Oleh : Chandra Krisnawan
Ketika
datang lagi satu setengah tahun kemudian, kubur ayah masih terawat. Tidak nampak
rumput berkeliaran di sana. Mawar merah menghitam di atas tanah kering musim
kemarau yang panjang. Pohon kamboja yang dulu di tanam, kini tingginya lebih
dari dua meter. Menaungi kubur ayah.
Ibu
membayar juru kunci secara rutin untuk merawat kubur ayah–entah bagaimana ibu
menyisihkan uang untuk itu. Pilu sesaat mendera menyaksikan kubur ayah terawat.
Kami, aku dan saudara perempuanku, jarang berziarah kemari. Dan kami tidak
pernah berpesan agar ibu menyisihkan uang untuk merawat kubur ayah. Kami meninggalkan
kota yang dipilih ayah sebagai pusaranya, menempuh hidup masing-masing. Tinggal
ibu yang ada di kota ini. Sendiri saja.
Kami
sudah berusaha membujuk ibu untuk tinggal bersama kakak perempuanku di kota
asal kami. Tapi ibu menolak. Padahal sudah kami yakinkan bahwa rumah dinas yang
sekarang ditinggali harus dikembalikan pada perusahaan. Ibu beralasan bahwa
perusahaan mengijinkannya tinggal dengan membayar sewa.
Pada
kesempatan lain kami mengemukakan agar ibu bersedia merawat cucunya, anak-anak
kakak perempuanku. Tapi ibu tetap tak bergeming. Berat meninggalkan tempat yang
telah didiaminya selama hampir tiga puluh tahun. Baginya lebih mudah tinggal
bersama segala sesuatu yang sudah dikenal ketimbang memulai hidup di tempat
yang baru. Semua yang ada di sekeliling memiliki kenang-kenangan tersendiri.
Kalaupun pada akhirnya perusahaan meminta kembali rumah dinas itu, ibu memilih
untuk tinggal di rumah yang telah dibeli ayah.
Kami
tidak berasal dari kota ini. Kampung halaman kami terletak di antara pesisir
selatan dan gunung Kelud. Aku dan kakak perempuanku dilahirkan di sana. Hanya
adik perempuanku yang lahir di kota ini.
Pada
tahun 80an ayah merantau ke kota ini dan meninggalkan ibu yang saat itu tengah
mengandung kakak perempuanku. Setiap bulan ayah selalu pulang menjenguk ibu.
Gaji ayah waktu itu belum cukup untuk memboyong ibu ke sana. Hal itu
berlangsung sampai aku lahir dan berusia dua tahun. Selama itu, ayah menumpang
di rumah saudara perempuannya.
Ketika
ibu mengandung adik perempuanku, ayah memboyong kami ke kota ini. Ayah menyewa
sebuah kamar milik kenalannya untuk kami tinggali. Letaknya tak jauh dari
pelabuhan tempat ayah bekerja. Kecil saja kamar itu. Tapi aku yakin ayah sangat
bahagia. Kami bisa berkumpul setiap hari mulai saat itu. Apalagi adik
perempuanku akan segera lahir.
Bagi
ayah kelahiran adik perempuanku merupakan proses yang mengesankan. Ayah
menunggui ibu mulai dari awal proses persalinan hingga bayi perempuan mungilnya
menangis keras-keras setelah dilahirkan. Kemudian ayah menanam ari-arinya di
halaman rumah yang kami tinggali. Dan pada malam hari ayah turut mendengar
tangisnya. Tidak seperti pada kakak perempuanku dan aku.
Ketika
usia adik perempuanku tiga tahun, perusahaan mengumumkan bahwa ada sebuah rumah
dinas yang bisa ditempati bagi karyawan yang telah diangkat. Ayah membuat
pengajuan dan diterima. Meski letaknya hampir 20 kilo dari pelabuhan, paling
tidak pengeluaran bulanan untuk ongkos sewa bisa dipangkas. Tempatnya juga
tidak jauh dari rumah saudara perempuan ayah. Lagipula tinggal di dalam bilik
orang lain, selalu saja ada perasaan tidak enak meski tuan rumah adalah orang
yang baik.
Pada
masa itu ayah belum memiliki sepeda motor. Ayah harus oper angkutan sebanyak
dua kali dan harus berjalan setengah kilo dari rumah menuju jalan besar. Pada
sore-sore tertentu, seperti pada tanggal gajian atau tanggal keluarnya jatah
uang makan, ibu mengajak kami menjemput ayah di jalan besar itu.
Aku
dan kakak perempuanku sering bermain tebak-tebakan: angkot mana yang membawa
ayah. Yang kalah harus memberikan sebagian jajan yang akan dibelikan oleh ayah
nanti. Sedang adik perempuanku mengikuti saja salah satu dari kami meski
seringnya dia tidak mau memberikan bagiannya.
Tapi
tidak selalu di antara kami ada yang berhasil keluar menjadi pemenang. Sering
juga kami menunggu hingga mendekati maghrib namun ayah belum juga nampak.
Kadang ibu mengira angkot yang ditumpangi ayah mogok atau entah karena apa. Sehingga
kami menunggu sampai benar-benar berkumandang adzan maghrib. Ayah pulang
terlambat karena harus lembur. “Ada kapal pengedokan,” begitu kata ayah.
Suatu
ketika ayah pulang dengan menaiki sepeda phoenix.
Rangkanya berwarna merah dengan slebor berwarna putih. Sebuah keranjang
tergantung di depan stir dan bel kecil di bagian stir sebelah kiri. Dan di
bagian belakang, terdapat boncengan tempat duduk. Ayah membeli dari temannya
yang kebetulan sedang membutuhkan uang.
Kami
senang dengan kehadiran sepeda itu. Kepada teman-teman kami yang sebaya kami
banggakan sepeda itu sebagai sesuatu yang tak ternilai. Baik bagian-bagiannya
maupun cara mendapatkannya. Sepeda itu, menurut kami, ditakdirkan untuk menjadi
bagian dari keluarga kami. Begitu yang sering kami banggakan, menerjemahkan
kata-kata ayah yang berbunyi wes rejekine
dhewe.
Sepeda
itulah yang membawa kami berkeliling pada hari-hari libur sekolah. Aku duduk
dibelakang bersama kakak perempuanku. Sedangkan adik perempuanku duduk di
keranjang yang digantungkan di belakang stir. Kami sering bertengkar karena
berebut dibonceng ayah. Masing-masing dari kami menghendaki dibonceng sendirian
saja, terutama aku dan kakak perempuanku. Tidak menyenangkan bagi kami duduk
berhimpit-himpitan di boncengan belakang. Dan akhir pertengkaran itu adalah
kemarahan ibu. Ibu berkata jika kami terus bertengkar tidak akan ada lagi acara
berkeliling. “Gak siji gak kabeh,”
begitu katanya.
Menginjak
kelas 3 SD barulah ayah memiliki sebuah sepeda motor. Bukan motor baru memang.
Tapi dengan sisa-sisa kekuatannya motor itu sanggup membawa kami bertiga, aku
dan dua saudara perempuanku berkeliling kota. Seperti sebelumnya adik mendapat
tempat istimewa di depan, duduk di atas tangki bensin. Sekarang kami bisa
menyaksikan tempat-tempat yang selama ini belum pernah kami kunjungi. Jembatan
merah, tugu pahlawan, tunjungan, dan masih banyak lagi yang kami saksikan.
Bagi
anak-anak seusia kami, pengalaman ini merupakan hal yang luar biasa. Kami jadi
punya cerita untuk dibanggakan pada teman-teman sebaya kami tentang
tempat-tempat yang kami kunjungi dan yang mungkin belum mereka tahu. Meski ada
saja anak-anak lain yang menganggap hal itu tidak istimewa dan merendahkan
pengalaman kami. Biasanya usia mereka lebih tua dari kami.
Tahun
berlalu. Keluarga kami makin tumbuh dan tua. Tidak ada kegembiraan berlebih
seperti gelar terop pada perayaan khitan,
pesta ulang tahun atau pesta pagelaran ngunduh
mantu pada perkawinan kakak dan adik perempuanku. Seolah-olah tak ingin dunia
mengetahui kami telah berubah.
Selepas
SMA kakak perempuanku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi meski ayah
memaksanya. Dia memilih kembali ke kota asal kami dan bekerja di sana. Meski
begitu kelak dia diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah
daerah di sana–pekerjaan yang menjadi dambaan orang banyak di jaman ini. Sedang
adik perempuanku hanya bertahan lima semester di perguruan tinggi. Sesudah itu
dia kawin dan pindah mengikuti suaminya. Hanya aku yang meneruskan ke perguruan
tinggi dan menamatkannya.
Dalam
pada itu ibu terjerat hutang yang tidak diketahui ayah. Suatu ketika datang
seorang perempuan ke rumah kami. Dia berteriak-teriak di depan pintu, meminta
agar ibu segera mengembalikan uang yang dipinjamnya. Perempuan itu juga
meneriakkan bahwa ibu sudah berbulan-bulan tidak pernah mengangsur, kesalahan
yang menurut perempuan itu memberinya hak untuk berlaku kasar.
Para
tetangga yang mendengar itu melihat dari depan pintu rumah masing-masing.
Sebagian dari mereka berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu. Ayah yang tidak
mengetahui duduk persoalan, meminta perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah
dan membicarakan permasalahan dengan tenang. Ibu tidak mau menerima perlakuan
ayah terhadap perempuan itu begitu saja. Ibu ganti berteriak pada perempuan itu
supaya segera keluar dari ruang tamu karena telah berbuat lancang. Tapi posisi
ibu dan ayah lemah sehingga perempuan itu balik menghamburkan makian kepada
ibu. Pada akhirnya, para tetangga ikut melerai agar pertengkaran tidak berlarut-larut.
Para tetangga sudah pada keluar mengerumuni rumah kami. Merasa puas mempermalukan
kami perempuan itu pergi sambil terus menghamburkan makiannya.
Kejadian
itu benar-benar membuat ayah malu. Para tetangga kanan-kiri merupakan rekan
kerja ayah di perusahaan. Kejadian seperti ini cepat atau lambat akan tersebar
dan menjadi buah bibir. Orang-orang di perusahaan yang semula tidak tahu akan
mendengar bisik-bisik tentang kejadian ini. Begitu juga dengan orang-orang di
kampung kami. Bukan tidak mungkin telah timbul cap: penghutang! Pendeknya, pena
sudah tergurat, dan cap itu akan terus mengikuti.
Pada
hari-hari itu ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Apalagi koperasi
perusahaan yang menjadi tempat satu-satunya mencari pinjaman untuk melunasi
hutang itu hanya dapat memberikan kurang dari seperempat jumlah hutang yang ada.
Itu pun sebagian harus dibayarkan ke koperasi lagi untuk menutup pinjaman
sebelumnya: bunga-bunga itu benar-benar menghisap daging ayah.
Ke
mana mencari pinjaman sisanya? Di rumah sama sekali tidak ada barang yang
berharga. Pun di kampung halaman tidak ada pusaka yang dapat membantu. Tinggal
dua buah sepeda motor yang dibeli dengan penuh perjuangan. Itulah yang membantu
ayah. Sisanya ayah harus memadamkan harapan melunasi hutang itu sekaligus
menanggung malu karena tidak dapat menepati janjinya melunasi hutang dan hidup
melalui belas kasihan si pemberi hutang.
Sejak
kejadian itu kami menjadi lumpuh. Sepeda motor ibarat kaki yang dapat membawa
kita bepergian dengan murah dan cepat. Untuk berhemat –angsuran koperasi telah
menunggu di depan mata– ayah berangkat dengan membonceng tetangga. Begitu juga
dengan pulangnya. Kadang ayah meminjam sepeda motor rekannya yang kebagian giliran
berjaga malam hari. Tapi lama-lama tidak enak juga. Bagaimana pun juga, satu
dua kali pertolongan dapat dimaklumi. Selebihnya ayah mencoba berusaha sendiri.
Pada akhirnya ayah memutuskan untuk naik angkot.
Beberapa
bulan kemudian keadaan mulai membaik. Ayah membeli sepeda motor bekas secara
kredit. Satu gaji ayah harus dibagi untuk: keluarga–pangan dan pendidikan,
angsuran koperasi perusahaan, angsuran sepeda motor, dan angsuran hutang kepada
perempuan itu, dan entah untuk apalagi. Meski begitu ayah berhasil melewati
masa-masa itu, seperti yang yang sudah-sudah.
Dua
atau tiga tahun kemudian pengajuan pembelian rumah yang diajukan oleh ayah
disetujui oleh perusahaan dengan masa angsuran 15 tahun dan beberapa perjanjian
kecil. Angsuran akan langsung dipotongkan pada gaji ayah. Waktu itu masa kerja
ayah di perusahaan tinggal delapan tahun lagi. Sedangkan masa angsuran sisanya
dijanjikan oleh ayah akan dilunasi dengan uang pensiun. Satu keluarga urban
telah memiliki rumah tinggal tetap sekarang meski letaknya di daerah perbatasan
kota.
Kini
ayah telah berbaring di bawah pusara ini. Sebuah serangan tak terduga meremas
jantungya di tengah-tengah jam istirahat kerjanya. Sampai di rumah sakit ayah
dinyatakan telah meninggal. Ibu mengatakan kepada pihak berwajib bahwa keluarga
mengikhlaskan kepergian ayah dan menunjukkan riwayat kesehatan ayah. Penyakit
gula menggerogoti saluran jantungnya. Karena itu ibu meminta agar jenazah ayah
segera bisa dibawa pulang dan dikebumikan.
Kami,
aku dan saudara perempuanku, tiba sesaat sebelum jenazah ayah diberangkatkan.
Selama itu para tetangga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Seandainya kami terlambat tentu kami tidak akan sempat mengikuti proses
penguburan. Ibu memutuskan jenazah ayah harus segera dikebumikan tanpa perlu
menunggu kedatangan keluarga yang lain. Meski begitu dua orang kakak laki-laki
ayah beserta keponakannya dari luar kota tiba lebih dulu daripada kami–saudara
perempuan ayah yang dulu sudah pindah dari kota ini.
Di
pemakaman aku, saudara iparku, beserta bapak mertuaku menurunkan jenazah ayah
dibantu saudara-saudara ayah beserta tetangga. Tidak banyak yang aku pikirkan
waktu itu. Yang aku tahu ayah harus segera dikebumikan. Bapak mertuaku beradzan
sebelum ayah dikuburkan. Kemudian dibantu para tetangga, bergantian kami
menganyam tanah untuk menyelimuti ayah.
Ayah
meninggal pada senin legi satu agustus dua ribu sebelas. Tepat pada hari
pertama bulan ramadhan, persis satu bulan setelah perkawinanku. Lenyap musnah
cahaya di langit. Tidak ada pesan yang ditinggalkan kepada kami. Tapi ayah
tidak pernah berhenti berharap supaya kelak kami akan menemukan kebahagiaan
masing-masing. Keinginan untuk hidup lebih lama bersama cucunya menjadi api
yang menghangati doa kami.
Hampir
lima tahun ayah berbaring di sana. Sebelum meninggal ayah baru bercucu dua.
Kini telah bertambah menjadi lima: satu anak perempuanku. Pusaka yang
ditinggalkannya adalah kami: aku dan dua saudara perempuanku dan sebuah rumah
yang belum sempat didiaminya. Ibu adalah tema lain yang dipasrahkan kepada kami
yang hidup.
Dan
tema lain di atas menjadi tujuan ziarahku kali ini. Untuk kesekian kalinya aku
akan mengajak ibu untuk bersedia tinggal bersama kakak perempuanku. Satu
setengah tahun lalu aku sudah membujuk ibu lagi. Sekali lagi dan sekali lagi
akan kubujuk ibu kali ini. Kalau perlu dengan sedikit paksaan. Kami tidak ingin
ibu tinggal sendirian di kota ini tanpa ada anak-anaknya yang menjaga. Sedang
rumah yang ditinggalkan ayah, bisa disewakan dalam jangka waktu yang agak lama.
Tapi
tekadku surut ketika aku telah sampai di depan pintu rumah. Dari semua alasan
penolakan yang diberikan oleh ibu, kami tidak ingin mendengar ibu berkata: aku
ingin dikubur di samping suamiku.
Surabaya, 04
november 2015* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165347/ziarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar