Oleh : Chandra Krisnawan
Tidak baik sepagi ini bagi Karyono mesti meladeni omelan istrinya. Sarapan tetangga bisa ketambahan bumbu obrolan. Dengan nada memutus persoalan, dia perintah supaya anaknya menunggu di tempatnya biasa mangkal. Pikirannya mendahului anaknya dan sampai terlebih dahulu. Sepagi ini, siapa mau memberi pinjaman meski cuma 10 ribu? Warung di pangkalan mau saja menghutangi segelas kopi, dan beberapa batang rokok jika perlu meski sering juga menggerutu. Tapi bukan uang!
Sebenarnya masih ada simpanan beberapa kilo plastik dan beberapa batang besi tua yang disimpan di salah satu rombong yang tak terpakai di sana. Hanya saja belum ada di antara pengepul-pengepul itu yang mau menerima rosok sepagi ini. Apalagi bobotnya tak seberapa. Paling banter dua digit di bawah seperempat kuintal. Nilai yang tak dapat menggugah pengepul-pengepul itu untuk mau memberinya uang sepagi ini.
Orang lain tentu tidak akan percaya bahwa dia kini tidak punya uang sepeser pun. Orang sering melihatnya duduk di kolong jembatan tol, main catur, meminum kopi, dan merokok. Siapa pun menduga dia bukanlah orang yang kekurangan. Paling tidak untuk rokok dan kopi. Pikiran ini terselempit juga di antara tetangganya yang mendengar pertengkaran tadi. Meski tidak jelas bagi mereka apa pekerjaan Karyono, selama ditemui dia seakan tidak pernah putus rokoknya. Dan hampir selalu didampingi kopi. Aneh bagi mereka karena kemaren malam dia bisa ngopi dan tertawa-tawa, tapi tidak bisa memberi sangu anaknya paginya.
Pukul 06.15 di pangkalan. Dikatakan pada anaknya bahwa hari ini libur saja dulu. Alasannya cukup jujur: ‘tidak ada uang’. Tapi sebagai lelaki tentu saja ada yang mesti disalahkan. Apalagi di depan anaknya sendiri. Tidak boleh keadaannya yang seperti ini diketahui anaknya. Perasaan malu mesti disingkirkan melalui penyalahan. Dan yang menjadi sasaran tentu saja istrinya, meski dia merasa tidak pantas istrinya mendapatkannya. Ah, istrinya tokh tidak ada di sini. Lagipula itu hanyalah kata-kata, tidak akan ada yang mendebatnya.
Dituturkan oleh Karyono, bahwa dia tidak tahu kalau ternyata ibu tidak punya uang. Sepengetahuannya, baru kemaren ibu diberi uang. Kalau tahu sekarang seperti ini, tentu kemaren malam dia masih bisa mencarikan uang untuk pagi ini. Begitu lanjutan tuturan Karyono pada anaknya.
Sebenarnya sudah dua hari Karyono tidak memberi uang pada istrinya. Empat hari lalu hujan turun deras. Itu berarti rezeki tersendiri bagi Karyono. Sungai yang mengalir di kolong jembatan ini sering membawa sampah, yang salah satunya sampah plastik. Sementara orang-orang lain sibuk menanggulangi banjir, dengan galah bambu sepanjang tiga meter yang diberi jaring kecil di ujungnya, Karyono disibukkan sampah plastik yang terbawa arus sungai yang naik. Dan hujan hari itu memberinya rosok yang lumayan. Ditambah dengan yang dikumpulkan sebelumnya, esoknya dia mendapat 65 ribu dan diberikan pada temannya yang membantunya membawa ke pengepul sebanyak10 ribu sebagai ‘ongkos bensin’.
Dari uang 55 ribu yang dipegangnya itu 30 ribu diberikan pada istrinya. Sedangkan sisanya untuk dirinya sendiri. Tidak baik bagi seorang lelaki tidak memegang uang. Warung di kolong jembatan ini juga sudah banyak menyimpan tagihan yang mesti dibayarnya. Tidak mengenakkan terus memupuk hutang. Apalagi tidak semua orang yang mangkal di sini mau membeli rokok pak-pakan dan menaruhnya di atas meja untuk dihisap bersama.
Bagi Karyono kawan pilihan selalu ada. Dia tidak akan mengeluarkan rokok dari kantongnya jika tengah bercakap-cakap dengan orang yang tidak begitu akrab dengannya. Menurutnya, tiap orang punya hitungan keuangan sederhana tersendiri. Mereka punya urusan lain di tempat lain, yang mana pasti disiapkan uang untuk itu. Salah satu dari urusan itu adalah jajan di warung ini. Sedangkan dia tidak ada urusan di tempat lain selain di sini. Segelas kopi yang dipesan bukan sekedar jajan, tapi juga kawan. Uang dan rokok yang dimiliki, akan dicukupkan untuk sepanjang siang, bahkan jika memungkinkan sampai malam. Jadi tidak perlu menawari pada kawan seperti ini rokok miliknya. Bahkan kalau bisa dia mesti mendapat yang sebaliknya dari kawan jenis ini.
Jenis kawan lain adalah yang biasa mangkal di sini juga, yaitu orang-orang yang sama-sama mengharapkan adanya garapan dari tempat-tempat tertentu dan dari orang-orang tertentu. Pada umumnya mereka biasa disebut makelar. Mereka selalu mencari barang-barang untuk dioperkan, dijatuhkan harga pasarannya, dan, kalau mungkin, digelapkan. Dua terakhir merupakan sampingan. Seperti Karyono, hampir semua penghuni pangkalan ini memiliki keahlian yang sama di bidang instalasai listrik sederhana, bangunan, motor, dan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan suatu keahlian yang setengah-setengah. Pada kawan-kawan jenis inilah Karyono merasakan lingkaran nasib yang sama.
Meski demikian, pada beberapa orang dari jenis kawan ini terdapat perbedaan pandangan dengan Karyono. Beberapa orang dari jenis kawan ini mengeluarkan rokoknya jika memerlukan bantuan, atau ketika mereka baru saja mendapat hasil, atau sedang ingin membanggakan dirinya, layaknya orang hebat. Mereka butuh kawan yang bersedia mendengar bualannya, dan untuk itu diperlukan batang-batang rokok.
Karyono tentu saja bersedia mendengar bualan semacamnya jika ingin menyimpan rokoknya sendiri. Selebihnya rokok selalu terkantung dalam saku mereka. Karyono selalu hati-hati bergaul dengan kawan yang terakhir ini. Bagaimana pun juga antara Karyono dan mereka terdapat kesamaan. Karyono tidak akan tersinggung karena mereka jarang mengeluarkan rokoknya. Dia pun akan berlaku demikian. Terserah pada anggapan bahwa rokok alat untuk bergaul. Mereka sudah saling tahu karakter dan cara main satu sama lain; masing-masing memegang kartu yang lain. Inilah yang membuat mereka terlalu hati-hati dalam bergaul; hampir tidak ada kepercayaan antara yang satu dengan lainnya, khususnya masalah uang.
Prinsipnya, jangan sekali-kali meminjamkan uang kepada mereka. Sebab, seperti dirinya sendiri, lebih mudah menerima pinjaman ketimbang mengembalikannya.
Tapi pagi ini Karyono merasakan satu kekalahan. Dia tidak mampu memberi uang pada anaknya untuk berangkat sekolah. Karena itu dia mengatakan pada anaknya untuk libur saja dulu. Tidak mungkin dia menyuruh anaknya berjalan sejauh 15 kilo untuk mencapai sekolahnya. Disuruhnya minta minuman pada warung, anaknya. Dan demi menghindari persepsi anaknya bahwa dia sebenarnya ada uang saat ini, Karyono menambahkan, ‘Kalau agak siang, bapak ada uang. Sana pesan minuman!’.
Tidak, tidak, tidak! Pagi ini Karyono hanya memiliki 5 batang rokok yang terkantung di sakunya dari merek yang muncul belakangan ini. Juga siang nanti, belum tentu Karyono akan mendapat uang. Plastik yang terkumpul dua hari ini belum mencapai hitungan seperempat kuintal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari bobot segitu. Tapi itu bisa dipikirkan nanti. Intinya pagi ini dia tidak ingin terlihat bersalah karena sudah bertengkar dengan istrinya. Dia ingin membela diri dari sesuatu yang menggerogotinya pelan-pelan.
Seorang teman dari jenis yang pertama menanyakan mengapa anaknya terus di situ dan tidak juga berangkat. Dengan jujur Karyono menjawab ‘tidak ada uang’. Tapi dalam mengatakan itu diselempitkan olehnya gaya bicara yang di dalamnya terkandung tawa; rasa bangga tertentu sebagai orang miskin, ironi yang diharapkan oleh Karyono akan diterima kawan bicaranya sebagai sebuah bentuk guyonan, bukan sebuah bentuk keputusasaan atau ketidakmampuan.
Ya, kalau pun pagi ini dia mesti merasa kalah karena tidak mampu memberangkatkan anaknya, biarlah getir itu disimpannya sendiri. Biarlah dia menjadi orang pertama yang menertawakan dirinya sendiri. Orang lain boleh saja menebak segi terdalamnya, asal bentuk luar yang diucapkannya tidak mengandung nada memelas.
Diam-diam pertanyaan kawannya itu menyergap kuduk rentan Karyono. Disadari bahwa pembicaraan itu memojokkan dirinya, maka dialihkannya topik ke hal-hal lain, hal-hal yang bisa membesarkan dirinya di hadapan kawannya itu. Kebetulan yang tengah dibicarakan adalah kredit motor. Diceritakan kisah masa lalunya sewaktu dia masih bermain sepeda peteng
Dalam cerita selanjutnya dikatakan bagaimana istrinya sering mendapat teror dari penagih karena dianggap menyembunyikan dirinya. Karena khawatir, dia menyuruh istrinya untuk mengatakan pada collector itu: ‘bahwa suaminya juga tidak pulang berhari-hari dan jika bertemu dengannya, suruh pulang juga.’
Sebenarnya cerita tentang istrinya itu merupakan usaha Karyono untuk meminta maaf pada istrinya. Karyono merasa bahwa dialah yang bersalah atas kejadian tadi pagi, terutama pada istrinya yang sempat hendak ditengkarinya. Bayangan istrinya terus berkelebat tak mau pergi. Menggerogoti diri Karyono dari arah yang tak terduga. Melalui kisah ketabahan istrinya itu dia meminta permohonan maaf pada istrinya. Dia ingin melepas perasaan bersalah yang menderanya. Tentu saja itu hanya bayang-bayang dari pelarian Karyono. Dan sebagai pembelaan lanjutan, diceritakan kisah itu dengan sesekali bersuara keras. Dia ingin anaknya yang duduk tak jauh mengetahui riwayatnya. Hanya dengan itu dia merasa mampu membela dirinya dari segala yang ada di pagi ini.
Pukul 07.00 pagi. Kopi baru diminum separuh oleh Karyono. Biasanya sepagi ini dia masih tidur. Apalagi ini hari kamis. Semalam dia bersama dua orang kawannya tidur di sebuah punden. Menurut pengakuannya sendiri, ‘sekedar sowan’. Tidak ada maksud selain itu, meski entah dengan dua orang kawannya: “yah, siapa tahu…namanya rezeki!”
Baru menjelang subuh dia kembali ke kolong ini, bercakap-cakap sebentar, dan pulang. Tapi belum sempat tidurnya pulas, anaknya membangunkan dan meminta uang. Karena sudah menjadi kebiasaan, diusirnya si anak dan menyuruhnya meminta pada ibu. Tapi si anak tidak mau pergi dan mengatakan bahwa ibulah yang menyuruh meminta pada bapak.
“Wong bapak tidak ada uang kok. Tidak usah sekolah saja kalau begitu…” teriak Karyono dengan mata yang dipejam-pejamkan.
Pada awalnya hal itu diucapkan untuk menggertak istrinya supaya mau memberikan uang pada anaknya. Kebiasaan seorang istri adalah menyimpan sejumlah uang kecil untuk keperluan tak terduga. Hal itu berlaku juga dalam keseharian Karyono. Oleh Karyono istrinya dianggap keterlaluan karena tidak mau mengeluarkan uang simpanannya. Karena itu dia membentak anaknya yang dengan itu mau tak mau juga istrinya. Dia sendiri sedang tidak ada uang.
Tapi istrinya yang tiba-tiba datang dari ruang depan dan berteriak-teriak mengagetkannya. Dia tergeragap dan sedikit meninggi emosinya. Tapi rasa ngantuk membuat Karyono diam dan berpikir sebentar. Tidak baik sepagi ini sudah bertengkar, apalagi karena uang. Oh, persoalan apalagi bagi Karyono yang jadi sebab timbulnya pertengkaran kalau bukan uang? Maka diputuskannya untuk bangun dan pergi ke kolong pangkalan. Dia ragu, tapi siapa tahu di jalan ada yang bisa dipinjami uang barang 10 ribu. Sekedar untuk ongkos angkot pergi-pulang dan jajan secukupnya. Anaknya yang sudah siap berangkat sekolah disuruh menunggu di sana.
Pukul 07.00 memberi ketenangan tersendiri bagi Karyono. Kini dia tidak harus menanggung beban mental yang mungkin dirasakan jika dia meminjam uang untuk keberangkatan anaknya. Hal itu terasa memalukan baginya. Sekarang bila ada yang bersedia meminjami –bahkan kawan bicaranya sekarang tidak akan segan sekedar memberi begitu saja– dia bisa mengatakan, ‘biarkan saja; sudah terlambat masuknya!’.
Yang ingin dia hindari sejak tadi adalah ucapan-ucapan yang mungkin dikatakan oleh setiap orang yang menerima belas kasihan orang lain. Dia tidak pernah tahan mengucapkan kata-kata bernada memelas. Harga dirinya menolak hal-hal seperti itu. Dia selalu mencaci drama tetangisan orang-orang miskin di televisi. Kesadarannya sebagai seorang yang juga kekurangan memunculkan kesimpulan ini; dia merasa orang-orang itu ditindas batinnya, meski ditolong materinya. Kalau pun hal itu terpaksa dilakukan, orang yang menghutangi itu bukanlah orang yang biasa jajan di warung pangkalannya. Keliaran orang itu mesti jauh dari tempat ini.
Tidak baik baginya menerima uang dari orang yang biasa bertemu di sini. Dia tidak ingin terkesan menghindar jika dia belum ada uang untuk mengembalikan. Apalagi jika yang menghutangi kebetulan memilih tempat dekat dengan Karyono duduk, dan butuh teman sekedar ngobrol. Perasaan tidak enak bisa timbul karena dia tidak ingin menemani orang itu. Pendeknya Karyono tidak ingin serba salah di hadapan orang-orang yang biasa jajan ke sini karena dia berhutang pada salah satu dari mereka. Sebab 10 ribu pada saat seperti sekarang mengandung budi yang pengembaliannya bisa merisaukannya.
Pukul 07.15. Kopi Karyono masih separuh. Belum diangkat lagi sejak terakhir kali. Sengaja dia tidak menghabiskannya dan pulang dulu untuk mandi. Dipesankan kepada pewarung jika anaknya ingin meminta sesuatu dibuatkan saja. Juga tidak lupa pada gelas kopinya untuk tidak dibereskan dulu.
Di rumah Karyono melihat kemungkinan lain, yaitu dua anaknya lagi yang rasa-rasanya juga akan libur sekolah. Itu bisa saja terjadi karena istrinya ingin membalas teriakan Karyono tadi. Bisa saja istrinya membolehkan anak-anaknya libur dengan alasan tidak diberi uang jajan dan menimpakan kesalahan itu pada dirinya. Astaga, kenapa tiba-tiba hal sepele ini menjadi begitu rumit?
Karyono hanya diam melihat istrinya bersiap ke pabrik. Melalui anaknya dia bertanya pada istrinya, “kok nggak pakai seragam? Nggak sekolah?”. Kedua anaknya hanya menggeleng. Dia pun turut menggeleng. Pada siapa kesalahan mesti ditimpakan atas ini semua? Dia bergegas mandi dan berusaha mendahului istrinya keluar dari rumah. Dia tidak ingin melihat mata kedua anaknya yang berharap uang jajan darinya. Biar itu menjadi urusan istrinya.
Sekembalinya anaknya sudah tidak berada di kolong pangkalan. Entah ke mana. Melihat anaknya tidak berada di sana, seketika Karyono dihantam perasaan bersalah sekaligus malu. Anak itu tidak mungkin pulang sekarang. Karyono tidak berpapasan di jalan. Juga tadi dipesankan untuk pulang setelah ibunya berangkat. Karena jika yang terjadi sebaliknya, si anak akan mendapat omelan dari ibunya karena ternyata Karyono tidak mampu memberinya uang. Lantas ke mana perginya?
Bagi Karyono masa sekolah adalah masa yang penuh dengan petualangan. Dia tidak akan geram lantaran anaknya tidak masuk sekolah sehari atau dua hari. Sebab dia pun juga pernah melakukannya. Bahkan tidak sekali dua kali. Juga pada pagi yang lain, siapa tahu anaknya bolos dan keluyuran entah ke mana. Disadari benar olehnya bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Tapi pagi ini dia mengetahui keberangkatan anaknya dalam seragam sekolah dengan bekal yang berbeda; siapa yang akan bolos bersama anaknya? Hal ini tidak menyenangkan hatinya.
Pukul 08.00. Apalagi yang mesti dikerjakan sekarang? Plastik-plastik yang ditatanya rapi tadi untuk menghindari meningginya emosi tidak mungkin dikilokan sekarang. Terlalu sedikit. Dan ini sudah beberapa minggu dia menganggur dan menggantungkan diri pada kesanggupan simpanan gaji istrinya. Tidak ada kenalan yang didengarnya akan membangun rumah, atau melakukan perbaikan di sana-sini. Dan tidak ada barang untuk dioperkan pada pembeli. Tidak ada harapan garapan baginya. Uang pun tidak ada.
Pilihan yang tersisa hanyalah berada di kolong jembatan tol dan menghabiskan waktu sampai sore. Tempat ini memang cocok untuk menyembunyikan diri dari kesibukan; bermalas-malasan sepanjang hari di antara rombong-rombong yang tidak terpakai di siang hari, ngobrol dengan topik-topik yang meloncat-loncat. Sungai yang mengalir di kolong ini memisahkan jalan raya di seberang dan memberi ruang bagi jalan setapak di sisi yang lain. Di sisi inilah orang-orang yang tidak memiliki kejelasan pekerjaan berkumpul.
Sekarang uang menjadi permasalahan pokok baginya. Jika siang atau sore nanti ada kepastian akan didapat uang, tentu pagi ini akan dilaluinya dengan berbeda. Dia berani, misalnya meminjam uang pada siapa saja untuk sekolah anaknya jika ada jaminan pasti nanti.
Duduk berpangku tangan di pinggir sungai, dirasakan hatinya lungkrah dan kacau. Keadaan yang lebih sejahtera di masa lalu mengusiknya. Meski selalu meninggikan sikutnya, paling tidak dia selalu kecukupan uang. Bibir Karyono menolak untuk tersenyum. Dia lebih ingin tertawa. Tapi dengan siapa? Kejadian seperti ini sudah berulang kali dialaminya. Disiapkannya betul-betul agar tidak terulang yang serupa. Tapi datangnya datang tidak diiringi gemuruh. Mungkin yang menggundahkan Karyono bukanlah ketiadaan uang, tapi bentakan-bentakan istrinya padanya. Mungkin juga dia menyesali dirinya karena tidak pernah menabung. Bukankah ada ketenangan tersendiri karena ada uang celengan, meski tidak sepeser pun dipegang!
Sekarang botol-botol plastik, gelas-gelas air mineral, dan sampah-sampah yang mengalir di depannya tidak menggairahkannya. Dia hanya bergerak mengambilnya jika jaraknya benar-benar dekat dan dirasa terlalu berdosa jika dilewatkan begitu saja. Persediaan rokoknya juga tinggal dua batang. Mudah-mudahan saja siang nanti turun hujan lebat.
Pagi ini karyono tidak mendapatkan uang untuk keberangkatan anaknya. Tapi dia mendapat segelas kopi, teh hangat, dan jajan yang total semuanya 5,500 dari pewarung. Jatah yang mestinya bisa untuk siang atau sore nanti.