Malam, 'rapatlah kemari; lama lagi kita
bercengkrama. Sekeliling lena, biarlah!
Waktu milik kita. Esok
tiada pasti terbit tegur. Percakapan
tinggal jadi bibit di sela tanah rengkah kemarau.
Berjaga di hadapan rumpun bambu. Bunyi teng dari gardu, dua kali terdengar. Apalagi hendak digali? Kain-kain telah lepas, sabuk kulit tertidur
di gantungan. Siapa yang kini bertanya?!
Surabaya, 17 Mei 2018
Kamis, 17 Mei 2018
Selasa, 15 Mei 2018
SENDIRI
Udara dingin turun begitu saja dari
langit. Seperti tak peduli
pada tubuh-tubuh yang menaikkan selimut. Seperti tak peduli pada tubuh
yang tak lagi bergerak, tubuh anak manusia.
Aku masih terjaga. Jauh dari
persimpangan. Menatap kelengangan yang dalam. Bercermin pada gelap:
mengapa kita saling sembunyi?
Surabaya, 16 Mei 2018
Senin, 14 Mei 2018
JALANAN LENGANG
Jalanan lengang;
Atau hanya hatiku!
Ada tangis terlempar
Ada duka tercecer
Ada yang bertanya:
Berakhirkah?
Simpang jalan muram
Lampu-lampu kota berlinang air mata
Dinding-dinding rumah bergetar murung
Mengapa selalu terucap kata yang sama;
Di kejauhan sana ada nyala dian
Nyala dian yang menyuluhi kegelapan
Nyala dian yang selalu kita abai
Ketika jalan tak selengang ini
Surabaya, 14 Mei 2018
Atau hanya hatiku!
Ada tangis terlempar
Ada duka tercecer
Ada yang bertanya:
Berakhirkah?
Simpang jalan muram
Lampu-lampu kota berlinang air mata
Dinding-dinding rumah bergetar murung
Mengapa selalu terucap kata yang sama;
Di kejauhan sana ada nyala dian
Nyala dian yang menyuluhi kegelapan
Nyala dian yang selalu kita abai
Ketika jalan tak selengang ini
Surabaya, 14 Mei 2018
Jumat, 04 Mei 2018
ZIARAH
Oleh : Chandra Krisnawan
Ketika
datang lagi satu setengah tahun kemudian, kubur ayah masih terawat. Tidak nampak
rumput berkeliaran di sana. Mawar merah menghitam di atas tanah kering musim
kemarau yang panjang. Pohon kamboja yang dulu di tanam, kini tingginya lebih
dari dua meter. Menaungi kubur ayah.
Ibu
membayar juru kunci secara rutin untuk merawat kubur ayah–entah bagaimana ibu
menyisihkan uang untuk itu. Pilu sesaat mendera menyaksikan kubur ayah terawat.
Kami, aku dan saudara perempuanku, jarang berziarah kemari. Dan kami tidak
pernah berpesan agar ibu menyisihkan uang untuk merawat kubur ayah. Kami meninggalkan
kota yang dipilih ayah sebagai pusaranya, menempuh hidup masing-masing. Tinggal
ibu yang ada di kota ini. Sendiri saja.
Kami
sudah berusaha membujuk ibu untuk tinggal bersama kakak perempuanku di kota
asal kami. Tapi ibu menolak. Padahal sudah kami yakinkan bahwa rumah dinas yang
sekarang ditinggali harus dikembalikan pada perusahaan. Ibu beralasan bahwa
perusahaan mengijinkannya tinggal dengan membayar sewa.
Pada
kesempatan lain kami mengemukakan agar ibu bersedia merawat cucunya, anak-anak
kakak perempuanku. Tapi ibu tetap tak bergeming. Berat meninggalkan tempat yang
telah didiaminya selama hampir tiga puluh tahun. Baginya lebih mudah tinggal
bersama segala sesuatu yang sudah dikenal ketimbang memulai hidup di tempat
yang baru. Semua yang ada di sekeliling memiliki kenang-kenangan tersendiri.
Kalaupun pada akhirnya perusahaan meminta kembali rumah dinas itu, ibu memilih
untuk tinggal di rumah yang telah dibeli ayah.
Kami
tidak berasal dari kota ini. Kampung halaman kami terletak di antara pesisir
selatan dan gunung Kelud. Aku dan kakak perempuanku dilahirkan di sana. Hanya
adik perempuanku yang lahir di kota ini.
Pada
tahun 80an ayah merantau ke kota ini dan meninggalkan ibu yang saat itu tengah
mengandung kakak perempuanku. Setiap bulan ayah selalu pulang menjenguk ibu.
Gaji ayah waktu itu belum cukup untuk memboyong ibu ke sana. Hal itu
berlangsung sampai aku lahir dan berusia dua tahun. Selama itu, ayah menumpang
di rumah saudara perempuannya.
Ketika
ibu mengandung adik perempuanku, ayah memboyong kami ke kota ini. Ayah menyewa
sebuah kamar milik kenalannya untuk kami tinggali. Letaknya tak jauh dari
pelabuhan tempat ayah bekerja. Kecil saja kamar itu. Tapi aku yakin ayah sangat
bahagia. Kami bisa berkumpul setiap hari mulai saat itu. Apalagi adik
perempuanku akan segera lahir.
Bagi
ayah kelahiran adik perempuanku merupakan proses yang mengesankan. Ayah
menunggui ibu mulai dari awal proses persalinan hingga bayi perempuan mungilnya
menangis keras-keras setelah dilahirkan. Kemudian ayah menanam ari-arinya di
halaman rumah yang kami tinggali. Dan pada malam hari ayah turut mendengar
tangisnya. Tidak seperti pada kakak perempuanku dan aku.
Ketika
usia adik perempuanku tiga tahun, perusahaan mengumumkan bahwa ada sebuah rumah
dinas yang bisa ditempati bagi karyawan yang telah diangkat. Ayah membuat
pengajuan dan diterima. Meski letaknya hampir 20 kilo dari pelabuhan, paling
tidak pengeluaran bulanan untuk ongkos sewa bisa dipangkas. Tempatnya juga
tidak jauh dari rumah saudara perempuan ayah. Lagipula tinggal di dalam bilik
orang lain, selalu saja ada perasaan tidak enak meski tuan rumah adalah orang
yang baik.
Pada
masa itu ayah belum memiliki sepeda motor. Ayah harus oper angkutan sebanyak
dua kali dan harus berjalan setengah kilo dari rumah menuju jalan besar. Pada
sore-sore tertentu, seperti pada tanggal gajian atau tanggal keluarnya jatah
uang makan, ibu mengajak kami menjemput ayah di jalan besar itu.
Aku
dan kakak perempuanku sering bermain tebak-tebakan: angkot mana yang membawa
ayah. Yang kalah harus memberikan sebagian jajan yang akan dibelikan oleh ayah
nanti. Sedang adik perempuanku mengikuti saja salah satu dari kami meski
seringnya dia tidak mau memberikan bagiannya.
Tapi
tidak selalu di antara kami ada yang berhasil keluar menjadi pemenang. Sering
juga kami menunggu hingga mendekati maghrib namun ayah belum juga nampak.
Kadang ibu mengira angkot yang ditumpangi ayah mogok atau entah karena apa. Sehingga
kami menunggu sampai benar-benar berkumandang adzan maghrib. Ayah pulang
terlambat karena harus lembur. “Ada kapal pengedokan,” begitu kata ayah.
Suatu
ketika ayah pulang dengan menaiki sepeda phoenix.
Rangkanya berwarna merah dengan slebor berwarna putih. Sebuah keranjang
tergantung di depan stir dan bel kecil di bagian stir sebelah kiri. Dan di
bagian belakang, terdapat boncengan tempat duduk. Ayah membeli dari temannya
yang kebetulan sedang membutuhkan uang.
Kami
senang dengan kehadiran sepeda itu. Kepada teman-teman kami yang sebaya kami
banggakan sepeda itu sebagai sesuatu yang tak ternilai. Baik bagian-bagiannya
maupun cara mendapatkannya. Sepeda itu, menurut kami, ditakdirkan untuk menjadi
bagian dari keluarga kami. Begitu yang sering kami banggakan, menerjemahkan
kata-kata ayah yang berbunyi wes rejekine
dhewe.
Sepeda
itulah yang membawa kami berkeliling pada hari-hari libur sekolah. Aku duduk
dibelakang bersama kakak perempuanku. Sedangkan adik perempuanku duduk di
keranjang yang digantungkan di belakang stir. Kami sering bertengkar karena
berebut dibonceng ayah. Masing-masing dari kami menghendaki dibonceng sendirian
saja, terutama aku dan kakak perempuanku. Tidak menyenangkan bagi kami duduk
berhimpit-himpitan di boncengan belakang. Dan akhir pertengkaran itu adalah
kemarahan ibu. Ibu berkata jika kami terus bertengkar tidak akan ada lagi acara
berkeliling. “Gak siji gak kabeh,”
begitu katanya.
Menginjak
kelas 3 SD barulah ayah memiliki sebuah sepeda motor. Bukan motor baru memang.
