Senin, 24 April 2017

BERKUNJUNG KE BLITAR BAGIAN 1



Sekali pun perjalanan ke Blitar baru akan berlangsung pada hari sabtu 22 April nanti, namun kesibukan perjalanan sudah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.

Siang itu saya mendapat kabar. Saudara saya yang tinggal di Blitar mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu menyebabkan tangan kiri saudara perempuan saya patah tulang.

Tanpa pikir panjang saya pun memutuskan bahwa akhir pekan nanti kami akan menjenguknya. Kebetulan pada hari senin ada tanggal merah. Kesempatan yang baik untuk berkunjung ke kota Blitar yang merupakan kampung halaman (saya tidak tahu apakah kota yang akan saya tuju layak disebut sebagai kampung halaman; pada kesempatan lain mungkin perlu juga dibahas hal ini).

Esok paginya saya meluncur ke stasiun Wonokromo untuk memesan tiket. Kota yang hendak saya tuju tidak menyediakan tiket online karena tergolong jalur tujuan pendek. Pemesanan tiket hanya mungkin dilakukan di loket stasiun.

Pukul 8 kurang saya sudah tiba di stasiun. Ternyata antrian untuk pengambilan nomor antrian sudah panjang. Saya pun segera mengambil tempat. Dan ketika pengambilan nomor antrian sudah dimulai saya mendapat antrian nomor C029. Lumayan dibandingkan mendapat nomor antrian misalnya saja C050, pikir saya berbesar hati.



Tapi ternyata jam buka loket dimulai pukul 9. Di sini saya sedikit gelisah. Sebab jam kerja saya dimulai jam 8 pagi, dan saya harus sesegera mungkin tiba di kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Meski begitu saya coba menahan diri. Toh ini kejadian yang jarang terjadi. Lagipula sehari sebelumnya sudah ijin akan datang terlambat untuk urusan tiket. Maka saya pun mencari warung kopi terdekat untuk menunggu. Dan warung yang dapat saya temukan terletak di pangkal jalan jagir persis sesudah perlintasan kereta. Di sana saya memesan segelas kopi sambil menata hati dan memandang pintu air legendaris: Pintu Air Jagir. Perhitungan saya nomor antrian C029 tidak akan memakan waktu lama.

Pukul 9 kurang saya kembali ke stasiun tapi loket masih belum buka. Baru pukul 9 persis panggilan nomor antrian dimulai. Dengan dibukanya loket, waktu menunggu seolah menjadi lebih pendek karena kita tahu antrian yang kita tunggu bergerak.

Tapi perkiraan saya keliru. Sampai pukul setengah 10 antrian baru sampai pada nomor C004. Ini berarti dalam rentang waktu setengah jam hanya 4 sampai 5 pemesan tiket yang terlayani. Jika dikalkulasi dengan nomor antrian C029, wah bisa runyam, pikir saya. Bukan tidak mungkin saya baru akan mendapat tiket pada pukul 11an. Mungkin bisa lebih lama lagi. Tapi bukan tidak mungkin lebih cepat dari dugaan saya.

Tanpa pikir panjang saya pun meninggalkan stasiun. Saya merasa sepertinya akan sia-sia menunggu lebih lama lagi. Kecuali jika saya pada hari itu tidak bekerja, tentu saya akan menunggu lebih lama lagi. Tapi saya bekerja dan datang terlambat lebih dari 30 menit mengandung nilai tertentu. Sedang saat itu sudah 90 menit saya terlambat. Waktu adalah uang, kata pepatah. Pesan moralnya adalah gunakan waktu seefektif dan seefisien nungkin. Karena waktu sangat berharga. Dan saya sudah tertinggal 90 menit dari jam masuk kerja. Mestinya orang-orang yang menunggu antrian juga dipandang sebagai subjek yang berkata: "waktu adalah uang!"

Sebenarnya keputusan meninggalkan antrian didasari pula oleh beberapa pertimbangan lain selain pekerjaan. Perhitungan saya, sebaiknya membeli tiket pada hari H keberangkatan. Dengan begitu tidak perlu repot-repot mengantri meski sebenarnya pertimbangan itu seperti berjudi. Sebab membeli tiket di hari H cenderung sudah habis. Apalagi akhir pekan ini ada libur panjang. Tapi itu mungkin lebih baik dibandingkan dengan sudah mengantri tapi ternyata tidak mendapat tiket.

Tapi demi mengobati kekecewaan, saya berusaha berpikir positif. Opsi lain: kami akan berangkat dengan menggunakan bus jika tiket pada hari H sudah habis. Opsi lain seperti berkendara untuk kali ini saya hindari. Sebab saya hendak bepergian bersama istri dan anak. Seandainya saya berangkat sendiri saya lebih suka menikmati perjalanan dengan berkendara roda dua.




Kelak, pada hari H, kami benar-benar tidak mendapat tiket dan kami benar-benar melakukan perjalanan dengan menggunakan bus antar kota.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar