lima. Majalah-majalah yang sampul depannya selalu berhias perempuan-perempuan cantik nan aduhai. Perempuan-perempuan  muda dengan pakaian yang kelewat ringkas dan tipis. Perempuan-perempuan yang lekuk tubuhnya menantang darah dalam dada tua Cak Oerip. Entah bagaimana dengan anak-anak muda yang fantasinya masih bebas nan liar!
“Gundulmu!” umpat Cak Oerip sambil melangkah keluar.
Tapi Cahyo memang benar. Ada sesuatu yang tengah dipikirkan Cak Oerip ketika sedang memaku tadi. Perintah otak kepada tangan untuk menghantam paku dan memikirkan cerita kawannya Cak Sas semalam, awalnya bisa diatur. Tapi setelah sampai pada hantaman kesekian paku-paku itu tak juga mau melesak masuk. Dindingnya seolah hanya meringis menghadapi pukulan maut Cak Oerip.
Hal itu membuat jengkel Cak Oerip. Juga cerita Cak Sas semalam membuatnya geram, entah pada siapa. Kejengkelan dan kegeraman yang bertemu, menggeser arus otot-otot tak sadarnya sekian desimal milimeter hingga meleset dari sasaran dan mengenai ibu jarinya. Itulah kenapa ibu jarinya jadi korban siang ini.
Sementara kawan-kawannya merapikan perkakas, Cak Oerip menyalakan rokok di luar. Dia rebahkan punggungnya di atas alas kardus bekas di bawah rindang pohon jambu. Ingatannya melayang pada Cak Sas sambil berharap kawan-kawannya segera mencari makan agar dia bisa menitip minyak param untuk memar di ibu jarinya.
“Rasa-rasane aku kenek bujuk, Cak,” kata Cak Sas pada malam sebelumnya.
“Kenek bujuk yak opo, Cak?”
“Kapanane aku melok daftar program seng jare ngewangi manungso. Tak itung-itung olehe lumayan, telung puluh prosen soko duwek seng disetorno. Sopo seng gak pengen, Cak! Ndekek sewu dadi sewu telung atus. Ndekek sepuluh ewu, dadi telulas ewu.”
“Enak tenan, iso tambah akeh duwekmu,” kata Cak Oerip.
“Itung-itungane ngunu, Cak. Tapi keri-keri iki koyokane rodok macet programe. Bandha seng tak jegurno wes kadhung akeh.”
“Piro?”
“Akeh! Pokoke kenek gawe tuku bakso sak rombonge.”
“Lha, terus kebujuke piye?”
“Lha yo iku, Cak. Mestine aku oleh telung puluh prosen. Tapi babar blas ora nompo. Tak cek bolak-balik a-te-emku nganti isin mbek arek kasire mart, yo panggah ora ono sing transper. Lha kok ndilalah,krungu kabar sisteme kres.”
“Kres koyok sepor?”
“Kiro-kiro ngono. Dadi kudu ono seng dikalahno salah siji cek gak tabrakan.”
“Terus duwek bandha peno gak kenek dijupuk?”
“Jare kancaku seng wes senior, sek diupayakno duwik iku iso balik. Aku yo percoyo ancen nang bab ngene iki aku babar blas ora paham. Mari ngono aku oleh kabar lek duwekku iso mbalek bandha. Tapi gak rupo duwek, tapi rupo modal gawe mlaku ngono maneh nang sistem seng anyar.”
“Malah enak, Cak, duweke sek mlaku terus diuterno maneh.”
“Masalahe aku wes kadhung cegek, Cak. Akhire aku yo miker ngene. Aku ndekek duwek sewu, olehe sewu telung atus. Ndekek sepuluh ewu, dadi telulas ewu. Duwek telung atus mbek telung ewu mau duweke sopo? Lek ono wong sepuluh ndekek sepuluh ewu edhang, seng telung puluh ewu iku duwek teko ngendi? Opo yo temen ono wong ngekei duwek cuma-cuma jaman saiki?”
“Sak jane aku yo wes eruh lek ono program iku. Wes ono wong telu lek gak papat seng ngeyel ngejak aku. Nanging ndelok judule mau aku langsung wegah. Ngewangi wong liyo kog ngarep-arep balen telung puluh prosen.
“Lek kanggo aku, Cak, pokok seng mambu-mambu ngunu iku tak guwak adoh-adoh. Lek dipiker ancen penak: meneng-meneng oleh duwek. Wong kene sedino nekuk-nekuk geger mek wolong puluh ewu bayarane. Tapi lek dikongkon mileh, aku panggah mileh seng nekuk-nekuk geger nadyan abot,” celoteh Cak Oerip.
Cak Sas hanya diam mendengar Cak Oerip bicara. Kalau saja dia tidak tergoda dengan tiga puluh persen-tiga puluh persen yang bakal didapat, tentu dia tidak akan merasa menyesal sekarang.
Perhitungannya ketika akan mengikuti program itu sederhana. Dia akan menombok sekian, lalu dalam hitungan sekian bulan dia menaksir uangnya akan berlipat menjadi sekian-sekian sehingga cukup untuk dijadikan modal buat buka warung makanan di rumahnya.
Tapi harapannya kini musnah. Sebuah sistem yang sedang kres, menurut istilahnya sendiri, melindas harapannya. Apalagi sebagian dari uang yang digunakan untuk ikut didapat dari pinjaman. Perhitungannya: sekian persen yang didapat akan digunakan untuk membayar angsuran hutang itu. Sekarang tabungannya raib dan tagihan hutang tidak mengenal sistem yang kres. Di luar sana, entah berapa orang yang senasib dengan Cak Sas.
“Ikhlasno, Cak! Ayo bab iki digawe tuladha, kanggo peno uga kanggo aku,” kata Cak Oerip. “Ojo gampang percoyo marang janji-janji lamis.
“Lek aku oleh cerito titik ae, Cak, elek-elek ngene aku yo tau mangan bangku sekolah. Jaman biyen calo-calo kuli podho njanjeni bayaran gedhe nang wong-wong seng gelem melu dadi kuli kebon nang Sumatra kono. Kanggo wong seng bludrek kangelan nggolek sandang pangan nang kampung asale, sing sawahe entek ditukoni pabrik lan gudang, sing lemah garapane didol mbek juragane, sing omahe nang duwur-duwur tangkis kali digusur-gusur terus, omongan iku mau iso dadi pangarep-arep. Seng dipikir gampang, mengko lek wes oleh bayaran bakal kirim duwek nang kampung. Malah ono seng diboyong sak anak bojoe amargo pengen golek pangan enak,” kata Cak Oerip meski uraian contohnya melebar.
“Ndilalah, Cak, bareng teko nggon, ojok maneh kirim duwek, iso turu angler ae wes apik. Urip gak tambah penak malah tambah sengsoro. Syukur iso ngirimi, nompo bayaran jangkep wes bagus. Wong durong nompo bayaran utang gawe bendino wes nglumpuk sak gunung anakan. Bayaran sing sisa titik digawe seneng-seneng, malah nambah utang jebule.
“Durung maneh cara kerjo dadi kuli kebon jaman londo. Lek gak entek diperes keringete yo durung oleh leren. Lek loro gak entuk obat malah oleh potongan bayaran. Hukumane yo sadis, Cak, lek nglakoni salah. Ono seng dipecuti, ono sing digepuk penjalin, wes ngeri pokoke.
“Maksudku ora ape mateni kakarepanmu ngupoyo upo. Nanging sing ngati-ati, ojo gampang percoyo marang janji-janji seng unine marai cepet sugih. Lek pengen cepet sugih dalane yo mung korupsi. Utowo ngemplang duwek pajek. Utowo ndodoli aspal nang ndalan-ndalan, cek wong sepedaan keblowok,” celoteh Cak Oerip malam itu kepada Cak Sas.
Tapi siapa pun yang membuat ide itu memang patut diacungi jempol. Ada hasrat dalam diri manusia untuk terus memupuk kekayaan setiap ada kesempatan. Ada keinginan untuk mendapatkan uang lebih banyak, apalagi jika ada tawaran dengan cara yang mudah. Terlebih bagi orang yang ingin menjadi kaya dalam waktu singkat. Hasrat itu dieksplorasi dengan memanfaatkan perhitungan-perhitungan piramida berantai. Selama masih ada keinginan untuk mendapat uang dengan mudah, perhitungan-perhitungan seperti itu akan laku dan terus berkembang dan menemukan bentuk-bentuknya yang baru.
Esok siangnya karena memikirkan berapa banyak uang Cak Sas yang hilang, ibu jari Cak Oerip harus menjadi korban. Seandainya kemaren malam Cak Sas tidak datang, atau seandainya Cak Sas tidak ikut-ikutan program itu, atau seandainya program itu tidak ada, atau seandainya Cak Oerip tidak repot-repot memikirkannya, mungkin jempolnya siang ini masih bisa diacungkan kepada Cahyo yang membawakannya sebungkus nasi, kopi hitam, minyak param, dan dua lembar handiplas bergambar.
“Kampret, aku dikiro arek cilik, ditukokno handiplas ngene,” rengek Cak Oerip.

Sabtu, 20 Januari 2018

KARSAN

Oleh: Chandra Krisnawan

Aku tidak suka anak-anak ini. Anak-anak usia dua puluhan. Anak-anak yang terlalu sering menggunakan kaos hitam. Anak-anak yang mencat rambut mereka, bercelana ketat, berkalung mirip anjing, melobangi kuping, hidung, bibir. Singkatnya berpenampilan aneh dan serampang. Anak-anak yang membedel knalpot motornya, mengebut dengan suara tarikan gas menggereng-gereng di jalan-jalan kampung. Anak-anak yang kelewat menonjolkan diri mereka, memadankan diri sebagai antonim dari nilai-nilai, lawan dari kemapanan, dan, pada akhirnya, ialah anak-anak yang, sekaligus dengan bangga, sanggup membantah apa-apa yang dikatakan orang tua. Anak-anak kemaren sore, merasa tidak puas di rumah lalu bertindak liar di luar dengan berbagai bentuk dalih kebebasan dan pelarian.
Di warung kopi ini sesekali mereka berkumpul; membicarakan pengalaman-pengalaman pahitnya, luka-lukanya; mengatakan segala yang dialami dengan bangga. Seperti badai besar pernah melanggar mereka, dan berseru bahwa mereka ialah orang-orang tangguh. Lalu, seperti menyerukan pada siapa saja di sekitarnya, aku misal: bagaimana denganmu? pernah kamu alami satu hal membanggakan yang bisa kau ceritakan pada kami atau orang-orang lain? pada anak-cucumu? pernah kau bertarung membela nilai-nilai yang kau yakini? Lalu cerita-cerita tentang orang tua, jalanan, perempuan, perkelahian dan tawuran, dan lainnya dan lainnya.
Cerita-cerita mereka makin gagah, lantaran yang lain menceritakan pula kisah-kisah lain. Biasanya masing-masing akan menyimpannya, kemudian menyampaikannya pada anak-anak sebaya lain yang mengajak mereka bercakap-cakap, terlebih anak-anak yang akan masuk dalam kelompok mereka. Akan mereka ceritakan kawan mereka sebagai si ‘A’ yang pernah ini dan itu; akan mereka ceritakan kejadian-kejadian yang melibatkan orang-orang berpangkat, bajingan-bajingan besar; akan mereka ceritakan orator-orator ulung di tengah demonstran, dan melanjutkan dengan kisahnya sendiri. Dengan begitu dia akan mendapat simpati dari si tercerita, yang pada gilirannya si tercerita akan mengisahkan kisah-kisah yang dialami si pencerita sehingga nampak hubungan dan kebenaran ini dari yang diucapkan dulu.
Orang-orang seperti mereka ini terlalu takut ceritanya tidak diterima. Mereka butuh lebih dari apa yang disebut sebagai tawa pembenaran. Sering mereka tambahkan dalam cerita mereka kalimat-kalimat seperti ‘tanya saja si A’, ‘saya tahu sendiri’ atau, jika si tercerita menanggapinya dengan santai ‘memang susah kalau tidak melihat sendiri’; dan bagaimana pun variasi kalimat semacam itu. Dan karena anak-anak baru ingin diterima dalam kelompok, kebohongan besar dalam cerita mesti diterima sebagai kenyataan, yang dilanjutkan dengan kebohongan lain.
Aku sering tersenyum mendengar cerita mereka. Kutanyakan pada diriku sendiri: tidak bisakah kita hidup tidak dengan pengalaman-pengalaman besar, cerita-cerita hebat, tindakan-tindakan mengesankan, dan ide-ide brilian yang menawan? Kalau mereka pernah bekerja seharian dengan lutut gemetaran yang disembunyikan, dan pulang menghadapi penagih yang berteriak-teriak di depan pintu, sedang tetangga dari dalam kamar kosnya tidak mungkin tertutup telinganya, mereka akan diam sekarang. Atau, setidaknya, mereka akan berjalan dengan kepala rikuh jika bersimpang seseorang di jalan. Ya, berjalan menunduk dan rikuh…tidak lempang begitu saja di antara orang ramai; malu karena gagal memukul seorang penghina! Oh, mereka terlalu muda untuk menyadari keterbatasannya sebagai satu titik di bawah busur langit yang tak terbatas.
Lihat! Sekarang mereka bicara perempuan! Risih juga mendengarnya meski di sini siapa pun boleh bicara dan apa saja.  Pewarung, perempuan tiga puluhan, terpaksa terlibat. Warung itu kecil. Hanya ada pewarung (aku tidak tahu apakah dia betah dengan pelanggannya yang ini: aku tidak ingin menunjukkan pada pewarung ketidaksukaanku pada anak-anak itu dengan menanyakan pendapatnya; tidak perlu ada keberpihakan), mereka, dan beberapa orang lain yang tak begitu penting seperti aku. Kadang lebih baik bersikap diam meski itu bukan emas sekali pun!
Dengan kenes pewarung itu berusaha membelokkan percakapan mereka. Tapi sebaliknya, malah mensahkan itu semua. Makin tak karuan. Astaga, tidak pantas perempuan secantik dia tercebur dalam perbincangan cabul! Sesuatu yang lebih cantik dalam dirinya yang tidak pantas diucapkan…pembicaraan itu bisa mengarah ke sana!
Seseorang membayar jajannya dan pergi. Seorang lagi mengikuti dengan menyembunyikan cibirnya. Mungkin merasa risih juga, atau –atau itu tadi hanya kesan dari pikiranku yang kacau, sehingga melihat orang lain seakan-akan mencibir? Seorang lagi, selebihnya dari kelompok lima orang itu, ialah aku, membaca koran, menikmati rokok, dan kopi; berusaha untuk tidak bersikap mengintai percakapan mereka sekaligus: berbuat seperti aku tidak di sana.
Kopiku masih kurang dari separoh. Baru dua puluh menit aku duduk. Tapi lima belas menit terakhir membuatku tak jenjem. Entah mengapa aku tidak suka pada anak-anak ini. Tidak menyenangkan berada dekat-dekat dengan orang-orang semacam mereka. Mungkin karena sikap, tingkah laku, pakaian, asesoris, yang terkesan serampang. Mungkin karena mereka begitu ingin bersikap beda. Begitu ingin tampil unik. Begitu ingin dikagumi oleh anggota-anggota di dalam kelompok mereka, dan, pada akhirnya, oleh orang-orang di luar kelompok mereka. Lalu mencat rambut mereka, memberinya model tertentu, mengenakan gelang –karet, tali, atau besi– berlebihan, menggunakan kaos hampir selalu hitam, bercelana ketat, bersepatu. Memadankan diri mereka sebagai antonim dari nilai-nilai. Musuh dari kemapaman. Lawan dari keteraturan: enemy of the rule, dengan tulisan besar-besar. Seperti berkali-kali mereka katakan: tidak bermoral ialah bermoral, tidak beraturan ialah beraturan…cih, filsafah-filsafah obralan, tesis-tesis cempulang: terucap dari mulut-mulut mereka...
Sungguh, bukan ide-ide mereka yang aku tidak suka; aku mengagumi logika berpikir biar pun hampir semua tindakanku lebih banyak dikuasai naluri; tapi akibat-akibatnya pada diri mereka. Dengan ide-ide semacam itu, mereka seperti membolehkan diri mereka untuk bertindak semau mereka. Bahkan kehendak-kehendak Tuhan pun mereka permainkan. Dengan itu mereka merasa menjadi orang hebat di tengah kelompoknya. Aku pernah mendengar mereka mengatakan, ‘Tuhan tidak adil karena tidak menciptakan selaput pada kita…’. Astaga, dari mana mereka mendapat kata-kata itu? Bagaimana bila kelompok itu buyar atau pecah, dan masing-masing memandang dunia sebagai murni satu individu? Menulis dalam tembok-tembok kota yang menyatakan ‘kami tidak mati’? Siapa akan mengatakan, di zaman ini, ‘bubarkanlah kelompok-kelompok  itu’, atau ‘cekal saja gembalanya’?
Sebenarnya aku sama seperti mereka. Aku suka mengkhayalkan bisnis, objekan, kisah-kisah besar dengan aku lakonnya, dan, tentu saja, perempuan. Tapi tak ada yang kucapai di kesemuanya itu. Pacar terakhirku, lima tahun lalu, kawin. Dan sejak kecil hidupku biasa saja, sedatar dan sesunyi jalan tol di atas warung ini dengan sesekali kecelakaan yang hanya diingat petugas jalan tol –sebagai bagian pekerjaan, dan, tentunya, masyarakat di sekitar jalan tol: yang sama dengan alam tak sadar dalam diriku (ada saat-saat tertentu di mana aku sangat iri dengan mereka). Tapi, dengan ketidakmungkinannya keadaanku sekarang…aku lebih memilih diam! Oh, betapa pencil dan hitam perasaan yang ‘kan terus dibawakan pelarian!
Kematian dua orang tuaku, aku hadapi dengan wajar. Tidak ada suasana mendalam yang kelewat larut. Pun tidak ada kesan-kesan kelabu: pemandangan senja muram di pelabuhan, kepak sayap kelelawar yang menjauh, sedih yang menggelora, musim yang mengental di atas kanvas… Mungkin karena mereka cukup menyayangiku. Tidak berlebihan, juga tidak sebaliknya, menuntut aku secara berlebihan. Tidak ada alasan bagiku untuk menahan mereka di dunia ini lebih lama. Apalagi menangguk sesal atas kesalahan, kebencian, dendam, dan sebagainya, yang belum terbayar semasa hidup mereka, yang membuat kita punya perasaan dan kesan-kesan mendalam pada orang-orang yang sudah meninggal, pada orang-orang yang tak mungkin lagi kita bertemu dan minta maaf padanya; pada orang mati. Apalagi tidak sesuatu pun ditinggalkan untuk dijaga selain kenangan yang terpelihara dengan sendirinya di dalam tempurung kepalaku. Oh, inikah perasaanku sesudah meninggalnya mereka…
Sekarang kembali pada hal-hal yang membuatku tidak suka pada anak-anak ini. Seorang petani melintas. Berkaos merah. Legam kulitnya. Menggenggam arit. Sebatang rokok terkantong di mulutnya. Di bawah panas jam satu siang. Seseorang dari mereka menyiulkan nada-nada dari lagu genjer-genjer..siapa pula yang mengajarkannya!
Luar biasa. Seorang dari mereka mencontohkan petani itu sebagai bentuk perjuangan hidup. Luar biasa. Sebab mereka menjadikan tiap tokoh yang mereka temui sebagai pengalaman hidup, patut dicontoh. Atau, sebaliknya, mesti dijauhi. Mesti dicap sebagai borok yang harus disembuhkan, dan dipotong dengan gagah dari tubuh sebagai tumpak hitam: selalu ada musuh bersama bagi mereka, atau, paling tidak, orang yang dengan gampang tindakannya mereka cela bersama. Jangan-jangan mereka pernah membicarakan aku. Sial, betapa mudah aku jadi perasa di tengah suasana ini!
Sesekali pewarung, perempuan manis bersuami itu menyela, menawarkan jajannya: ‘supaya tidak lapar ngomong terus’. Aku tersenyum ketika seseorang dari mereka nyeletuk: ‘jajan yang mana, mbak?’. Lalu mereka tertawa. Pewarung itu tersenyum, meski terlambat dan kikuk. Seorang dari mereka menasehati temannya tadi dengan kasar, dengan beberapa bentuk pisuhan di belakangnya: sebuah guyonan, sebab pewarung cantik itu akhirnya ‘ngerti yang dimaksudkan.
Kejadian itu terpaksa melibatkan aku dalam perhatian mereka. Mereka terlalu angkuh dengan menganggap lelucon itu bukan milik mereka sendiri. Sebaliknya, milik tiap orang yang ada di warung ini. Milik tiap orang yang mendengarkan. Dan aku tidak siap dengan keadaan baru ini. Aku menyadari tidak ada satu pun dalam diriku yang menonjol. Oleh karena itu mudah sekali diabaikan dan dilupakan dalam perhatian ramai. Dan aku tidak pernah ingin berada di antara anak-anak itu. Aktualitas ini mengguncangkan aku. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap, selain menunjukkan senyum pada mereka. Aku maki diriku sendiri setelah sempat tulus tersenyum tadi.
Setelah reda, mereka kembali berbicara dan bercanda. Sesekali terdengar pembicaraan kecil, mirip bisik-bisik. Kadang pembicaraan yang diam-diam itu, diikuti ledakan tawa. Kurang ajar! Apa yang harus disembunyikan di tempat ini, kecuali pembicaraan tentang orang-orang yang ada di sini, dan tentunya itu ialah tawa yang buruk. Tawa dari jenis yang mengejek. Bukankah tadi mereka berbicara dan tertawa dengan keras-keras? Tidak mungkin mereka merencanakan pencurian, perampokan, pembunuhan, apalagi sebuah kup. Siapa si terejek itu?
Jantungku berdebar. Kebencianku pada anak-anak ini… Aku selalu tidak suka pada orang-orang yang membicarakan sesuatu dengan suara-suara kecil, mirip bisik-bisik, dan menjaga suara mereka supaya tidak sampai ke mana-mana, sedang di sekitar ada orang lain yang tidak turut; orang-orang yang dengan sengaja mengucilkan orang lain, dan menjadikannya bahan pembicaraan mereka. Terlebih si terbisik itu ada di sekitarnya. Pun bukan itu yang dibisikkan, mau tak mau orang-orang di luar bisik-bisik, seperti aku sekarang misalnya, menganggap apa pun yang terbisik itu ialah dirinya. Maka, pembicaraan serupa itu sampai ke mana-mana dalam bentuk sangka buruk. Sangka buruk yang terlalu cukup untuk menyuburkan benci, dan ini di atas tanah yang bagus.
Tiba-tiba satu suasana mencekam. Seperti sudah kuperkirakan sebelumnya sebegitu anak-anak itu duduk tadi. Degap-degup jantungku mulai tak beraturan, mempertegas bentuknya pada dua tanganku. Aku berusaha keras meneraturkannya dengan menyatakan berulang-ulang, bahwa itu bukan aku, bukan keburukan-keburukanku. Tapi dari curian-curian pandang dan kata ‘masak’ berkali-kali yang meredam ledakan tawa mereka, membuat pola pacu yang kubangun rusak. Seseorang dari mereka memang mengenalku dengan cukup buruk…
Aku jatuhkan pilihan pada separoh kopi tersisa, meminta sebatang rokok, menyalakannya, bersandar, dan meneruskan membaca koran. Tak ada lawan bicara bagiku, kecuali berita-berita kabur. Makian lirihku mengundang senyum pewarung. Entah simpati atau tidak tahu harus bagaimana melihatku tiba-tiba meletup. Yang sedang kuusahakan: membuat makian tadi tertuju pada berita di koran. Bagaimana pun juga, aku tidak ingin pewarung tahu akulah yang dijadikan bahan tertawaan. Tiba-tiba saja aku merasa diriku konyol di depan semua itu.
Terlambat untuk berubah. Umurku tiga lima. Belum menikah. Kalau tiap manusia itu unik, mestinya mereka bisa bersikap sama bagusnya pada siapa saja.

Kamis, 18 Januari 2018

CELOTEH CAK OERIP: CAK OERIP MEMAKNAI PEMBANGUNAN


Bagi Cak Oerip, kota tidak hanya dipahami sebagai tempat di mana dia beserta para tetangga, beserta seluruh penduduk kota bermukim di salah satu sudutnya. Meski sudut itu kecil sekali pun dan nyaris tak tampak dalam peta tata kota. Pula tidak hanya dipahami sebagai pusat pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu. Atau sebagai motor penggerak produksi di mana pusat-pusat industri berada di dalamnya. Lebih dari itu, bagi Cak Oerip, kota juga dipahami sebagai tempat berkumpulnya modal sekaligus simbol-simbol yang direpresentasikannya.
Cak Oerip ingat, dulu ketika zaman penjajahan masih berlangsung Pemerintah Kolonial banyak menjadikan nama-nama Gubernur Jenderal mereka sebagai nama-nama jalan di kota ini. Daendels Straat misalnya, yang diambil dari nama Gubernur Jenderal yang telah membangun jalan raya pos mulai dari Anyer sampai Panarukan. Kini Daendels Straat telah berganti nama menjadi Jalan Imam Bonjol. Juga Speelman Straat, yang diambil dari nama penandatangan perjanjian Bongaya, yang kini jadi jalan MH. Thamrin. Atau juga Van Hogendorp Laan, Van Riebeeck Laan, yang masing-masing kini telah berubah nama menjadi Jl. RA. Kartini dan Jl. WR. Supratman. Penggunaan nama-nama Gubernur Jenderal itu tentu saja karena para Gubernur Jenderal itu telah banyak berjasa atas usahanya mencengkramkan kuku kolonialisme di Nusantara. Mereka merupakan pahlawan bagi bangsa mereka sendiri.
Pada masa itu banyak nama jalan di kota ini dinamai dalam nama-nama Belanda atau diambil dari nama-nama Belanda. Baik di ‘kota bawah’ seperti Heerenstraat, Boomstraat, Dwarstraat, atau pun HandelStraat. Nama-nama itu kini diubah menjadi jalan Rajawali, Branjangan, Mliwis, dan Kembang Jepun.
Begitu juga di ‘kota atas’ sebagai bagian dari perkembangan kota seperti Reinier 52 Boulevard yang kini diubah menjadi jalan Diponegoro. Juliana Boulevard yang kini menjadi Jl. Kombes Pol. M. Duryat, mau pun Anita Boulevard yang kini menjadi Jl. Dr. Soetomo. Sayangnya, Anita Plein yang terletak di tengah-tengah Anita Boulevard tidak diubah nama menjadi–misalnya saja– taman Dr. Soetomo mengikuti nama jalannya. Taman ini kini bernama taman Korea. Dinamakan demikian karena taman ini merupakan salah satu bentuk atau simbol persahabatan antara Indonesia dan Korea.
Cak Oerip berpikir, “Kenapa tidak dinamakan saja taman Dr. Soetomo yang dibangun atas kerjasama Indonesia-Korea.” Padahal seperti sudah diketahui Dr. Soetomo merupakan salah satu tokoh pergerakan dari kota ini. Ya, ya, Cak Oerip menggeleng-gelengkan kepala. “Taman Korea; bagaimana jika dinamai taman Dr. Soetomo?” tanya Cak Oerip Sekali lagi. “Siapa tahu dengan nama itu, semangat perjuangan yang digelorakan oleh Dr. Soetomo terus bergaung sampai generasi mendatang,” imbuh Cak Oerip.
Belum habis keheranannya, Cak Oerip ingat beberapa waktu lalu dia mengajak Iqbal, cucunya, berkeliling-keliling kota. Sekedar mengisi waktu di malam hari setelah sehari bekerja. Lagipula Iqbal terus mengganggu Yu Nipah, neneknya. Daripada bocah kecil itu mendapat semburan sakti dari si nenek, Cak Oerip mengajaknya keluar. Setelah mengenakan jaket dan helm, meluncurlah mereka berdua di jalan-jalan kota yang gemerlap.
Kota telah banyak berubah dibanding ketika Cak Oerip lebih muda dulu. Tapi Cak Oerip tidak terkejut dengan perubahan itu. Tiap hari toh dia melintasi jalan-jalan kota dan melihat pembangunan di mana-mana. Juga jalan-jalan dilebarkan, sungai-sungai ditutup jadi jalan, taman-taman kota diperbanyak dan diperindah. Bahkan tempat yang dulu merupakan timbunan sampah kota di daerah Keputih sana kini telah disulap menjadi taman. Juga wisata kampung nelayan, hutan mangrove di pesisir pantai timur Surabaya. Dan yang paling dahsyat, mega proyek yang telah puluhan tahun lalu direncanakan kini berdiri dengan anggunnya melintasi selat Madura menjadi simbol bagi Jawa Timur: jembatan Suramadu.
Tidak bisa tidak, Cak Oerip bangga dengan semua itu. Bangsa yang sekitar tigaperempat abad lalu berada di bawah kekuasaan penjajah, kini telah mampu membangun sebuah jembatan yang melintasi sebuah selat. Bukan main-main: selat! Yang dilintasinya bukan sekedar sungai atau bengawan, tapi bagian laut yang terapit di antara pulau Jawa dan Madura. “Bodohlah orang yang tidak bangga,” pikir Cak Oerip.
Sekali pun bangga dengan kemajuan yang dicapai bangsanya, tapi bukan itu yang Cak Oerip tunjukkan pada Iqbal, cucunya, ketika mereka berkeliling-keliling kota malam itu. Cak Oerip tidak menunjukkan kepada cucunya itu, misalnya saja aneka bunga yang ada di taman Korea. Juga Cak Oerip tidak menunjukkan kepada cucunya kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan Tunjungan. Apalagi tempat hiburan seperti Surabaya Carnival.
Bukan, bukan! Bukan itu yang ditunjukkan oleh Cak Oerip pada Iqbal, cucunya. Yang ditunjukkan Cak Oerip pada cucunya adalah tempat-tempat sunyi dan gelap sepanjang bantaran sungai. Sambil mengemudikan sepeda motornya perlahan-lahan, Cak Oerip bercerita bahwa tempat gelap yang membuat Iqbal takut itu dulu merupakan kampung tempat bermukim orang-orang seperti Cak Oerip si kakek dan Iqbal sang cucu. Begitu juga Yu Nipah, si nenek beserta bapak, ibu, paklik dan bulik-buliknya.
Juga dengan bantaran sungai di bagian timur, yang kini terdapat gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya, Cak Oerip bercerita hal serupa pada Iqbal. Cak Oerip bercerita pula bahwa di perkampungan yang telah digusur itu dulu bermukim beberapa orang kawannya. Kawan-kawan yang setelah dulu digusur dari bantaran sungai itu lalu digusur lagi yang membuat mereka harus mau berbagi tempat dengan mereka yang berumah di dalam tanah.
“Mbah, kenapa kok digusur?” tanya Iqbal ingin tahu.
Cak Oerip ingin menjawab karena sekarang ada gedung-gedung pencakar langit. Kalau di seberang gedung-gedung itu terdapat puluhan gubuk, tentu gedung itu akan kesulitan untuk dijual. Nilainya akan turun. Dan tidak ada yang mau berinvestasi di sana. Kalau sudah begitu, penanaman modal akan berkurang dan menyebabkan pembangunan di negeri kita berhenti. Padahal kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan. Tapi yang terucap hanyalah, “Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan.”
“Merdeka, Mbah, kita sekarang,” sahut Iqbal.
“Ya, sekarang kita sudah merdeka, Le. Meski orang kecil digusur-gusur sementara modal dari luar digadang-gadang,” jawab Cak Oerip.
“Seharusnya, Le, kita harus bisa berdikari, berdiri di atas kaki sendiri,” lanjut Cak Oerip setelah beberapa saat diam. “Bapak Bangsa kita tak henti menyerukan berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Kita sebagai bangsa yang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah harus bisa berdiri di atas kaki sendiri.”
“Berdiri di atas kaki sendiri itu seperti apa, Mbah?” tanya Iqbal.
“Ya, tidak hanya bergantung…”
“Koyok wong engkle ta?” tanya Iqbal polos, sebelum Cak Oerip sempat menerangkan lebih jauh mengenai berdikari.
Mungkin dalam benak cucunya itu ‘berdiri’ merupakan suatu bentuk sikap tegak di atas kaki. Ketika kata ‘bediri’ diikuti dengan frasa ‘di atas kaki sendiri’ yang terbayang dalam benaknya serupa berdiri dengan satu kaki seperti dalam permainan engkle pada anak-anak. Cak Oerip tertawa. Bukan karena keluguan pada pengertian cucunya itu. Tapi karena ternyata cucunya itu menyimak apa yang dikatakannya.
“Ya, benar,” pikir Cak Oerip kembali dari ingatannya ketika jalan-jalan bersama cucunya. Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan. Kota di mana Cak Oerip tinggal tak pernah berhenti membangun. Di banyak sudut telah berdiri gedung-gedung tinggi pencakar langit. Juga di banyak sudut, tengah berlangsung pembangunan gedung-gedung serupa. Jika kata ‘pembangunan’ dapat dimaknai  secara fisik sebagai pembangunan berbagai gedung mau pun infrastrukturnya, maka kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan-pahlawan bangsa, baik yang tercatat dalam sejarah mau pun tidak, baik yang dibaringkan di makam pahlawan atau pun di hutan-hutan sunyi yang menjadi basis kantung-kantung gerilya, juga mereka yang gugur di tempat-tempat pembuangan zaman kolonial, yang gugur tanpa kenangan seperti dalam kisah ‘Keluarga Gerilya’ karangan Pramoedya Ananta Toer, maka benar kemerdekaan itu telah terisi.
Sayangnya gedung-gedung megah itu tidak berkesempatan untuk diakses oleh sebagian besar rakyat. Apa pun yang ditawarkan oleh gedung-gedung itu baik melalui koran-koran nasional, lokal, atau pun lewat baliho-baliho raksasa di belantara kota, tidak terjangkau oleh daya beli sebagian besar rakyat. Rakyat memang telah bebas mendapatkan hak-haknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Juga diberi hak untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Apalagi hak untuk memilih presiden dan wakil rakyat mereka, sesuatu yang pada zaman sebelum kemerdekaan merupakan mimpi. Tapi rakyat juga harus dilindungi kekuatan modal!
“Mungkin mendengar nama gedung-gedung baru itu mereka sudah ketakutan,” celoteh Cak Oerip.
Bagaimana tidak! Nama-nama itu terdengar asing bagi rakyat yang selama hidupnya hanya mengenal Bahasa ibu dan bahasa pemersatu: Indonesia. Entah apa yang terlintas di benak mereka ketika mendengar misalnya: expo, grand, golden, trade center, town square, multipurpose, atau pun sport center, yang bisa ditemui di belantara kota. Apalagi mendengar nama yang terkesan angker bagi kantong-kantong mereka: Istana Kaya!
Kenapa tidak menggunakan nama untuk gedug-gedung itu, misalnya saja gedung serba guna Kyai Hasan Mukmin dari gedangan, yang dengan nama itu api penindasan melawan penjajah berkobar di dalamnya. Atau kenapa tidak menggunakan nama pusat perbelanjaan Mang Aen, yang konon merupakan seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno pada masa pergerakan. Kepada siapa sebenarnya pembangunan gedung-gedung baru itu akan ditawarkan? Kepada Mang Aen, kepada anak cucu pengikut Kyai Hasan Mukmin yang ikut memberontak terhadap penjajah, kepada mereka yang gubuk-gubuknya digusur, atau kepada siapa?
“Jadi,” kata Cak Oerip hendak mengakhiri renungannya. “Pembangunan saat ini telah terasing dari rakyatnya sendiri. Kemegahan kota hanya dinikmati oleh sedikit orang saja. Sedang sebagian besar lainnya hanya menyaksikan kemegahan itu dari jauh. Kalau bukan pembangunan yang terasing dari rakyat, apa ini namanya!?”
Surabaya, 29 November 2016

Selasa, 16 Januari 2018

RINDU YANG KAU TANYAKAN

Oleh : Chandra Krisnawan

Jika tentang rindu kau bertanya
Kuriwayatkan buatmu, hikayat
Hikayat petani pinggir kota
Petani gurem petani tak bertanah
Sepanjang petang, berlilit kain kusam,
Tatap panjang pematang
–jalan setapak kecil di atasnya–
Tiada kerbau tiada mata bajak
Tiada batang-batang tegak
Desir padi karam terbenam
Dikubur roda bermuatan batu dan abu

Jika tentang rindu kau bertanya
Untukmu ‘kan kulukis
Lapis-lapis kesuburan tanah
Yang kini berdarah
Dibedah paku-paku beton
Dari bajah dan semen

Mesin-mesin produksi berderu
Roda-roda gigi berputar
Berputar dan berderu tanpa bertanya musim
Tangan-tangan buruh berpacu
Tangan-tangan petani memburuh
Lelah dan ngilu
Melirik detik setiap waktu
Tanpa bertanya jam!
Lalu menua tiba-tiba
Betapa hampa kerja tanpa mencipta

Jika tentang rindu kau bertanya
Tiada perlu kau ragu, dada ini
Sebut namamu, hatinya
Meski tangannya jabat petani pinggir kota
Yang direnggut angkuhnya industri
Dan serakahnya kapitalisme,
Tangan dan tanahnya
Surabaya, 15 January 2017

* Puisi ini terkumpul dalam antologi puisi "Seharusnya Kita Tak Saling Rindu" yang diterbitkan oleh Rumah Kayu Pubhlishing tahun 2017.


MENDUNG PETANG HARI



Oleh : Chandra Krisnawan

Seandainya mendung yang sama
kita pandang, kawan
Padamu ‘kan kurawi
Wujud butir-butir es di langit
Bening warnanya dipalut kelabu
Kelam dan bisu
Padatkan diri dalam tebal kerinduan
Lalu pecah meledak
Jadi keping-keping hujan

Tapi tak ada hujan, gumpal-gumpal
Rindu lembam, tersapu angin
Tersisa gelap malam
Tinggal aku, sendiri, pandang
Pucat langit sampai ke tepi
Mencari gerimis mencapai teritis
Dan, buat kali kesekian,
Selamat tinggal!
Surabaya, 13 January 2017


* Puisi ini terkumpul dalam antologi puisi "Seharusnya Kita Tak Saling Rindu" yang diterbitkan oleh Rumah Kayu Pubhlishing tahun 2017.

SUATU PAGI, KARYONO

Oleh : Chandra Krisnawan

Tidak baik sepagi ini bagi Karyono mesti meladeni omelan istrinya. Sarapan tetangga bisa ketambahan bumbu obrolan. Dengan nada memutus persoalan, dia perintah supaya anaknya menunggu di tempatnya biasa mangkal. Pikirannya mendahului anaknya dan sampai terlebih dahulu. Sepagi ini, siapa mau memberi pinjaman meski cuma 10 ribu? Warung di pangkalan mau saja menghutangi segelas kopi, dan beberapa batang rokok jika perlu meski sering juga menggerutu. Tapi bukan uang!
Sebenarnya masih ada simpanan beberapa kilo plastik dan beberapa batang besi tua yang disimpan di salah satu rombong yang tak terpakai di sana. Hanya saja belum ada di antara pengepul-pengepul itu yang mau menerima rosok sepagi ini. Apalagi bobotnya tak seberapa. Paling banter dua digit di bawah seperempat kuintal. Nilai yang tak dapat menggugah pengepul-pengepul itu untuk mau memberinya uang sepagi ini.
Orang lain tentu tidak akan percaya bahwa dia kini tidak punya uang sepeser pun. Orang sering melihatnya duduk di kolong jembatan tol, main catur, meminum kopi, dan merokok. Siapa pun menduga dia bukanlah orang yang kekurangan. Paling tidak untuk rokok dan kopi. Pikiran ini terselempit juga di antara tetangganya yang mendengar pertengkaran tadi. Meski tidak jelas bagi mereka apa pekerjaan Karyono, selama ditemui dia seakan tidak pernah putus rokoknya. Dan hampir selalu didampingi kopi. Aneh bagi mereka karena kemaren malam dia bisa ngopi dan tertawa-tawa, tapi tidak bisa memberi sangu anaknya paginya.
Pukul 06.15 di pangkalan. Dikatakan pada anaknya bahwa hari ini libur saja dulu. Alasannya cukup jujur: ‘tidak ada uang’. Tapi sebagai lelaki tentu saja ada yang mesti disalahkan. Apalagi di depan anaknya sendiri. Tidak boleh keadaannya yang seperti ini diketahui anaknya. Perasaan malu mesti disingkirkan melalui penyalahan. Dan yang menjadi sasaran tentu saja istrinya, meski dia merasa tidak pantas istrinya mendapatkannya. Ah, istrinya tokh tidak ada di sini. Lagipula itu hanyalah kata-kata, tidak akan ada yang mendebatnya.
Dituturkan oleh Karyono, bahwa dia tidak tahu kalau ternyata ibu tidak punya uang. Sepengetahuannya, baru kemaren ibu diberi uang. Kalau tahu sekarang seperti ini, tentu kemaren malam dia masih bisa mencarikan uang untuk pagi ini. Begitu lanjutan tuturan Karyono pada anaknya.
Sebenarnya sudah dua hari Karyono tidak memberi uang pada istrinya. Empat hari lalu hujan turun deras. Itu berarti rezeki tersendiri bagi Karyono. Sungai yang mengalir di kolong jembatan ini sering membawa sampah, yang salah satunya sampah plastik. Sementara orang-orang lain sibuk menanggulangi banjir, dengan galah bambu sepanjang tiga meter yang diberi jaring kecil di ujungnya, Karyono disibukkan sampah plastik yang terbawa arus sungai yang naik. Dan hujan hari itu memberinya rosok yang lumayan. Ditambah dengan yang dikumpulkan sebelumnya, esoknya dia mendapat 65 ribu dan diberikan pada temannya yang membantunya membawa ke pengepul sebanyak10 ribu sebagai ‘ongkos bensin’.
Dari uang 55 ribu yang dipegangnya itu 30 ribu diberikan pada istrinya. Sedangkan sisanya untuk dirinya sendiri. Tidak baik bagi seorang lelaki tidak memegang uang. Warung di kolong jembatan ini juga sudah banyak menyimpan tagihan yang mesti dibayarnya. Tidak mengenakkan terus memupuk hutang. Apalagi tidak semua orang yang mangkal di sini mau membeli rokok pak-pakan dan menaruhnya di atas meja untuk dihisap bersama.
Bagi Karyono kawan pilihan selalu ada. Dia tidak akan mengeluarkan rokok dari kantongnya jika tengah bercakap-cakap dengan orang yang tidak begitu akrab dengannya. Menurutnya, tiap orang punya hitungan keuangan sederhana tersendiri. Mereka punya urusan lain di tempat lain, yang mana pasti disiapkan uang untuk itu. Salah satu dari urusan itu adalah jajan di warung ini. Sedangkan dia tidak ada urusan di tempat lain selain di sini. Segelas kopi yang dipesan bukan sekedar jajan, tapi juga kawan. Uang dan rokok yang dimiliki, akan dicukupkan untuk sepanjang siang, bahkan jika memungkinkan sampai malam. Jadi tidak perlu menawari pada kawan seperti ini rokok miliknya. Bahkan kalau bisa dia mesti mendapat yang sebaliknya dari kawan jenis ini.
Jenis kawan lain adalah yang biasa mangkal di sini juga, yaitu orang-orang yang sama-sama mengharapkan adanya garapan dari tempat-tempat tertentu dan dari orang-orang tertentu. Pada umumnya mereka biasa disebut makelar. Mereka selalu mencari barang-barang untuk dioperkan, dijatuhkan harga pasarannya, dan, kalau mungkin, digelapkan. Dua terakhir merupakan sampingan. Seperti Karyono, hampir semua penghuni pangkalan ini memiliki keahlian yang sama di bidang instalasai listrik sederhana, bangunan, motor, dan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan suatu keahlian yang setengah-setengah. Pada kawan-kawan jenis inilah Karyono merasakan lingkaran nasib yang sama.
Meski demikian, pada beberapa orang dari jenis kawan ini terdapat perbedaan pandangan dengan Karyono. Beberapa orang dari jenis kawan ini mengeluarkan rokoknya jika memerlukan bantuan, atau ketika mereka baru saja mendapat hasil, atau sedang ingin membanggakan dirinya, layaknya orang hebat. Mereka butuh kawan yang bersedia mendengar bualannya, dan untuk itu diperlukan batang-batang rokok.
Karyono tentu saja bersedia mendengar bualan semacamnya jika ingin menyimpan rokoknya sendiri. Selebihnya rokok selalu terkantung dalam saku mereka. Karyono selalu hati-hati bergaul dengan kawan yang terakhir ini. Bagaimana pun juga antara Karyono dan mereka terdapat kesamaan. Karyono tidak akan tersinggung karena mereka jarang mengeluarkan rokoknya. Dia pun akan berlaku demikian. Terserah pada anggapan bahwa rokok alat untuk bergaul. Mereka sudah saling tahu karakter dan cara main satu sama lain; masing-masing memegang kartu yang lain. Inilah yang membuat mereka terlalu hati-hati dalam bergaul; hampir tidak ada kepercayaan antara yang satu dengan lainnya, khususnya masalah uang.
Prinsipnya, jangan sekali-kali meminjamkan uang kepada mereka. Sebab, seperti dirinya sendiri, lebih mudah menerima pinjaman ketimbang mengembalikannya.
Tapi pagi ini Karyono merasakan satu kekalahan. Dia tidak mampu memberi uang pada anaknya untuk berangkat sekolah. Karena itu dia mengatakan pada anaknya untuk libur saja dulu. Tidak mungkin dia menyuruh anaknya berjalan sejauh 15 kilo untuk mencapai sekolahnya. Disuruhnya minta minuman pada warung, anaknya. Dan demi menghindari persepsi anaknya bahwa dia sebenarnya ada uang saat ini, Karyono menambahkan, ‘Kalau agak siang, bapak ada uang. Sana pesan minuman!’.
Tidak, tidak, tidak! Pagi ini Karyono hanya memiliki 5 batang rokok yang terkantung di sakunya dari merek yang muncul belakangan ini. Juga siang nanti, belum tentu Karyono akan mendapat uang. Plastik yang terkumpul dua hari ini belum mencapai hitungan seperempat kuintal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari bobot segitu. Tapi itu bisa dipikirkan nanti. Intinya pagi ini dia tidak ingin terlihat bersalah karena sudah bertengkar dengan istrinya. Dia ingin membela diri dari sesuatu yang menggerogotinya pelan-pelan.
Seorang teman dari jenis yang pertama menanyakan mengapa anaknya terus di situ dan tidak juga berangkat. Dengan jujur Karyono menjawab ‘tidak ada uang’. Tapi dalam mengatakan itu diselempitkan olehnya gaya bicara yang di dalamnya terkandung tawa; rasa bangga tertentu sebagai orang miskin, ironi yang diharapkan oleh Karyono akan diterima kawan bicaranya sebagai sebuah bentuk guyonan, bukan sebuah bentuk keputusasaan atau ketidakmampuan.
Ya, kalau pun pagi ini dia mesti merasa kalah karena tidak mampu memberangkatkan anaknya, biarlah getir itu disimpannya sendiri. Biarlah dia menjadi orang pertama yang menertawakan dirinya sendiri. Orang lain boleh saja menebak segi terdalamnya, asal bentuk luar yang diucapkannya tidak mengandung nada memelas.
Diam-diam pertanyaan kawannya itu menyergap kuduk rentan Karyono. Disadari bahwa pembicaraan itu memojokkan dirinya, maka dialihkannya topik ke hal-hal lain, hal-hal yang bisa membesarkan dirinya di hadapan kawannya itu. Kebetulan yang tengah dibicarakan adalah kredit motor. Diceritakan kisah masa lalunya sewaktu dia masih bermain sepeda peteng
Dalam cerita selanjutnya dikatakan bagaimana istrinya sering mendapat teror dari penagih karena dianggap menyembunyikan dirinya. Karena khawatir, dia menyuruh istrinya untuk mengatakan pada collector itu: ‘bahwa suaminya juga tidak pulang berhari-hari dan jika bertemu dengannya, suruh pulang juga.’
Sebenarnya cerita tentang istrinya itu merupakan usaha Karyono untuk meminta maaf pada istrinya. Karyono merasa bahwa dialah yang bersalah atas kejadian tadi pagi, terutama pada istrinya yang sempat hendak ditengkarinya. Bayangan istrinya terus berkelebat tak mau pergi. Menggerogoti diri Karyono dari arah yang tak terduga. Melalui kisah ketabahan istrinya itu dia meminta permohonan maaf pada istrinya. Dia ingin melepas perasaan bersalah yang menderanya. Tentu saja itu hanya bayang-bayang dari pelarian Karyono. Dan sebagai pembelaan lanjutan, diceritakan kisah itu dengan sesekali bersuara keras. Dia ingin anaknya yang duduk tak jauh mengetahui riwayatnya. Hanya dengan itu dia merasa mampu membela dirinya dari segala yang ada di pagi ini.
Pukul 07.00 pagi. Kopi baru diminum separuh oleh Karyono. Biasanya sepagi ini dia masih tidur. Apalagi ini hari kamis. Semalam dia bersama dua orang kawannya tidur di sebuah punden. Menurut pengakuannya sendiri, ‘sekedar sowan’. Tidak ada maksud selain itu, meski entah dengan dua orang kawannya: “yah, siapa tahu…namanya rezeki!”
Baru menjelang subuh dia kembali ke kolong ini, bercakap-cakap sebentar, dan pulang. Tapi belum sempat tidurnya pulas, anaknya membangunkan dan meminta uang. Karena sudah menjadi kebiasaan, diusirnya si anak dan menyuruhnya meminta pada ibu. Tapi si anak tidak mau pergi dan mengatakan bahwa ibulah yang menyuruh meminta pada bapak.
“Wong bapak tidak ada uang kok. Tidak usah sekolah saja kalau begitu…” teriak Karyono dengan mata yang dipejam-pejamkan.
Pada awalnya hal itu diucapkan untuk menggertak istrinya supaya mau memberikan uang pada anaknya. Kebiasaan seorang istri adalah menyimpan sejumlah uang kecil untuk keperluan tak terduga. Hal itu berlaku juga dalam keseharian Karyono. Oleh Karyono istrinya dianggap keterlaluan karena tidak mau mengeluarkan uang simpanannya. Karena itu dia membentak anaknya yang dengan itu mau tak mau juga istrinya. Dia sendiri sedang tidak ada uang.
Tapi istrinya yang tiba-tiba datang dari ruang depan dan berteriak-teriak mengagetkannya. Dia tergeragap dan sedikit meninggi emosinya. Tapi rasa ngantuk membuat Karyono diam dan berpikir sebentar. Tidak baik sepagi ini sudah bertengkar, apalagi karena uang. Oh, persoalan apalagi bagi Karyono yang jadi sebab timbulnya pertengkaran kalau bukan uang? Maka diputuskannya untuk bangun dan pergi ke kolong pangkalan. Dia ragu, tapi siapa tahu di jalan ada yang bisa dipinjami uang barang 10 ribu. Sekedar untuk ongkos angkot pergi-pulang dan jajan secukupnya. Anaknya yang sudah siap berangkat sekolah disuruh menunggu di sana.
Pukul 07.00 memberi ketenangan tersendiri bagi Karyono. Kini dia tidak harus menanggung beban mental yang mungkin dirasakan jika dia meminjam uang untuk keberangkatan anaknya. Hal itu terasa memalukan baginya. Sekarang bila ada yang bersedia meminjami –bahkan kawan bicaranya sekarang tidak akan segan sekedar memberi begitu saja– dia bisa mengatakan, ‘biarkan saja; sudah terlambat masuknya!’.
Yang ingin dia hindari sejak tadi adalah ucapan-ucapan yang mungkin dikatakan oleh setiap orang yang menerima belas kasihan orang lain. Dia tidak pernah tahan mengucapkan kata-kata bernada memelas. Harga dirinya menolak hal-hal seperti itu. Dia selalu mencaci drama tetangisan orang-orang miskin di televisi. Kesadarannya sebagai seorang yang juga kekurangan memunculkan kesimpulan ini; dia merasa orang-orang itu ditindas batinnya, meski ditolong materinya. Kalau pun hal itu terpaksa dilakukan, orang yang menghutangi itu bukanlah orang yang biasa jajan di warung pangkalannya. Keliaran orang itu mesti jauh dari tempat ini.
Tidak baik baginya menerima uang dari orang yang biasa bertemu di sini. Dia tidak ingin terkesan menghindar jika dia belum ada uang untuk mengembalikan. Apalagi jika yang menghutangi kebetulan memilih tempat dekat dengan Karyono duduk, dan butuh teman sekedar ngobrol. Perasaan tidak enak bisa timbul karena dia tidak ingin menemani orang itu. Pendeknya Karyono tidak ingin serba salah di hadapan orang-orang yang biasa jajan ke sini karena dia berhutang pada salah satu dari mereka. Sebab 10 ribu pada saat seperti sekarang mengandung budi yang pengembaliannya bisa merisaukannya.
Pukul 07.15. Kopi Karyono masih separuh. Belum diangkat lagi sejak terakhir kali. Sengaja dia tidak menghabiskannya dan pulang dulu untuk mandi. Dipesankan kepada pewarung jika anaknya ingin meminta sesuatu dibuatkan saja. Juga tidak lupa pada gelas kopinya untuk tidak dibereskan dulu.
Di rumah Karyono melihat kemungkinan lain, yaitu dua anaknya lagi yang rasa-rasanya juga akan libur sekolah. Itu bisa saja terjadi karena istrinya ingin membalas teriakan Karyono tadi. Bisa saja istrinya membolehkan anak-anaknya libur dengan alasan tidak diberi uang jajan dan menimpakan kesalahan itu pada dirinya. Astaga, kenapa tiba-tiba hal sepele ini menjadi begitu rumit?
Karyono hanya diam melihat istrinya bersiap ke pabrik. Melalui anaknya dia bertanya pada istrinya, “kok nggak pakai seragam? Nggak sekolah?”. Kedua anaknya hanya menggeleng. Dia pun turut menggeleng. Pada siapa kesalahan mesti ditimpakan atas ini semua? Dia bergegas mandi dan berusaha mendahului istrinya keluar dari rumah. Dia tidak ingin melihat mata kedua anaknya yang berharap uang jajan darinya. Biar itu menjadi urusan istrinya.
Sekembalinya anaknya sudah tidak berada di kolong pangkalan. Entah ke mana. Melihat anaknya tidak berada di sana, seketika Karyono dihantam perasaan bersalah sekaligus malu. Anak itu tidak mungkin pulang sekarang. Karyono tidak berpapasan di jalan. Juga tadi dipesankan untuk pulang setelah ibunya berangkat. Karena jika yang terjadi sebaliknya, si anak akan mendapat omelan dari ibunya karena ternyata Karyono tidak mampu memberinya uang. Lantas ke mana perginya?
Bagi Karyono masa sekolah adalah masa yang penuh dengan petualangan. Dia tidak akan geram lantaran anaknya tidak masuk sekolah sehari atau dua hari. Sebab dia pun juga pernah melakukannya. Bahkan tidak sekali dua kali. Juga pada pagi yang lain, siapa tahu anaknya bolos dan keluyuran entah ke mana. Disadari benar olehnya bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Tapi pagi ini dia mengetahui keberangkatan anaknya dalam seragam sekolah dengan bekal yang berbeda; siapa yang akan bolos bersama anaknya? Hal ini tidak menyenangkan hatinya.
Pukul 08.00. Apalagi yang mesti dikerjakan sekarang? Plastik-plastik yang ditatanya rapi tadi untuk menghindari meningginya emosi tidak mungkin dikilokan sekarang. Terlalu sedikit. Dan ini sudah beberapa minggu dia menganggur dan menggantungkan diri pada kesanggupan simpanan gaji istrinya. Tidak ada kenalan yang didengarnya akan membangun rumah, atau melakukan perbaikan di sana-sini. Dan tidak ada barang untuk dioperkan pada pembeli. Tidak ada harapan garapan baginya. Uang pun tidak ada.
Pilihan yang tersisa hanyalah berada di kolong jembatan tol dan menghabiskan waktu sampai sore. Tempat ini memang cocok untuk menyembunyikan diri dari kesibukan; bermalas-malasan sepanjang hari di antara rombong-rombong yang tidak terpakai di siang hari, ngobrol dengan topik-topik yang meloncat-loncat. Sungai yang mengalir di kolong ini memisahkan jalan raya di seberang dan memberi ruang bagi jalan setapak di sisi yang lain. Di sisi inilah orang-orang yang tidak memiliki kejelasan pekerjaan berkumpul.
Sekarang uang menjadi permasalahan pokok baginya. Jika siang atau sore nanti ada kepastian akan didapat uang, tentu pagi ini akan dilaluinya dengan berbeda. Dia berani, misalnya meminjam uang pada siapa saja untuk sekolah anaknya jika ada jaminan pasti nanti.
Duduk berpangku tangan di pinggir sungai, dirasakan hatinya lungkrah dan kacau. Keadaan yang lebih  sejahtera di masa lalu mengusiknya. Meski selalu meninggikan sikutnya, paling tidak dia selalu kecukupan uang. Bibir Karyono menolak untuk tersenyum. Dia lebih ingin tertawa. Tapi dengan siapa? Kejadian seperti ini sudah berulang kali dialaminya. Disiapkannya betul-betul agar tidak terulang yang serupa. Tapi datangnya datang tidak diiringi gemuruh. Mungkin yang menggundahkan Karyono bukanlah ketiadaan uang, tapi bentakan-bentakan istrinya padanya. Mungkin juga dia menyesali dirinya karena tidak pernah menabung. Bukankah ada ketenangan tersendiri karena ada uang celengan, meski tidak sepeser pun dipegang!
Sekarang botol-botol plastik, gelas-gelas air mineral, dan sampah-sampah yang mengalir di depannya tidak menggairahkannya. Dia hanya bergerak mengambilnya jika jaraknya benar-benar dekat dan dirasa terlalu berdosa jika dilewatkan begitu saja. Persediaan rokoknya juga tinggal dua batang. Mudah-mudahan saja siang nanti turun hujan lebat.
Pagi ini karyono tidak mendapatkan uang untuk keberangkatan anaknya. Tapi dia mendapat segelas kopi, teh hangat, dan jajan yang total semuanya 5,500 dari pewarung. Jatah yang mestinya bisa untuk siang atau sore nanti.

Senin, 15 Januari 2018

KAWAN SAYA DAN SAYA

Oleh: Chandra Krisnawan

Tiga puluh dua tahun. Apa yang sudah dilakukannya selama itu? Di tahun perkawinannya yang keempat ini, anak perempuannya sudah berumur tiga tahun. Hidupnya berkecukupan dengan gaji dan tunjangan teratur setiap bulannya. Tidak ada badai konflik dalam perkawinannya kecuali percekcokan kecil saja. Ditambah lagi setiap bulan tabungannya terus bertambah. Bisnis sampingannya juga tengah melonjak belakangan ini: batu akik.
Orang-orang di kampung banyak yang memuji mertuanya. Bagaimana tidak: menantu yang tampan, sabar, penurut, dan terutama berpenghasilan besar dan teratur. Berpenghasilan teratur dengan caranya sendiri merupakan jaminan untuk hidup lebih mewah dari yang mungkin bisa didapat. Rumah bisa dipenuhi berbagai perabot hanya dengan satu jurus: slip gaji. Surat sakti zaman ini. Terlebih jika anda bekerja di lingkungan dinas.
Dengan slip gaji pemberi hutang bisa mengukur kemampuan anda membayar. Bahwa sekian persen digunakan untuk kebutuhan dan sekian persen cukup untuk untuk membayar angsuran. Apalagi jika pembayaran angsuran dilakukan dengan tertib. Di akhir masa angsuran akan ditawari lagi hutang dengan jumlah yang lebih besar. Masuk akal memang. Lebih mudah bagi pemilik modal untuk memberi pinjaman kepada orang yang memiliki kemampuan melunasinya.
Apabila anda bertanya tentang dirinya kepada tetangga-tetangganya atau orang-orang yang mengenalnya mereka akan menjawab: hidupnya sudah mapan. Yang mana merupakan impian setiap kepala keluarga. Saya sendiri, meski tidak sependapat dengan kemapaman itu, sering mengiri padanya.
Saya yakin banyak orang diam-diam mengiri padanya. Bagaiamana tidak, di kota besar seperti ini anda tidak perlu memikirkan sesuatu yang krusial: tempat tinggal. Ketika orang lain menyisihkan uang yang didapat untuk biaya sewa tempat tinggal bulanan atau tahunan, dia menggunakannya untuk urusan lain yang menguntungkan: batu akik. Ketika orang lain harus tinggal berjubel dalam satu ruang yang sempit, dia duduk dengan lega di halamannya yang lebar. Dan kesehatan istri dan anak telah dijamin oleh asuransi.
Dan perlu saya kemukakan pandangan kawan saya mengenai pekerjaan sampingannya itu. Sering kawan saya berkata, kalau tidak dapat dikatakan berpesan, setiap orang harus memiliki bisnis sendiri yang dikembangkan sejak awal ketika masih muda. Harapannya nanti ketika masa pensiun tiba bisnis telah berkembang sedemikian rupa. Juga agar ada kesibukan yang menghasilkan sesudah pensiun.
Pendeknya, menantu idaman mertua melekat pada dirinya. Dan status sebagai suami dambaan istri disandangnya. Apabila anda kebetulan kenal dengan kawan saya ini, tentu anda akan setuju dengan pendapat saya. Meski sering pendapat itu saya benarkan untuk menindas kejengkelan sendiri. Kejengkelan yang lahir dari rasa putus asa: anda jengkel pada seseorang karena sebenarnya anda ingin menjadi seperti orang itu tapi anda tidak mampu melakukannya.
Saya akui saya memang tidak mampu. Tapi bukan diri saya yang hendak saya ceritakan di sini. Melainkan kawan saya yang pandai–bahkan istri saya pun sering memuji kepandaiannya dengan gaya berkelakar. Terlebih kalau uang belanja yang saya berikan tidak sesuai dengan harapannya.
Sangat wajar jika seorang lelaki dinilai dari kemampuannya menghasilkan uang. Bukan berarti perempuan mata duitan. Saya enderung akan menyalahkan gadis-gadis muda yang mengatakan bahwa materi atau uang bukan yang utama. Benar, memang bukan yang utama. Tapi tanpa uang tidak akan pernah ada yang utama. Saya yakin mereka masih polos dan sedang dimabuk asmara. Impian hidup berdampingan dan bercinta-cintaan sepanjang waktu dengan pujaan hatinya telah menenggelamkan kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya akan nampak ketika petang telah berlalu. Dan itu sudah terlambat karena mereka sudah beranak pinak.
Tidak ada yang salah dengan pandangan gadis-gadis itu. Malah saya bersyukur mereka berpikir seperti itu!
Suatu hari karena sedang merasa jengkel dengan istri, saya nongkrong ditempat penyelepan batu kawan saya. Sore tadi istri saya berkata, minggu depan waktunya bayar ongkos sewa kamar. Dan kaji Imam dua hari lalu mengatakan bahwa renovasi rumah yang rencananya akan saya kerjakan mulai minggu depan harus diundur entah sampai kapan. Padahal hasil dari pekerjaan renovasi itu saya rencanakan untuk membayar uang sewa.
Jika keadaan di rumah seperti ini hal terbaik yang bisa dilakukan adalah pergi keluar. Seolah-olah melarikan diri dari masalah dan membiarkan istri saya menghadapinya sendirian. Tapi dalam situasi seperti ini, di mana saya dan istri saya sama-sama tidak memiliki daya untuk memecahkan persoalan, menjadi pilihan yang tepat untuk tidak meneruskan pembicaraan. Pengalaman membuktikan jika pembicaraan itu dilanjutkan tentu akan mengarah pada persoalan-persoalan lain. Pertengkaran yang tidak perlu mudah tersulut karena hal-hal seperti ini. Ditambah lagi ada sosok suami idaman yang pandai dalam kepala istri saya.
Di tempat penyelepan saya menerka-nerka kehidupan batin sang suami idaman. Tampak bagi saya dia begitu teguh dan gagah. Seolah-olah paku bumi yang terus bergerak menembus tanah mengikuti kehendak palu godamnya. Dan dia memiliki cita rasa yang tinggi terhadap seni. Ini diakui oleh hampir setiap orang yang mengenalnya. Dia bisa membaca motif-motif acak pada batu akik yang belum terbentuk dan menjadikannya manis diatas emban ikat. Proses pembentukan batu akik itu sendiri memerlukan keuletan dan daya tahan seorang seniman. Sehingga batu akik yang dihasilkan berbentuk simetris dan elok dipandang. Orang-orang mengelu-elukan kemahirannya ini sehingga lambat laun pelanggannya menjadi makin banyak.
Hanya ada kami berdua di tempat penyelepan di halaman rumahnya malam itu. Batu yang dikerjakan sebagian besar merupakan pesanan. Pernah kami, saya dan beberapa tentangga, mengusulkan agar dia membuka penyelepan di pinggir jalan sana. Toh di mana-mana lagi marak. Tapi kawan saya menolak dengan mengatakan, tanpa repot-repot membuka lapak di pinggir jalan saja pekerjaan sudah kewalahan.
Memang benar. Setiap malam ba’da isya kawan saya ini selalu terlihat duduk di depan mesin gerinda mengerjakan batu. Kecuali ada keperluan lain, bisa dipastikan dia ada di sana setiap hari. Dan dia bekerja tanpa harus diganggu pelanggan yang menunggui pekerjaannya. Ini segi menguntungkan lainnya. Dengan begitu hasilnya rapi dan bagus karena pengerjaannya tidak terburu-buru. Dan bukan maksud saya mempromosikan kawan saya ini kepada anda, sama sekali bukan. Yang hendak saya sampaikan adalah: usaha sampingannya itu menjadi hiburan tersendiri bagi kami, saya dan para tetangga di sini.
Selalu ada kopi gratis di sini. Kali ini hanya satu gelas yang disuguhkan oleh istrinya, untuk saya. Entah ke mana tetangga yang biasa berkumpul di sini. Dan istrinya...saya tidak hendak memberi gambaran tentang istri kawan saya. Tapi sekiranya istri saya mau berias seperti itu, tentu tidak ada pekerjaan yang lepas dari tangan saya. Ah, rumah tangga yang komplit. Istri mengeluh, suami mengeluh!
 “Apa saja, Mas, yang sudah dihasilkan dari batu?” tanya saya.
“Apa yang bisa didapat dari batu, Mas?” jawabnya.
“Bisa saja, Sampeyan.” Kataku. “Kalau tidak menghasilkan, kok mau repot-repot tiap malam ngeloni batu.”
Kawan saya tertawa kecil dan menyuruhku mengambil kotak berisi batu yang sudah dibentuk di dalam rumah. Biasanya sesudah itu saya akan diminta untuk memoles batu-batu itu. Tidak ada upah untuk pekerjaan ini. Saya pun tidak mengharapkannya. Saya mengerjakannya karena kesenangan, kalau tidak dikatakan untuk membuang waktu dengan sia-sia. Lagipula tidak enak juga berdiam diri sementara kawan saya bekerja. Apalagi segelas kopi sudah tersaji. Dan dia sering mempersilahkan mengambil batu yang saya suka meski saya sering menolaknya.
Jadi demi melupakan jatuh tempo sewa rumah, istri yang cemberut, pekerjaan kaji Imam yang lepas, segelas kopi yang disuguhkan, dan yang lain-lainnya saya melakukan pekerjaan memoles batu untuknya. Saya jadi bertanya-tanya. Apa yang dilakukan istri saya untuk menghadapi persoalan-persoalan yang ada dalam benaknya?
“Sudah keluar plat nomor motor barunya?” tanya saya disela-sela pekerjaan.
“Sudah. Tapi belum saya pasang. Lagipula motor itu yang pakai istri saya. Jadi tidak akan pergi jauh-jauh. Paling-paling buat pergi ke pasar. Atau nanti kalau Zahra sudah sekolah dibuat untuk mengantar sekolah.”
Jadi transportasi sekolah anaknya sudah mulai diperhitungkan sejak saat ini, pikirku. Kalimat tentang transportasi sekolah itu tentu hanya pemanis percakapan. Supaya percakapan mengalir dengan hangat. Seharusnya saya merespon dengan memberi kata lain yang tidak berarti benar. Tapi saya hanya diam dan itu membangkitkan suasana tidak nyaman. Terlintas juga dalam pikiran saya bahwa kawan saya ini sekarang sedang memikirkan bahwa istri saya kelak akan mengantar anak saya ke sekolah dengan berjalan kaki, hal yang sebenarnya sangat wajar.
“Wah, sudah banyak juga ternyata tabungan Sampeyan,” kataku setelah diam agak lama.
“Kerja banting tulang kalau tidak untuk anak dan istri untuk siapa lagi,” katanya.
Lagi-lagi kata-katanya mendarat di bagian yang rentan dalam diriku. Dalam situasi sekarang, kata-kata itu seperti pukulan mata palu yang meleset dan mengenai jari-jari. Anda tidak bisa marah pada siapapun karena diri anda sendirilah yang melukai jari-jari anda. Marah pada situasi yang mengharuskan anda memaku dalam posisi yang tidak biasa, atau marah pada pikiran anda karena melayang-layang entah kemana ketika tengah menghantamkan mata palu ke kepala paku yang menyebabkannya melesat, adalah sama dengan menghantamkan kepalan tinju ke dinding.
“Jadi, inilah lelaki sejati!” Pikir saya. “Lelaki yang tahu kewajibannya pada anak dan istri dan sanggup memenuhinya.”
Tak lama kemudian istrinya keluar dengan piring penuh kue-kue. Sekarang tiba-tiba giliran anak perempuan saya tiba-tiba duduk di samping piring berisi kue. Sekiranya anak itu ada di sini tentu dia akan memandang saya dan dengan pandangannya itu bertanya, “apakah aku boleh mengambilnya?” dan saya akan menjawab, ambilah satu dan harus dihabiskan. Kawan saya tentu akan menyuruh anak saya menghabiskan semua kue itu.
Tapi anak saya berada di rumah bersama ibunya. Terkurung atau mengurung diri di sana, dua manusia itu. Seandainya tidak ada persoalan jatuh tempo ongkos sewa, saya akan mengajak anak saya kemari. Dan sekarang perut kecilnya akan merasakan hangatnya kue-kue itu. Tapi saya keluar karena jengkel dengan ibunya, atau entah karena apa. Akibatnya anak saya harus menderita juga akibat kejengkelan saya yang tidak beralasan. Dan sekarang anak saya menatap saya dengan matanya, duduk diam di sudut sana.
Jadi, kembali ke awal, sudah cukup banyak yang dikerjakannya di umurnya yang tigapuluh dua tahun itu. Sudah banyak pula yang dihasilkannya. Dan, sejauh pengakuannya, dia merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Jika pertanyaan yang diajukan, apa yang sudah dikerjakannya selama tigapuluh dua tahun hidupnya, kawan saya dapat menyebut dengan mudah barang-barang yang dimilikinya, simpanan di bank, jabatan yang disandangnya, asuransi kesehatan anak istrinya, dan semuanya itu konkret. Tidak sekedar ide abstrak yang sukar dibuktikan.
Belum lagi tanah kavling yang telah dibelinya tahun lalu. Rencananya dalam waktu dekat dia akan membeli lagi satu petak tak jauh letaknya dengan tanah yang sudah dibelinya. Untuk investasi, katanya. Dan saya yakin, seandainya mungkin dia akan membeli lebih banyak petak lagi. Atau kalau perlu hektar. Uh, tanah-tanah yang dibeli bukan untuk ditinggali tapi untuk menyimpan kelebihan uang yang ada sementara di bagian lain manusia harus tinggal berjubel dalam satu kamar sempit dan berjuang membayar sewanya. Tetangga sesama penyewa yang kemaren mengeluhkan dalam waktu dekat ongkos sewa akan dinaikkan, melintas di depan kami.
Tentu tanah-tanah itu adalah untuk anak cucunya kelak, sebagamana dikatakan kawan saya. Seorang lelaki memang harus berpikir dan bertindak tidak untuk generasinya saja. Tapi harus berpikir dan bertindak untuk satu atau dua generasi berikutnya.
Pendeknya, terjawab sudah pertanyaan itu dengan mudah. Dialah anak idaman bangsa yang bersemboyan kerja, kerja, kerja dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Saya yakin anda akan setuju. Sedang untuk saya, jika anda menanyakan hal yang sama pada saya, itulah saat saya harus mengakhiri tulisan ini.
Hari sudah larut. Istri saya akan membiarkan saya mengetuk pintu agak lama. Tapi biarlah karena mungkin itu caranya membalas saya. Dan esok pekerjaan dapat dipastikan rampung. Sorenya tinggal berhitung upah dengan pemilik rumah. Pulang dengan sejumlah uang tentu sangat membantu sebelum didapat kepastian pekerjaan baru dari kaji Imam atau dari yang lain.
Surabaya, 07 November 2015

Minggu, 14 Januari 2018

POTRET KOTA PAGI HARI



Oleh : Chandra Krisnawan

Menyaksikan matahari kota jam delapan pagi
adalah menyaksikan seorang lelaki mengeringkan diri
di bawah matahari kota jam delapan pagi

Air kali warna moka menggelegak
lumpur dan lemak
dan kencing
dan karat
dan tinja
dan timbal
dan sabun
dan sampah
dan segala ampas peradaban
memandikannya penuh kelembutan

Arus bergulung di muka pintu air terbuka
Buih-buihnya putih seputih busa pasta

Seekor burung terbang rendah di atas sadah mengalir
Angin membilas biji-biji air

Gedung-gedung batu debu semata
Seorang lelaki membukakan tubuhnya pada dunia

Tubuhnya yang kurus memekarkan tulang dan urat
Seolah pengelana di padang cengkar yang larat


Warna kulitnya yang legam memantulkan kesunyian
Dan dari kerempengnya dada berdengut gema kemiskinan

Duh, busur riwayat yang ‘kan segera rampung
Mengapa mimpi tak juga tiba berkunjung?

Matahari meninggi selang setengah sembilan
Daun-daun kering pepohonan luruh sepanjang jalan

Handuk dan sabun dan odol dan dompet di kotaknya tertata
Dengan kayuhan becak teriknya hari hendak disapa

Dan penyair hanyalah buih memutih
Bersila seorang diri di tepi kali

Menyaksikan matahari kota jam delapan pagi
adalah menyaksikan seorang lelaki menyucikan diri
ke dalam kali basin* yang membual sampai ke tepi

di tengah laju kota yang dingklang menjulang
Surabaya, Mei–Juli 2017

* Dari kata ‘bacin’ yang berarti ‘berbau busuk seperti bau busuk ludah ikan’. Dalam bentuk tuturan sering digunakan bentuk ‘basin’. Dalam puisi ini digunakan bentuk tuturannya ‘basin’ meski kata ‘basin’ sendiri mengacu pada bentuk tertentu di permukaan bumi.

Catatan: puisi ini dimuat dalam Antologi Puisi Terlanjur Lajang yang diterbitkan oleh Jendela Sastra Indonesia tahun 2017

Rabu, 10 Januari 2018

GRISSEE PETANG HARI

Oleh : Chandra Krisnawan
 
Grissee petang hari menjelang maghrib
Ratusan truk yang berbaris teratur
Sesaki jalan-jalan dari desa ke pelabuhan
Cukong-cukong tersenyum puas
Distribusi produksi hingga pedalaman nusantara
Sedia dilayani oleh armada
Ratusan truk yang berjajar dalam formasi

Grissee petang hari menjelang malam
Ratusan truk yang berbaris teratur
Serupa derap tank kavaleri di medan tempur
Berak peluru di atas pegunungan kapur
Meludahi tungku-tungku dalam dapur
Dan mengorat-arit benih-benih dalam lumpur

Grissee petang hari menjelang surup
Ratusan truk yang berbaris teratur
Dibeli untuk mengangkut hasil produksi
Dari pabrik yang belum lagi beroperasi
“Ijin lingkungan boleh terlambat
Tapi modal harus berakumulasi
Dan petani-petani
Perlahan pasti pergi”

Grissee petang hari menjelang gelap
Ratusan truk yang berbaris teratur
Harus dibayar dengan kesuburan tanah pertanian
Harus dibayar dengan lenyapnya cadangan air
Harus dibayar dengan gunung yang kaya kapur
Harus dibayar dengan ketahanan pangan
                                                       negeri ini

 Grissee petang hari menjelang maghrib
Dan ratusan truk yang berbaris teratur
Adalah pemandangan sumbang negeri ini
Surabaya, January 2017

KUSEBUT KAU KEKASIH

Oleh : Chandra Krisnawan

Kusebut kau kekasih karena ada gua
Dalam dada di mana bertapa namamu di dasarnya
Sunyi dan gelap berkelambu perdu belukar
Diam beralas hening sempurna

Kusebut kau kekasih karena petani hutan
Diseret ke altar pengadilan
Tangannya yang lembut membelai bumi kesuburan
Dipaksa mengepal melawan pemerkosaan

Mesin-mesin industri bergerak
Roda-roda modal berarak
Menginjak lahan-lahan subur di pegunungan kapur
Menginjak ladang-ladang sayur
Menginjak dan meremas pesta panen
Para petani

Amboi, adakah hasil bumi
Dimekarkan beton-beton semen yang dingin?

Kusebut kau kekasih karena rinduku
Adalah pledoi yang dinyanyikan petani
Suaranya ‘kan bergema
Menyigar dinding ruang dan masa
Menjadi kidung anak-anak di malam purnama
Menagih keadilan pada negerinya
Sepanjang seribu tahun lagi
Surabaya, 24 January 2017

Senin, 08 Januari 2018

HARI PERTAMA

Oleh : Chandra Krisnawan
 

Ketika pertama kali datang ke tempat ini, aku segera terpesona oleh suasana sekeliling yang dibangun khusus untuk kami1. Dinding-dindingnya serba putih. Tidak ada satu hiasan dipasang di salah satu sudutnya. Beberapa sketsa dan lukisan hanya dipasang di gedung depan, gedung kepala panti, ruang berkunjung tamu, dan bagian administrasi. Juga meja dan kursi terbuat dari kayu, polos tanpa ada taplak penghias atau ornamen di sandaran kursi. Dan sejauh yang kuketahui dari pembicaraan beberapa orang di dalam gedung tadi semua itu adalah hasil kerja yang dilakukan oleh orang-orang di dalam.

Begitulah mereka menyebutnya, orang-orang dalam. Batas dengan dunia luar adalah tembok setinggi lebih dari dua meter. Kami dikurung di dalamnya. Atau sebaliknya, orang-orang dari luar jangan sampai mengganggu ketentraman dunia kami. Ketentraman penghuni panti yang damai dan bahagia!

Petugas lelaki yang menggandengku saat mengantarku kemari tak banyak bercerita. Jarang pula aku diajaknya bercakap. Pertukaran bahasa antara kami berlangsung melalui pandangan mata dan goyangan kepala, gelengan dan anggukan. Padahal dia sudah jauh-jauh menempuh perjalanan menuju perbatasan desa yang sunyi dengan truk dinasnya khusus untuk menjemputku di kandang ayam yang telah kubangun dari potongan-potongan kayu dan kain bekas.

Tapi biarlah. Petugas itu lelaki yang baik. Setelah memberiku pakaian dia membawakan sebungkus nasi dengan lauk daging segar. Sungguh merupakan kemewahan tersendiri bagiku mendapatkan pelayanannya! Ya, petugas itu adalah pelayanku. Negara melalui aparatur-aparaturnya merupakan pelayan bagi tiap warga negara, baik yang dikategorikan waras atau tidak. Baik yang dikategorikan ber-tempat tinggal atau pun tidak! Dan mereka boleh dikategorikan sebagai pelayan yang paling berjiwa sosial. Ketika yang lain sibuk memikirkan tempat-tempat yang basah agar bisa kecipratan proyek-proyek yang menghabiskan anggaran negara, mereka sibuk mengurus kami!

Dari gedung depan yang penuh dengan pigura-pigura dan bunga-bunga aku digandeng melewati koridor panjang. Lalu di depan sebuah bangunan panjang petugas itu memintaku duduk di atas dudukan dari semen. Tidak ada papan nama di tiap pintu yang kudapati seperti halnya kasie urusan ini dan itu seperti di gedung utama tadi. Lalu dia memanggil seorang lelaki yang sedari kami keluar dari gedung utama terus mengikuti kami dan yang sekarang berdiri agak jauh. Dia menyuruh lelaki itu untuk mengawasiku sementara dia akan membuat laporan penerimaanku di sini.

Dalam hati aku tersenyum. Bahkan nyaris mendekati tawa ejekan. Rupanya di sini aku mesti diawasi dan dilaporkan. Apakah aku termasuk orang liar yang perlu diawasi tingkah lakunya agar tidak membahayakan orang lain? Pada siapa pula aku akan dilaporkan? Pada anggaran-anggaran yang akan membiayai kebutuhan makanku di sini? Baru kali ini aku mendengar perintah agar aku diawasi, seolah aku hendak berbuat makar! Padahal yang perlu diawasi adalah orang-orang yang dengan kekuatan modalnya mengusir kami dari rumah kami sehingga kami harus menggelandang! Mereka membuat kami kehilangan pikiran waras kami! Bukankah mereka sering meneriakkan, “Kalau kami waras tentu kami akan menerima uang yang ditawarkan daripada bertahan di atas tanah yang jelas-jelas bukan milik kami!” Tapi apakah tanah itu juga milik mereka sehingga mereka merasa berhak membongkar rumah yang kami tempati puluhan tahun?

Setelah kepergian petugas itu, penghuni-penghuni panti lain yang semula melihat dari jauh perlahan-lahan mendekat. Seorang perempuan berdiri merapat dinding sambil terus memandangiku. Juga penghuni-penghuni panti lain memilih tempat masing-masing yang lebih dekat untuk mengawasiku. Mereka mengawasiku dengan diam. Aku heran, apakah tidak ada niat dari mereka untuk sekedar bertanya dari mana aku datang? Juga pengawas baruku yang telah mendapat mandat, dia memandangiku terus menerus tanpa mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Alangkah berbelitnya memulai percakapan antara kami!

Menghadapi situasi seperti ini, darah dalam dadaku serasa mendidih. Aku malu. Benar-benar malu. Di luar sana belum pernah aku dipermalukan seperti ini! Pernah puluhan orang mengepungku untuk menangkapku karena aku terus berteriak-teriak. Tapi puluhan orang itu punya tujuan sama terhadapku: mendiamkanku. Karena itu aku tahu bagaimana menghadapi puluhan orang itu ketika tangan-tangan mereka mulai mengcengkram tiap bagian tubuhku. Aku bisa meronta sekuat yang aku mau dari tenaga yang bisa dilontarkan oleh tubuhku. Tapi bagaimana menghadapi kepungan orang-orang yang tidak punya tujuan dan tidak jelas apa maksudnya mengepungku?

Aku ingin tertunduk. Tidak ingin lain. Tapi sebungkus nasi berlauk daging yang mengisi perutku sebelumnya menjadikan amarahku memiliki kekuatan berlipat. Aku tahu aku dapat menindas masing-masing orang yang matanya mengepungku tanpa hasrat itu. Aku yakin mereka dapat aku kalahkan dengan kepalan tangan yang telah dilumuri sekepal daging. Aku hendak bangkit. Dan yang pertama menjadi sasaran kemenanganku adalah lelaki yang mendapat tugas untuk mengawasiku.

Kulayangkan tamparanku hingga mengenai bagian atas telinganya. Lelaki itu tersungkur dan mengerang kesakitan. Belum puas aku tubruk tubuhnya yang jatuh itu dengan seluruh berat badanku. Aku ingin membalaskan dendam padanya karena sedari awal hingga akhir dialah yang terus menerus menatapku serupa itu. Mungkin pengawas ini telah menyuruh penghuni-penghuni lain untuk merubungku tanpa sepengetahuanku. Maka kutumpahkan seluruh hasratku untuk mengalahkan tatapan yang mengelilingiku padanya. Juga dendamku pada orang-orang yang menyebabkanku kehilangan tempat tinggal hingga terdampar di tempat ini. Semua itu kutumpahkan padanya. Padanya seorang...!

Para pengerumun itu segera berteriak-teriak dan melarikan diri. Di bagian sana, orang-orang yang tidak ikut mengerumuniku juga ikut lari mengetahui kawan-kawannya berlari ketakutan. Mereka seperti lebah yang sarangnya terjatuh di tanah. Aku jadi ingat bagaimana perempuan-perempuan di kampungku berteriak histeris ketika rumah-rumah mereka diratakan sama tanah oleh tangan-tangan dingin excavator. Aku jadi ingat bagaimana anak-anak mereka ikut menangis melihat ibu mereka diseret menjauhi area penggusuran. Hanya saja akulah yang kini menjadi si tangan besi penghancur tempat tinggal.

Dan lelaki itu tidak mencoba melawanku. Dia hanya berusaha bangkit dan lari sambil terus meneriakkan erangan yang memilukan. Sayang, tiap kali berusaha bangkit sebungkus nasi yang menjadi kekuatanku terus merubuhkannya. Hingga pada suatu kali aku menubruknya hingga dia menabrak dinding. Setelah itu dia berhenti mengerang. Tubuhnya yang terbaring di tanah tidak mencoba lagi untuk bangkit. Baru aku sadar bahwa mungkin aku telah membunuhnya. Selama itu, kami telah berpindah tempat sejauh belasan meter dari tempat pertama kali dia kutampar.

Petugas yang datang belakangan terkejut melihat lelaki itu terbaring di tanah dengan hidung dan mulut berlumuran darah. Mengetahui hal itu mereka, para lelakinya, menjadi lebih siaga. Sedang petugas-petugas perempuan yang terlanjur datang ke sumber kegaduhan berlari kembali sambil berteriak-teriak memanggil nama seseorang.

Dua orang petugas lelaki yang tinggal segera mengambil sapu untuk dijadikan pentungan yang diarahkan kepadaku. Mereka mengancam dengan sapu-sapunya itu agar aku tidak berbuat macam-macam. Sementara beberapa orang di kejauhan sana bergerak memutariku.

Aku tidak melawan ketika satu dari beberapa orang yang memutariku menabrakku hingga jatuh. Lalu beramai-ramai mereka meringkusku dengan tangan dan pentungan. Dan dalam satu hentak dunia yang semula terang benderang ditimpa matahari menjadi gelap. Kepalaku terantuk tanah dengan keras.

Ketika tersadar lagi aku sudah berada di dalam ruangan yang gelap. Hari sepertinya sudah malam meski tak terasa benar. Cahaya lampu dari luar masuk melalui lubang-lubang angin di atas pintu. Dan pintu itu sepertinya menjadi satu-satunya pemandangan yang bisa kusaksikan di ruangan ini. Empat buah dinding, langit-langit, dan lantai, semuanya berwajah sama: mengurungku. Juga pintu itu ketika kepalaku masih terasa pening yang kulihat padanya seperti dinding-dinding dan langit-langit itu juga. Dia lebih mirip penjaga yang mengawasiku agar aku tidak meninggalkan ruangan ini.

Aku hanya bisa berbaring sambil menempatkan kepalaku sedemikian rupa agar luka di kepala yang sudah diberi perban itu tidak menimbulkan rasa sakit. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan selain berbaring! Bisa saja aku melihat-lihat luar dengan memanjat lubang-lubang angin di atas pintu. Dengan begitu aku bisa tahu seperti apa ruangan lain yang terletak di seberang ruang kosong di mana aku berada sekarang. Ini bisa dilakukan. Hanya saja kepalaku masih terasa sakit.

Tapi bayang-bayang tentang sesuatu yang berada di ruangan seberang itu tidak mau kubaringkan. Dia mengajakku keluar dari pintu dan menerka-nerka apa saja yang mungkin ada di sana. Barangkali di sana ada meja-meja dan kursi-kursi. Barangkali juga ada rak-rak dan lemari. Mungkin ada benda-benda yang bisa digunakan sebagai penyangga kepalaku untuk berbaring!

Di luar tidak terdengar suara. Bayanganku mengatakan bahwa ada beberapa orang di luar sana. Berbicara dengan berbisik-bisik atau dengan bahasa isyarat agar tidak didengar oleh telinga lain yang berada di dalam sini. Mungkin tiga atau empat orang berada di sana. Dan mereka tengah membicarakan lelaki yang dikunci di dalam ruangan karena baru saja menghajar kawannya sesama panti. Sial, ada orang yang sedang membicarakan aku dengan sembunyi-sembunyi!

Dengan sangat terpaksa kuangkat punggungku untuk mendengar lebih seksama lagi. Indraku yang lain kupadamkan untuk menguatkan pendengaranku. Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepengen2 perihal pergunjingan orang lain tentang aku. Ya, aku sangat berkepentingan dengan hal ini. Aku tidak ingin mereka keliru menilai aku!

Meski sudah kucoba dengan segenap kemampuan yang aku bisa, tetap saja pergunjingan itu tidak dapat aku dengar. Suara mereka terlalu lembut untuk telinga manusia. Atau, sebaiknya aku menggeser dudukku ke dekat pintu. Siapa tahu dari sana, dan ditambah dengan segenap kemampuan yang kumiliki, dapat kutangkap suara-suara yang menggunjingkan aku.

Hanya saja aku sangat malas bergerak meski hanya beberapa langkah saja. Kelembaman materi menguasaiku. Yang hendak kuperbuat selanjutnya adalah berbaring lagi sambil berharap suara-suara itu lupa dengan nada rahasianya sehingga meloloskan satu atau dua kata ke telingaku. Jika itu yang terjadi, itu akan cukup untuk membantuku menerka-nerka apa yang tengah digunjingkan tentang aku.

Sampai sekian lama kutunggu tak juga ada kelolosan kata-kata. Juga di luar sana, tidak ada suara manusia. Yang ada hanya deru mesin-mesin motor. Itu pun jauh. Kelewat jauh. seolah antara dunia di luar sana dengan di dalam sini tidak hanya dipisahkan oleh dinding. Di mana aku sebenarnya kini?!

Mengenai keberadaanku saat ini tak perlu diragukan: aku masih hidup. Dunia tidak terasa asing dan bisa kukenali; dinding, langit-langit, lantai, pintu, dan cahaya lampu yang menerobos masuk. Juga suara-suara di luar. Jelas aku masih berada di bumi tengah. Dan jika aku masih berada di bumi tengah, tentu nanti akan ada orang yang datang kemari membuka pintu itu dan membawaku keluar.

Itu nanti. Sekarang pikiranku membawakan sosok pengawasku tadi. Bagaimana nasibnya sekarang? Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja. Mungkin dia mengalami luka di sana-sini. Tapi dia harus tetap hidup dan bertingkah seperti sebelumnya, mengawasi tiap orang yang baru saja datang.

Entah kenapa sekarang aku merasa harus menjadi lebih simpati kepadanya. Dia memandangku dari mula sampai akhir hanya menuruti dorongan batiniahnya yang wajar. Dorongan batiniah itu mungkin rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang nanti akan menjadi kawannya, aku atau orang-orang baru yang akan datang.

Sebenarnya aku tidak tahu apakah dia berlaku seperti itu pada setiap orang yang baru datang. Mungkin kebetulan dia ada di sebelah pintu siang tadi, lalu mengikuti aku dan petugasku. Aku rasa dia ingin berbicara denganku. Mungkin bertanya nama, asal, dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini. Mungkin dia ingin berkata bahwa dia dan aku bernasib sama di jalinan benang yang berbeda. Mungkin masih banyak lagi yang hendak dia tanyakan padaku.

Tapi tingginya dorongan batiniah yang ada pada dirinya tidak serta merta diungkap lewat bahasa. Padahal bahasa perlu untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Bisa saja aku meracau dengan bunyi-bunyi aneh seperti mantra. Tapi aku akan segera meninggalkannya karena aku yakin itu hanya cara bagiku untuk menarik perhatian orang padaku. Ya, seharusnya setelah petugas itu menyerahkanku padanya dia mesti bertanya sesuatu padaku. Itu akan lebih mudah meski belum tentu juga kutanggapi ajakannya berdialog. Paling tidak inisiatif harus dia yang memulai karena dia yang pertama mengajakku saling adu pandang.

Kenapa kau hanya diam dan menatapku, hai, pengawasku? Apakah dengan pandanganmu itu kau dapat menaksir seluruh diriku? Bahkan petugas-petugas yang telah mencatat data-dataku dengan lengkap saja tidak dapat menjawab jika pada mereka ditanya: dari mana asalnya gelandangan yang satu ini? Juga orang-orang yang telah melapor kepada petugas, yang menurut mereka keberadaanku mengganggu ketentraman kehidupan warga sekitar. Aku hanya kebetulan lewat dan menemukan ada tempat kosong di antara belukar-belukar tinggi yang lalu kudirikan kandang ayam untuk tidur. Aku menyebutnya kandang ayam karena memang frasa itu mengena dan lazim digunakan di dunia sastra.

Jadi kalau melalui dialog saja mereka tidak dapat menemukan jawab yang dicari, bagaiamana kau, dengan hanya tatapanmu, dapat mengetahui siapa aku, hai, pengawasku?

Keluar dari ruangan ini aku harus memperbarui hubunganku dengan pengawasku. Aku akan meminta maaf padanya dengan caraku sendiri, cara seorang penyair. Akan kulambungkan dia dengan kata-kataku, dan kutempatkan di bagian paling tinggi dalam hatiku. Lalu aku, dengan kekuatan yang telah kutunjukkan pada setiap orang dilingkungan ini, akan menjadi pelindungnya yang setia. Aku akan menjaganya dari tingkah orang-orang sepertiku!

Ya, aku bisa melakukan ini! Ini akan menjadi peran yang menarik untuk dijalankan...

Tengah asyik memikirkan peran baru yang bakal kuemban, terdengar derit sebuah pintu dibuka. Bukan pintuku, tapi pintu lain di luar ruangan. Deritnya benar-benar menggangguku hingga membuatku heran, bagaimana aku bisa yakin bahwa engsel itu menderita karena beban pintu yang dibuka? Bagaimana otakku bisa menarik kesimpulan bahwa suara itu adalah suara pintu sedang aku berada di ruangan lain yang tak dapat meyakinkan diri dengan penglihatan bahwa suara itu adalah suara pintu? Juga bagaimana otakku mempercayai jika itu suara sebuah pintu, jenis pintu yang terbuka pula? Apakah kecendrungan sebuah pintu adalah tertutup sehingga ketika dia bersuara maka suaranya itu adalah suara yang menyatakan bahwa dirinya sedang dibuka?

Lalu terdengar langkah kaki bergerak masuk; benarkah? Suara klik yang sedetik kemudian diikuti padamnya lampu di luar. Pekat menyelimuti ruangan di mana aku berada. Lalu kudengar langkah kaki diangkat, sangat lembut, mendekati pintuku. Apa yang hendak dia caro di balik pintu itu dalam gelap? Lagipula, bukankah lubang kunci di jaman ini tidak dapat digunakan untuk meneropong ruang di baliknya? Apa dia ingin mendengar suara dengkurku untuk memastikan bahwa aku masih hidup? Kenapa tidak membuka pintu itu dan memeriksa keadaanku dalam keadaan terang benderang disinari lampu bertemperatur enam ribu lima ratus kelvin? Bukankah lampu-lampu di jaman ini memiliki tingkat penampilan warna yang di atas delapan puluh persen, artinya apa yang dilihat di bawah sinar lampu itu kebenarannya mendekati penglihatan di bawah terangnya sinar matahari?

Dia diam di balik pintu sana. Aku pun diam di dalam sini. Kami sama-sama diam. Aku rasa dia tahu bahwa aku juga mengetahui keberadaannya. Karena itu dia memilih mengendap-endap ketimbang membukakan diri. Oh, hubungan antar manusia yang berliku...

Cukup lama juga kami berdiam diri. Lalu kudengar langkah kaki menjauh dan pintu terbuka kemudian tertutup. Terakhir yang kudengar darinya adalah suara slot pintu dikunci. Setelah itu keheningan sempurna. Suara televisi yang jauh tidak mendapat tempat dalam perhatianku karena itu bukan duniaku.

Setelah hening tiba untuk pertama kalinya dalam ruangan ini kubangkitkan tubuhku. Aku hendak merabai pintuku dan memanjat lubang angin di atasnya. Kini setelah benar-benar yakin bahwa di luar tidak ada orang aku ingin memastikan seperti apa ruangan di luar itu.

Aku harus benar bahwa di sekelilingku hanya ada kesunyian. Aku harus pasti tentang ini! Sebab hendak kuhidupkan sosok pengawasku dalam ruangan ini. Juga petugas yang menjemput dan menggandeng tanganku. Juga orang-orang yang kutemui atau sekedar menatap padaku. Juga keputusan pengadilan yang memenangkan gugatan atas tanah yang menurut badan pertanahan belum pernah diterbitkan surat-suratnya. Aku hendak bercakap-cakap dengan mereka. Ini kuperlukan supaya aku tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Lagipula di dalam kesunyian, berbicara dengan sesuatu dapat membantuku melewatkan berat yang menekan dada.

Yang pertama muncul dari diriku setelah turun dari lubang-lubang angin adalah senyum tipis. Lalu tawa yang kelewat samar. Dan dengan makin tegasnya sosok petugasku, tawaku mengeras. Pengawasku mendekat dengan takut-takut. Juga pegawai kelurahan yang menunjukkan keberadaanku kepada petugasku. Lalu bergantian datang manusia-manusia akrab dari masa lalu. Kecuali kematian istriku, aku ingin semua itu hidup kembali....

Eh, aku gembira karena kini bertambah beberapa kawan baru. Aku harap mereka tak bosan-bosan mengunjungiku ketika hening melarutkan aku. Apalagi ini adalah malam pertamaku di tempat baru.

Surabaya, 05 Mei 2015

 

1) Ditulis dengan ingatan pada cerpen Iwan Simatupang yang berjudul Lebih Hitam dari Hitam

2) Dikutip dari sajak Chairil Anwar yang berjudul Malam Di Pegunungan