Tapi dengan sisa-sisa kekuatannya motor itu sanggup membawa kami bertiga, aku
dan dua saudara perempuanku berkeliling kota. Seperti sebelumnya adik mendapat
tempat istimewa di depan, duduk di atas tangki bensin. Sekarang kami bisa
menyaksikan tempat-tempat yang selama ini belum pernah kami kunjungi. Jembatan
merah, tugu pahlawan, tunjungan, dan masih banyak lagi yang kami saksikan.
Bagi
anak-anak seusia kami, pengalaman ini merupakan hal yang luar biasa. Kami jadi
punya cerita untuk dibanggakan pada teman-teman sebaya kami tentang
tempat-tempat yang kami kunjungi dan yang mungkin belum mereka tahu. Meski ada
saja anak-anak lain yang menganggap hal itu tidak istimewa dan merendahkan
pengalaman kami. Biasanya usia mereka lebih tua dari kami.
Tahun
berlalu. Keluarga kami makin tumbuh dan tua. Tidak ada kegembiraan berlebih
seperti gelar terop pada perayaan khitan,
pesta ulang tahun atau pesta pagelaran ngunduh
mantu pada perkawinan kakak dan adik perempuanku. Seolah-olah tak ingin dunia
mengetahui kami telah berubah.
Selepas
SMA kakak perempuanku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi meski ayah
memaksanya. Dia memilih kembali ke kota asal kami dan bekerja di sana. Meski
begitu kelak dia diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah
daerah di sana–pekerjaan yang menjadi dambaan orang banyak di jaman ini. Sedang
adik perempuanku hanya bertahan lima semester di perguruan tinggi. Sesudah itu
dia kawin dan pindah mengikuti suaminya. Hanya aku yang meneruskan ke perguruan
tinggi dan menamatkannya.
Dalam
pada itu ibu terjerat hutang yang tidak diketahui ayah. Suatu ketika datang
seorang perempuan ke rumah kami. Dia berteriak-teriak di depan pintu, meminta
agar ibu segera mengembalikan uang yang dipinjamnya. Perempuan itu juga
meneriakkan bahwa ibu sudah berbulan-bulan tidak pernah mengangsur, kesalahan
yang menurut perempuan itu memberinya hak untuk berlaku kasar.
Para
tetangga yang mendengar itu melihat dari depan pintu rumah masing-masing.
Sebagian dari mereka berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu. Ayah yang tidak
mengetahui duduk persoalan, meminta perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah
dan membicarakan permasalahan dengan tenang. Ibu tidak mau menerima perlakuan
ayah terhadap perempuan itu begitu saja. Ibu ganti berteriak pada perempuan itu
supaya segera keluar dari ruang tamu karena telah berbuat lancang. Tapi posisi
ibu dan ayah lemah sehingga perempuan itu balik menghamburkan makian kepada
ibu. Pada akhirnya, para tetangga ikut melerai agar pertengkaran tidak berlarut-larut.
Para tetangga sudah pada keluar mengerumuni rumah kami. Merasa puas mempermalukan
kami perempuan itu pergi sambil terus menghamburkan makiannya.
Kejadian
itu benar-benar membuat ayah malu. Para tetangga kanan-kiri merupakan rekan
kerja ayah di perusahaan. Kejadian seperti ini cepat atau lambat akan tersebar
dan menjadi buah bibir. Orang-orang di perusahaan yang semula tidak tahu akan
mendengar bisik-bisik tentang kejadian ini. Begitu juga dengan orang-orang di
kampung kami. Bukan tidak mungkin telah timbul cap: penghutang! Pendeknya, pena
sudah tergurat, dan cap itu akan terus mengikuti.
Pada
hari-hari itu ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Apalagi koperasi
perusahaan yang menjadi tempat satu-satunya mencari pinjaman untuk melunasi
hutang itu hanya dapat memberikan kurang dari seperempat jumlah hutang yang ada.
Itu pun sebagian harus dibayarkan ke koperasi lagi untuk menutup pinjaman
sebelumnya: bunga-bunga itu benar-benar menghisap daging ayah.
Ke
mana mencari pinjaman sisanya? Di rumah sama sekali tidak ada barang yang
berharga. Pun di kampung halaman tidak ada pusaka yang dapat membantu. Tinggal
dua buah sepeda motor yang dibeli dengan penuh perjuangan. Itulah yang membantu
ayah. Sisanya ayah harus memadamkan harapan melunasi hutang itu sekaligus
menanggung malu karena tidak dapat menepati janjinya melunasi hutang dan hidup
melalui belas kasihan si pemberi hutang.
Sejak
kejadian itu kami menjadi lumpuh. Sepeda motor ibarat kaki yang dapat membawa
kita bepergian dengan murah dan cepat. Untuk berhemat –angsuran koperasi telah
menunggu di depan mata– ayah berangkat dengan membonceng tetangga. Begitu juga
dengan pulangnya. Kadang ayah meminjam sepeda motor rekannya yang kebagian giliran
berjaga malam hari. Tapi lama-lama tidak enak juga. Bagaimana pun juga, satu
dua kali pertolongan dapat dimaklumi. Selebihnya ayah mencoba berusaha sendiri.
Pada akhirnya ayah memutuskan untuk naik angkot.
Beberapa
bulan kemudian keadaan mulai membaik. Ayah membeli sepeda motor bekas secara
kredit. Satu gaji ayah harus dibagi untuk: keluarga–pangan dan pendidikan,
angsuran koperasi perusahaan, angsuran sepeda motor, dan angsuran hutang kepada
perempuan itu, dan entah untuk apalagi. Meski begitu ayah berhasil melewati
masa-masa itu, seperti yang yang sudah-sudah.
Dua
atau tiga tahun kemudian pengajuan pembelian rumah yang diajukan oleh ayah
disetujui oleh perusahaan dengan masa angsuran 15 tahun dan beberapa perjanjian
kecil. Angsuran akan langsung dipotongkan pada gaji ayah. Waktu itu masa kerja
ayah di perusahaan tinggal delapan tahun lagi. Sedangkan masa angsuran sisanya
dijanjikan oleh ayah akan dilunasi dengan uang pensiun. Satu keluarga urban
telah memiliki rumah tinggal tetap sekarang meski letaknya di daerah perbatasan
kota.
Kini
ayah telah berbaring di bawah pusara ini. Sebuah serangan tak terduga meremas
jantungya di tengah-tengah jam istirahat kerjanya. Sampai di rumah sakit ayah
dinyatakan telah meninggal. Ibu mengatakan kepada pihak berwajib bahwa keluarga
mengikhlaskan kepergian ayah dan menunjukkan riwayat kesehatan ayah. Penyakit
gula menggerogoti saluran jantungnya. Karena itu ibu meminta agar jenazah ayah
segera bisa dibawa pulang dan dikebumikan.
Kami,
aku dan saudara perempuanku, tiba sesaat sebelum jenazah ayah diberangkatkan.
Selama itu para tetangga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Seandainya kami terlambat tentu kami tidak akan sempat mengikuti proses
penguburan. Ibu memutuskan jenazah ayah harus segera dikebumikan tanpa perlu
menunggu kedatangan keluarga yang lain. Meski begitu dua orang kakak laki-laki
ayah beserta keponakannya dari luar kota tiba lebih dulu daripada kami–saudara
perempuan ayah yang dulu sudah pindah dari kota ini.
Di
pemakaman aku, saudara iparku, beserta bapak mertuaku menurunkan jenazah ayah
dibantu saudara-saudara ayah beserta tetangga. Tidak banyak yang aku pikirkan
waktu itu. Yang aku tahu ayah harus segera dikebumikan. Bapak mertuaku beradzan
sebelum ayah dikuburkan. Kemudian dibantu para tetangga, bergantian kami
menganyam tanah untuk menyelimuti ayah.
Ayah
meninggal pada senin legi satu agustus dua ribu sebelas. Tepat pada hari
pertama bulan ramadhan, persis satu bulan setelah perkawinanku. Lenyap musnah
cahaya di langit. Tidak ada pesan yang ditinggalkan kepada kami. Tapi ayah
tidak pernah berhenti berharap supaya kelak kami akan menemukan kebahagiaan
masing-masing. Keinginan untuk hidup lebih lama bersama cucunya menjadi api
yang menghangati doa kami.
Hampir
lima tahun ayah berbaring di sana. Sebelum meninggal ayah baru bercucu dua.
Kini telah bertambah menjadi lima: satu anak perempuanku. Pusaka yang
ditinggalkannya adalah kami: aku dan dua saudara perempuanku dan sebuah rumah
yang belum sempat didiaminya. Ibu adalah tema lain yang dipasrahkan kepada kami
yang hidup.
Dan
tema lain di atas menjadi tujuan ziarahku kali ini. Untuk kesekian kalinya aku
akan mengajak ibu untuk bersedia tinggal bersama kakak perempuanku. Satu
setengah tahun lalu aku sudah membujuk ibu lagi. Sekali lagi dan sekali lagi
akan kubujuk ibu kali ini. Kalau perlu dengan sedikit paksaan. Kami tidak ingin
ibu tinggal sendirian di kota ini tanpa ada anak-anaknya yang menjaga. Sedang
rumah yang ditinggalkan ayah, bisa disewakan dalam jangka waktu yang agak lama.
Tapi
tekadku surut ketika aku telah sampai di depan pintu rumah. Dari semua alasan
penolakan yang diberikan oleh ibu, kami tidak ingin mendengar ibu berkata: aku
ingin dikubur di samping suamiku.
