Bagi
saya keindahan sebuah karya sastra seperti sajak misalnya, terletak pada pembacaan yang tidak
kunjung selesai. Sajak Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali, misalnya.
Dikatakan tidak kunjung selesai karena setiap kali membacanya saya seolah
menemukan sesuatu yang selalu baru. Meski sebenarnya teks yang dihadapi adalah
yang itu-itu juga, tapi kesadaran saya selalu tergugah setiap kali membacanya.
Seolah-olah di dalamnya ada pergerakan arus yang tak mau berhenti. Gesekan antara
saya sebagai pembaca dengan arus itu menciptakan bentuk yang barangkali dapat
diumpamakan dengan gerak pada air mancur di mana setiap lompatan airnya
mengandung energi untuk hidup. Berikut petikan sajak tersebut:
Bayi Di Dasar Kali
Rendra
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi
adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut
bahkan pun mulut yang telah biru dan dingin.
Angin dingin tak berbadan.
Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang.
Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka
di hati arwah kecil dan puti.
Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai
adalah dendam
lewat bening air menikam mentari
adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu.
Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya
mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?
Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan
disimpan bagai buah tubuh yang diperam
dan bila telah berhak menatap panah mentari
amboi, ditidurkannya ia di dasar sungai!
Air sungai maha dingin
mencucinya sepanjang hari
matanya menatap saja dan tiada berujung juga
tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya.
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi.
(sumber: WS Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: 1990. PT Dunia Pustaka Jaya)
Sajak
di atas berkisah tentang bayi yang oleh orang-orang yang melahirkannya dibuang
di dasar sungai. Tidak disebutkan siapakah yang meletakkan sang bayi di dasar
sungai, ibu yang melahirkannya ataukah ayah yang menjadi benihnya, atau
kedua-duanya. Perhatian Rendra sepertinya tercurah pada keberadaan si bayi
ketimbang orang-orang yang mengantarkannya ke dunia. Dan memang keberadaan bayi
itulah yang selalu menghentak nurani tiap kali membaca sajak yang berjudul Bayi
Di Dasar Kali ini.
Bait
pertama sajak di atas merupakan pembuka. Pada baris pertama Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi
menghadirkan nuansa suara di tengah-tengah pembaca. Hal itu ditunjukkan dengan
penggunaan kata nyanyi yang merupakan
kata verba yang menyaran pada pengertian aktifitas mengeluarkan suara bernada.
Kata nyanyi ini cenderung memiliki
sifat merdu dan indah. Akan tetapi sifat merdu dan indah ini dipertentangkan
dengan kata verba rintih yang
menyaran pada pengertian yang cenderung bersifat negatif dan menyakitkan. Frasa
Adalah nyanyi sepertinya
mengungkapkan bahwa sajak ini merupakan sebuah nyanyian, akan tetapi merupakan
nyanyian yang pilu karena nyanyian tersebut mengandung rintih. Atau bisa juga baris pertama ini menunjukkan bahwa sajak
ini merupakan rintih yang menjadi nyanyi.
Pada
baris berikut, yakni baris kedua, adalah
nyanyi yang tak terluput dari mulut. Baris ini menunjukkan bahwa rintih yang pada baris sebelumnya
disandingkan dengan nyanyi kini telah
sepenuhnya menjadi nyanyi. Dan
sebagaimana setiap rintih bermula
dari mulut yang merasakan sakit atau
pun duka. Baris kedua ini lebih menunjuk pada rintih yang keluar dari mulut.
Kata mulut pada baris ini mesti
dipahami sebagai makna denotatifnya, yakni mulut sebagai bagian tubuh dari
manusia yang bisa mengeluarkan nyanyi
dan rintih.
Di
sini menjadi jelas bahwa nyanyi atau rintih yang didengar oleh si aku lirik
dalam sajak ini bukanlah suara yang berasal dari alam seperti misalnya pada
frasa ‘musim semi bernyanyi’ atau ‘batu-batu merintih dihantam badai’. Mulut
yang dihadapi oleh si aku lirik adalah mulut sebagaimana si aku lirik sendiri
memiliki mulut atau sebagaimana lazimnya mulut kita.
Akan
tetapi mulut pada baris ini ternyata
tidak seperti lazimnya. Pada baris ketiga disebutkan mulut yang telah biru dan dingin. Baris ini menyiratkan adanya
sebuah proses yang telah berlangsung yang dialami oleh mulut pada baris sebelumnya. Frasa telah biru menunjukkan bahwa darah yang mengalir di balik mulut tersebut telah berhenti mengalir
dan membeku. Jika yang diacu adalah mulut manusia tentu kejanggalan segera
ditemukan: mengapa mulut yang bernyanyi itu darahnya membeku sehingga
menyebabkan warnanya berubah menjadi biru? Hal ini dikuatkan lagi dengan bentuk
elips telah pada kata dingin yang juga menyiratkan pengertian
bahwa telah terjadi proses dari sesuatu yang sebelumnya hangat menjadi dingin yang dalam hal ini adalah mulut. Bisa dikatakan bahwa darah dalam tubuh
pemilik mulut ini telah berhenti fungsi-fungsinya, atau dengan kata lain: mati.
Jadi pada baris ketiga dapat dipahami bahwa rintih
yang menjadi merdu bagi si aku lirik berasal dari mulut yang telah mati. Bagaimana bisa mulut yang telah mati menyuarakan rintih yang menjadi nyanyi?
Baris
keempat Angin dingin tak berbadan menyaran
pada keadaan alam pada yang merupakan lambang tertentu yang tengah dihadirkan
oleh si aku lirik. Di sini terdapat kata benda angin yang mendapat atribut sifat dingin. Frasa Angin dingin
menunjukkan kondisi tertentu pada alam. Frasa Angin dingin ini diikuti dengan frasa tak berbadan. Di sini angin
yang merupakan unsur benda mati dikuti dengan unsur dari benda hidup, yaitu
mahkluk yang berbadan. Baris ini
seolah-olah menggambarkan adanya sesuatu yang terpisah yaitu antara angin dan badan. Bisa juga dikatakan bahwa ada sesuatu, yaitu angin, yang kini kini tidak lagi
memiliki atau kehilangan badan.
Dengan kata lain, ada ruh yang diwakili dengan kata angin, yang terpisah dari badan.
Jika pemahaman ini diterima, kata dingin
yang menjadi atribut dari angin menjadi
lebih ironi maknanya: ruh yang kesepian karena kehilangan badannya!
Baris
kelima kembali menghadirkan keadaan alam Gersik
rumpun pimping, rumpun ilalang. Dalam hubungan dengan baris sebelumnya,
terdapat pergeseran medan dari angin
yang berada di udara beralih ke tanah dengan rumpun pimping, rumpun ilalang nya yang bergerak karena tiupan
angin. Kata gersik di sini mengacu
pada pengertian suara atau bunyi yang timbul karena gesekan antara daun-daun.
Bisa dikatakan dunia yang dihayati oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah
dunia yang diam. Akan tetapi dunia yang bersuara, dunia yang me-rintih. Gersik rumpun menyenandungkan rintih.
Baris
keenam Wahai, nyanyi yang terluput dari
liang luka menunjukkan keberadaan si aku lirik dalam sajak ini. Pada baris
ini si aku lirik tengah menyeru. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata
seru wahai yang bermaksud untuk memanggil
atau menarik perhatian atau pun untuk memperingatkan. Yang diseru oleh si aku
lirik pada baris ini adalah nyanyi yang
terluput dari liang luka. Nyanyi inilah yang hendak dibangkitkan oleh si
aku lirik dalam sajak ini dengan seruannya.
Kalau
kita perhatikan pada baris kedua, nyanyi
tak terluput dari mulut. Artinya nyanyi itu hadir di antara objek yang
nampak di dunia benda meski berasal dari sesuatu yang mati. Akan tetapi nyanyi pada baris keenam yang diseru
oleh si aku lirik bukanlah nyanyi
sebagaimana pada baris kedua. Yang diseru oleh si aku lirik adalah nyanyi yang
asalnya bukan dari dunia benda. Akan tetapi berasal dari suatu sumber yang terluput dari liang luka. Di manakah
letak liang luka itu? jawabnya
terletak pada baris ketujuh di hati arwah
kecil dan puti.
Setelah
pada baris-baris sebelumnya kita diajak oleh si aku lirik untuk mendengarkan
suara-suara alam, pada baris terakhir kita diajak untuk (dalam tanda kutip)
menghidupkan atau mendengar suara dari arwah
kecil dan puti. Baris ini juga menunjukkan ada kehadiran manusia (atau yang
dulunya manusia) yang dapat diidentifikasi dengan kata kecil dan puti. Kata kecil
tentu saja menunjuk pada pengertian bayi sebagaimana judul sajak ini. Sedang
kata puti menunjuk pada jenis kelamin
bayi itu, yaitu perempuan. Dengan kata lain, nyanyi arwah bayi perempuan inilah
yang tengah diseru oleh si aku lirik.
Dari
bait pertama ini tidak salah jika pada judul tulisan ini penulis menggunakan
kata sihir. Ini karena bait pertama ini didominasi oleh unsur bunyi-bunyian.
Indra pendengaran diarahkan untuk satu tujuan. Seperti mantra-mantra kuno yang
lebih cenderung menggunakan bunyi-bunyian untuk menghadirkan suasana magis.
Begitulah bait pertama ini menyihir kita dengan perpaduan nyanyi, rintih,
gersik, mungkin juga desir angin, dan seruan si aku lirik yang hadir di
tengah-tengah kita.
Baris
pertama pada bait kedua atau baris kedelapan Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai menegaskan apa
yang pada baris terakhir bait pertama disebutkan. Di sini digunakan kata bayi yang merujuk pada sosok tubuh
mungil yang dipertentangkan dengan kata nyawa
yang merujuk pada sesuatu yang menempati tubuh si bayi. Namun dua substansi (nyawa dan tubuh) yang mestinya bersatu
ini terpisah. Dan tempat pemisahan itu terletak di dasar sungai.
Bagi
penulis pemandangan pada baris kedelapan ini begitu mencengangkan: tubuh bayi terbaring
di dasar sungai. Padahal bayi adalah mahkluk tak berdaya yang kehadirannya di
dunia ini sangat tergantung pada keberadaan ibunya. Pada usia ini bayi lebih
mungkin berada di atas ranjang di tengah-tengah kamar yang hangat dengan
dilindungi oleh kojong yang menghindarkannya dari gigitan nyamuk. Ya, pada usia
ini bayi benar-benar dimanjakan dan disayang. Dia hanya bisa berbaring dan
memandang dunia dari balik mata mungilnya. Keberlangsungan hidupnya bergantung
dari belas kasihan ibu yang menyusuinya. Tapi pada sajak ini, bayi itu
sendirian di dunia ini. Dia terbaring di dasar sungai tanpa seorang pun yang
tahu. Nyawa nya tersia. Hidupnya telah terenggut oleh ketiadaan. Menyisakan mulut
yang telah biru dan dingin.
Baris
kesembilan adalah dendam menampilkan
suasana yang berbeda. Jika pada baris-baris sebelumnya suasana yang hadir
cenderung lembut, dingin, dan tak berdaya, namun pada baris ini ada semacam
amarah yang merangkak ke permukaan. Di balik sesuatu yang tak berdaya dan mati
itu ternyata ada amarah terhadap sesuatu yang mengantarkannya pada ketiadaan.
Baris
selanjutnya lewat bening air menikam
mentari. Baris ini secara tersirat menggambarkan tatapan mata si bayi. Hal
itu nampak pada frasa lewat bening air.
Di sini yang mungkin menembus bening air
hanyalah penglihatan. Kita bisa melihat corak batu-batu dasar sungai pada air
yang bening dengan indra penglihatan kita. Begitu pula sebaliknya, tatapan mata
si bayi menembus bening air dari
tempatnya terbaring di dasar sungai. Kini bayi itu bukan lagi sesuatu yang telah biru dan dingin, melainkan sesuatu
yang amarah dan menikam mentari
dengan tatapan matanya.
Mengapa
dikatakan tatapan mata? Telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang mungkin
menembus bening air hanyalah indra penglihatan. Selain itu pada baris lain juga
disebutkan matanya menatap saja. Ini
menunjukkan bahwa mata bayi itu tidak terpejam. Bayi itu ternyata tidak
tertidur melainkan terjaga. Dan dengan tatapannya itu dia meluapkan amarahnya,
yang oleh si aku lirik didengar sebagai rintih
pada nyanyi.
Baris kesebelas adalah nyawa
lepas di luar dayanya dan tahu menunjukkan adanya proses yang telah dilalui
oleh si bayi, yaitu nyawa lepas. Sebagaimana
keberadaan bayi yang belum mampu berbuat apa-apa, proses nyawa lepas itu tidak dapat ditolaknya. Bayi itu tidak mampu
misalnya meronta dan melepaskan diri dari cengkaram air sungai yang dingin lalu
berenang ke permukaan. Juga sangat mungkin bayi itu tidak tahu bahwa dia akan
dibaringkan di dasar sungai. Dia
tidak dapat melawan yang pada baris ini diwakili dengan frasa di luar dayanya.
Akan tetapi sekali pun bayi itu tidak kuasa melawan perlakuan
terhadapnya, namun dia tahu perbuatan
apa yang dilakukan padanya. Ini merupakan sisi ironi karena tubuh yang tidak
berdaya melawan ternyata tahu bahwa
dia tidak berdaya dan ketidakberdayaannya itu akan mengantarkannya pada
kematian. Nyawa atau ruh itulah yang kini sedang berbicara. Nyawa itu sedang
berbicara kepada kita melalui si aku lirik. Suasana magis telah menghidupkan si
bayi ke tengah-tengah kita.
Pada baris selanjutnya Mengapa
tak dibunuh bagai darah dikandungnya merupakan pertanyaan yang ditujukan
kepada mereka yang telah ‘menjadikannya’ di dunia. Pertanyaan ini lebih
merupakan tuntutan hak atas hidup. Juga pada baris ketigabelas mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?
adalah tuntutan hak atas hidup. Sebab jika memang kehadirannya ditolak mestinya
dia ditiadakan semenjak berada dalam rahim. Sebab jika kehadirannya memang
tidak diinginkan, mengapa daging dalam rahim yang belum berjiwa itu tidak
dilenyapkan! Dan si bayi tahu, di situlah dia harus ditolak jika kehadirannya
di dunia memang tidak diinginkan.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kehadirannya dalam rahim diterima.
Hal itu terungkap lewat baris keempatbelas Dimasukkannya
ia bagai tamu yang diharapkan. Seolah-olah perempuan pemilik rahim dan
lelaki penanam benih mengharapkan kehadirannya. Bahkan lebih jauh keberadaannya
dalam rahim dijaga. Hal itu terungkap pada baris selanjutnya disimpan bagai buah tubuh yang diperam. Kata
disimpan menunjukkan bahwa kedua
orang itu tak hendak membuang buah yang terjadi akibat hubungan lelaki dan
perempuan. Metafora yang digunakan selama proses bayi dalam kandungan adalah buah tubuh yang diperam. Hal ini
menunjukkan bahwa janin yang dikandung makin lama makin besar. Karena dia diperam layaknya buah tubuh.
Meski demikian kata disimpan
jika dihubungkan dengan kata diperam juga
bisa memiliki pengertian lain. Pengertian lain yang mungkin timbul adalah
kandungan yang dirahasiakan atau disembunyikan. Mungkin yang dimaksud adalah
kehamilan yang ditutup-tutupi. Entah karena kandungan itu akibat benih dari hubungan
yang tidak direstui atau sebab lain seperti hubungan di luar nikah, yang pasti
janin dalam kandungan tersebut dibiarkan tumbuh makin besar dari hari ke hari.
Si pemilik rahim dan penanam benih tidak menggugurkan janin dalam kandungan
itu. Di sini disebutkan pemilik rahim dan penanam benih karena seharusnya kedua
manusia itulah yang bertanggungjawab atas hak hidup si bayi. Tapi pada sajak di
atas, kedua manusia itu merenggut hak si bayi. Hak untuk hidup yang terlukis
pada baris keenambeas bila telah berhak
menatap panah mentari direnggut dengan membaringkan si bayi di dasar sungai!
Pada baris ketujuhbelas digunakan kata ditidurkannya untuk menyaran pada pengertian meletakkan tubuh si
bayi. Penggunaan kata ditidurkannya pada
baris ini menunjukkan kesan bahwa si bayi sedang mengantuk dan mesti
ditidurkan. Kata ditidurkannya yang
biasanya dilakukan oleh orang tua kepada bayi dengan penuh kasih sayang,
menjadi ironis karena pada baris ketujuhbelas ini ini digunakan untuk
menggantikan pengertian tindakan membunuh si bayi. Apakah kedua manusia itu
pada dasarnya menyayangi bayi itu namun karena berbagai macam sebab mereka
harus membuangnya? Apakah kedua manusia itu sadar dengan apa yang mereka
lakukan, merenggut hak menatap panah
mentari dari si bayi?
Sajak di atas tidak melukiskan tentang manusia-manusia yang
menghadirkan si bayi ke dunia dan menidurkannya di dasar sungai. Sajak ini adalah tentang tubuh bayi yang ditidurkan di dasar sungai. Jadi apa
yang terjadi dengan kedua manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia hanya
dapat dilakukan dengan menduga-duga. Keberadaan kedua manusia itu hanya
ditampilkan secara tersirat melalui kata kerja pasif seperti dimasukkannya, disimpan, atau pun ditidurkan.
Penggunaan kata kerja pasif ini pada hemat penulis karena si aku lirik,
selain tak hendak menceritakan tentang kedua manusia yang dimaksud, juga hendak
mengajukan tuntutan kepada kedua manusia itu melalui perbuatan mereka terhadap
si bayi. Pertanyaan si aku lirik pada baris keduabelas dan ketigabelas pada
dasarnya bukanlah pertanyaan meski pada akhir baris ketigabelas terdapat tanda
tanya (?). Kedua baris tersebut pada dasarnya adalah pengajuan tuntutan kepada
kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai. Juga kedua
baris tersebut, bisa dikatakan sebagai luapan amarah si aku lirik dalam sajak
ini. Bukankah kadang kalau kita marah terhadap sesuatu, kita sering
mempertanyakan kejadian yang membuat kita marah?
Begitu juga dengan baris keempatbelas sampai keenambelas, merupakan
pernyataan si aku lirik. akan tetapi jika pada baris keduabelas dan ketigabelas
pernyataan itu lebih ditujukan kepada kepada kedua manusia yang telah
menyebabkan si bayi berada di dasar
sungai, baris-baris selanjutnya lebih ditujukan kepada pembaca. Artinya, si
aku lirik ingin pembaca memahami mengapa dia sampai begitu marah. Baris
keempatbelas sampai ketujuhbelas yang menggambarkan bagaimana kehidupan si bayi
bermula dan berakhir, bisa dikatakan sebagai alasan kemarahan si aku lirik.
Kalau kita amati lagi pada baris ketujuhbelas terdapat kata seru amboi. Kata seru ini lebih menyaran pada
adanya perasaan heran pada subjek yang mengucapkannya. Dan keheranan itu
terjadi karena adanya sesuatu yang saling bertentangan atau berlawanan. Kalau
kita mau menengok pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau
misalnya, di sana disebutkan: Amboi!
Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama ‘kan merapuh!/Mengapa ajal
memangggil dulu/Sebelum sempat berpeluk cintaku?! Si aku lirik pada sajak
Chairil Anwar tersebut merasa heran karena apa yang sudah diusahakannya selama
ini ternyata sia-sia. Contoh lain adalah sajak Toeti Heraty yang berjudul Impasse:
kedua bayangan dalam gelap kamar/amboi,
tak ‘kan sampai pada pertemuan. Sekali lagi, pada petikan sajak tersebut
kata seru amboi digunakan untuk menunjukkan keheranan atas sesuatu yang saling
bertentangan; dua bayangan dalam kamar, dalam satu ruang, mengapa tidak terjadi
pertemuan?
Ya, si aku lirik pada sajak Rendra ini juga merasa heran. Sebab apa
yang terjadi selanjutnya pada si bayi berlawanan dengan apa yang telah
dilakukan, yaitu membiarkan janin itu menjadi bayi dan kemudian membunuhnya!
Kalau ingin membunuhnya, kenapa tidak dilakukan sejak awal, sejak bayi itu
masih berupa daging yang belum bernyawa?!
Bisa dikatakan bait kedua pada sajak berjudul Bayi Di Dasar Kali di
atas merupakan inti yang hendak diungkap dari sajak tersebut. Setelah pada bait
pertama nuansa bunyi dihadirkan untuk menghidupkan suasana gaib, bait kedua
mencoba menghidupkan amarah si bayi yang menjelma dalam diri si aku lirik dalam
sajak tersebut. Si mati itu telah menghampiri si aku lirik lewat angin dingin tak berbadan.
Bait ketiga bisa dikatakan sebagai bait penutup. Dalam bait ini si aku
lirik kembali pada posisinya sebagai subjek yang mengamati keberadaan si bayi di dasar sungai. Sebelumnya perlu
disampaikan juga permasalahan waktu dalam sajak ini. Jika diperhatikan pada
baris kesepuluh terdapat kata mentari yang dapat digunakan sebagai kata
penunjuk waktu, yaitu siang hari. Dan fenomena yang dihadirkan dalam sajak ini,
selain nuansa bunyi, juga menghadirkan nuansa indra penglihatan. Frasa seperti menikam mentari dan menatap saja, dapat dijadikan sebagai acuan bahwa si aku lirik
tengah menyaksikan si bayi dalam keadaan yang terang benderang di mana mata
sangat mungkin untuk melihat ke kedalaman air yang bening.
Mengapa waktu perlu disebutkan karena dapat menunjukkan sisi ironis
keberadaan si bayi di dasar sungai. Bagaimana
tidak, di siang hari yang benderang di mana sebagian besar manusia menjalankan
aktifitasnya, bergaul atau pun bercengkrama dengan manusia lain, justru di
belahan lain yang sunyi, yang tak terjangkau kehidupan, sesosok bayi
ditinggalkan sendirian!
Baris pertama bait ketiga atau baris kedelapanbelas Air sungai maha dingin merujuk pada
lingkungan yang mengelilingi si bayi. Pada hari yang terang di bawah sinar
mentari yang cemerlang ini ternyata suhu air
sungai disebutkan dengan frasa maha
dingin. Frasa ini memiliki pengertian dingin yang tiada terkira. Bagaimana
bisa dunia yang sedang hangat pada siang hari Air sungai maha dingin? Bukankah suhu dipermukaan bumi mestinya
menyebabkan Air sungai cenderung terasa
segar ketimbang maha dingin?
Hal itu mungkin terjadi karena kata sifat dingin pada baris ini tidak hanya merujuk pada suhu tertentu dalam
ruang. Kata dingin pada baris ini
memiliki asosiasi yang lebih luas seperti misalnya pada frasa ‘tatapan matanya
dingin’ atau ‘pembunuh berdarah dingin’. Dengan kata lain, Air sungai itu tidak peduli apakah yang dilalui dan direndamnya
merupakan tubuh bayi mungil yang tidak berdaya atau pun batu-batu kali yang tak
berjiwa. Bagi Air sungai keberadaan
si bayi sama seperti objek lain yang mesti mengikuti hukum alam jika sebuah
benda bermassa jenis lebih besar dimasukkan ke dalam air: tenggelam.
Baris selanjutnya mencucinya sepanjang
hari menambah kesan yang kuat tentang lingkungan di mana si bayi berada. Pada
baris ini terdapat kata kerja mencuci
yang merupakan aktifitas yang dilakukan oleh Air sungai terhadap tubuh si bayi. Penggunaan kata mencuci yang merujuk pada pengertian membersihkan
menunjukkan betapa aliran Air sungai
menggerus tubuh si bayi. Aliran air itu perlahan-lahan membersihkan atau
mengelupasi daging-daging pada tubuh si bayi. Dengan daya geraknya, dia bawa
serpihan-serpihan kecil daging dan kulit bersamanya. Mungkin tidak tampak
daging dan kulit itu terkelupas karena intensitasnya sangat renik. Akan tetapi
proses ini berlangsung sepanjang hari.
Bisa dipastikan tubuh yang mengalami proses pembusukan lambat laun akan rusak
dan hancur! Itulah yang terjadi pada baris kedelapanbelas dan kesembilanbelas.
Baris selanjutnya matanya menatap
saja dan tiada berujung juga merujuk pada keadaan si bayi di tengah-tengah
air yang melingkupinya. Di tengah lingkup itu si bayi digambarkan hidup dengan
penggunaan kata kerja aktif menatap. Tapi
secara keseluruhan hanya itu satu-satunya aktifitas yang dilakukan oleh si
bayi. Si bayi tidak lagi merengek atau pun menangis. Si bayi tak kuasa pula
menendang-nendang. Si bayi hanya dapat menatap
saja, itu pan tanpa sanggup berkedip atau pun terpejam sekiranya dia lelah
dan mengantuk. Sebab semua hal yang mungkin dilakukan oleh bayi bernyawa sudah di luar dayanya. Hal itu nampak pada
frasa tiada berujung saja.
Frasa tiada berujung saja
menunjukkan bahwa mata si bayi selain tak dapat berkedip dan tak dapat terpejam
juga menyiratkan kehampaan, bahwa di balik mata itu sudah tidak ada apa-apa
lagi. Jika dikatakan bahwa mata adalah jendela hati, maka di balik tatapan si
bayi itu sudah tidak ada dunia lagi. Nyawa yang menghidupnya kini tak berbadan, kesepian, dan menuntut
dendam.
Tubuh yang sudah ditinggalkan itu perlahan-lahan mengalami proses
pembusukan. Hal itu nampak pada baris keduapuluh satu tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya. Frasa tubuhnya kian putih menunjukkan ada proses
alamiah yang tengah berlangsung. Daging yang berwarna merah karena diselimuti
darah, juga warna kulit yang yang lebih gelap karena ada aliran darah di
baliknya, kini lenyap dan menjadi kian
putih. Penggunaan kata kian ini
menunjukkan adanya penekanan warna putih yang lebih dari sekedar putih.
Putihnya daging yang membusuk dan rapuh, mudah sekali hancur.
Pengertian ini menjadi mengena dengan frasa kerikil masuk ke dagingnya. Di sini dapat dilihat bagaimana benda
yang asing dan keras masuk ke dalam dagingnya karena mendapat dorongan
aliran air. Dan tubuh bayi itu tidak dapat mengelakkannya. Dia tidak dapat
menggoyangkan punggungnya untuk menolak kerikil yang melukai dagingnya. Dia hanya menatap saja. Jika frasa menatap saja dihubungkan dengan frasa kerikil masuk dagingnya, akan hadir
kesan bahwa si bayi hanya dapat menatap
saja tubuhnya perlahan-lahan dirusak oleh kekuatan dari luar. Bagi penulis
ini menjadi pemandangan yang mengerikan: menyaksikan tubuh sendiri
perlahan-lahan hancur tanpa mampu berbuat apa-apa!
Dan sajak ini diakhiri dengan Adalah
nyanyi, adalah rintih pada nyanyi sebagaimana ditulis pada baris pertama
sajak ini. Baris terkahir ini dengan baris pertama merupakan simpul yang
mengikat kisah si bayi. Jika pada awal ada usaha untuk menghidupkan si bayi,
pada bagian akhir ini dapat disaksikan sosok tubuh si bayi perlahan-lahan
lenyap. Atau dari tiada menjadi ada dan kembali pada ketiadaan. Pada akhirnya
semua kembali pada Yang Menciptakan Pertama Kali.
Demikian pembahasan singkat tentang sajak WS Rendra yang berjudul Bayi
Di Dasar Kali. Pembahasan ini merupakan pengalaman yang penulis dapat selama
melakukan pembacaan terhadap sajak yang dimaksud. Sangat mungkin apa yang
dibahas jauh dari apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya. Paling tidak
bagi penulis tulisan ini dapat menjadi pegangan untuk menikmati sajak yang
dimaksud. Dan sampai saat ini, setiap
kali membaca sajak ini, penulis tetap merasa ada sesuatu yang ‘tidak
tidur’ dalam sajak itu mesti si bayi sudah dibaringkan.
Surabaya,
19 Agustus 2016* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165439/sihir-rendra-pada-sajak-bayi-di-dasar-kali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar