Sesuai janji pada postingan sebelumnya, kami pun berkunjung ke Sentra Ikan Bulak (SIB) yang terletak di pesisir pantai Kenjeran Surabaya. Sentra ikan yang menghabiskan anggaran sebesar 21 milyar ini diproyeksikan sebagai pusat penjualan makanan olahan hasil laut yang menjadi produk khas warga pesisir Surabaya, khususnya di sekitar SIB.
Terhitung, saat ini sudah lima tahun sejak bangunan berlantai dua ini diresmikan oleh Walikota pada tahun 2012 silam. Sayangnya, ketika kami berkunjung kondisi pasar masih sepi. Di lantai satu terdapat bedak-bedak yang kosong, baik di bagian olahan makanan basah mau pun olahan makanan kering. Begitu juga keadaan di lantai dua. Selain warung makanan yang ada pengunjungnya, stand-stand yang ada nampak kosong. Di beberapa stan nampak etalase-etalase berisi kerajinan dari kulit kerang dipajang namun tidak ada penjualnya. Entah sedang tutup atau ditinggal oleh penjualnya.
Kondisi ini tentu sangat disayangkan, mengingat negara telah menghabiskan 21 milyar untuk pembangunannya. Saya jadi bertanya, mengapa pedagang dan pembeli di sentra ikan ini sepi? Padahal Jembatan Suroboyo dan Taman Suroboyo yang digadang-gadang akan meramaikan SIB sudah rampung dibangun dan dikunjungi banyak orang. Atau apakah mungkin saya berkunjung di hari yang salah; misalnya saja saya harus berkunjung di hari senin atau rabu, bukan di hari sabtu...hhmm..
Barangkali kondisi ini disebabkan adanya pro dan kontra di antara para pedagang. Ada pedagang yang bersedia menempati stan di SIB. Namun ada juga pedagang yang menolak menempatinya. Masing-masing pedagang tentu memiliki alasan masing-masing.
Yang patut dicermati adalah hasil simpulan dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Unesa atas kondisi ini. Dalam makalah yang berjudul "Partisipasi Pedagang dalam Pengembangan Sentra Ikan Bulak (SIB) Di Kecamatan Bulak Kota Surabaya" yang ditulis oleh Eka Novia Sari dan Muhammad Farid Ma'ruf menyebutkan :
"Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat yang bersangkutan untuk menuju kata sepakat tentang berbagai gagasan yang menyangkut kepentingan bersama dalam program pembangunan yang dilaksanakan. Jika teori Cohen dan Uphoff (dalam Dwiningrum, 2011:61-62) dikaitkan dengan hasil yang diperoleh peneliti di lapangan menunjukkan bahwa tidak adanya keterlibatan pedagang dalam tahapan partisipasi dalam pengambilan keputusan pada program pembangunan SIB. SIB dibangun sesuai dengan program Walikota Surabaya yaitu Ibu Tri Rismaharini. Pada tahapan ini, pedagang yang berdagang di bahu jalan hanya diberikan sosialisasi dan pemindahan menuju gedung SIB tanpa diberikan kesempatan untuk memberikan saran atau usulan pada program pembangunan SIB. Sehingga masih banyak pedagang yang tidak memahami tujuan dari dibangunnya SIB karena tidak adanya partisipasi pedagang dalam tahapan pengambilan keputusan. Akibatnya hingga saat program pembangunan SIB telah selesai dilaksanakan, masih terdapat banyak permasalahan dalam proses pengembangannya yaitu kurangnya partisipasi pedagang untuk berdagang di SIB. Contohnya seperti banyaknya pedagang yang kembali berdagang di bahu jalan dan enggan untuk menempati stan yang telah disediakan di SIB."
Hasil penelitian itu menunjukkan program pembangunan SIB cenderung berpola top down. Warga sebagai penerima manfaat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Warga sebagai penerima manfaat hanya dilibatkan dalam proses sosialisasi saja. Padahal supaya program pembangunan berjalan dengan baik metode yang mestinya dilakukan adalah bottom up, di mana aspirasi dari bawah disaring kemudian dijadikan sebagai acuan dalam program pembangunan.
Persoalan lain yang juga menjadi kendala adalah keberadaan lokasi SIB yang sepertinya kurang strategis. Lokasi SIB yang berjauhan dengan tempat wisata kenjeran sepertinya kurang menguntungkan. Sebab wisatawan yang berkunjung ke pantai kenjeran harus melakukan perjalanan lagi untuk bisa mencapai lokasi SIB. Meski waktu tempuh yang dibutuhkan tidak lama hanya sekitar 5-10 menit, namun bukan tidak mungkin wisatawan enggan mengunjunginya. Sebab wisatawan yang sudah lelah, bisa jadi enggan mengunjungi SIB dan memilih membeli hasil olahan yang tersedia di sepanjang jalan menuju atau pulang dari tempat wisata kenjeran. Lokasi SIB yang tidak berada pada rute jalan utama Kenjeran yang menjadi akses utama bagi wisatawan menuju tempat wisata atau pun ketika pulang, menyebabkan pengunjung harus menyediakan waktu dan energi lebih banyak untuk menjangkaunya. Mungkin akan berbeda jika SIB berada dalam lokasi rute masuk kawasan wisata.
Hal ini harusnya mendapat perhatian dari Pemerintah. Dari segi pedagang sendiri keberadaan lokasi SIB yang jauh dari tempat tinggal dapat menyebabkan biaya pengeluaran menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan berjualan yang lokasinya dekat dengan rumah. Selain berjualan mereka juga masih bisa mengurusi rumah tangga apabila diperlukan. Hal ini merupakan aspek sosial yang layak dijadikan pertimbangan. Akan berbeda halnya jika tempat berjualan berada di lokasi yang jauh dari rumah. Apalagi profesi sebagai pedagang hasil olahan ikan merupakan profesi yang disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal sebagai basis produksi pedagang.
Sepertinya perlu dilakukan terobosan baru supaya SIB bisa menjadi primadona yang menjadi rujukan wisatawan. Misalnya saja dengan merubah akses masuk wisatawan dari luar melewati jalan Kedung Cowek (gagasan yang sepertinya tidak masuk akal). Bisa juga dengan memperkenalkan SIB melalui media sehingga makin banyak orang yang tertarik untuk mengunjunginya. Yang menjadi fokus adalah bagaimana mendatangkan calon pembeli ke SIB.
Dan yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah, jangan sampai pedagang yang menjadi korban. Hanya mengejar target stan SIB penuh tanpa menimbang sisi ekonomi dan sosial dari para pedagang bukanlah solusi yang tepat. Sebab bagi para pedagang, berjualan bukan hanya soal fasilitas yang bagus dan mahal. Yang paling utama bagi para pedagang adalah bagaimana menjangkau calon pembeli mereka sedekat dan seefektif mungkin. Seorang pedagang tentu akan memilih fasilitas yang dekat dengan calon pembeli ketimbang sebaliknya.
Keinginan para pedagang itu tentu harus diakomodir. Industri rakyat di bidang pengolahan hasil ikan telah berkembang di sana jauh sebelum SIB dibangun. Keberadaan mereka tentu telah melalui proses yang panjang. Mungkin tempat yang saat ini dipilih oleh para pedagang yang enggan pindah, merupakan tempat yang paling representatif bagi mereka.
Berbagai pertimbangan telah dilalui. Jangan sampai pembangunan SIB malah menjadikan para pedagang sebagai pihak yang dirugikan. Apalagi jika sampai dipertentangkan misalnya saja dengan pedagang lain dari Pabean.
Maka yang menjadi pekerjaan rumah rumah adalah bagaimana mendatangkan pengunjung ke SIB. Dan bukan bagaimana memaksa pedagang pindah ke SIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar