Rabu, 05 April 2017

PEDAS SEPEDAS-PEDASNYA


Sehabis makan keringat Cak Oerip bercucuran. Dia tuang air banyak-banyak ke dalam gelas. Sambal bawang buatan Yu Nipah, istrinya, memang luar biasa pedas. Tapi yang tak kalah pedas adalah  omelan Yu Nipah karena Cak Oerip menghabiskan sambal hampir separuh cobek.
“Dasar!” omel Yu Nipah. “Apa tidak tahu harga cabai seperti harga emas. Masak sambal satu cobek dihabiskan sendiri.”
Cak Oerip terkekeh sambil menghabiskan minumnya. Rasa pedas masih melumuri mulutnya. Sedang sisa ikan asin yang menjadi lauknya tadi, asyik bersembunyi di sela-sela gigi.
“Sekali-kali, Yu, makan makanan mewah. Makanan mewah tidak hanya direstoran-restoran saja. Sepiring nasi dengan lauk ikan asin dan sambal bawang buatanmu juga termasuk mewah. Apalagi rasa pedasnya tidak hanyal di mulut, tapi juga di telinga. Rasanya benar-benar pedas sepedas-pedasnya,”celoteh Cak Oerip sambil tertawa.
Keluhan Yu Nipah memang beralasan. Pada hari-hari belakangan, boleh dibilang sambal menjadi hidangan yang mewah. Mewahnya sambal belakangan bukan karena ditemukan resep baru di bidang persambalan. Atau ditemukan varietas baru yang hanya dengan satu biji cabai pedasnya setara sepuluh biji cabai. Tapi karena langkanya cabai sebagai bahan baku utama pembuatan sambal.
Kelangkaan ini menjadi pemicu naiknya harga cabai. Di pasar harga cabai telah naik mencapai harga 100 ribu rupiah per kilogram. Bahkan di beberapa daerah melebihi 100 ribu rupiah per kilogram. Sungguh, kenaikan yang tajam dibandingkan dengan kenaikan BBM non-subsidi. Apalagi dengan upah Cak Oerip sebagai tukang, kenaikan harga cabai seperti melesat menuju angkasa.
Tapi meski harga cabai melambung, cabai tetaplah cabai. Keberadaannya dalam setiap masakan hampir mirip dengan garam, selalu diperlukan. Untuk beberapa jenis masakan, cabai dijadikan sambal untuk menjadi pendamping. Sedang pada beberapa jenis masakan lain, cabai menjadi bagian dari resep masakan. Bahkan dalam jenis makanan tertentu, cabai yang diolah menjadi sambal disajikan sebagai menu utama.
Industri makanan pun tidak bisa dipisahkan dari keberadaan cabai. Makanan seperti bakso, mie ayam, siomay, batagor, atau pun makanan sejenis lainnya selalu menyediakan sambal. Juga nasi goreng, cap jay, bihun, dan masakan sejenisnya selalu menyertakan cabai sebagai pelengkap hidangan. Tak ketinggalan pula makanan seperti soto, rawon, kare, krengsengan, dan sebagainya memerlukan sambal sebagai pendamping. Apalagi makanan seperti sari laut, bebek goreng, ayam goreng, tempe penyet, malah menjadikan sambal sebagai sajian utamanya.
Bahkan rasa pedas dari cabai dijadikan sebagai media promosi yang digunakan untuk menarik minat pembeli untuk mencoba makanan yang ditawarkan. Sambal yang pedas menjadi semacam duta iklan agar orang menjadi penasaran untuk mencicipinya. Nama-nama seperti sambal setan, sambal bledhek, menjadi contoh betapa bisnis rasa pedas cukup diminati pada industri makanan.
Tak ingin ketinggalan, industri makanan berskala besar juga terjun dalam bisnis persambalan. Makanan praktis dan cepat saji menjadi favorit dalam  pola kehidupan zaman yang serba cepat ini. Jika orang dulu harus bersusah  payah agar dapat menikmati sambal. Sekarang tidak lagi.
Kini di toko-toko telah tersedia berbagai macam sambal dalam kemasan sachet. Praktis, irit, dan bisa dibawa ke mana-mana. Rasanya pun tak kalah dengan sambal buatan Yu Nipah. Hanya saja, Cak Oerip lebih suka sambal buatan istrinya itu dibanding sambal-sambal buatan pabrik. Omelan yang mungkin terlontar dari mulut Yu Nipah, memiliki sensasi pedas yang tak dapat dicari tandingannya.
