Jumat, 05 Mei 2017

MENYAKSIKAN PENTAS MONOLOG BALADA SUMARAH OLEH TEATER US



Suatu malam di penghujung bulan April. Sebuah grup teater dari perguruan tinggi Universitas Surabaya yang bernama Teater US akan menggelar pertunjukan di gedung Cak Durasim. Pertunjukan itu akan mementaskan dua lakon. Yang pertama Monolog 'Balada Sumarah' karya Tentrem Lestari dan yang kedua 'Beranda Berdinding Kaca' karya August Strindberh. Pementasan itu merupakan puncak acara dari rangkaian kegiatan yang sudah berlangsung sejak bulan Maret yang diselenggarakan dalam rangka dies natalis Universitas Surabaya ke-23.

Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya mendapat undangan untuk menghadirinya. Dan karena tidak ada halangan saya pun hadir di sana, bersama istri dan anak. Lumayan, menghibur diri sambil mengedukasi si kecil lewat pertunjukan kesenian di atas panggung.

Kami tiba di lokasi dalam keadaan gelap gulita. Rupanya listrik di area gedung Cak Durasim sedang mengalami gangguan. Tapi penerangan di dalam gedung tidak terkendala. Meski di bagian registrasi pengunjung tidak seluruhnya lampu menyala namun di dalam lampu penerangan dan AC tetap menyala.

Ketika masuk ke dalam gedung saya merasakan ada perubahan dari terakhir kali saya mengunjungi gedung Cak Durasim yang terletak di jalan Genteng Kali itu. Bagian tempat duduk penonton lebih tinggi dari sebelumnya. Sedang di bagian depan terasa menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Entah apakah di bagian panggung juga ada perubahan.




Kegiatan dimulai oleh dua orang pembawa acara. Kemudian dilanjutkan pembacaan puisi dari naskah yang berasal dari juara pertama lomba cipta puisi yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan ini. Sayang, penyairnya tidak dapat hadir sehingga puisi dibawakan oleh orang lain. Padahal saya paling menantikan puisi juara pertama dibawakan langsung oleh penyairnya. Saya berpendapat, puisi yang dibawakan oleh penyairnya akan menguatkan karakter puisi itu sendiri. Tapi bukan berarti pembacaan puisi yang dilakukan tidak bagus. Hanya saja semestinya dilakukan konfirmasi dengan penyairnya terlebih dahulu perihal pembacaan puisi. Akan tetapi, tim penyelenggara tentu punya pertimbangan tersendiri.

Selanjutnya pentas diisi dengan tarian dari UKM Tari Universitas Surabaya. Tarian ini menampilkan tiga orang penari yang di atas panggung. Ketiga penari tersebut diiringi oleh musik gamelan. Setelah itu yang mendapat giliran tampil di panggung adalah dari teater pelajar. Mereka menampilkan pertunjukkan dengan menggunakan payung sebagai media pendukung yang utama. Setiap gerak dan langkah di atas panggung dari setiap orang mencoba mengeksplorasi imajinasi melalui media payung.

Pentas 'Monolog Balada Sumarah' tampil setelah itu. Dan pentas ini yan bsaya tunggu-tunggu. Saya ingin menyaksikan bagaimana tuturan seorang perempuan bernama 'Sumarah' itu ditampilkan di atas panggung. Sepertinya sangat menarik!






Pentas dimulai dengan menampilkan sosok perempuan yang duduk di atas dingklik di tengah-tengah panggung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat dua buah bingkai yang berdiri dan diletakkan secara simetris. Sedang di belakang terdapat sebuah gambar seperti siluet sosok perempuan dalam bentuk yang simetris pula dengan warna putih di bagian tengah dan warna hitam mengelilinginya. Di bagian tengahnya terdapat tanda silang 'X', mungkin sebagai simbol dari 'suara yang terbungkam'. Mungkin juga simbol yang berkaitan dengan 'leher' karena tanda silang itu terletak di bagian leher. Simbol yang berkaitan dengan, misalnya saja, hukuman mati.

Naskah monolog itu sendiri alur ceritanya bergerak mundur. Dimulai dari pengakuan seorang perempuan atas nasib yang menimpanya di negeri asing, Sumarah mengajak para pendengarnya menyelami masa lalunya. Akan tetapi nyata bahwa masa lalu yang dikisahkannya itu bukan sekedar masa lalu perempuan yang bekerja di negeri asing karena di negeri sendiri begitu sulit mendapatkan pekerjaan. Lebih dari itu, masa lalu Sumarah adalah sejarah kelam negeri ini.

Sumarah dengan gamblang menyampaikan bapaknya yang 'diciduk' akibat tragedi di tahun 1965. Dampak dari 'pencidukan' itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh orang yang 'diciduk' saja, tapi juga kepada orang-orang di sekeliling, dalam hal ini Sumarah sebagai anak. Padahal tak diketahui apakah benar bapak Sumarah terlibat atau tidak dalam tragedi itu.

Di sekolah Sumarah diejek oleh teman-temannya. Di masyarakat dia harus berupaya agar dia mendapat cap 'bersih lingkungan'. Pada bagian ini, naskah monolog hendak mempertanyakan kondisi sosial yang melingkupi Sumarah dalam naskah mau pun 'Sumarah-sumarah lain'.





Pendeknya, naskah ini memiliki kekuatan dari segi sosial. Realitas yang ada diangkat ke dalam naskah dan dipertanyakan. Lebih jauh, bukan hanya soal tragedi 1965 yang dipertanyakan. Tapi juga nasib Manusia Indonesia, manusia yang lahir dan besar dan bernegeri Indonesia yang bernama Sumarah. Sumarah yang di negerinya sendiri 'tidak dianggap ada' sehingga memilih mengais rezeki di luar negeri. Dan celakanya, di luar negeri sebagai TKI nasibnya tak lebih mujur. Sedang di sisi lain, seseorang yang punya kekuasaan dengan enak menjual jatah beras yang seharusnya untuk warganya. Pun jatah beras untuk rakyat itu kualitasnya....

Sumarah Menggugat, kalau saya boleh bilang. Sumarah menggugat ketidakadilan yang menimpa dirinya. Menggugat ketidakadilan yang menimpa 'Sumarah-sumarah lain. Menggugat ketimpangan dan kepincangan di sekelilingnya!

Monolog itu diakhiri dengan adegan Sumarah menikam sesuatu atau seseorang. Sebuah naskah monolog panjang telah berakhir. Meski cukup melelahkan mengikuti tuturan demi tuturan saya merasa puas. Dengan dukungan pencahayaan dan denting petikan gitar yang sesekali mengiringi monolog, menjadikan pentas itu lebih hidup.

Sayangnya waktu jua yang memisahkan. Saya tidak dapat mengikuti pementasan berikutnya karena harus segera pulang. Panggung tengah ditata untuk pementasan selanjutnya ketika kami meninggalkan gedung.

Meski begitu, saya salut pada kegigihan yang telah ditunjukkan oleh Tim Teater US. Pentas di atas panggung adalah buah dari latihan dan kerja keras yang panjang. Dan ini sangat layak diapresiasi. Semoga ke depan Teater US terus menghasilkan karya-karya yang apik.



Senin, 01 Mei 2017

BERKUNJUNG KE CANDI DERMO



Tinggal di sebuah kota yang memiliki sejarah panjang seperti Surabaya memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi Surabaya berdekatan dengan wilayah kerajaan kuno Majapahit yang terletak di Mojokerto, tentu banyak tempat yang bisa dikunjungi.

Siang yang panas di hari minggu. Meski perjalanan menuju Krian-Sidoarjo agak tersendat, pada pukul setengah 12an kami, saya dan seorang kawan lagi, memasuki wilayah Krian. Tujuan kami kali tak lain adalah menengok situs purbakala yang ada di daerah Krian.

Sebagai pewaris kebudayaan, dalam hal ini bolehlah sedikit bergagah-gagah, kami hendak menjelajah situs-situs kuno. Untuk perjalanan pertama tujuan kami tentu yang lokasinya tak jauh dari Surabaya. Krian menjadi pilihan karena kami ingin melihat candi-candi peninggalan Majapahit yang ada di sini.

Tapi mencari sebuah situs candi ternyata agak sulit juga. Kami bertanya beberapa kali mengenai situs di daerah Terung yang merupakan peninggalan Adipati Terung. Namun dari sekian banyak orang yang kami tanya ternyata menunjukkan kepada kami situs candi lain, yaitu 'Candi Goro' (sebutan yang sepertinya diberikan oleh penduduk setempat karena ketika tiba di lokasi candi yang dimaksud bernama Candi Dermo; penamaan 'Candi Goro' mungkin karena candi itu terletak di desa Candinegoro). Entahlah, mungkin kami salah bertanya atau kata 'candi' yang kami gunakan untuk bertanya lebih pas dengan Candi Dermo. Kebetulan pula letak candi itu tidak terlalu jauh dari Terung.

Begitulah kami menuju Candi Dermo. Dalam sebuah perjalanan yang tak formal, sebuah tujuan bisa berubah sesuai dengan situasi terbaru di perjalanan. Meski tak sesuai dengan tujuan semula, perjalanan ini pun layak untuk dicatat karena apa yang kami tuju adalah satu warisan fisik dari kerajaan Majapahit.

Sampai di candi kami mendapati candi itu tengah dalam pemugaran. Tampak balok-balok kayu dipasang untuk pekerja yang melakukan pemugaran. Kami pun berkenalan dengan juru kunci candi yang bernama Pak Hadi. Oranganya ramah dan bersahabat. Kami meminta ijin melihat-lihat keadaan candi terlebih dahulu.

Kami mengelilingi candi yang lokasinya dilindungi dengan pagar kawat di sekeliling. Batu bata dari tanah liat yang dipesan khusus untuk pemugaran bertumpuk di depan pos penjagaan. Di sudut lain terdapat sebuah kamar mandi. Sedang di sisi lain batang-batang bambu tergolek di tanah.

Kami juga memasuki bagian dalam candi. Di dalamnya terdapat ruang kecil berbentuk persegi. Mungkin dulunya digunakan sebagai tempat ritual tertentu sebelum keluar dari gapura. Sedang bagian langit-langitnya merelung tinggi mengikuti struktur bangunan luar. Di bagian dalam tidak nampak ada motif atau pola tertentu seperti relief. Di bagian lantai sepertinya juga masih dalam proses pemugaran.

Kami lalu melanjutkan dengan berbincang dengan Pak Hadi. Dari percakapan dengan Pak Hadi kami mengetahui bahwa Candi Dermo merupakan sebuah gapura. Candi itu terbuat dari batu bata dengan pada bagian bangunan. Sedang di bagian lantai terbuat dari batu. Pintu masuk bagian candi terletak di bagian barat, sedang pintu keluarnya di bagian timur. Beliau juga menyampaikan bahwa pemugaran candi yang terletak di desa Candinegoro kecamatan Wonoayu-Sidoarjo ini sudah mulai dilakukan sejak 2 tahun lalu.







Lelaki yang bertugas menjadi juru kunci candi sejak tahun 2000an ini juga bercerita tentang pemugaran yang dilakukan pada saat zaman kolonial. Dan berbagai kemungkinan yang terjadi selama pemugaran di masa kolonial itu berlangsung. Beliau juga menjelaskan mengenai angka-angka yang tertera pada dinding candi. Angka-angka tersebut rupanya digunakan sebagai identifikasi penomoran susunan batu bata. Dengan begitu apabila ada kerusakan pada dinding nomor sekian, dapat langsung diidentifikasi bentuk dan batu bata yang diperlukan untuk perbaikan.

Saat ini terdapat beberapa arca yang tersimpan di sekeretariat. Dari lokasi candi kami masuk menuju kantor sekretariat yang terletak di depan sebuah mushola. Kantornya kecil dan bersih. Terdapat beberapa meja kerja. Sebuah papan gambar lengkap beserta alat ukur berdiri di pojokan. Dan tiga buah arca yang merupakan bagian dari candi diletakkan di kantor. Dua di antara arca yang ada merupakan hiasan yang terletak di bagian atas pintu gerbang.






Setelah ngobrol dengan Pak Hadi, kami mengelilingi candi sekali lagi. Entah bagaimana caranya supaya kami bisa 'bercakap-cakap' dengan bangunan yang sudah berdiri sejak beberapa abad lalu itu. Kami memilih tempat duduk yang teduh sambil mengamati candi yang tengah dalam pemugaran itu. Mengapa candi itu masih berdiri sampai sekarang mengundang pertanyaan seperti, "aku dibangun berabad lampau dan kini masih tegak untuk menjumpaimu; keindahan apa yang bisa kau gali dariku?"

Setidaknya, pertanyaan itu untuk saya pribadi.

Indonesia sendiri memiliki keragaman warisan budaya. Baik yang berbentuk fisik seperti candi mau pun yang berbentuk cerita seperti misalnya kisah Raden Panji. Warisan kebudayaan ini seharusnya bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi saat ini. Identitas dan kepribadian bangsa tercermin lewat warisan-warisan kebudayaan yang ditinggalkan untuk generasi saat ini.

Akan tetapi semua kembali pada pribadi masing-masing. Apakah kita sebagai generasi saat ini memilih untuk mengunjungi situs-situs kebudayaan dan menggali inspirasi dari sana atau mengunjungi bioskop-bioskop yang menyajikan khayalan berbalut teknologi canggih sebagai pilihan menikmati waktu luang.




Alih-alih ingin mencari hiburan, malah terjerumus menjadi korban industri perfilman. Di satu sisi mungkin kita puas setelah menonton film itu. Adegan-adegan memukau di layar yang didukung dengan sound sistem yang cetar menggelegar memang menghibur. Di sisi lain, partisipasi kita dalam membeli tiket akan dimasukkan dalam sebuah statistik yang mungkin akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa minat penonton pada film tertentu. Kemudian akan dibuat film baru yang lebih hebat, lebih dahsyat, lebih WOW, dengan menghadirkan lawan-lawan yang datang dari luarnya luar angkasa. Dan yang lebih celaka, kita menyumbang keuntungan kepada film yang kita sendiri tidak tahu apa yang hendak dicapai oleh film itu. Maka, saya hendak berkata: "Belum terlambat untuk bergerak!"

Akhirnya, mau tak mau pertemuan dengan Candi Dermo mesti berakhir. Hari beranjak sore dan petang nanti saya hendak menghadiri sebuah pagelaran teater yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Setelah berpamitan dengan Pak Hadi dan rekan-rekan, kami meluncur kembali menuju Surabaya.

Selasa, 25 April 2017

PANTAI TAMBAK REJO, SEBUAH PESONA PESISIR BLITAR SELATAN



Blitar selatan. Bagi saya frasa ini tidak hanya mengandung pengertian sebuah tempat yang terletak di sebelah selatan Blitar. Lebih dari itu, Blitar Selatan menyimpan berbagai misteri yang selalu menggugah untuk diselami.

Minggu pagi di kota Blitar. Aroma perjalanan masih belum sepenuhnya mengendap di tubuh. Meski baru kemaren sore kami tiba, tak menyurutkan niat untuk bertamasya. Apalagi Blitar memiliki banyak lokasi wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Mulai dari wisata di ketinggian gunung Kelud, wisata ke perut bumi di gua Embul Tuk, wisata purbakala candi Penatatan, sampai wisata pesisir pantai seperti Tambak Rejo. Dan yang tidak boleh ketinggalan untuk disebut: makam Proklamator kita, Bung Karno yang terletak di kelurahan Bendogerit.

Di Blitar sendiri sejauh pengetahuan saya ada beberapa lokasi wisata pantai. Seperti pantai Tambak Rejo, Pantai Pangi, Pantai Serang, pantai Jebring, Princen, Wediitem, Keben, dan Pantai Jalasutra. Kami memilih berkunjung ke pantai Tambak Rejo karena lokasinya paling dekat dengan kota. Selain itu, dulu sekali pada kuartalan tahun 2000an saya pernah mengunjunginya. Dan kini setelah belasan tahun saya kembali ingin mengunjunginya.

Dari kota kami berkendara ke arah selatan. Cuaca cukup cerah dan jalanan tidak begitu ramai. Lepas dari dataran rendah, kami pun memasuki jalan pegunungan yang berliku dan naik-turun. Jalannya pun baik. Hanya sebagian kecil saja terdapat jalan rusak di atas pegunungan. Pantai Tambak Rejo memang terletak di balik barisan pegunungan yang membujur sepanjang pantai selatan jawa. Pantai ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Begitu juga dengan pantai-pantai lain di Blitar dan sepanjang pesisir selatan Jawa.

Oleh karena itu, tak heran jika nuansa mistis sangat kental. Sosok Nyi Roro Kidul yang diyakini sebagai penguasa laut selatan juga tersebar di kalangan masyarakat Blitar.

Tapi saya tak hendak bercerita tentang mitos itu.





Perjalanan melintasi gunung cukup mengasyikan. Jalanan yang menikung, kemudian menukik dan menanjak membuat kami benar-benar melupakan kemacetan dan kebisingan jalan-jalan kota Surabaya. Lembah dan tebing di sisi-sisi kami memperkaya kisah perjalanan. Begitu juga dengan struktur rumah-rumah khas pegunungan yang dibangun di atas tanah yang tidak datar, menjadi bahan decakan kami.

Kami sampai di lokasi setelah menuruni gunung. Sebelum memasuki desa lokasi para petugas karcis berjaga. Saya perhatikan mereka cukup baik dan bersedia menjangkau kami yang berada di antrian belakang karena di depan kami beberapa mobil masih dalam antrian. Nampaknya banyak juga pengunjung di hari itu. Dan ketika kami sudah tiba di lokasi pantai, saya benar-benar terkejut!

Sebelumnya saya sudah menduga pantai akan ramai karena kebetulan minggu itu ada libur panjang. Tapi yang membuat saya lebih terkejut adalah banyak pedagang yang berjualan di sepanjang lokasi wisata. Begitu juga dengan kendaraan para pengunjung yang berjubel. Rupanya pantai Tambak Rejo telah berhasil menjadi primadona wisata yang mampu menarik pengunjung. Baik bagi wisatawan dari daerah Blitar mau pun dari luar.





Segera saya parkir kendaraan dan menceburkan diri ke tengah keramaian. Seorang nelayan menghampiri dan menawarkan jasanya untuk mengantarkan berperahu. Dan bukan hanya itu, ada pula persewaan motor roda empat untuk dikendarai di atas pasir putih. Juga para penjual layang-layang. Dan yang tak ketinggalan: orang-orang yang menawarkan sewa tikar sebagai alas untuk duduk. Sementara itu para penjual cinderamata mulai dari kaos hingga kerajinan memajang jualan mereka. Sedang agak ke timur terdapat sebuah bangunan loss yang digunakan sebagai pusat penjualan hasil olahan ikan. Pendeknya, saya puas melihat keadaan pantai Tambak Rejo saat ini! Tidak seperti belasan tahun lalu di mana pantai masih belum seramai sekarang.

Kami segera menuruni pantai. Kaki-kaki kami menyentuh perairan Samudera Hindia. Dibandingkan dengan karakter pesisir utara Jawa, ombak di pesisir selatan terbilang lebih besar. Airnya pun jernih berwarna hijau dan biru. Tidak nampak sampah berserakan. Menjadikan pantai ini begitu layak untuk dikunjungi.

Pantai Tambak Rejo sendiri terletak di sebuah teluk kecil. Di bagian barat dan timur terdapat tebing-tebing yang menjorok ke arah laut. Dan dari pantai, nampak ombak-ombak berdeburan di kejauhan sana.

"Ombaknya meledak," kata anak perempuan saya.

Kami hanya bermain sebentar di pantai. Meski ombak terbilang kecil namun cukup rawan juga. Para penjaga pantai tak lelah mengingatkan para pengunjung yang berenang untuk selalu waspada dan berhati-hati.

Struktur pantainya bisa dibilang cukup curam. Dari bibir pantai sampai lapak para pedagang pesisir naik sekitar 40 derajat. Bukan tidak mungkin pada jarak 20 meter dari pantai kedalaman air sudah cukup dalam.





Dari bibir pantai kami bergerak menuju tebing yang terletak di bagian timur pantai. Ombak yang datang terus menyalak. Di kejauhan gelombang besar berkali-kali terbangun. Meski tak sampai ke bibir pantai dan 'meledak' lebih dulu di karang-karang sana, tak dapat dipungkiri bahwa ombak di pantai ini cukup besar. Lagipula, kami ingin menjelajah sisi tebing untuk melihat bagaimana ombak-ombak itu menghantam karang-karang. Saya jadi teringat puisi Abdul Hadi yang berjudul "Ombak Itulah".

Di bagian timur pantai terdapat sebuah sungai kecil. Sungai ini mengalir melalui sisi tebing dan bermuara langsung di pantai. Saat itu air sedang surut sehingga sungai kecil menampak di permukaan. Apabila air sedang pasang, sungai itu akan bercampur bersama air laut dan tak lagi nampak.

Maka, tak lengkap rasanya ke pantai jika belum berbasah ria. Di sungai kecil itulah anak perempuan saya bermain-main. Arusnya yang kecil tak perlu dikhawatirkan bagi anak seusianya. Sedang saya berlindung di balik keteduhan tebing sambil mengawasinya.




Sungguh, tamasya yang menyenangkan! Lelah bermain kami menikmati sajian khas pesisir: es degan plus ikan bakar...hmmm (saya sangat merekomendasikan untuk mencicipi makanan di sini).

Sayangnya kami tak sempat menjelajah ke sekitar pantai. Di bagian timur pantai, persis di balik tebing terdapat pantai lagi. Yaitu pantai Pasetran Gondo Mayit. Tentu pemandangan tak kalah menakjubkan di sana. Pun di bagian barat, kami tidak melihat-lihat dermaga para nelayan. Di sebelah dermaga juga terdapat pantai lain, yaitu pantai Sumur Gemuling.

Kini dalam benak terbersit keinginan untui mengunjungi pantai-pantai lain yang ada di Blitar.



Senin, 24 April 2017

BERKUNJUNG KE BLITAR BAGIAN 2



Apa yang sudah diperkirakan sebelumnya benar-benar terjadi. Kami mendatangi stasiun di hari H dan mendapati tiket sudah habis. Kami segera meluncur ke Bungurasih (terminal ini sebenarnya bernama Terminal Purabaya; namun karena terletak di wilayah Bungurasih lebih dikenal dengan terminal Bungurasih), terminal bus antar kota terbesar di Jawa Timur.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali ke Bungurasih. Seingat saya, waktu itu terminal masih dalam perbaikan. Kini terminal sudah selesai dibangun. Para penumpang yang akan naik bus harus naik ke lantai dua terlebih dahulu. Sedangkan lantai satu hanya untuk menunggu.

Dari lantai dua selanjutnya  menuju lorong yang melintasi pelataran bus. Sepertinya pembangunan lorong di atas ini dimaksudkan agar lalu lalang calon penumpang tidak mengganggu arus lalu lintas bus. Mungkin juga untuk menghindari resiko kecelakaan apabila terlalu banyak lalu lalang di jalur lalu lintas bus.

Setelah keluar dari lorong kemudian menuruni tangga sesuai dengan jurusan yang hendak dituju. Kami, saya dan anak saya, turun di bagian bus jurusan Surabaya-Malang. Sebenarnya tersedia bus jurusan Surabaya-Blitar yang melewati daerah Kediri. Tapi kami tidak memilihnya. Idenya adalah, supaya di terminal Arjosari Malang kami bisa istirahat sekedar melepas lelah.

Pukul 9 kurang bus yang kami tumpangi melaju. Jalanan lancar. Bus melintasi tol baru. Saya agak terkesima ketika bus sampai di kilometer 50. Sepertinya jalan tol yang kami lewati membelah sebuah bukit. Sepanjang kiri-kanan jalan nampak lereng mengapit. Makin ke tengah makin curam dan kembali melandai. Bus baru keluar dari celah itu ketika sampai di kilometer 52.



Lepas dari tol jalanan lancar. Hanya ada sedikit kemacetan ketika memasuki daerah Lawang dan Singosari. Selebihnya bus melaju dengan kecepatan stabil. Kami tiba di terminal Arjosari Malang sekitar pukul 11.

Seperti halnya Bungurasih, terminal Arjosari pun memiliki wajah baru. Konsep 'tidak ada lalu lalang manusia di lintasan bus' sepertinya hendak diadopsi oleh terminal-terminal yang terbilang ramai di Jawa Timur ini. Entah apakah konsep itu berhasil atau tidak. Pastinya kami harus naik-turun tangga untuk menuju antrian bus yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Sungguh melelahkan....

Bus tujuan Blitar sudah penuh ketika kami selesai istirahat makan siang. Terpaksa kami harus menunggu bus berikutnya. Para calon penumpang semakin bertambah. Lima belas menit berlalu namun bus yang ditunggu belum juga tiba.

Sekitar 100 meter dari tempat tunggu terdapat sebuah bus. Entah siapa yang pertama kali memberi tahu, tapi orang-orang yang hendak menuju Blitar bergerak ke sana. Katanya bus itu tujuan Blitar dan akan segera berangkat. Kami pun mengikuti arus orang-orang menuju bus itu. Bangunan berlantai dua itu tak lagi kami hiraukan.



Akhirnya kami berada di atas bus yang akan membawa kami ke Blitar. Sebuah bus ekonomi tanpa AC dengan penumpang yang berdesak-desakan. Panas dan penuh kesah. Beberapa orang pengamen dan pedagang asongan meliuk-liuk di antara punggung penumpang yang berdiri. Mereka mencoba mengais rezeki dari sesaknya bus antar kota. Sungguh, situasi seperti ini akan selalu dirindukan!

Di tengah kondisi itu sedapat mungkin saya menghibur anak saya. Saya tidak ingin perjalanan ini menjadi pengalaman yang melelahkan dan menjemukan baginya. Sesekali saya bercerita tentang tempat-tempat yang akan kami lalui. Saya selipkan pula cerita tentang pemandangan-pemandangan yang kami lihat dan akan kami lihat. Sayangnya, ketika bus melintasi Karangkates yang jalannya meliuk-liuk, anak saya sudah tertidur. Padahal saya ingin menunjukkan padanya tiga batang 'rokok raksasa' dan lekak-lekuk jalan di atas gunung.

Lepas dari Kota Malang perjalanan mulus setelah sebelumnya merayap karena ada kemacetan. Satu demi satu penumpang datang dan pergi. Memasuki Kabupaten Blitar tak nampak penumpang bertambah. Kemudian satu per satu penumpang turun. Bus menjadi lebih longgar. Dan ketika mendekati Kota Blitar kami bertiga sudah bisa duduk tanpa berdesak-desakan lagi.



Sekitar pukul 4 kami tiba di terminal Patria Blitar. Mendung menyergap di langit. Jalanan di terminal basah. Sekawanan burung terbang di langit rendah. Satu perjalanan sudah selesai untuk dinikmati. Sambil menunggu saudara saya menjemput kami, kami minum es degan di sebuah depot di terminal.





BERKUNJUNG KE BLITAR BAGIAN 1



Sekali pun perjalanan ke Blitar baru akan berlangsung pada hari sabtu 22 April nanti, namun kesibukan perjalanan sudah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.

Siang itu saya mendapat kabar. Saudara saya yang tinggal di Blitar mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu menyebabkan tangan kiri saudara perempuan saya patah tulang.

Tanpa pikir panjang saya pun memutuskan bahwa akhir pekan nanti kami akan menjenguknya. Kebetulan pada hari senin ada tanggal merah. Kesempatan yang baik untuk berkunjung ke kota Blitar yang merupakan kampung halaman (saya tidak tahu apakah kota yang akan saya tuju layak disebut sebagai kampung halaman; pada kesempatan lain mungkin perlu juga dibahas hal ini).

Esok paginya saya meluncur ke stasiun Wonokromo untuk memesan tiket. Kota yang hendak saya tuju tidak menyediakan tiket online karena tergolong jalur tujuan pendek. Pemesanan tiket hanya mungkin dilakukan di loket stasiun.

Pukul 8 kurang saya sudah tiba di stasiun. Ternyata antrian untuk pengambilan nomor antrian sudah panjang. Saya pun segera mengambil tempat. Dan ketika pengambilan nomor antrian sudah dimulai saya mendapat antrian nomor C029. Lumayan dibandingkan mendapat nomor antrian misalnya saja C050, pikir saya berbesar hati.



Tapi ternyata jam buka loket dimulai pukul 9. Di sini saya sedikit gelisah. Sebab jam kerja saya dimulai jam 8 pagi, dan saya harus sesegera mungkin tiba di kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Meski begitu saya coba menahan diri. Toh ini kejadian yang jarang terjadi. Lagipula sehari sebelumnya sudah ijin akan datang terlambat untuk urusan tiket. Maka saya pun mencari warung kopi terdekat untuk menunggu. Dan warung yang dapat saya temukan terletak di pangkal jalan jagir persis sesudah perlintasan kereta. Di sana saya memesan segelas kopi sambil menata hati dan memandang pintu air legendaris: Pintu Air Jagir. Perhitungan saya nomor antrian C029 tidak akan memakan waktu lama.

Pukul 9 kurang saya kembali ke stasiun tapi loket masih belum buka. Baru pukul 9 persis panggilan nomor antrian dimulai. Dengan dibukanya loket, waktu menunggu seolah menjadi lebih pendek karena kita tahu antrian yang kita tunggu bergerak.

Tapi perkiraan saya keliru. Sampai pukul setengah 10 antrian baru sampai pada nomor C004. Ini berarti dalam rentang waktu setengah jam hanya 4 sampai 5 pemesan tiket yang terlayani. Jika dikalkulasi dengan nomor antrian C029, wah bisa runyam, pikir saya. Bukan tidak mungkin saya baru akan mendapat tiket pada pukul 11an. Mungkin bisa lebih lama lagi. Tapi bukan tidak mungkin lebih cepat dari dugaan saya.

Tanpa pikir panjang saya pun meninggalkan stasiun. Saya merasa sepertinya akan sia-sia menunggu lebih lama lagi. Kecuali jika saya pada hari itu tidak bekerja, tentu saya akan menunggu lebih lama lagi. Tapi saya bekerja dan datang terlambat lebih dari 30 menit mengandung nilai tertentu. Sedang saat itu sudah 90 menit saya terlambat. Waktu adalah uang, kata pepatah. Pesan moralnya adalah gunakan waktu seefektif dan seefisien nungkin. Karena waktu sangat berharga. Dan saya sudah tertinggal 90 menit dari jam masuk kerja. Mestinya orang-orang yang menunggu antrian juga dipandang sebagai subjek yang berkata: "waktu adalah uang!"

Sebenarnya keputusan meninggalkan antrian didasari pula oleh beberapa pertimbangan lain selain pekerjaan. Perhitungan saya, sebaiknya membeli tiket pada hari H keberangkatan. Dengan begitu tidak perlu repot-repot mengantri meski sebenarnya pertimbangan itu seperti berjudi. Sebab membeli tiket di hari H cenderung sudah habis. Apalagi akhir pekan ini ada libur panjang. Tapi itu mungkin lebih baik dibandingkan dengan sudah mengantri tapi ternyata tidak mendapat tiket.

Tapi demi mengobati kekecewaan, saya berusaha berpikir positif. Opsi lain: kami akan berangkat dengan menggunakan bus jika tiket pada hari H sudah habis. Opsi lain seperti berkendara untuk kali ini saya hindari. Sebab saya hendak bepergian bersama istri dan anak. Seandainya saya berangkat sendiri saya lebih suka menikmati perjalanan dengan berkendara roda dua.




Kelak, pada hari H, kami benar-benar tidak mendapat tiket dan kami benar-benar melakukan perjalanan dengan menggunakan bus antar kota.



Sabtu, 15 April 2017

KOMUNITAS MATA HATI, SATU SESI REKAMAN


Libur panjang di hari sabtu sesudah Jumat Agung. Siang itu saya mengunjungi kawan komunitas yang sudah lama tidak bertemu Komunitas Mata Hati (KMH).

KMH sendiri merupakan komunitas kawan-kawan disabilitas tunanetra. Komunitas ini didirikan sekitar tahun 2000an. Basecamp yang mereka tempati sejauh pengetahuan saya sudah berpindah beberapa kali mulai dari di perumahan Griya Pesona Asri sampai akhirnya bermarkas di sini.

Saya mulai bersentuhan dengan KMH kurang lebih pada tahun 2009 ketika melakukan pendampingan dalam program yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Pertemuan itu berlanjut dengan terlibat dalam beberapa kegiatan pementasan yang dilakukan oleh KMH. Dan pada tahun 2011 ketika saya bekerja di sebuah LSM yang bergerak di bidang persampahan dan sanitasi, mulai jarang berkumpul meski sesekali masih bersentuhan baik dengan personel-personelnya seperi Gandi W, Dian Ika, atau pun Danny Dwi, mau pun mengikuti pentas-pentas mereka dalam berbagai kegiatan.

Setelah menyelesaikan urusan di rumah saya pun meluncur. Sampai di sana sudah ada beberapa personel seperti Ipung dan Danny. Saya sedikit terkejut. Basecamp mereka yang terletak di Rungkut Asri RL 3F/18 mengalami perubahan. Garasi rumah Gandi W dan Dian Ika telah berubah menjadi sebuah studio. Renovasi itu dibiayai oleh tuan rumah yang menghabiskan dana kurang lebih 11 juta namun meminjam dari kas KMH yang diangsur oleh si empu rumah sampai akhir tahun 2017. Selain itu juga ada bantuan dari sebuah perusahaan penyedia jasa komunikasi.

"Ada kemajuan," pikir saya.
Dalam studio itu terdapat beberapa meja kerja dan kursi-kursi. Seperangkat PC tapi tanpa monitor (kawan-kawan tunanetra menggunakan PC tanpa disertai monitor karena mereka mengoperasikannya dengan bantuan audio).

Sementara saya datang Danny dan Ipung tengah mempersiapkan sebuah rekaman. Lagu yang mereka pilih untuk dimainkan adalah lagu berjudul "Pemuda" ciptaan Chandra Darusman. Mereka melakukan rekaman dengan menggunakan metode track. Danny bertindak sebagai gitaris yang memberi input nada-nada dari senar gitarnya. Sedang Ipung bertindak sebagai operator yang melakukan perekaman sekaligus sebagai pengisi perkusinya. Dan yang tak boleh lupa disebut adalah Sigit, salah kawan yang menjadi pendamping KMH.

Ketika saya datang, Sigit dan Prana (bass) sedang pergi membeli kabel. Saya tidak bertemu dengan tuan rumah karena mereka sedang ada di luar. Meski begitu, rumah itu sudah seperti rumah sendiri.  Tak seberapa lama datang juga pendamping KMH yang lain, Mbak Titis dan sang suami Mas Yos. Sebelum akhirnya datang Eka yang terampil memainkan alat musik biola dan organ.



Sepertinya formasi sudah mulai lengkap. Suasana dalam studio menjadi riuh. Percakapan berlangsung mulai dari proses latihan sebelum rekaman sampai perbedaan nada C7 dan C5. Saya tidak mengerti banyak tentang musik, tapi melihat mereka saling berargumen mengenai bentuk-bentuk nada mayor menunjukkan bahwa mereka cukup mumpuni di bidang musik. Saya hanya bisa tersenyum melihat masing-masing dari mereka melontarkan argumen yang lalu dilanjutkan dengan kembali ke topik utama: rekaman.

Tengah asyik rekaman datang dua orang tamu laki dan perempuan. Mereka dari CeMARS. Ketika saya keluar ternyata yang datang Haris Teguh, kawan yang dulu pernah sama-sama menjadi relawan di sebuah NGO. Wah, benar-benar kebetulan bisa bertemu dengan kawan lama. Sedang yang satu lagi bernama Mufti.

Setelah ngobrol sebentar saya kembali ke studio. Mereka ditemani oleh Mbak Titis. Sementara itu input rekaman mulai beralih dari satu personel ke personel lain. Setelah Danny selanjutnya giliran Eka di bagian organ. Dian Ika datang sebentar untuk melakukan rekaman singkat sebelum meluncur lagi mengurusi pekerjaannya di luar.

Begitulah proses rekaman itu berlangsung sampai sore. Siang itu saya menyaksikan sebuah proses dari kawan-kawan disabilitas. Sebuah proses yang kelak akan menjadi sebuah album musik dari sebuah komunitas tunanetra bernama Komunitas Mata Hati.







Jumat, 14 April 2017

PERSIAPAN PENTAS TEATER KAKI LANGIT



Pada bulan april  beberapa UKM teater dari perguruan tinggi yang ada di Surabaya akan menggelar pentas teater. Salah satu yang mengagendakan untuk pentas di bulan April ini adalah Teater Kaki Langit.

Grup teater yang bermarkas di kampus Unesa Fakultas Bahasa dan Seni ini akan menggelar pertunjukan dengan lakon "Panggung Di Atas Rel" karya Tri Nanang Bs. Bertindak sebagai sutradara Wahyu Agung W. Sedangkan yang bertindak sebagai aktor antara lain Astomo, Tong, Kisnandar, Alip, Dendi, Nayoko, Marni, dan Hera yang merupakan mahasiswa-mahasiswa Unesa. Pertunjukan akan digelar di gedung Sawunggaling pada hari minggu 16 April 2017.

Siang itu kebetulan saya berkeliling dan singgah di kampus FBS. Anak perempuan saya hendak pipis sehingga kami harus menumpang di toilet FBS. Tanpa sengaja kami melewati sekelompok mahasiswa yang tengah menggambar dalam sebuah media besar. Ketika kembali kami sempatkan diri melihat-lihat dan bertanya.

Rupanya mereka tengah mempersiapkan gambar yang akan digunakan sebagai background panggung pementasan teater pada hari minggu besok. Pentas tersebut juga akan menampilkan tari remo sendratasik oleh Tia Rahayu.

Nampak pada gambar bentuk-bentuk rumah beratap seng. Mungkin maksudnya hendak melukiskan suasana perkampungan yang biasanya terdapat di sekitat rel kereta (sesuai dengan judulnya "Panggung Di Atas Rel).

Selain rumah-rumah dari papan beratap seng, dalam gambar tersebut juga dimunculkan bentuk-bentuk representasi dari kehidupan urban, khususnya perkampungan di sepanjang rel. Antara lain kurungan ayam dari bambu yang biasa digunakan untuk mengurung ayam jago. Juga jurigen yang biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan air atau pun minyak, sebuah wadah dengan banyak fungsi. Juga digambarkan sampah-sampah plastik botol yang berkumpul dalam sebuah tong. Mungkin hendak menyampaikan bahwa 'manusia' yang tinggal di dalamnya mengais rejeki dengan mengumpulkan botol-botol bekas. Pendeknya, sebuah realitas sosial hendak diangkat ke dalam bentuk seni, tentu sangat menarik.

Tak jauh dari situ beberapa mahasiswa tampak sibuk mempersiapkan materi panggung yang lain. Sedang yang lainnya bermain dengan alat musik gitar dan ketipung. Mereka tengah mempersiapkan pentas yang bertajuk Amit-amit Jabang Bayi #2 Kobongan Kertas.

Saya hanya bisa berharap, semoga pentas mereka sukses dan tak lelah melahirkan karya-karya panggung. Selamat berkarya Tim Teater Kaki Langit.

Rabu, 12 April 2017

HUTAN KOTA UNESA, SEBUAH REKREASI


Rekreasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini memiliki arti (1) penyegaran kembali badan dan pikiran; (2) sesuatu yang menggembirakan hati seperti hiburan, piknik. Kata ini sendiri berasal dari bahasa latin 're-creare' yang secara harfiah berarti 'membuat ulang'. Saya tak hendak menjadi ahli linguistik, namun sepertinya kata 're-crrare' termasuk dalam kelas kata verba atau kata kerja. Akan tetapi dalam KBBI kata rekreasi termasuk dalam kelas kata nomina atau kata benda. Saya sendiri lebih suka memasukkan kata rekreasi dalam kelas kata verba. Bukan karena saya punya argumen sendiri, tapi karena saya hendak bercerita.

Minggu pagi. Hari libur itu saya tidak ada rencana ke mana-mana. Setelah menghabiskan masakan sang istri, terbersit keinginan mengajak anak perempuan saya berjalan-jalan sekedar menghabiskan waktu. Tapi ke mana? Berkeliling saja tentu membosankan dan waktu tidak banyak yang 'habis' dengan hanya berkeliling.

Sambil mengajak keponakan perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dari anak perempuan saya, kami pun meluncur ke jalan. Pertanyaan yang sama muncul kembali ketika kami sudah keluar dari kampung: pergi ke mana? Pergi ke mall yang menyediakan wahana permainan anak tidak mungkin karena ini minggu tua. Pergi ke taman kota sepertinya sudah terlalu sering.

Tiba-tiba saja muncul ide ke mana mengajak mereka liburan kali ini! Segera kendaraan kuluncurkan pulang lagi. Begitu tiba di rumah kupanggil istriku untuk mengambilkan dua buah kresek kecil. Hutan kota Unesa yang diresmikan oleh Gubernur Soekarwo pada april 2013 lalu itu sepertinya bisa menjadi ladang permainan bagi kedua bocah perempuan itu.

Sejauh pengetahuan yang saya dapat hutan kota itu dibangun untuk beberapa tujuan utama. Tujuan itu antara lain (1) memanfaatkan lahan kampus untuk penghijauan sebagai wahana konservasi, edukasi, dan rekreasi; (2) meningkatkan kesadaran civitas akademuka Unesa untuk melakukan penghijauan dan pelestarian lingkungan; (3) meningkatkan kecintaan dan kepedulian masyarakat sekitar terhadap pengjijauan dan pelestarian lingkungan; (4) memberikan kontribusi kepada Kota Surabaya tetkait dengan area hijau kota sebagai pelestarian lingkungan; dan (5) mendorong terciptanya pengetahuan dan ksadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup menuju lingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif. Sungguh, benar-benar tujuan yang mulia!

Begitulah kami meluncur, berbekal air minum dan makanan ringan kami, aku dan kedua bocah perempuan itu, akan menghabiskan waktu libur minggu kali ini.

Sampai di sana segera kubebaskan mereka. Meski hutan tidak begitu luas dan tidak banyak jenis bunga yang ada (bahkan terkesan tidak terawat karena rumput liar tumbuh di antara paving-paving jalan), yang paling penting adalah bagaimana bermain dengan wahana yang ada. Berbekal kantung kresek mereka saya ajak mengeksplorasi hutan kota Unesa sambil mengumpulkan bunga-bunga yang ada di sana.

Bagi saya rekreasi harus mengandung gerak 'aktif' di dalamnya. Dengan mengumpulkan aneka bunga, saya hendak melepaskan mereka dari rutinitas sekolah sehari-hari dan membiarkan imajinasi mereka berkembang lewat gerak mereka di antara alam.

Saya sendiri merasa saat ini banyak terjadi perubahan pada konsep rekreasi terhadap anak. Saya tak hendak menjadi ahli psikologi perkembangan anak, tapi melihat anak-anak diajak rekreasi ke wahana-wahana permainan yang ada di mall atau pun mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang semarak dengan permainan anak, saya merasa ada yang kurang pas! Saya seolah melihat anak-anak itu berada di dalam mulut kapitalisme yang dingin. Mereka dimanjakan oleh permainan yang menggerakkan mereka dan didorong supaya berimajinasi. Sebaliknya, dengan mengajak kedua anak perempuan itu mengeksplorasi hutan kota Unesa, saya ingin mereka bergerak dan membangun imajinasi mereka sendiri.

Entah bagaimana saya mendapat gambaran tentang seorang anak yang berada dalam mulut kapitalisme. Mungkin karena belakangan ini berbagai tempat seperti mall atau pun lokasi wisata di luar kota gencar dipromosikan. Industri pariwisata telah berkembang sedemikian rupa hingga bisa dikatakan sangat memanjakan pengunjung. Modal yang telah terakumulasi dalam jumlah besar memang dapat menyulap sebuah tempat menjadi wahana rekreasi anak yang kaya akan permainan. Ruang kosong di antara stan-stan di mall disulap menjadi wahana permainan. Sasarannya adalah orang tua yang pergi berbelanja dengan anaknya. Mungkin konsepnya semacam: orang tua belanja, anak bermain. Dengan begitu dua sampai tiga pulau pun terkayuh. Pendeknya: sebanyak mungkin orang harus ikut menikmati wahana yang ditawarkan!

Begitu juga dengan lokasi-lokasi wisata di luar kota. Paket wisata tidak hanya untuk orang tua, tapi juga untuk anak-anak. Pengunjung harus dimanjakan sedemikian rupa. Dan karena sebagian besar pengunjung datang bersama anak-anak, maka anak-anak pun harus dimanjakan pula dengan berbagai wahana permainan. Dengan begitu orang tua tidak akan merasa berat merogoh kocek demi kegembiraan sang buah hatinya.

Tidak ada yang salah dengan itu. Toh setiap orang datang ke tempat yang diingini dengan berbagai pertimbangan yang sudah dilalui. Pilihan telah dijatuhkan. Hanya saja, bagi saya, dan sekali lagi bagi saya, kata 'rekreasi' yang mestinya bisa dikenakan pada kegiatan untuk bergerak menemukan imajinasi-imajinasi baru, menjadi sekedar hitungan matematis dalam angka statistik keuntungan yang dingin.

Hal ini juga berlaku pada konsep seperti wisata kuliner. Sekian ribu perut diperebutkan dalam industri makanan. Sekian ribu perut dijejali dengan informasi tentang berbagai jenis tempat yang menyediakan makanan khusus dengan nama-nama yang menggugah minat untuk mencicipinya. Sekian ribu perut dipaksa membeli makanan yang meski tak dibeli pun tidak akan membuatnya mati. Sekian ribu perut dijejali berbagai resep supaya mulutnya bisa berkomentar: "sudah pernah mencoba" ketika orang lain berkata tentang jenis makanan tertentu yang dijual.

Kembali pada petualangan di hutan kota. Begitulah. Saya mengawasi mereka dari belakang sambil sesekali mengarahkan ke mana mereka harus pergi. Bunga lavender, bougenvil, matahari, sampai putik rerumputan dan mahkota bunga dari putri malu masuk ke dalam kantung kresek masing-masing. Bahkan kami bertemu dengan penjala burung liar. Seekor burung derkuku dan dua ekor burung perkutut terperangkap dalam jala yang telah dipasang oleh penangkap burung. Ketika bertemu kami, dia telah mendapat lima ekor burung.

Lelah mengeksplorasi hutan kota yang terletak di seberang Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa kami beristirahat di pendopo Fakultas Bahasa dan Seni. Di sana, karena melihat ada bunga-bunga lain, tak ayal mereka pun memasukkannya ke dalam kantung kresek masing-masing. Dan yang menjadi kejutan, siang itu mereka mendapat hadiah pertunjukan orkestra gratis dari mahasiswa yang tengah latihan.

Dua orang pemain selo dan orang pemain biola menggesek-gesek senar di siang yang gerimis itu. Meski baru tahap latihan, suara gesekan senar itu begitu rancak dan mendayu-dayu. Lumayan, paling tidak kedua bocah perempuan itu bisa melihat langsung pemain-pemain musik dengan alat yang mungkin pernah mereka lihat di televisi.


Tak terasa lewat pukul 2 siang. Waktunya makan siang dan tidur. Saya ajak mereka untuk pulang. Gerimis telah reda dan jalanan sedikit basah. Setelah tiba di rumah, saya meminta mereka supaya mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu. Liburan minggu pagi pun usai.











.


Senin, 10 April 2017

SENTRA IKLAN BULAK, SEBUAH KUNJUNGAN

Sesuai janji pada postingan sebelumnya, kami pun berkunjung ke Sentra Ikan Bulak (SIB) yang terletak di pesisir pantai Kenjeran Surabaya. Sentra ikan yang menghabiskan anggaran sebesar 21 milyar ini diproyeksikan sebagai pusat penjualan makanan olahan hasil laut yang menjadi produk khas warga pesisir Surabaya, khususnya di sekitar SIB.

Terhitung, saat ini sudah lima tahun sejak bangunan berlantai dua ini diresmikan oleh Walikota pada tahun 2012 silam. Sayangnya, ketika kami berkunjung kondisi pasar masih sepi. Di lantai satu terdapat bedak-bedak yang kosong, baik di bagian olahan makanan basah mau pun olahan makanan kering. Begitu juga keadaan di lantai dua. Selain warung makanan yang ada pengunjungnya, stand-stand yang ada nampak kosong. Di beberapa stan nampak etalase-etalase berisi kerajinan dari kulit kerang dipajang namun tidak ada penjualnya. Entah sedang tutup atau ditinggal oleh penjualnya.
Kondisi ini tentu sangat disayangkan, mengingat negara telah menghabiskan 21 milyar untuk pembangunannya. Saya jadi bertanya, mengapa pedagang dan pembeli di sentra ikan ini sepi? Padahal Jembatan Suroboyo dan Taman Suroboyo yang digadang-gadang akan meramaikan SIB sudah rampung dibangun dan dikunjungi banyak orang. Atau apakah mungkin saya berkunjung di hari yang salah; misalnya saja saya harus berkunjung di hari senin atau rabu, bukan di hari sabtu...hhmm..

Barangkali kondisi ini disebabkan adanya pro dan kontra di antara para pedagang. Ada pedagang yang bersedia menempati stan di SIB. Namun ada juga pedagang yang menolak menempatinya. Masing-masing pedagang tentu memiliki alasan masing-masing.

Yang patut dicermati adalah hasil simpulan dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Unesa atas kondisi ini. Dalam makalah yang berjudul "Partisipasi Pedagang dalam Pengembangan Sentra Ikan Bulak (SIB) Di Kecamatan Bulak Kota Surabaya" yang ditulis oleh Eka Novia Sari dan Muhammad Farid Ma'ruf menyebutkan :

"Partisipasi  dalam  pengambilan keputusan  ini terutama  berkaitan dengan  penentuan  alternatif dengan masyarakat  yang  bersangkutan  untuk menuju kata sepakat  tentang  berbagai gagasan yang menyangkut  kepentingan bersama  dalam  program pembangunan  yang  dilaksanakan.  Jika  teori  Cohen dan  Uphoff  (dalam  Dwiningrum,  2011:61-62) dikaitkan dengan  hasil  yang  diperoleh  peneliti di lapangan  menunjukkan  bahwa tidak  adanya keterlibatan  pedagang dalam  tahapan  partisipasi dalam pengambilan  keputusan  pada program pembangunan  SIB.  SIB  dibangun sesuai  dengan program  Walikota Surabaya  yaitu  Ibu  Tri Rismaharini. Pada  tahapan  ini,  pedagang  yang berdagang  di bahu  jalan  hanya diberikan  sosialisasi  dan pemindahan menuju  gedung  SIB  tanpa  diberikan kesempatan  untuk  memberikan  saran atau  usulan pada  program pembangunan  SIB.  Sehingga  masih banyak  pedagang  yang  tidak memahami  tujuan  dari dibangunnya SIB  karena  tidak  adanya  partisipasi pedagang  dalam  tahapan pengambilan keputusan. Akibatnya  hingga  saat program  pembangunan  SIB telah selesai  dilaksanakan,  masih  terdapat banyak permasalahan  dalam  proses pengembangannya  yaitu kurangnya partisipasi  pedagang  untuk  berdagang di SIB.  Contohnya  seperti  banyaknya pedagang  yang kembali  berdagang  di bahu  jalan  dan  enggan  untuk menempati  stan  yang  telah disediakan di SIB."

Hasil penelitian itu menunjukkan program pembangunan SIB cenderung berpola top down. Warga sebagai penerima manfaat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Warga sebagai penerima manfaat hanya dilibatkan dalam proses sosialisasi saja. Padahal supaya program pembangunan berjalan dengan baik metode yang mestinya dilakukan adalah bottom up, di mana aspirasi dari bawah disaring kemudian dijadikan sebagai acuan dalam program pembangunan.

Persoalan lain yang juga menjadi kendala adalah keberadaan lokasi SIB yang sepertinya kurang strategis. Lokasi SIB yang berjauhan dengan tempat wisata kenjeran sepertinya kurang menguntungkan. Sebab wisatawan yang berkunjung ke pantai kenjeran harus melakukan perjalanan lagi untuk bisa mencapai lokasi SIB. Meski waktu tempuh yang dibutuhkan tidak lama hanya sekitar 5-10 menit, namun bukan tidak mungkin wisatawan enggan mengunjunginya. Sebab wisatawan yang sudah lelah, bisa jadi enggan mengunjungi SIB dan memilih membeli hasil olahan yang tersedia di sepanjang jalan menuju atau pulang dari tempat wisata kenjeran. Lokasi SIB yang tidak berada pada rute jalan utama Kenjeran yang menjadi akses utama bagi wisatawan menuju tempat wisata atau pun ketika pulang, menyebabkan pengunjung harus menyediakan waktu dan energi lebih banyak untuk menjangkaunya. Mungkin akan berbeda jika SIB berada dalam lokasi rute masuk kawasan wisata.

Hal ini harusnya mendapat perhatian dari Pemerintah. Dari segi pedagang sendiri keberadaan lokasi SIB yang jauh dari tempat tinggal dapat menyebabkan biaya pengeluaran menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan berjualan yang lokasinya dekat dengan rumah. Selain berjualan mereka juga masih bisa mengurusi rumah tangga apabila diperlukan. Hal ini merupakan aspek sosial yang layak dijadikan pertimbangan. Akan berbeda halnya jika tempat berjualan berada di lokasi yang jauh dari rumah. Apalagi profesi sebagai pedagang hasil olahan ikan merupakan profesi yang disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal sebagai basis produksi pedagang.

Sepertinya perlu dilakukan terobosan baru supaya SIB bisa menjadi primadona yang menjadi rujukan wisatawan. Misalnya saja dengan merubah akses masuk wisatawan dari luar melewati jalan Kedung Cowek (gagasan yang sepertinya tidak masuk akal). Bisa juga dengan memperkenalkan SIB melalui media sehingga makin banyak orang yang tertarik untuk mengunjunginya. Yang menjadi fokus adalah bagaimana mendatangkan calon pembeli ke SIB.

Dan yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah, jangan sampai pedagang yang menjadi korban. Hanya mengejar target stan SIB penuh tanpa menimbang sisi ekonomi dan sosial dari para pedagang bukanlah solusi yang tepat. Sebab bagi para pedagang, berjualan bukan hanya soal fasilitas yang bagus dan mahal. Yang paling utama bagi para pedagang adalah bagaimana menjangkau calon pembeli mereka sedekat dan seefektif mungkin. Seorang pedagang tentu akan memilih fasilitas yang dekat dengan calon pembeli ketimbang sebaliknya.

Keinginan para pedagang itu tentu harus diakomodir. Industri rakyat di bidang pengolahan hasil ikan telah berkembang di sana jauh sebelum SIB dibangun. Keberadaan mereka tentu telah melalui proses yang panjang. Mungkin tempat yang saat ini dipilih oleh para pedagang yang enggan pindah, merupakan tempat yang paling representatif bagi mereka.
Berbagai pertimbangan telah dilalui. Jangan sampai pembangunan SIB malah menjadikan para pedagang sebagai pihak yang dirugikan. Apalagi jika sampai dipertentangkan misalnya saja dengan pedagang lain dari Pabean.

Maka yang menjadi pekerjaan rumah rumah adalah bagaimana mendatangkan pengunjung ke SIB. Dan bukan bagaimana memaksa pedagang pindah ke SIB.


Sabtu, 08 April 2017

WAJAH KAMPUNG SURABAYA

Berdasarkan data statistik tahun 2010,  jumlah penduduk kota surabaya mencapai 2,7 juta jiwa. Jumlah sebanyak itu menempati ruang seluas lebih kurang 350,54 kilometer persegi. Dibandingkan dengan penduduk di wilayah lain, kepadatan kota Surabaya cukup tinggi. Seperti apa kondisi ruang seluas itu dihuni penduduk sebanyak 2,9 juta jiwa?
Siang itu kebetulan saya mengantar istri. Guru TK anak saya melahirkan. Ibu-ibu hendak menjenguk bunda yang baru saja melahirkan itu. Berombongan mereka berjalan kaki dari sekolah menuju rumah guru itu.
Rumah guru itu tidak jauh. Terletak di sebuah kampung di satu sudut kota Surabaya. Dari jalan besar kami memasuki gang besar. Dari gang besar itu kemudian kami masuk lagi ke dalam gang yang lebih kecil. Semula saya menduga rumahnya berhadapan langsung dengan jalan gang kedua itu. Tapi saya keliru. Dari gang kedua yang lebih kecil itu ternyata kami masih masuk lagi ke dalam gang lagi. Seperti bermain dalam labirin, pikir saya.
Guru itu tinggal di sebuah kamar sewa berasama suaminya. Sebuah kamar berukuran kurang lebih 4x5 m. Karena kamar itu hanya terdiri dari satu kotak saja, ruangan disekat dengan sebuah lemari. Jadilah sebuah ruang tamu di bagian depan dan kamar tidur sisanya. Dapat dibayangkan bagaimana kondisinya ketika orang tua murid-muridnya berkunjung.
Karena semua yang berkunjung ibu-ibu, saya menunggu di luar sambil mengamati sekeliling. Beberapa kamar tertutup pintunya. Mungkin penghuninya sedang bekerja. Sedang beberapa kamar lain nampak ada penghuninya. Ada juga yang sedang menerima tamu.
Dari luar nampak bahwa lantai rumah dibuat lebih tinggi dari jalan. Sepertinya untuk mengantisipasi banjir. Sedang di kamar yang lantainya sejajar dengan gang nampak penghuninya menyiapkan tanggul dari kayu di pintu yang bisa dibongkar pasang. Jika hujan turun deras daerah ini memang banjir meski air tidak menggenang lama.
Di luar juga nampak bagaimana para penghuni kamar sewa berusaha beradaptasi dengan ketersediaan ruang yang ada. Karena ruang di dalam telah terbagi menjadi ruang tamu dan kamar tidur, dapur mereka berada di luar. Mereka membuat sebuah kotak kayu untuk meletakkan kompor. Kotak kayu itu dibuka apabila mereka hendak memasak lalu menutupnya lagi jika kegiatan masak-memasak sudah selesai. Cara seperti ini sepertinya banyak ditemukan di kamar-kamar sewa yang bertebaran di Surabaya.
Saya berpikir, mungkin seperti inilah wajah kota seluas 350,54 kilometer persegi yang dihuni penduduk sebanyak 2,7 juta. Di satu sisi ada wilayah-wilayah dengan tingkat kerapatan yang rendah. Misalnya saja sebuah rumah dengan halaman yang ditinggali oleh dua atau tiga keluarga besar. Tapi di sisi lain di wilayah yang kerapatannya tinggi seperti di kampung-kampung, dengan luas yang sama tempat itu ditinggali oleh delapan sampai lima belas keluarga.

Jumat, 07 April 2017

GADIS KECIL



Gadis kecil itu lari ringan
Rentasi tepi duri pagar berkawat
Dengan sipu tipis senyum nan manis
Di seberang sana mobil-mobil melaju
Deru jalur cepat penidur kemudian
Jadikannya kenangan
Cerita tentang gadis kecil
Dengan sipu tipis senyum nan manis

Sepuluh tahun sesudahnya
Dia masih lari, dengan senyum tersipu, padaku
Begitu manis begitu tipis begitu persis gulali

Gadis kecil manis itu lari lewati gelap
Lintasi ruang di hadapanku
Dengan senyum tipis selimut gaib
Tapi lagi-lagi deru jalur cepat
Renggut raga kanak-kanak
Persis sepuluh tahun lalu dan sadar
Tahun-tahun lewat beri ingatan
Gelisah pada ketiadaan
Senyum dulu dan kini?!

Kucari sukma singa jantan penjaga
Siapa tahu abadikan ruh kanak-kanak
Takut sipu tipis senyum nan manis
Rentang renta

Ah! Andai ada ‘kan kukucup
Sebab pasti bukan gadis kecil
Dengan sipu tipis senyum nan manis
Persis gulali, padaku
Surabaya, tanpa tahun

Kamis, 06 April 2017

ASING

daging ini hitam
balut tulang-tulang kuning
arus aromanya pencar
padati sekitar

duh, tuan, sungguh
bukan kain disarungkan
pada hidung
tubuh telanjang ini
menggigil dingin

borok gerogoti kaki
heran juga
kian rakus saja
separuh tumit habis dilahap

duh, tuan, aku ingin pulang
tapi tinggal maut
sambut aku
asing selebihnya

mungkin sebentar lagi
terasa benar
darah ini kaku
sebelah aspal
tergeletak begitu saja
bagai bangkai binatang

oh, ada yang temu aku!
segala macam guman
di lidah dan dada
biar aku dengar
agar kota tak jadi saksi
kepulanganku sebentar lagi
Surabaya, 2016

DURYUDANA PAMIT

Biarkan aku mati sebelum engkau
Wahai, ibu tua dirundung gelap

Dewa-dewa bersekongkol di kayangan
Berkati kelahiran dengan amarah dan dendam
Tak ‘lah habis kebencian
Sekali pun dibagi
Sembilanpuluh sembilan rupa

Wahai, beri restumu padaku, ibu
Gada diayun pantang disurut
Pilihan tinggal menebas nyawa
Atau tersungkur di tanah

Angkatan perang tak berbilang
Hanya debu bagi betara titisan
Sang maharsi tua ‘kan letakkan beban
Di padang penghabisan nanti
Sedang sang guru ‘kan bersua saudara
Mereka pergi tinggal gelanggang
Bangun janji pernah terpatri
Dan mertua terkasih
Lebih dekat pada cucunya

Tersisa sang suryaputra di medan
Itu pun kalau dewa kayangan
Tidak datang pinta kematiannya

Tinggal aku sama berkat milikku
Amarah dan dendam pada siapa kutuju
Dewa-dewa kayangan
Putra-putra paman
Atau kelahiran?!
Surabaya, 2016

WISATA PESISIR KENJERAN


Berwisata tidak harus mengunjungi tempat yang jauh di luar kota. Apalagi sampai menghabiskan uang yang banyak. Surabaya sebagai kota pesisir memiliki pantai-pantai yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah pantai kenjeran.

Siang itu kebetulan hari libur. Kebetulan juga awan lembut menutupi langit dengan rata sehingga terik matahari tidak begitu menyengat di atas kota yang sejak zaman Sawunggaling terkenal panas ini. Kami, aku, istri, dan anakku, memutuskan untuk sekedar jalan-jalan. Dan karena cuaca tampak bersahabat kami memilih pergi ke pesisir. Sudah lama kami tidak pergi ke Kenjeran.

Tiga puluh menit perjalanan dari rumah kami pun sampai di daerah kenjeran. Rupanya sudah banyak yang berubah. Jalan-jalan menjadi lebih lebar. Dan yang lebih menakjubkan, sebuah jembatan di atas selat Madura menyambut kedatangan kami dengan gagah. Astaga, ini rupanya jembatan yang diresmikan oleh Walikota tahun lalu itu: Jembatan Surabaya. Sebuah jembatan di atas laut yang konon menghabiskan anggaran senilai 200M (saya ingin bilang: wow..!!!)

Jembatan ini bisa diakses dari kenjeran lama. Arus kendaraan dibuat searah dari arah kenjeran lama. Mungkin tujuannya agar para pengunjung dapat melihat kampung-kampung nelayan terlebih dulu sebelum menikmati jembatan. Entahlah.

Sayangnya tidak lama kami menikmati pemandangan selat dari jembatan. Lagipula karena cuaca mendung pulau Madura tertutup kabut sehingga tak nampak warna-warna hijaunya. Begitu juga dengan jembatan Suramadu, bersembunyi di antara titik-titik air. Apalagi ada anak perempuanku. Aku rasa kami akan cepat bosan jika hanya berada di sini. Bukan hanya pemandangan yang hendak kami cari, tapi juga sebuah permainan.

Kami pun lanjut turun menuju bagian lain pesisir. Sengaja kami tidak masuk ke dalam tempat wisata Kenjeran. Di sana terlalu ramai karena hari libur. Lagipula, pesisir kenjeran  cukup panjang dan luas, misalnya saja di Kawewe.

Begitulah kami terus berkendara dari jembatan Surabaya hingga mencapai Sentra Ikan Bulak. Di seberangnya terdapat sebuah taman yang menghadap laut. Nah, ini tempat yang pas untuk bermain-main. Murah dan menyenangkan, cukup bayar ongkos parkir saja kita sudah bisa menikmati pemandangan laut hehehe...

Kami sampai ketika mendung di langit bergeser. Matahari kembali unjuk gigi di sepanjang pesisir. Panas menyengat kulit. Meski begitu tak menghalangi kami, terutama anakku, untuk bermain-main. Hal pertama yang menyergapnya begitu menginjak pantai adalah: kulit kerang yang terhampar di atas pasir.

Dengan riang dia kumpulkan kulit-kulit kerang, mulai dari ukuran yang paling kecil hingga ukuran yang paling besar. Matahari pukul dua yang terik tak lagi diindahkan. Tangan kecilnya sibuk memunguti kulit kerang untuk dipindah ke dalam kantung kresek. Sementara itu, beberapa anak mandi di laut. Tak peduli apakah air di pesisir kota itu kotor atau tidak. Bagi anak-anak, permainan lebih penting dari sekedar kotor. Beberapa anak lelaki bahkan melakukan atraksi salto sebelum menceburkan dirinya ke dalam laut. Sayangnya kami tidak membawa baju sehingga anakku hanya bisa bermain air dari pinggir saja. Tapi tak urung basah juga baju yang dikenakannya karena terpeleset jatuh ke dalam air.

Di antara pengunjung yang hadir ada juga yang menikmati wisata pantai. Baik dalam rombongan atau pun dua sampai tiga orang saja. Mereka menyewa perahu nelayan untuk berlayar mengitari pesisir. Ada juga yang memancing atau sekedar duduk-duduk di atas tanggul batu sambil menikmati pemandangan laut dari tempat yang teduh.

Begitulah kami menghabiskan waktu siang itu. Menikmati pemandangan pesisir sambil bermain-main dengan alam. Ingin juga sebenarnya belanja di sentra ikan Bulak. Tapi hari sudah sore. Mungkin di lain waktu.