Surabaya, 04
november 2015* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165347/ziarah
KOTAKU TENGAH MALAM
Oleh : Chandra Krisnawan
Dari dada ibunya
Kotaku tengah malam adalah tindihan mimpi
Penduduk kota yang dijejali barang produksi
Orang miskin gelisah sembunyi
Tanah yang ditinggali
Direnggut atas nama pembangunan
Ditawan karena ada kepentingan
Ditumpuki sampah lingkungannya
Dikencingi dinding-dindingnya
Dan diteror pintu-pintunya supaya hengkang
Sementara dibiarkan tanah-tanah guntai terkulai layu
Kotaku tengah malam adalah gemerlap
gedung tinggi
Dingin yang turun dari gunung musim
pancaroba
Mengetuk atap-atap rumah
Menyelinap selimut para pekerja
Yang leramkan tenaga
Menelusup mimpi suram tentang masa depan
Apa jadinya kotaku
Jika tanah dikangkangi kapitalis!
Kotaku tengah malam adalah tangisan bayi
Yang meronta lapar meminta ruang
Dari dada ibunya, di dalam
Kamar-kamar sewa
Surabaya, 28 January 2017
Kotaku tengah malam adalah tangisan bayi
Yang meronta lapar meminta kesuburanDari dada ibunya
Kotaku tengah malam adalah tindihan mimpi
Penduduk kota yang dijejali barang produksi
Orang miskin gelisah sembunyi
Tanah yang ditinggali
Direnggut atas nama pembangunan
Ditawan karena ada kepentingan
Ditumpuki sampah lingkungannya
Dikencingi dinding-dindingnya
Dan diteror pintu-pintunya supaya hengkang
Sementara dibiarkan tanah-tanah guntai terkulai layu
Mengetuk atap-atap rumah
Menyelinap selimut para pekerja
Yang leramkan tenaga
Menelusup mimpi suram tentang masa depan
Apa jadinya kotaku
Jika tanah dikangkangi kapitalis!
Dari dada ibunya, di dalam
Kamar-kamar sewa
Surabaya, 28 January 2017
Mencari Makna Pertemuan Dalam Puisi Toeti Heraty Berjudul dialog
Puisi
Toeti Heraty berjudul Dialog yang
dipetik dari kumpulan puisi berjudul Mimpi
dan Pretensi cukup menarik untuk dibincangkan. Bukan hanya dari bentuk
topografinya yang unik, akan tetapi situasi yang coba diungkapkan melalui
baris-baris kata menggugah emosi pembaca (baca: penulis) untuk turut larut
dalam situasi itu. Terlebih apabila puisi itu diperbandingkan dengan puisi lain
dari buku yang sama. Akan nampak betapa sebuah pertemuan menghadirkan makna yang berbeda bagi mereka yang saling
bertemu. Berikut petikan pusi tersebut:
di atas meja
antara mereka berdua
vas besar dengan kembang-kembang
kembang kertas menutupi pandang
belum ada yang menyisihkannya
kata dan pandanglah
yang melintasi kembang
sementara itu sembumyi diam karena
pertemuan yang terlampau telanjang
dan tiba-tiba
harus diatasi
tak ada malam tapi bulan turut bicara
dan kerlap-kerlip bintang meluncur karenakapal terlalu lancar tahu benar
apa yang dituju
asing dari kegagalan –
di atas meja kini terang
dengan kelangsungan kata dan
pandangbunga-bunga,
telah disingkirkan olehnya
juni ‘67
(sumber: Toeti Heraty. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: PT Balai Pustaka, 1982.)
Bagaimana
makna sebuah pertemuan nampak misalnya pada puisi berjudul Pertemuan misalnya terungkap bagaimana arti sebuah pertemuan bagi
si aku lirik melalui baris-baris “Sebenarnya
lucu baru kini kita bertemu./lucu? sampai hati benar mengatakan ini!/ini,
adalah suatu tragedi –“. Melalui baris-baris itu terungkap paradoks
pertemuan di mana kawan temu aku lirik menganggap pertemuan itu lucu, yang bagi aku lirik adalah
tragedi. Pertemuan dengan siapa gerangan yang dapat menjadi tragedi? pertemuan yang dinanti-nanti, pertemuan yang lupa untuk disadari, atau juga pertemuan
yang terjadi dengan tak disengaja. Pertemuan
seperti itulah yang bagi si aku lirik merupakan tragedi. Sosok yang selalu dinanti itu ternyata membawakan
kegelisahan tersendiri bagi si aku lirik.
Tulisan
ini bukanlah karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu penulis tidak
mempergunakan acuan-acuan yang bersifat teoretis. Akan tetapi lebih merupakan
hasil pembacaan penulis atas puisi yang dimaksud. Dengan menuliskan pengalaman
yang telah diperoleh ini, penulis berharap dapat membagikan pengalamannya
kepada pembaca. Juga sebaliknya, kritik dan saran akan sangat membantu penulis
dalam memahami puisi yang dimaksud. Dengan begitu pengalaman yang didapat bisa
semakin luas. Jadi mari sekarang ijinkan penulis memulai pembahasan ini.
Pada bait
pertama baris pertama puisi Dialog si aku lirik menghadirkan sebuah objek ruang
yang akan menjadi simpul dalam puisi ini, yaitu di atas meja. Dikatakan menjadi sebuah simpul karena objek ini dihadirkan
di awal bait pertama yang menjadi pembuka bagi puisi ini dan bait terakhir yang
menjadi penutup. Juga nuansa yang dihadirkan di bagian awal sangat berbeda dengan
bagian akhir. Sebab meja yang diungkap
pada baris pertama ternyata nanti bukanlah meja yang sama seperti yang
terungkap pada bait terakhir.
Penggunaan
kata tempat ‘di’ dimaksudkan untuk
mengajak pembaca agar mengarahkan perhatiannya pada tempat yang ditunjuk. Frasa
di atas meja dalam hal ini lebih
menyaran makna yang bersifat denotatif, bukan merupakan lambang atau metafora
tertentu. Dengan kata lain di atas meja
mesti dipahami sebagaimana bentuk referen meja
dan di atas sebagaimana wujudnya pada
benda yang ada di dunia objek nyata dan ruang yang terletak di atas nya.
Baris
pertama ini seolah menjadi pintu masuk bagi bait pertama. Sebab baris-baris
berikutnya yang oleh aku lirik diletakkan dengan indensi yang lebih dalam
seolah-olah menunjukkan bahwa baris-baris tersebut merupakan turunan dari
induknya di baris pertama. Penyusunan topografi seperti ini tentu bertujuan
untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang dalam hal ini dapat dimaknai
sebagai turunan dari fokus perhatian yang hendak diungkap oleh aku lirik.
Hal ini
terasa tepat karena pada baris berikutnya aku lirik menulis antara mereka berdua. Pada baris ini ada
pergerakan dari dunia benda ke dunia yang bernyawa yang diwakili oleh frasa mereke berdua. Objek pada baris pertama
rupa-rupanya terletak antara subjek
yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik dalam puisinya. Kemudian juga
terungkap adanya dua orang yang yang sama-sama bersinggungan dengan objek di atas meja. Yang patut menjadi
pertanyaan pada baris ini adalah kata antara;
seperti apakah ruang yang hendak diungkap dengan kata antara?
Pemahaman
yang langsung ditangkap adalah situasi di mana terdapat dua orang duduk
berseberangan dalam satu meja yang sama. Mungkin di sebuah restoran atau cafe.
Tentunya sebuah tempat di mana seseorang dimungkinkan duduk di depan sebuah
meja. Ini bentuk pemahaman awal dan dapat dijadikan sebagai acuan awal. Akan
tetapi pemahaman tersebut harus ditinggalkan nantinya, karena justru pada situasi
seperti inilah si aku lirik hendak menyembunyikan pertemuan yang dialami mereka
berdua.
Baris
ketiga terungkap objek lain yang masih berhubungan dengan objek meja, yaitu vas besar dengan kembang-kembang. Baris ini juga mesti dipahami
berdasarkan makna denotatifnya. Artinya vas
kembang dengan kembang-kembang lebih merujuk pada sebuah benda yang
dimaksudkan sebagai jambangan tempat bunga untuk hiasan di atas meja. Begitu
juga kembang-kembang mesti dipahami
berdasarkan makna denotatifnya. Meski demikian, terasa ada yang aneh jika kita
memahami baris kedua ini merupakan bentuk makna yang denotatif. Sebab jika kita
kembali kepada bentuk pemahaman awal seperti telah disebutkan, terasa ada yang
janggal dengan penataan yang ada: mungkinkah sebuah vas besar diletakkan di atas meja yang mana dapat mengganggu
aktifitas orang yang akan menggunakan meja itu? Seandainya itu meja restoran,
barangkali yang lebih tepat diletakkan di atas meja adalah vas kecil karena vas besar berpotensi mengganggu
kenyamanan. Begitu juga seandainya itu meja cafe, tentu vas besar dapat mengganggu peruntukannya bercakap-cakap dengan
kawan bicara. Tapi vas besar itu
terletak di atas meja, dan
penggambaran itu tidak dapat dimaknai secara langsung. Artinya, si aku lirik
hendak menyampaikan sesuatu dengan meletakkan objek di tempat yang kurang
semestinya.
Setelah
pada baris-baris sebelumnya perhatian diarahkan kepada objek-objek yang
diungkap oleh aku lirik, pada baris keempat perhatian diarahkan kepada hubungan
antar objek tersebut. Pada baris ini terdapat objek kembang kertas yang dapat merujuk pada frasa kembang-kembang sebagai atributnya. Kini diketahui ciri objek yang
disebut pada baris sebelumnya: kembang-kembang.
Pemilihan objek kembang kertas mengesankan
adanya sesuatu yang tidak alami dalam puisi ini. Barangkali di tempat yang
hendak diungkap dalam puisi ini memang terdapat kembang kertas, tapi dengan
mengangkat objek tersebut ke dalam sebuah puisi dapat menghadirkan asosiasi
makna yang berbeda: sebuah pemandangan yang artifisial tengah hadir di hadapan.
Lebih
jauh digambarkan bahwa kembang kertas ini
memiliki daya hidup karena keberadaannya digambarkan mampu menutupi pandang. Pada baris keempat ini terungkap hubungan yang
ada di antara subjek yang diwakili dengan kata mereka, yaitu adanya dua orang saling berhadapan akan tetapi pandang mereka saling terhalang. Hubungan
antara dua subjek itu seolah-olah terpisah, padahal mereka bersama-sama di atas meja. Aneh, kenapa pelayan
restoran meletakkan vas besar di
antara mereka? Lebih aneh lagi, dua subjek itu pada akhir bait pertama
digambarkan belum ada yang menyisihkannya.
Bukankah seharusnya mereka terganggu
oleh keberadaan vas besar itu? Baris terakhir
ini mengesankan keengganan masing-masing subjek untuk menyisihkan sesuatu yang menghalangi mereka berdua.
Dalam
hubungan antar objek yang ada pada baris pertama, keberadaan benda-benda
seperti meja dan vas bunga mengungkapkan letak atau posisi dari subjek-subjek yang
diwakili oleh kata mereka.
Objek-objek tersebut seolah menjadi penanda jarak dalam hubungan interaksi mereka. Penanda jarak ini dipertegas
lagi pada baris kelima, di mana masing-masing subjek enggan meniadakan jarak
dengan tidak bertindak menyisihkannya.
Pada
baris kedua perhatian bergeser pada masing-masing subjek. Katakanlah pada bait
pertama telah diketahui bahwa ada mereka
di suatu tempat yang oleh aku lirik hendak diungkap dalam puisinya. Pada bait
kedua kita akan dibawa pada situasi interaksi yang terjalin antara mereka berdua. Baris pertama kata dan pandanglah menunjukkan objek
yang digunakan oleh mereka untuk berinteraksi.
Sebagaimana
halnya sebuah pertemuan antara dua orang di mana percakapan sangat mungkin
terjadi, kata dan pandang menjadi
sarana untuk bangun percakapan. Akan tetapi kalau bait pertama dipahami bahwa antara mereka berdua terdapat penanda
jarak melalui objek vas besar yang diletakkan
di antara mereka, bagaimana kata dan pandang dapat dijalin? Jika pandang bisa saja terjadi meski antara mereka tidak berada dalam jarak yang berdekatan,
lain halnya dengan kata; kata yang diucapkan
seperti apa yang dapat meniadakan jarak antara keduanya? Kata pada baris ini mesti dipahami sebagai kata yang lahir dari sebuah percakapan, ataukah sebagai ungkapan
lain dari bukankah setiap kali gelisah
kita/bicara tentang apa saja sebagaimana terungkap pada puisi Toeti Heraty
lain yang berjudul Pertemuan?
Sepertinya
makna kata pada baris ini lebih dekat
maknanya sebagaimana terungkap dalam puisi berjudul Pertemuan, bukan sebagai kata
yang lahir dari percakapan. Sebab pada bagian ini percakapan yang
sesungguhnya belumlah berlangsung. Mereka
masih berada pada situasi sebagaimana terungkap pada bait pertama.
Hal ini
juga terungkap pada baris berikutnya yang menghadirkan lagi penanda jarak yang
ada pada bait pertama yang melintasi
kembang. Jika diperhatikan baris-baris sebelumnya, terdapat objek yang
melakukan tindakan aktif positif seperti menutupi
yang dilakukan oleh kembang kertas; sedangkan
subjek cenderung melakukan tindakan aktif negatif menyisihkan karena tindakan itu diikuti oleh frasa belum ada. Dikatakan negatif karena tindakan
itu hadir tapi tidak terlaksana atau belum terlaksana, sebagai kebalikan dari
tindak positif.
Pada
bait kedua baris kedua ini juga terdapat tindakan aktif positif yang dilakukan
oleh objek kata dan pandang. Objek-objek
itu bergerak yang melintasi kembang.
Sedang mereka sebagai subjek sementara itu sembunyi diam karena/pertemuan
yang terlampau telanjang. Jika bait pertama tidak dipahami sebagaimana yang
telah diungkapkan, maka baris-baris sementara
itu sembunyi diam akan terkesan janggal. Bukankah kata dan pandang sudah melintasi
kembang yang berarti memang percakapan itu sedang berlangsung? Ya, tapi
bagaimana dengan sementara itu sembunyi diam?
Keberadaan
kembang kertas bagi mereka rupanya
selain menutupi pandang juga menjadi
semacam tempat untuk sembunyi diam.
Kita dapat bertanya, mengapa begitu alot pertemuan yang terjadi? Tapi memang
itulah yang hendak diungkap oleh Toeti Heraty. Pertemuan antara siapa dengan
siapa sebenarnya yang terjadi?
Situasi
pertemuan yang meliputi mereka terungkap pada baris keempat bait kedua pertemuan yang terlampau telanjang. Kata
pertemuan sudah dapat diterka
maknanya, tapi bagaimana dengan kata telanjang
yang mendapat penekanan lagi melalui kata terlampau.
Seperti apakah kata telanjang ini
harus dimaknai? Pertemuan di mana
masing-masing tidak lagi merasa ada sesuatu yang perlu ditutupi untuk berdialog,
atau pertemuan di mana masing-masing akan saling mengungkap
isi hati tanpa merasa malu?
Untuk dapat
memaknai kata telanjang yang mendapat
tekanan terlampau perlu ditelusuri
puisi lain yang juga mengangkat pertemuan sebagai tema. Hal ini dirasa perlu
agar kata telanjang itu mendapat
tempat yang semestinya sebagai lambang tertentu yang dihadirkan oleh Toeti
Heraty. Sebab pertemuan seperti sudah disebutkan, mempunyai tragedinya sendiri. Seperti pada puisi
berjudul Saat-saat Gelap terungkap
baris saat-saat gelap pertemuan yang dapat
menyaran pada situasi adanya pertemuan yang
(dalam tanda kutip) ‘disembunyikan’. Atau pada puisi berjudul Impasse pada larik kedua bayangan gelap dalam kamar/amboi, tak ‘kan sampai pada pertemuan.
Pada
petikan puisi-puisi tersebut menyiratkan bahwa pertemuan bagi aku lirik Toeti Heraty bernuansa gelap dan
tersembunyi. Oleh sebab itu harus dirahasiakan, ditutupi, dan dikeramatkan.
Tapi kini pada puisi berjudul Dialog
yang terjadi sebaliknya, pertemuan
itu berlangsung secara telanjang
bahkan ketelanjangan itu berada pada tingkatan terlampau.
Nampaknya
situasi terlampau telanjang inilah
yang menyebabkan mereka belum berbuat menyisihkan
objek-objek yang menutupi pertemuan
mereka. Mungkin mereka merasa malu atas pertemuan
itu. Malu karena pertemuan itu tidak
berlangsung pada kegelapan malam yang dapat menyembunyikannya.
Ironis
tersebut lebih kentara dengan mensejajarkan frasa dan tiba-tiba pada baris kelima bait kedua. Sebab selain
keterbukaannya, pertemuan itu juga
terjadi secara tiba-tiba. Atau meminjam
istilah Toeti Heraty “inilah pertemuan
yang dinanti-nanti/akhirnya lupa untuk disadari” seperti terungkap pada
puisi berjudul Pertemuan.
Pensejajaran frasa dan tiba-tiba dengan
terlampau telanjang memiliki hubungan
makna yang dekat dengan baris-baris pada puisi Pertemuan seperti yang telah disebutkan. Mereka terjekut dan malu.
Akan tetapi pertemuan itu harus diatasi oleh mereka berdua sebagaimana terungkap pada baris
terakhir bait kedua.
Bait
ketiga menghadirkan nuansa berbeda dengan dua bait sebelumnya. Secara umum,
bait ketiga ini memiliki perbedaan bentuk dengan bait-bait lain dalam puisi
ini. Bait ini ditulis mulai dari lajur kiri tanpa ada indensi pada baris-baris
sesudah baris pertama seperti pada bait lain. Perbedaan bentuk ini dapat
dipahami bahwa si aku lirik pada bait ini tengah mengungkapkan sesuatu yang
lain. Sesuatu yang bergerak lalu hadir di antara mereka.
Baris
pertama tak ada malam tapi bulan turut
bicara mengungkap bahwa situasi di mana pertemuan itu berlangsung di siang
hari. Kata malam dan bulan pada baris ini mesti dimaknai
sebagaimana malam dan bulan pada pengalaman di dunia nyata,
yaitu waktu di mana matahari tak bersinar dan objek satelit bumi yang berada di
angkasa pada waktu itu.
Makna
ini merupakan makna yang ada pada teks puisi tersebut. Akan tetapi jika kita
baca puisi lain yang mengangkat tema pertemuan, akan tampak bahwa malam
merupakan simbol dari semacam tempat persembunyian. Baris pertemuan yang terlampau
telanjang/dan tiba-tiba/ ini
segera harus diatasi dengan cara
menyembunyikan pertemuan itu lewat kegelapan malam. Nuansa malam yang dibangun
melalui baris ini lebih mengungkap fungsinya sebagai ‘penyembunyi’ daripada
sebagai penanda waktu.
Baris
berikutnya dan kerlap-kerlip bintang
meluncur karena mengungkap kehadiran atribut lain dari malam. Pada baris
ini terdapat sebuah kata kerja meluncur
yang merupakan tindakan dari subjek kerlap-kerlip
bintang. Pertanyaannya adalah: meluncur
ke mana subjek dalam baris ini? Meluncur
pergi yang mana berakibat pada ketiadaan eksistensinya ataukah meluncur datang
yang berakibat pada kehadiran eksistensinya? Tidak diungkap ke mana meluncur nya. Akan tetapi jika
dihubungkan dengan baris sebelumnya di mana nuansa malam dihadirkan, maka meluncur pada baris ini dapat dimaknai
sebagai meluncur hadir bersama bulan. Nuansa malam yang dibangun
menghadirkan objek-objek yang hanya nampak pada malam hari, yaitu bulan dan kerlap-kerlip bintang.
Baris
berikutnya kapal terlalu lancar tahu
benar memiliki sebab-akibat dengan baris sebelumnya. Kehadiran objek-objek
pada baris sebelumnya merupakan akibat dari keberadaan kapal pada baris ini. Kapal
sebagai sarana untuk menjelajah lautan digambarkan terlalu lancar. Tidak diketahui apakah kapal di sini menggunakan
tenaga mesin ataukah tenaga angin dengan layar terkembangnya, akan tetapi
penggunaan kapal menunjukkan adanya tingkat teknologi baru pada sarana
penjelajah lautan ini. Ini berarti kapal
pada baris ini lebih dekat pada sebuah kapal motor ketimbang perahu layar.
Sebuah kapal motor tentu saja tidak lagi bergantung pada alam untuk mendorong
lajunya. Dengan kata lain kecepatan laju bergantung sepenuhnya pada diri kapal
ini. Maka alam tidak lagi menjadi penghalang bagi kapal ini, kecuali badai.
Tapi
tidak ada badai dalam baris ini, juga pada puisi ini keseluruhan. Laut yang
tersirat dalam baris ini adalah laut yang tengah tenang. Yang menggelitik
pertanyaan saya adalah: kenapa tidak dipilih kata perahu yang dapat membawa
asosiasi makna yang lebih sendu? Karena baris-baris ini mencoba memutar
estetika yang digaungkan oleh Chairil Anwar. Secara sepintas akan dibahas hubungan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog
dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.
Pembahasan
ini dirasa perlu mengingat kedua puisi tersebut sama-sama mengangkat tema
tentang pertemuan. Selain itu kedua puisi tersebut juga menghadirkan nuansa
kapal atau perahu dan laut, juga bulan. Hubungan kedua puisi tersebut
mengandaikan hubungan intertekstual, di mana puisi Chairil dapat dianggap
sebagai hipogram dari puisi Toeti Heraty. Berikut
akan dikutip sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau.
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(sumber: Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Puisi
Chairil di atas mengungkapkan kerinduan si aku lirik pada sosok gadis manis, yang pada baris lain
disebut sebagai si pacar. Rindu akan
sebuah pertemuan. Kalau kita perhatikan pada puisi Chairil di atas terdapat
frasa seperti peralu melancar, bulan
memancar, angin membantu, laut terang pada bait kedua. Frasa-frasa tersebut
mengungkap nuansa laut yang tenang dan tepat untuk berlaut. Perlu diperhatikan pula, dalam sajak ini Chairil
menggunakan kata perahu yang berbeda
dengan kapal seperti pada sajak Senja
di Pelabuhan Kecil di mana disebutkan Kapal,
perahu tiada berlaut. Penggunaan kata perahu
menyaran pada adanya ketergantungan objek tersebut pada alam untuk
melajukannya.
Akan
tetapi keadaan yang tepat buat berlaut
itu ternyata membawa kegelisahan pada si aku lirik Chairil. Karena ternyata
badai justru berlangsung di dalam batin aku lirik sebab ternyata Ajal memanggil dulu. Pertemuan yang
diandaikan melalui laju perahu di
laut yang terang dan tenang ternyata tidak terjadi.
Kebalikannnya,
pada puisi Toeti Heraty kontras ditunjukkan melalui penggunaan kata kapal di mana tidak lagi perlu angin membantu. Kata kapal ini mesti
dipahami sebagai kebalikan dari kata perahu
pada sajak Chairil. Hal tersebut juga terungkap lewat penekanan terlalu lancar. Jadi di sini angin membantu bukan lagi pertimbangan
untuk melangsungkan sebuah pertemuan. Seolah penekanan itu hendak meninggalkan perahu pada Sajak Chairil.
Kontras
lain antara kedua puisi di atas adalah akhir dari pertemuan yang diandaikan.
Pada Chairil pertemuan yang diandaikan rupa-rupanya tidak pernah berlangsung.
Sebab Ajal memanggul dulu,/Sebelum sempat
berpeluk dengan cintaku?!. Sedangkan bagi Toeti Heraty kapal dalam puisinya asing dari
kegagalan. Dengan kata lain kapal tersebut selalu berhasil mencapai
maksudnya, yaitu melangsungkan sebuah pertemuan.
Demikian
sepintas pembahasan intertekstual antara Sajak Chairil Anwar dan Toeti Heraty.
Mestinya pembahasan ini ditulis terpisah. Namun untuk kali ini, pembahasan ini
diselipkan dalam pembahasan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog khususnya bait ketiga dengan harapan dapat tergali makna
yang utuh dalam pembahasan kali ini. Untuk selanjutnya fokus pembahasan akan
kembali pada puisi Toeti Heraty.
Bait
keempat merupakan bait terakhir dalam puisi ini. Setelah pada baris ketiga
bentuk topografi awal ditinggalkan, bentuk topografi pada bait keempat ini
kembali menggunakan pola seperti pada bait pertama dan kedua. Persamaan bentuk
ini menyiratkan bahwa yang hendak diungkap dalam bait ini adalah mereka yang sama seperti pada bait
pertama dan kedua. Akan tetapi keadaan kini telah berbeda seperti sebelumnya.
Bait ketiga seolah-olah menjadi pemisah. Ada sesuatu yang bergerak di bait
ketiga, yang menyebabkan nuansa pertemuan
itu berubah pada bait keempat.
Baris
pertama dimulai dengan di atas meja kini
terang. Baris ini mengungkap frasa yang sama dengan awal puisi. Akan tetapi
sekarang telah menjadi terang. Kalau
sebelumnya disebutkan bahwa meja yang
ada pada awal dan akhir ini bukanlah meja
yang sama, kini terbukti sudah. Entah meja
siapa yang ditinggalkan, yang pasti sekarang kata dan pandang tidak lagi terhalang oleh sebuah objek seperti
pada bait kedua, tapi kini terang/dengan
kelangsungan kata dan pandang sebagaimana terungkap.
Begitu
juga dengan baris-baris berikutnya bunga-bunga,/telah
disingkirkan olehnya menunjukkan nuansa yang berbeda dengan bait-bait awal.
Akan tetapi yang patut dpertanyakan adalah kata olehnya: siapakah yang dimaksud dengan –nya pada kata ini? Kalau kita membayangkan pertemuan ini
berlangsung antara seorang lelaki dan perempuan¸siapakah di antara keduanya
yang telah menyingkirkan bunga-bunga
itu?
Saya
lebih suka memaknainya sebagai keduanya. Sebagaimana judul puisi ini Dialog,
mengandaikan adanya percakapan antara dua orang, maka mereka dalam puisi ini diandaikan saling menyingkirkan penghalang
yang menutupi dialog mereka.
Surabaya, 23 maret 2016
* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165368/mencari-makna-pertemuan-dalam-puisi-toeti-heraty
SIHIR RENDRA PADA SAJAK BAYI DI DASAR KALI
Bagi
saya keindahan sebuah karya sastra seperti sajak misalnya, terletak pada pembacaan yang tidak
kunjung selesai. Sajak Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali, misalnya.
Dikatakan tidak kunjung selesai karena setiap kali membacanya saya seolah
menemukan sesuatu yang selalu baru. Meski sebenarnya teks yang dihadapi adalah
yang itu-itu juga, tapi kesadaran saya selalu tergugah setiap kali membacanya.
Seolah-olah di dalamnya ada pergerakan arus yang tak mau berhenti. Gesekan antara
saya sebagai pembaca dengan arus itu menciptakan bentuk yang barangkali dapat
diumpamakan dengan gerak pada air mancur di mana setiap lompatan airnya
mengandung energi untuk hidup. Berikut petikan sajak tersebut:
Bayi Di Dasar Kali
Rendra
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi
adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut
bahkan pun mulut yang telah biru dan dingin.
Angin dingin tak berbadan.
Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang.
Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka
di hati arwah kecil dan puti.
Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai
adalah dendam
lewat bening air menikam mentari
adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu.
Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya
mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?
Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan
disimpan bagai buah tubuh yang diperam
dan bila telah berhak menatap panah mentari
amboi, ditidurkannya ia di dasar sungai!
Air sungai maha dingin
mencucinya sepanjang hari
matanya menatap saja dan tiada berujung juga
tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya.
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi.
(sumber: WS Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: 1990. PT Dunia Pustaka Jaya)
Sajak
di atas berkisah tentang bayi yang oleh orang-orang yang melahirkannya dibuang
di dasar sungai. Tidak disebutkan siapakah yang meletakkan sang bayi di dasar
sungai, ibu yang melahirkannya ataukah ayah yang menjadi benihnya, atau
kedua-duanya. Perhatian Rendra sepertinya tercurah pada keberadaan si bayi
ketimbang orang-orang yang mengantarkannya ke dunia. Dan memang keberadaan bayi
itulah yang selalu menghentak nurani tiap kali membaca sajak yang berjudul Bayi
Di Dasar Kali ini.
Bait
pertama sajak di atas merupakan pembuka. Pada baris pertama Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi
menghadirkan nuansa suara di tengah-tengah pembaca. Hal itu ditunjukkan dengan
penggunaan kata nyanyi yang merupakan
kata verba yang menyaran pada pengertian aktifitas mengeluarkan suara bernada.
Kata nyanyi ini cenderung memiliki
sifat merdu dan indah. Akan tetapi sifat merdu dan indah ini dipertentangkan
dengan kata verba rintih yang
menyaran pada pengertian yang cenderung bersifat negatif dan menyakitkan. Frasa
Adalah nyanyi sepertinya
mengungkapkan bahwa sajak ini merupakan sebuah nyanyian, akan tetapi merupakan
nyanyian yang pilu karena nyanyian tersebut mengandung rintih. Atau bisa juga baris pertama ini menunjukkan bahwa sajak
ini merupakan rintih yang menjadi nyanyi.
Pada
baris berikut, yakni baris kedua, adalah
nyanyi yang tak terluput dari mulut. Baris ini menunjukkan bahwa rintih yang pada baris sebelumnya
disandingkan dengan nyanyi kini telah
sepenuhnya menjadi nyanyi. Dan
sebagaimana setiap rintih bermula
dari mulut yang merasakan sakit atau
pun duka. Baris kedua ini lebih menunjuk pada rintih yang keluar dari mulut.
Kata mulut pada baris ini mesti
dipahami sebagai makna denotatifnya, yakni mulut sebagai bagian tubuh dari
manusia yang bisa mengeluarkan nyanyi
dan rintih.
Di
sini menjadi jelas bahwa nyanyi atau rintih yang didengar oleh si aku lirik
dalam sajak ini bukanlah suara yang berasal dari alam seperti misalnya pada
frasa ‘musim semi bernyanyi’ atau ‘batu-batu merintih dihantam badai’. Mulut
yang dihadapi oleh si aku lirik adalah mulut sebagaimana si aku lirik sendiri
memiliki mulut atau sebagaimana lazimnya mulut kita.
Akan
tetapi mulut pada baris ini ternyata
tidak seperti lazimnya. Pada baris ketiga disebutkan mulut yang telah biru dan dingin. Baris ini menyiratkan adanya
sebuah proses yang telah berlangsung yang dialami oleh mulut pada baris sebelumnya. Frasa telah biru menunjukkan bahwa darah yang mengalir di balik mulut tersebut telah berhenti mengalir
dan membeku. Jika yang diacu adalah mulut manusia tentu kejanggalan segera
ditemukan: mengapa mulut yang bernyanyi itu darahnya membeku sehingga
menyebabkan warnanya berubah menjadi biru? Hal ini dikuatkan lagi dengan bentuk
elips telah pada kata dingin yang juga menyiratkan pengertian
bahwa telah terjadi proses dari sesuatu yang sebelumnya hangat menjadi dingin yang dalam hal ini adalah mulut. Bisa dikatakan bahwa darah dalam tubuh
pemilik mulut ini telah berhenti fungsi-fungsinya, atau dengan kata lain: mati.
Jadi pada baris ketiga dapat dipahami bahwa rintih
yang menjadi merdu bagi si aku lirik berasal dari mulut yang telah mati. Bagaimana bisa mulut yang telah mati menyuarakan rintih yang menjadi nyanyi?
Baris
keempat Angin dingin tak berbadan menyaran
pada keadaan alam pada yang merupakan lambang tertentu yang tengah dihadirkan
oleh si aku lirik. Di sini terdapat kata benda angin yang mendapat atribut sifat dingin. Frasa Angin dingin
menunjukkan kondisi tertentu pada alam. Frasa Angin dingin ini diikuti dengan frasa tak berbadan. Di sini angin
yang merupakan unsur benda mati dikuti dengan unsur dari benda hidup, yaitu
mahkluk yang berbadan. Baris ini
seolah-olah menggambarkan adanya sesuatu yang terpisah yaitu antara angin dan badan. Bisa juga dikatakan bahwa ada sesuatu, yaitu angin, yang kini kini tidak lagi
memiliki atau kehilangan badan.
Dengan kata lain, ada ruh yang diwakili dengan kata angin, yang terpisah dari badan.
Jika pemahaman ini diterima, kata dingin
yang menjadi atribut dari angin menjadi
lebih ironi maknanya: ruh yang kesepian karena kehilangan badannya!
Baris
kelima kembali menghadirkan keadaan alam Gersik
rumpun pimping, rumpun ilalang. Dalam hubungan dengan baris sebelumnya,
terdapat pergeseran medan dari angin
yang berada di udara beralih ke tanah dengan rumpun pimping, rumpun ilalang nya yang bergerak karena tiupan
angin. Kata gersik di sini mengacu
pada pengertian suara atau bunyi yang timbul karena gesekan antara daun-daun.
Bisa dikatakan dunia yang dihayati oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah
dunia yang diam. Akan tetapi dunia yang bersuara, dunia yang me-rintih. Gersik rumpun menyenandungkan rintih.
Baris
keenam Wahai, nyanyi yang terluput dari
liang luka menunjukkan keberadaan si aku lirik dalam sajak ini. Pada baris
ini si aku lirik tengah menyeru. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata
seru wahai yang bermaksud untuk memanggil
atau menarik perhatian atau pun untuk memperingatkan. Yang diseru oleh si aku
lirik pada baris ini adalah nyanyi yang
terluput dari liang luka. Nyanyi inilah yang hendak dibangkitkan oleh si
aku lirik dalam sajak ini dengan seruannya.
Kalau
kita perhatikan pada baris kedua, nyanyi
tak terluput dari mulut. Artinya nyanyi itu hadir di antara objek yang
nampak di dunia benda meski berasal dari sesuatu yang mati. Akan tetapi nyanyi pada baris keenam yang diseru
oleh si aku lirik bukanlah nyanyi
sebagaimana pada baris kedua. Yang diseru oleh si aku lirik adalah nyanyi yang
asalnya bukan dari dunia benda. Akan tetapi berasal dari suatu sumber yang terluput dari liang luka. Di manakah
letak liang luka itu? jawabnya
terletak pada baris ketujuh di hati arwah
kecil dan puti.
Setelah
pada baris-baris sebelumnya kita diajak oleh si aku lirik untuk mendengarkan
suara-suara alam, pada baris terakhir kita diajak untuk (dalam tanda kutip)
menghidupkan atau mendengar suara dari arwah
kecil dan puti. Baris ini juga menunjukkan ada kehadiran manusia (atau yang
dulunya manusia) yang dapat diidentifikasi dengan kata kecil dan puti. Kata kecil
tentu saja menunjuk pada pengertian bayi sebagaimana judul sajak ini. Sedang
kata puti menunjuk pada jenis kelamin
bayi itu, yaitu perempuan. Dengan kata lain, nyanyi arwah bayi perempuan inilah
yang tengah diseru oleh si aku lirik.
Dari
bait pertama ini tidak salah jika pada judul tulisan ini penulis menggunakan
kata sihir. Ini karena bait pertama ini didominasi oleh unsur bunyi-bunyian.
Indra pendengaran diarahkan untuk satu tujuan. Seperti mantra-mantra kuno yang
lebih cenderung menggunakan bunyi-bunyian untuk menghadirkan suasana magis.
Begitulah bait pertama ini menyihir kita dengan perpaduan nyanyi, rintih,
gersik, mungkin juga desir angin, dan seruan si aku lirik yang hadir di
tengah-tengah kita.
Baris
pertama pada bait kedua atau baris kedelapan Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai menegaskan apa
yang pada baris terakhir bait pertama disebutkan. Di sini digunakan kata bayi yang merujuk pada sosok tubuh
mungil yang dipertentangkan dengan kata nyawa
yang merujuk pada sesuatu yang menempati tubuh si bayi. Namun dua substansi (nyawa dan tubuh) yang mestinya bersatu
ini terpisah. Dan tempat pemisahan itu terletak di dasar sungai.
Bagi
penulis pemandangan pada baris kedelapan ini begitu mencengangkan: tubuh bayi terbaring
di dasar sungai. Padahal bayi adalah mahkluk tak berdaya yang kehadirannya di
dunia ini sangat tergantung pada keberadaan ibunya. Pada usia ini bayi lebih
mungkin berada di atas ranjang di tengah-tengah kamar yang hangat dengan
dilindungi oleh kojong yang menghindarkannya dari gigitan nyamuk. Ya, pada usia
ini bayi benar-benar dimanjakan dan disayang. Dia hanya bisa berbaring dan
memandang dunia dari balik mata mungilnya. Keberlangsungan hidupnya bergantung
dari belas kasihan ibu yang menyusuinya. Tapi pada sajak ini, bayi itu
sendirian di dunia ini. Dia terbaring di dasar sungai tanpa seorang pun yang
tahu. Nyawa nya tersia. Hidupnya telah terenggut oleh ketiadaan. Menyisakan mulut
yang telah biru dan dingin.
Baris
kesembilan adalah dendam menampilkan
suasana yang berbeda. Jika pada baris-baris sebelumnya suasana yang hadir
cenderung lembut, dingin, dan tak berdaya, namun pada baris ini ada semacam
amarah yang merangkak ke permukaan. Di balik sesuatu yang tak berdaya dan mati
itu ternyata ada amarah terhadap sesuatu yang mengantarkannya pada ketiadaan.
Baris
selanjutnya lewat bening air menikam
mentari. Baris ini secara tersirat menggambarkan tatapan mata si bayi. Hal
itu nampak pada frasa lewat bening air.
Di sini yang mungkin menembus bening air
hanyalah penglihatan. Kita bisa melihat corak batu-batu dasar sungai pada air
yang bening dengan indra penglihatan kita. Begitu pula sebaliknya, tatapan mata
si bayi menembus bening air dari
tempatnya terbaring di dasar sungai. Kini bayi itu bukan lagi sesuatu yang telah biru dan dingin, melainkan sesuatu
yang amarah dan menikam mentari
dengan tatapan matanya.
Mengapa
dikatakan tatapan mata? Telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang mungkin
menembus bening air hanyalah indra penglihatan. Selain itu pada baris lain juga
disebutkan matanya menatap saja. Ini
menunjukkan bahwa mata bayi itu tidak terpejam. Bayi itu ternyata tidak
tertidur melainkan terjaga. Dan dengan tatapannya itu dia meluapkan amarahnya,
yang oleh si aku lirik didengar sebagai rintih
pada nyanyi.
Baris kesebelas adalah nyawa
lepas di luar dayanya dan tahu menunjukkan adanya proses yang telah dilalui
oleh si bayi, yaitu nyawa lepas. Sebagaimana
keberadaan bayi yang belum mampu berbuat apa-apa, proses nyawa lepas itu tidak dapat ditolaknya. Bayi itu tidak mampu
misalnya meronta dan melepaskan diri dari cengkaram air sungai yang dingin lalu
berenang ke permukaan. Juga sangat mungkin bayi itu tidak tahu bahwa dia akan
dibaringkan di dasar sungai. Dia
tidak dapat melawan yang pada baris ini diwakili dengan frasa di luar dayanya.
Akan tetapi sekali pun bayi itu tidak kuasa melawan perlakuan
terhadapnya, namun dia tahu perbuatan
apa yang dilakukan padanya. Ini merupakan sisi ironi karena tubuh yang tidak
berdaya melawan ternyata tahu bahwa
dia tidak berdaya dan ketidakberdayaannya itu akan mengantarkannya pada
kematian. Nyawa atau ruh itulah yang kini sedang berbicara. Nyawa itu sedang
berbicara kepada kita melalui si aku lirik. Suasana magis telah menghidupkan si
bayi ke tengah-tengah kita.
Pada baris selanjutnya Mengapa
tak dibunuh bagai darah dikandungnya merupakan pertanyaan yang ditujukan
kepada mereka yang telah ‘menjadikannya’ di dunia. Pertanyaan ini lebih
merupakan tuntutan hak atas hidup. Juga pada baris ketigabelas mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?
adalah tuntutan hak atas hidup. Sebab jika memang kehadirannya ditolak mestinya
dia ditiadakan semenjak berada dalam rahim. Sebab jika kehadirannya memang
tidak diinginkan, mengapa daging dalam rahim yang belum berjiwa itu tidak
dilenyapkan! Dan si bayi tahu, di situlah dia harus ditolak jika kehadirannya
di dunia memang tidak diinginkan.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kehadirannya dalam rahim diterima.
Hal itu terungkap lewat baris keempatbelas Dimasukkannya
ia bagai tamu yang diharapkan. Seolah-olah perempuan pemilik rahim dan
lelaki penanam benih mengharapkan kehadirannya. Bahkan lebih jauh keberadaannya
dalam rahim dijaga. Hal itu terungkap pada baris selanjutnya disimpan bagai buah tubuh yang diperam. Kata
disimpan menunjukkan bahwa kedua
orang itu tak hendak membuang buah yang terjadi akibat hubungan lelaki dan
perempuan. Metafora yang digunakan selama proses bayi dalam kandungan adalah buah tubuh yang diperam. Hal ini
menunjukkan bahwa janin yang dikandung makin lama makin besar. Karena dia diperam layaknya buah tubuh.
Meski demikian kata disimpan
jika dihubungkan dengan kata diperam juga
bisa memiliki pengertian lain. Pengertian lain yang mungkin timbul adalah
kandungan yang dirahasiakan atau disembunyikan. Mungkin yang dimaksud adalah
kehamilan yang ditutup-tutupi. Entah karena kandungan itu akibat benih dari hubungan
yang tidak direstui atau sebab lain seperti hubungan di luar nikah, yang pasti
janin dalam kandungan tersebut dibiarkan tumbuh makin besar dari hari ke hari.
Si pemilik rahim dan penanam benih tidak menggugurkan janin dalam kandungan
itu. Di sini disebutkan pemilik rahim dan penanam benih karena seharusnya kedua
manusia itulah yang bertanggungjawab atas hak hidup si bayi. Tapi pada sajak di
atas, kedua manusia itu merenggut hak si bayi. Hak untuk hidup yang terlukis
pada baris keenambeas bila telah berhak
menatap panah mentari direnggut dengan membaringkan si bayi di dasar sungai!
Pada baris ketujuhbelas digunakan kata ditidurkannya untuk menyaran pada pengertian meletakkan tubuh si
bayi. Penggunaan kata ditidurkannya pada
baris ini menunjukkan kesan bahwa si bayi sedang mengantuk dan mesti
ditidurkan. Kata ditidurkannya yang
biasanya dilakukan oleh orang tua kepada bayi dengan penuh kasih sayang,
menjadi ironis karena pada baris ketujuhbelas ini ini digunakan untuk
menggantikan pengertian tindakan membunuh si bayi. Apakah kedua manusia itu
pada dasarnya menyayangi bayi itu namun karena berbagai macam sebab mereka
harus membuangnya? Apakah kedua manusia itu sadar dengan apa yang mereka
lakukan, merenggut hak menatap panah
mentari dari si bayi?
Sajak di atas tidak melukiskan tentang manusia-manusia yang
menghadirkan si bayi ke dunia dan menidurkannya di dasar sungai. Sajak ini adalah tentang tubuh bayi yang ditidurkan di dasar sungai. Jadi apa
yang terjadi dengan kedua manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia hanya
dapat dilakukan dengan menduga-duga. Keberadaan kedua manusia itu hanya
ditampilkan secara tersirat melalui kata kerja pasif seperti dimasukkannya, disimpan, atau pun ditidurkan.
Penggunaan kata kerja pasif ini pada hemat penulis karena si aku lirik,
selain tak hendak menceritakan tentang kedua manusia yang dimaksud, juga hendak
mengajukan tuntutan kepada kedua manusia itu melalui perbuatan mereka terhadap
si bayi. Pertanyaan si aku lirik pada baris keduabelas dan ketigabelas pada
dasarnya bukanlah pertanyaan meski pada akhir baris ketigabelas terdapat tanda
tanya (?). Kedua baris tersebut pada dasarnya adalah pengajuan tuntutan kepada
kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai. Juga kedua
baris tersebut, bisa dikatakan sebagai luapan amarah si aku lirik dalam sajak
ini. Bukankah kadang kalau kita marah terhadap sesuatu, kita sering
mempertanyakan kejadian yang membuat kita marah?
Begitu juga dengan baris keempatbelas sampai keenambelas, merupakan
pernyataan si aku lirik. akan tetapi jika pada baris keduabelas dan ketigabelas
pernyataan itu lebih ditujukan kepada kepada kedua manusia yang telah
menyebabkan si bayi berada di dasar
sungai, baris-baris selanjutnya lebih ditujukan kepada pembaca. Artinya, si
aku lirik ingin pembaca memahami mengapa dia sampai begitu marah. Baris
keempatbelas sampai ketujuhbelas yang menggambarkan bagaimana kehidupan si bayi
bermula dan berakhir, bisa dikatakan sebagai alasan kemarahan si aku lirik.
Kalau kita amati lagi pada baris ketujuhbelas terdapat kata seru amboi. Kata seru ini lebih menyaran pada
adanya perasaan heran pada subjek yang mengucapkannya. Dan keheranan itu
terjadi karena adanya sesuatu yang saling bertentangan atau berlawanan. Kalau
kita mau menengok pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau
misalnya, di sana disebutkan: Amboi!
Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama ‘kan merapuh!/Mengapa ajal
memangggil dulu/Sebelum sempat berpeluk cintaku?! Si aku lirik pada sajak
Chairil Anwar tersebut merasa heran karena apa yang sudah diusahakannya selama
ini ternyata sia-sia. Contoh lain adalah sajak Toeti Heraty yang berjudul Impasse:
kedua bayangan dalam gelap kamar/amboi,
tak ‘kan sampai pada pertemuan. Sekali lagi, pada petikan sajak tersebut
kata seru amboi digunakan untuk menunjukkan keheranan atas sesuatu yang saling
bertentangan; dua bayangan dalam kamar, dalam satu ruang, mengapa tidak terjadi
pertemuan?
Ya, si aku lirik pada sajak Rendra ini juga merasa heran. Sebab apa
yang terjadi selanjutnya pada si bayi berlawanan dengan apa yang telah
dilakukan, yaitu membiarkan janin itu menjadi bayi dan kemudian membunuhnya!
Kalau ingin membunuhnya, kenapa tidak dilakukan sejak awal, sejak bayi itu
masih berupa daging yang belum bernyawa?!
Bisa dikatakan bait kedua pada sajak berjudul Bayi Di Dasar Kali di
atas merupakan inti yang hendak diungkap dari sajak tersebut. Setelah pada bait
pertama nuansa bunyi dihadirkan untuk menghidupkan suasana gaib, bait kedua
mencoba menghidupkan amarah si bayi yang menjelma dalam diri si aku lirik dalam
sajak tersebut. Si mati itu telah menghampiri si aku lirik lewat angin dingin tak berbadan.
Bait ketiga bisa dikatakan sebagai bait penutup. Dalam bait ini si aku
lirik kembali pada posisinya sebagai subjek yang mengamati keberadaan si bayi di dasar sungai. Sebelumnya perlu
disampaikan juga permasalahan waktu dalam sajak ini. Jika diperhatikan pada
baris kesepuluh terdapat kata mentari yang dapat digunakan sebagai kata
penunjuk waktu, yaitu siang hari. Dan fenomena yang dihadirkan dalam sajak ini,
selain nuansa bunyi, juga menghadirkan nuansa indra penglihatan. Frasa seperti menikam mentari dan menatap saja, dapat dijadikan sebagai acuan bahwa si aku lirik
tengah menyaksikan si bayi dalam keadaan yang terang benderang di mana mata
sangat mungkin untuk melihat ke kedalaman air yang bening.
Mengapa waktu perlu disebutkan karena dapat menunjukkan sisi ironis
keberadaan si bayi di dasar sungai. Bagaimana
tidak, di siang hari yang benderang di mana sebagian besar manusia menjalankan
aktifitasnya, bergaul atau pun bercengkrama dengan manusia lain, justru di
belahan lain yang sunyi, yang tak terjangkau kehidupan, sesosok bayi
ditinggalkan sendirian!
Baris pertama bait ketiga atau baris kedelapanbelas Air sungai maha dingin merujuk pada
lingkungan yang mengelilingi si bayi. Pada hari yang terang di bawah sinar
mentari yang cemerlang ini ternyata suhu air
sungai disebutkan dengan frasa maha
dingin. Frasa ini memiliki pengertian dingin yang tiada terkira. Bagaimana
bisa dunia yang sedang hangat pada siang hari Air sungai maha dingin? Bukankah suhu dipermukaan bumi mestinya
menyebabkan Air sungai cenderung terasa
segar ketimbang maha dingin?
Hal itu mungkin terjadi karena kata sifat dingin pada baris ini tidak hanya merujuk pada suhu tertentu dalam
ruang. Kata dingin pada baris ini
memiliki asosiasi yang lebih luas seperti misalnya pada frasa ‘tatapan matanya
dingin’ atau ‘pembunuh berdarah dingin’. Dengan kata lain, Air sungai itu tidak peduli apakah yang dilalui dan direndamnya
merupakan tubuh bayi mungil yang tidak berdaya atau pun batu-batu kali yang tak
berjiwa. Bagi Air sungai keberadaan
si bayi sama seperti objek lain yang mesti mengikuti hukum alam jika sebuah
benda bermassa jenis lebih besar dimasukkan ke dalam air: tenggelam.
Baris selanjutnya mencucinya sepanjang
hari menambah kesan yang kuat tentang lingkungan di mana si bayi berada. Pada
baris ini terdapat kata kerja mencuci
yang merupakan aktifitas yang dilakukan oleh Air sungai terhadap tubuh si bayi. Penggunaan kata mencuci yang merujuk pada pengertian membersihkan
menunjukkan betapa aliran Air sungai
menggerus tubuh si bayi. Aliran air itu perlahan-lahan membersihkan atau
mengelupasi daging-daging pada tubuh si bayi. Dengan daya geraknya, dia bawa
serpihan-serpihan kecil daging dan kulit bersamanya. Mungkin tidak tampak
daging dan kulit itu terkelupas karena intensitasnya sangat renik. Akan tetapi
proses ini berlangsung sepanjang hari.
Bisa dipastikan tubuh yang mengalami proses pembusukan lambat laun akan rusak
dan hancur! Itulah yang terjadi pada baris kedelapanbelas dan kesembilanbelas.
Baris selanjutnya matanya menatap
saja dan tiada berujung juga merujuk pada keadaan si bayi di tengah-tengah
air yang melingkupinya. Di tengah lingkup itu si bayi digambarkan hidup dengan
penggunaan kata kerja aktif menatap. Tapi
secara keseluruhan hanya itu satu-satunya aktifitas yang dilakukan oleh si
bayi. Si bayi tidak lagi merengek atau pun menangis. Si bayi tak kuasa pula
menendang-nendang. Si bayi hanya dapat menatap
saja, itu pan tanpa sanggup berkedip atau pun terpejam sekiranya dia lelah
dan mengantuk. Sebab semua hal yang mungkin dilakukan oleh bayi bernyawa sudah di luar dayanya. Hal itu nampak pada
frasa tiada berujung saja.
Frasa tiada berujung saja
menunjukkan bahwa mata si bayi selain tak dapat berkedip dan tak dapat terpejam
juga menyiratkan kehampaan, bahwa di balik mata itu sudah tidak ada apa-apa
lagi. Jika dikatakan bahwa mata adalah jendela hati, maka di balik tatapan si
bayi itu sudah tidak ada dunia lagi. Nyawa yang menghidupnya kini tak berbadan, kesepian, dan menuntut
dendam.
Tubuh yang sudah ditinggalkan itu perlahan-lahan mengalami proses
pembusukan. Hal itu nampak pada baris keduapuluh satu tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya. Frasa tubuhnya kian putih menunjukkan ada proses
alamiah yang tengah berlangsung. Daging yang berwarna merah karena diselimuti
darah, juga warna kulit yang yang lebih gelap karena ada aliran darah di
baliknya, kini lenyap dan menjadi kian
putih. Penggunaan kata kian ini
menunjukkan adanya penekanan warna putih yang lebih dari sekedar putih.
Putihnya daging yang membusuk dan rapuh, mudah sekali hancur.
Pengertian ini menjadi mengena dengan frasa kerikil masuk ke dagingnya. Di sini dapat dilihat bagaimana benda
yang asing dan keras masuk ke dalam dagingnya karena mendapat dorongan
aliran air. Dan tubuh bayi itu tidak dapat mengelakkannya. Dia tidak dapat
menggoyangkan punggungnya untuk menolak kerikil yang melukai dagingnya. Dia hanya menatap saja. Jika frasa menatap saja dihubungkan dengan frasa kerikil masuk dagingnya, akan hadir
kesan bahwa si bayi hanya dapat menatap
saja tubuhnya perlahan-lahan dirusak oleh kekuatan dari luar. Bagi penulis
ini menjadi pemandangan yang mengerikan: menyaksikan tubuh sendiri
perlahan-lahan hancur tanpa mampu berbuat apa-apa!
Dan sajak ini diakhiri dengan Adalah
nyanyi, adalah rintih pada nyanyi sebagaimana ditulis pada baris pertama
sajak ini. Baris terkahir ini dengan baris pertama merupakan simpul yang
mengikat kisah si bayi. Jika pada awal ada usaha untuk menghidupkan si bayi,
pada bagian akhir ini dapat disaksikan sosok tubuh si bayi perlahan-lahan
lenyap. Atau dari tiada menjadi ada dan kembali pada ketiadaan. Pada akhirnya
semua kembali pada Yang Menciptakan Pertama Kali.
Demikian pembahasan singkat tentang sajak WS Rendra yang berjudul Bayi
Di Dasar Kali. Pembahasan ini merupakan pengalaman yang penulis dapat selama
melakukan pembacaan terhadap sajak yang dimaksud. Sangat mungkin apa yang
dibahas jauh dari apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya. Paling tidak
bagi penulis tulisan ini dapat menjadi pegangan untuk menikmati sajak yang
dimaksud. Dan sampai saat ini, setiap
kali membaca sajak ini, penulis tetap merasa ada sesuatu yang ‘tidak
tidur’ dalam sajak itu mesti si bayi sudah dibaringkan.
Surabaya,
19 Agustus 2016* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165439/sihir-rendra-pada-sajak-bayi-di-dasar-kali
Langganan:
Postingan (Atom)