Geliat bisnis di bidang sambal ini tentu sangat tergantung pada ketersediaan cabai sebagai bahan baku utama. Indonesia sebagai Negara agraris tentu memiliki jumlah persediaan yang melimpah untuk cabai. Jenis-jenis makanan yang ada di Nusantara tentu dipengaruhi oleh berbagai macam rempah-rempah yang tersedia di Nusantara.
Tapi tidak demikian yang terjadi belakangan ini. Persediaan cabai cukup langka. Kondisi cuaca menjadi factor penyebab kelangkaan cabai. Curah hujan yang tinggi di penghujung tahun menyebabkan panen terganggu. Di beberapa daerah petani gagal panen. Sedang di daerah lain petani memanen cabainya terlalu dini untuk menghindari kerusakan dan gagal panen.  Akibatnya cabai yang semestinya dipanen sekitar pergantian tahun mengalami penurunan. Sehingga suplai cabai menjadi langka pada bulan-bulan itu.
Kelangkaan cabai ini memunculkan opsi untuk mendatangkan cabai dari daerah lain. Agar harga tidak semakin naik, dirasa perlu untuk menjaga ketersediaan stok. Bahkan untuk mengantisipasi kelangkaan cabai, juga muncul opsi untuk mengimpor cabai dari luar negeri. Meski pemerintah pusat menginstruksikan agar tidak dilakukan import cabai.
Kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian serius. Sebab tidak Sekali ini saja harga cabai melambung tinggi. Meski lonjakannya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, namun tetap saja memprihatinkan.
Akibat tidak stabilnya harga, bukan tidak mungkin akan menyebabkan terjadinya import cabai. Kondisi yang saat ini terjadi, menunjukkan bahwa produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan cabai yang tinggi. Sebab bukan hanya industri makanan skala kecil seperti warung dan restoran saja yang membutuhkan cabai sebagai bahan bakunya. Industri pengolahan makanan berskala besar juga tidak sedikit yang menjadikan cabai sebagai bahan produksinya.
Jika terjadi permintaan yang demikian besar sedang produksi dalam negeri tidak mencukupi, import menjadi opsi yang bisa dipilih. Di satu sisi import membantu menstabilkan harga ketika terjadi kelangkaan cabai di dalam negeri. Di sisi lain, petani cabai akan menghadapi tantangan yang berat.
Sebab harga cabai yang didatangkan dari luar negeri seperti, misalnya saja Myanmar, ternyata harganya tidak terpaut jauh dengan harga cabai yang didatangkan dari misalnya saja Bojonegoro. Apalagi masyarakat masih begitu keranjingan dengan sesuatu yang berbau import. Bukan tidak mungkin produk cabai lokal akan kalah di pasaran.
Rasa pedas di mulut Cak Oerip seketika lenyap memikirkan hal ini. Cak Oerip berpikir, “Jangan-jangan sambal yang dimakannya tadi cabai-cabainya berasal dari luar negeri.”
Cak Oerip tersenyum. Seandainya benar cabai-cabai itu diimpor dari luar negeri berarti makan malamnya kali ini benar-benar mewah. Sementara itu pada saat yang bersamaan dia menyayangkan semakin sempitnya lahan pertanian. Penyempitan lahan pertanian yang produktif harus diimbangi dengan pembukaan lahan-lahan baru. Tanah-tanah guntai atau pun tanah-tanah terlantar harus difungsikan sebagai lahan produktif.
Tanah-tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama perlu diurus. Sebab di sisi lain kebutuhan akan tanah sangat mendesak. Membiarkan tanah-tanah terlantar sama dengan menyia-nyiakan segala hal yang mungkin bisa tumbuh dari kesuburan tanahnya. “Siapa tahu di atas tanah-tanah itu bias ditanami cabai. Sebagai cadangan pasokan cabai dalam negeri,” celoteh Cak Oerip.
Perkembangan industri dan bertambahnya pemukiman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dan semua itu memerlukan tanah sebagai ruang untuk berpijak. Padahal luas tanah tidak mungkin bertambah.
Kembali ke persoalan rasa pedas. Kondisi cuaca yang tak menentu sebenarnya merupakan  tantangan di bidang pertanian, khususnya penanaman cabai. Curah hujan yang tinggi, terganggunya proses fotosintesis, serta tingkat kelembapan tanah yang tinggi, merupakan tantangan yang harus dijawab.
Sepertinya perlu dikembangkan varietas cabai yang baru. Selain harus tahan terhadap serangan hama, tanaman cabai juga harus tahan terhadap anomali cuaca. Dan yang paling penting, cabai harus tahan terhadap lonjakan harga.
Surabaya, january 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar