Kamis, 17 Mei 2018

BERJAGA

Malam, 'rapatlah kemari; lama lagi kita
bercengkrama. Sekeliling lena, biarlah!
Waktu milik kita. Esok
tiada pasti terbit tegur. Percakapan
tinggal jadi bibit di sela tanah rengkah kemarau.

Berjaga di hadapan rumpun bambu. Bunyi teng dari gardu, dua kali terdengar. Apalagi hendak digali? Kain-kain telah lepas, sabuk kulit tertidur
di gantungan. Siapa yang kini bertanya?!
Surabaya, 17 Mei 2018

Selasa, 15 Mei 2018

SENDIRI


Udara dingin turun begitu saja dari
langit. Seperti tak peduli
pada tubuh-tubuh yang menaikkan selimut. Seperti tak peduli pada tubuh
yang tak lagi bergerak, tubuh anak manusia.

Aku masih terjaga. Jauh dari
persimpangan. Menatap kelengangan yang dalam. Bercermin pada gelap:
mengapa kita saling sembunyi?
Surabaya, 16 Mei 2018

Senin, 14 Mei 2018

JALANAN LENGANG

Jalanan lengang;
Atau hanya hatiku!

Ada tangis terlempar
Ada duka tercecer
Ada yang bertanya:
Berakhirkah?

Simpang jalan muram
Lampu-lampu kota berlinang air mata
Dinding-dinding rumah bergetar murung

Mengapa selalu terucap kata yang sama;
Di kejauhan sana ada nyala dian
Nyala dian yang menyuluhi kegelapan
Nyala dian yang selalu kita abai

Ketika jalan tak selengang ini
Surabaya, 14 Mei 2018

Jumat, 04 Mei 2018

ZIARAH



Oleh : Chandra Krisnawan

Ketika datang lagi satu setengah tahun kemudian, kubur ayah masih terawat. Tidak nampak rumput berkeliaran di sana. Mawar merah menghitam di atas tanah kering musim kemarau yang panjang. Pohon kamboja yang dulu di tanam, kini tingginya lebih dari dua meter. Menaungi kubur ayah.

Ibu membayar juru kunci secara rutin untuk merawat kubur ayah–entah bagaimana ibu menyisihkan uang untuk itu. Pilu sesaat mendera menyaksikan kubur ayah terawat. Kami, aku dan saudara perempuanku, jarang berziarah kemari. Dan kami tidak pernah berpesan agar ibu menyisihkan uang untuk merawat kubur ayah. Kami meninggalkan kota yang dipilih ayah sebagai pusaranya, menempuh hidup masing-masing. Tinggal ibu yang ada di kota ini. Sendiri saja.

Kami sudah berusaha membujuk ibu untuk tinggal bersama kakak perempuanku di kota asal kami. Tapi ibu menolak. Padahal sudah kami yakinkan bahwa rumah dinas yang sekarang ditinggali harus dikembalikan pada perusahaan. Ibu beralasan bahwa perusahaan mengijinkannya tinggal dengan membayar sewa.

Pada kesempatan lain kami mengemukakan agar ibu bersedia merawat cucunya, anak-anak kakak perempuanku. Tapi ibu tetap tak bergeming. Berat meninggalkan tempat yang telah didiaminya selama hampir tiga puluh tahun. Baginya lebih mudah tinggal bersama segala sesuatu yang sudah dikenal ketimbang memulai hidup di tempat yang baru. Semua yang ada di sekeliling memiliki kenang-kenangan tersendiri. Kalaupun pada akhirnya perusahaan meminta kembali rumah dinas itu, ibu memilih untuk tinggal di rumah yang telah dibeli ayah.

Kami tidak berasal dari kota ini. Kampung halaman kami terletak di antara pesisir selatan dan gunung Kelud. Aku dan kakak perempuanku dilahirkan di sana. Hanya adik perempuanku yang lahir di kota ini.

Pada tahun 80an ayah merantau ke kota ini dan meninggalkan ibu yang saat itu tengah mengandung kakak perempuanku. Setiap bulan ayah selalu pulang menjenguk ibu. Gaji ayah waktu itu belum cukup untuk memboyong ibu ke sana. Hal itu berlangsung sampai aku lahir dan berusia dua tahun. Selama itu, ayah menumpang di rumah saudara perempuannya.

Ketika ibu mengandung adik perempuanku, ayah memboyong kami ke kota ini. Ayah menyewa sebuah kamar milik kenalannya untuk kami tinggali. Letaknya tak jauh dari pelabuhan tempat ayah bekerja. Kecil saja kamar itu. Tapi aku yakin ayah sangat bahagia. Kami bisa berkumpul setiap hari mulai saat itu. Apalagi adik perempuanku akan segera lahir.

Bagi ayah kelahiran adik perempuanku merupakan proses yang mengesankan. Ayah menunggui ibu mulai dari awal proses persalinan hingga bayi perempuan mungilnya menangis keras-keras setelah dilahirkan. Kemudian ayah menanam ari-arinya di halaman rumah yang kami tinggali. Dan pada malam hari ayah turut mendengar tangisnya. Tidak seperti pada kakak perempuanku dan aku.

Ketika usia adik perempuanku tiga tahun, perusahaan mengumumkan bahwa ada sebuah rumah dinas yang bisa ditempati bagi karyawan yang telah diangkat. Ayah membuat pengajuan dan diterima. Meski letaknya hampir 20 kilo dari pelabuhan, paling tidak pengeluaran bulanan untuk ongkos sewa bisa dipangkas. Tempatnya juga tidak jauh dari rumah saudara perempuan ayah. Lagipula tinggal di dalam bilik orang lain, selalu saja ada perasaan tidak enak meski tuan rumah adalah orang yang baik.

Pada masa itu ayah belum memiliki sepeda motor. Ayah harus oper angkutan sebanyak dua kali dan harus berjalan setengah kilo dari rumah menuju jalan besar. Pada sore-sore tertentu, seperti pada tanggal gajian atau tanggal keluarnya jatah uang makan, ibu mengajak kami menjemput ayah di jalan besar itu.

Aku dan kakak perempuanku sering bermain tebak-tebakan: angkot mana yang membawa ayah. Yang kalah harus memberikan sebagian jajan yang akan dibelikan oleh ayah nanti. Sedang adik perempuanku mengikuti saja salah satu dari kami meski seringnya dia tidak mau memberikan bagiannya.

Tapi tidak selalu di antara kami ada yang berhasil keluar menjadi pemenang. Sering juga kami menunggu hingga mendekati maghrib namun ayah belum juga nampak. Kadang ibu mengira angkot yang ditumpangi ayah mogok atau entah karena apa. Sehingga kami menunggu sampai benar-benar berkumandang adzan maghrib. Ayah pulang terlambat karena harus lembur. “Ada kapal pengedokan,” begitu kata ayah.

Suatu ketika ayah pulang dengan menaiki sepeda phoenix. Rangkanya berwarna merah dengan slebor berwarna putih. Sebuah keranjang tergantung di depan stir dan bel kecil di bagian stir sebelah kiri. Dan di bagian belakang, terdapat boncengan tempat duduk. Ayah membeli dari temannya yang kebetulan sedang membutuhkan uang.

Kami senang dengan kehadiran sepeda itu. Kepada teman-teman kami yang sebaya kami banggakan sepeda itu sebagai sesuatu yang tak ternilai. Baik bagian-bagiannya maupun cara mendapatkannya. Sepeda itu, menurut kami, ditakdirkan untuk menjadi bagian dari keluarga kami. Begitu yang sering kami banggakan, menerjemahkan kata-kata ayah yang berbunyi wes rejekine dhewe.

Sepeda itulah yang membawa kami berkeliling pada hari-hari libur sekolah. Aku duduk dibelakang bersama kakak perempuanku. Sedangkan adik perempuanku duduk di keranjang yang digantungkan di belakang stir. Kami sering bertengkar karena berebut dibonceng ayah. Masing-masing dari kami menghendaki dibonceng sendirian saja, terutama aku dan kakak perempuanku. Tidak menyenangkan bagi kami duduk berhimpit-himpitan di boncengan belakang. Dan akhir pertengkaran itu adalah kemarahan ibu. Ibu berkata jika kami terus bertengkar tidak akan ada lagi acara berkeliling. “Gak siji gak kabeh,” begitu katanya.

Menginjak kelas 3 SD barulah ayah memiliki sebuah sepeda motor. Bukan motor baru memang. Tapi dengan sisa-sisa kekuatannya motor itu sanggup membawa kami bertiga, aku dan dua saudara perempuanku berkeliling kota. Seperti sebelumnya adik mendapat tempat istimewa di depan, duduk di atas tangki bensin. Sekarang kami bisa menyaksikan tempat-tempat yang selama ini belum pernah kami kunjungi. Jembatan merah, tugu pahlawan, tunjungan, dan masih banyak lagi yang kami saksikan.

Bagi anak-anak seusia kami, pengalaman ini merupakan hal yang luar biasa. Kami jadi punya cerita untuk dibanggakan pada teman-teman sebaya kami tentang tempat-tempat yang kami kunjungi dan yang mungkin belum mereka tahu. Meski ada saja anak-anak lain yang menganggap hal itu tidak istimewa dan merendahkan pengalaman kami. Biasanya usia mereka lebih tua dari kami.

Tahun berlalu. Keluarga kami makin tumbuh dan tua. Tidak ada kegembiraan berlebih seperti gelar terop pada perayaan khitan, pesta ulang tahun atau pesta pagelaran ngunduh mantu pada perkawinan kakak dan adik perempuanku. Seolah-olah tak ingin dunia mengetahui kami telah berubah.

Selepas SMA kakak perempuanku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi meski ayah memaksanya. Dia memilih kembali ke kota asal kami dan bekerja di sana. Meski begitu kelak dia diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah di sana–pekerjaan yang menjadi dambaan orang banyak di jaman ini. Sedang adik perempuanku hanya bertahan lima semester di perguruan tinggi. Sesudah itu dia kawin dan pindah mengikuti suaminya. Hanya aku yang meneruskan ke perguruan tinggi dan menamatkannya.

Dalam pada itu ibu terjerat hutang yang tidak diketahui ayah. Suatu ketika datang seorang perempuan ke rumah kami. Dia berteriak-teriak di depan pintu, meminta agar ibu segera mengembalikan uang yang dipinjamnya. Perempuan itu juga meneriakkan bahwa ibu sudah berbulan-bulan tidak pernah mengangsur, kesalahan yang menurut perempuan itu memberinya hak untuk berlaku kasar.

Para tetangga yang mendengar itu melihat dari depan pintu rumah masing-masing. Sebagian dari mereka berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu. Ayah yang tidak mengetahui duduk persoalan, meminta perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah dan membicarakan permasalahan dengan tenang. Ibu tidak mau menerima perlakuan ayah terhadap perempuan itu begitu saja. Ibu ganti berteriak pada perempuan itu supaya segera keluar dari ruang tamu karena telah berbuat lancang. Tapi posisi ibu dan ayah lemah sehingga perempuan itu balik menghamburkan makian kepada ibu. Pada akhirnya, para tetangga ikut melerai agar pertengkaran tidak berlarut-larut. Para tetangga sudah pada keluar mengerumuni rumah kami. Merasa puas mempermalukan kami perempuan itu pergi sambil terus menghamburkan makiannya.

Kejadian itu benar-benar membuat ayah malu. Para tetangga kanan-kiri merupakan rekan kerja ayah di perusahaan. Kejadian seperti ini cepat atau lambat akan tersebar dan menjadi buah bibir. Orang-orang di perusahaan yang semula tidak tahu akan mendengar bisik-bisik tentang kejadian ini. Begitu juga dengan orang-orang di kampung kami. Bukan tidak mungkin telah timbul cap: penghutang! Pendeknya, pena sudah tergurat, dan cap itu akan terus mengikuti.

Pada hari-hari itu ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Apalagi koperasi perusahaan yang menjadi tempat satu-satunya mencari pinjaman untuk melunasi hutang itu hanya dapat memberikan kurang dari seperempat jumlah hutang yang ada. Itu pun sebagian harus dibayarkan ke koperasi lagi untuk menutup pinjaman sebelumnya: bunga-bunga itu benar-benar menghisap daging ayah.

Ke mana mencari pinjaman sisanya? Di rumah sama sekali tidak ada barang yang berharga. Pun di kampung halaman tidak ada pusaka yang dapat membantu. Tinggal dua buah sepeda motor yang dibeli dengan penuh perjuangan. Itulah yang membantu ayah. Sisanya ayah harus memadamkan harapan melunasi hutang itu sekaligus menanggung malu karena tidak dapat menepati janjinya melunasi hutang dan hidup melalui belas kasihan si pemberi hutang.

Sejak kejadian itu kami menjadi lumpuh. Sepeda motor ibarat kaki yang dapat membawa kita bepergian dengan murah dan cepat. Untuk berhemat –angsuran koperasi telah menunggu di depan mata– ayah berangkat dengan membonceng tetangga. Begitu juga dengan pulangnya. Kadang ayah meminjam sepeda motor rekannya yang kebagian giliran berjaga malam hari. Tapi lama-lama tidak enak juga. Bagaimana pun juga, satu dua kali pertolongan dapat dimaklumi. Selebihnya ayah mencoba berusaha sendiri. Pada akhirnya ayah memutuskan untuk naik angkot.

Beberapa bulan kemudian keadaan mulai membaik. Ayah membeli sepeda motor bekas secara kredit. Satu gaji ayah harus dibagi untuk: keluarga–pangan dan pendidikan, angsuran koperasi perusahaan, angsuran sepeda motor, dan angsuran hutang kepada perempuan itu, dan entah untuk apalagi. Meski begitu ayah berhasil melewati masa-masa itu, seperti yang yang sudah-sudah.

Dua atau tiga tahun kemudian pengajuan pembelian rumah yang diajukan oleh ayah disetujui oleh perusahaan dengan masa angsuran 15 tahun dan beberapa perjanjian kecil. Angsuran akan langsung dipotongkan pada gaji ayah. Waktu itu masa kerja ayah di perusahaan tinggal delapan tahun lagi. Sedangkan masa angsuran sisanya dijanjikan oleh ayah akan dilunasi dengan uang pensiun. Satu keluarga urban telah memiliki rumah tinggal tetap sekarang meski letaknya di daerah perbatasan kota.

Kini ayah telah berbaring di bawah pusara ini. Sebuah serangan tak terduga meremas jantungya di tengah-tengah jam istirahat kerjanya. Sampai di rumah sakit ayah dinyatakan telah meninggal. Ibu mengatakan kepada pihak berwajib bahwa keluarga mengikhlaskan kepergian ayah dan menunjukkan riwayat kesehatan ayah. Penyakit gula menggerogoti saluran jantungnya. Karena itu ibu meminta agar jenazah ayah segera bisa dibawa pulang dan dikebumikan.

Kami, aku dan saudara perempuanku, tiba sesaat sebelum jenazah ayah diberangkatkan. Selama itu para tetangga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Seandainya kami terlambat tentu kami tidak akan sempat mengikuti proses penguburan. Ibu memutuskan jenazah ayah harus segera dikebumikan tanpa perlu menunggu kedatangan keluarga yang lain. Meski begitu dua orang kakak laki-laki ayah beserta keponakannya dari luar kota tiba lebih dulu daripada kami–saudara perempuan ayah yang dulu sudah pindah dari kota ini.

Di pemakaman aku, saudara iparku, beserta bapak mertuaku menurunkan jenazah ayah dibantu saudara-saudara ayah beserta tetangga. Tidak banyak yang aku pikirkan waktu itu. Yang aku tahu ayah harus segera dikebumikan. Bapak mertuaku beradzan sebelum ayah dikuburkan. Kemudian dibantu para tetangga, bergantian kami menganyam tanah untuk menyelimuti ayah.

Ayah meninggal pada senin legi satu agustus dua ribu sebelas. Tepat pada hari pertama bulan ramadhan, persis satu bulan setelah perkawinanku. Lenyap musnah cahaya di langit. Tidak ada pesan yang ditinggalkan kepada kami. Tapi ayah tidak pernah berhenti berharap supaya kelak kami akan menemukan kebahagiaan masing-masing. Keinginan untuk hidup lebih lama bersama cucunya menjadi api yang menghangati doa kami.

Hampir lima tahun ayah berbaring di sana. Sebelum meninggal ayah baru bercucu dua. Kini telah bertambah menjadi lima: satu anak perempuanku. Pusaka yang ditinggalkannya adalah kami: aku dan dua saudara perempuanku dan sebuah rumah yang belum sempat didiaminya. Ibu adalah tema lain yang dipasrahkan kepada kami yang hidup.

Dan tema lain di atas menjadi tujuan ziarahku kali ini. Untuk kesekian kalinya aku akan mengajak ibu untuk bersedia tinggal bersama kakak perempuanku. Satu setengah tahun lalu aku sudah membujuk ibu lagi. Sekali lagi dan sekali lagi akan kubujuk ibu kali ini. Kalau perlu dengan sedikit paksaan. Kami tidak ingin ibu tinggal sendirian di kota ini tanpa ada anak-anaknya yang menjaga. Sedang rumah yang ditinggalkan ayah, bisa disewakan dalam jangka waktu yang agak lama.

Tapi tekadku surut ketika aku telah sampai di depan pintu rumah. Dari semua alasan penolakan yang diberikan oleh ibu, kami tidak ingin mendengar ibu berkata: aku ingin dikubur di samping suamiku.
Surabaya, 04 november 2015

* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165347/ziarah

KOTAKU TENGAH MALAM

Oleh : Chandra Krisnawan

Kotaku tengah malam adalah tangisan bayi
Yang meronta lapar meminta kesuburan
Dari dada ibunya

Kotaku tengah malam adalah tindihan mimpi
Penduduk kota yang dijejali barang produksi
Orang miskin gelisah sembunyi
Tanah yang ditinggali
Direnggut atas nama pembangunan
Ditawan karena ada kepentingan
Ditumpuki sampah lingkungannya
Dikencingi dinding-dindingnya
Dan diteror pintu-pintunya supaya hengkang
Sementara dibiarkan tanah-tanah guntai terkulai layu

 Kotaku tengah malam adalah gemerlap gedung tinggi
Dingin yang turun dari gunung musim pancaroba
Mengetuk atap-atap rumah
Menyelinap selimut para pekerja
Yang leramkan tenaga
Menelusup mimpi suram tentang masa depan
Apa jadinya kotaku
Jika tanah dikangkangi kapitalis!

 Kotaku tengah malam adalah tangisan bayi
Yang meronta lapar meminta ruang
Dari dada ibunya, di dalam
Kamar-kamar sewa
Surabaya, 28 January 2017

Mencari Makna Pertemuan Dalam Puisi Toeti Heraty Berjudul dialog


 
Puisi Toeti Heraty berjudul Dialog yang dipetik dari kumpulan puisi berjudul Mimpi dan Pretensi cukup menarik untuk dibincangkan. Bukan hanya dari bentuk topografinya yang unik, akan tetapi situasi yang coba diungkapkan melalui baris-baris kata menggugah emosi pembaca (baca: penulis) untuk turut larut dalam situasi itu. Terlebih apabila puisi itu diperbandingkan dengan puisi lain dari buku yang sama. Akan nampak betapa sebuah pertemuan menghadirkan makna yang berbeda bagi mereka yang saling bertemu. Berikut petikan pusi tersebut:

 
Dialog
 
di atas meja
            antara mereka berdua
            vas besar dengan kembang-kembang
            kembang kertas menutupi pandang
            belum ada yang menyisihkannya

kata dan pandanglah
            yang melintasi kembang
            sementara itu sembumyi diam karena
            pertemuan yang terlampau telanjang
            dan tiba-tiba
            harus diatasi

tak ada malam tapi bulan turut bicara
            dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena
            kapal terlalu lancar tahu benar
             apa yang dituju
             asing dari kegagalan –

di atas meja kini terang
                        dengan kelangsungan kata dan pandang
                       bunga-bunga,
                         telah disingkirkan olehnya
juni ‘67
(sumber: Toeti Heraty. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: PT Balai Pustaka, 1982.)


Bagaimana makna sebuah pertemuan nampak misalnya pada puisi berjudul Pertemuan misalnya terungkap bagaimana arti sebuah pertemuan bagi si aku lirik melalui baris-baris “Sebenarnya lucu baru kini kita bertemu./lucu? sampai hati benar mengatakan ini!/ini, adalah suatu tragedi –“. Melalui baris-baris itu terungkap paradoks pertemuan di mana kawan temu aku lirik menganggap pertemuan itu lucu, yang bagi aku lirik adalah tragedi. Pertemuan dengan siapa gerangan yang dapat menjadi tragedi? pertemuan yang dinanti-nanti, pertemuan yang lupa untuk disadari, atau juga pertemuan yang terjadi dengan tak disengaja. Pertemuan seperti itulah yang bagi si aku lirik merupakan tragedi. Sosok yang selalu dinanti itu ternyata membawakan kegelisahan tersendiri bagi si aku lirik.

Tulisan ini bukanlah karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu penulis tidak mempergunakan acuan-acuan yang bersifat teoretis. Akan tetapi lebih merupakan hasil pembacaan penulis atas puisi yang dimaksud. Dengan menuliskan pengalaman yang telah diperoleh ini, penulis berharap dapat membagikan pengalamannya kepada pembaca. Juga sebaliknya, kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam memahami puisi yang dimaksud. Dengan begitu pengalaman yang didapat bisa semakin luas. Jadi mari sekarang ijinkan penulis memulai pembahasan ini.

Pada bait pertama baris pertama puisi Dialog si aku lirik menghadirkan sebuah objek ruang yang akan menjadi simpul dalam puisi ini, yaitu di atas meja. Dikatakan menjadi sebuah simpul karena objek ini dihadirkan di awal bait pertama yang menjadi pembuka bagi puisi ini dan bait terakhir yang menjadi penutup. Juga nuansa yang dihadirkan di bagian awal sangat berbeda dengan bagian akhir. Sebab meja yang diungkap pada baris pertama ternyata nanti bukanlah meja yang sama seperti yang terungkap pada bait terakhir.

Penggunaan kata tempat ‘di’ dimaksudkan untuk mengajak pembaca agar mengarahkan perhatiannya pada tempat yang ditunjuk. Frasa di atas meja dalam hal ini lebih menyaran makna yang bersifat denotatif, bukan merupakan lambang atau metafora tertentu. Dengan kata lain di atas meja mesti dipahami sebagaimana bentuk referen meja dan di atas sebagaimana wujudnya pada benda yang ada di dunia objek nyata dan ruang yang terletak di atas nya.

Baris pertama ini seolah menjadi pintu masuk bagi bait pertama. Sebab baris-baris berikutnya yang oleh aku lirik diletakkan dengan indensi yang lebih dalam seolah-olah menunjukkan bahwa baris-baris tersebut merupakan turunan dari induknya di baris pertama. Penyusunan topografi seperti ini tentu bertujuan untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai turunan dari fokus perhatian yang hendak diungkap oleh aku lirik.

Hal ini terasa tepat karena pada baris berikutnya aku lirik menulis antara mereka berdua. Pada baris ini ada pergerakan dari dunia benda ke dunia yang bernyawa yang diwakili oleh frasa mereke berdua. Objek pada baris pertama rupa-rupanya terletak antara subjek yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik dalam puisinya. Kemudian juga terungkap adanya dua orang yang yang sama-sama bersinggungan dengan objek di atas meja. Yang patut menjadi pertanyaan pada baris ini adalah kata antara; seperti apakah ruang yang hendak diungkap dengan kata antara?

Pemahaman yang langsung ditangkap adalah situasi di mana terdapat dua orang duduk berseberangan dalam satu meja yang sama. Mungkin di sebuah restoran atau cafe. Tentunya sebuah tempat di mana seseorang dimungkinkan duduk di depan sebuah meja. Ini bentuk pemahaman awal dan dapat dijadikan sebagai acuan awal. Akan tetapi pemahaman tersebut harus ditinggalkan nantinya, karena justru pada situasi seperti inilah si aku lirik hendak menyembunyikan pertemuan yang dialami mereka berdua.

Baris ketiga terungkap objek lain yang masih berhubungan dengan objek meja, yaitu vas besar dengan kembang-kembang. Baris ini juga mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Artinya vas kembang dengan kembang-kembang lebih merujuk pada sebuah benda yang dimaksudkan sebagai jambangan tempat bunga untuk hiasan di atas meja. Begitu juga kembang-kembang mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Meski demikian, terasa ada yang aneh jika kita memahami baris kedua ini merupakan bentuk makna yang denotatif. Sebab jika kita kembali kepada bentuk pemahaman awal seperti telah disebutkan, terasa ada yang janggal dengan penataan yang ada: mungkinkah sebuah vas besar diletakkan di atas meja yang mana dapat mengganggu aktifitas orang yang akan menggunakan meja itu? Seandainya itu meja restoran, barangkali yang lebih tepat diletakkan di atas meja adalah vas kecil karena vas besar berpotensi mengganggu kenyamanan. Begitu juga seandainya itu meja cafe, tentu vas besar dapat mengganggu peruntukannya bercakap-cakap dengan kawan bicara. Tapi vas besar itu terletak di atas meja, dan penggambaran itu tidak dapat dimaknai secara langsung. Artinya, si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu dengan meletakkan objek di tempat yang kurang semestinya.

Setelah pada baris-baris sebelumnya perhatian diarahkan kepada objek-objek yang diungkap oleh aku lirik, pada baris keempat perhatian diarahkan kepada hubungan antar objek tersebut. Pada baris ini terdapat objek kembang kertas yang dapat merujuk pada frasa kembang-kembang sebagai atributnya. Kini diketahui ciri objek yang disebut pada baris sebelumnya: kembang-kembang. Pemilihan objek kembang kertas mengesankan adanya sesuatu yang tidak alami dalam puisi ini. Barangkali di tempat yang hendak diungkap dalam puisi ini memang terdapat kembang kertas, tapi dengan mengangkat objek tersebut ke dalam sebuah puisi dapat menghadirkan asosiasi makna yang berbeda: sebuah pemandangan yang artifisial tengah hadir di hadapan.

Lebih jauh digambarkan bahwa kembang kertas ini memiliki daya hidup karena keberadaannya digambarkan mampu menutupi pandang. Pada baris keempat ini terungkap hubungan yang ada di antara subjek yang diwakili dengan kata mereka, yaitu adanya dua orang saling berhadapan akan tetapi pandang mereka saling terhalang. Hubungan antara dua subjek itu seolah-olah terpisah, padahal mereka bersama-sama di atas meja. Aneh, kenapa pelayan restoran meletakkan vas besar di antara mereka? Lebih aneh lagi, dua subjek itu pada akhir bait pertama digambarkan belum ada yang menyisihkannya. Bukankah seharusnya mereka terganggu oleh keberadaan vas besar itu? Baris terakhir ini mengesankan keengganan masing-masing subjek untuk menyisihkan sesuatu yang menghalangi mereka berdua.

Dalam hubungan antar objek yang ada pada baris pertama, keberadaan benda-benda seperti meja dan vas bunga mengungkapkan letak atau posisi dari subjek-subjek yang diwakili oleh kata mereka. Objek-objek tersebut seolah menjadi penanda jarak dalam hubungan interaksi mereka. Penanda jarak ini dipertegas lagi pada baris kelima, di mana masing-masing subjek enggan meniadakan jarak dengan tidak bertindak menyisihkannya.

Pada baris kedua perhatian bergeser pada masing-masing subjek. Katakanlah pada bait pertama telah diketahui bahwa ada mereka di suatu tempat yang oleh aku lirik hendak diungkap dalam puisinya. Pada bait kedua kita akan dibawa pada situasi interaksi yang terjalin antara mereka berdua. Baris pertama kata dan pandanglah menunjukkan objek yang digunakan oleh mereka untuk berinteraksi.

Sebagaimana halnya sebuah pertemuan antara dua orang di mana percakapan sangat mungkin terjadi, kata dan pandang menjadi sarana untuk bangun percakapan. Akan tetapi kalau bait pertama dipahami bahwa antara mereka berdua terdapat penanda jarak melalui objek vas besar yang diletakkan di antara mereka, bagaimana kata dan pandang dapat dijalin? Jika pandang bisa saja terjadi meski antara mereka tidak berada dalam jarak yang berdekatan, lain halnya dengan kata; kata yang diucapkan seperti apa yang dapat meniadakan jarak antara keduanya? Kata pada baris ini mesti dipahami sebagai kata yang lahir dari sebuah percakapan, ataukah sebagai ungkapan lain dari bukankah setiap kali gelisah kita/bicara tentang apa saja sebagaimana terungkap pada puisi Toeti Heraty lain yang berjudul Pertemuan?

Sepertinya makna kata pada baris ini lebih dekat maknanya sebagaimana terungkap dalam puisi berjudul Pertemuan, bukan sebagai kata yang lahir dari percakapan. Sebab pada bagian ini percakapan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Mereka masih berada pada situasi sebagaimana terungkap pada bait pertama.

Hal ini juga terungkap pada baris berikutnya yang menghadirkan lagi penanda jarak yang ada pada bait pertama yang melintasi kembang. Jika diperhatikan baris-baris sebelumnya, terdapat objek yang melakukan tindakan aktif positif seperti menutupi yang dilakukan oleh kembang kertas; sedangkan subjek cenderung melakukan tindakan aktif negatif menyisihkan karena tindakan itu diikuti oleh frasa belum ada. Dikatakan negatif karena tindakan itu hadir tapi tidak terlaksana atau belum terlaksana, sebagai kebalikan dari tindak positif.

Pada bait kedua baris kedua ini juga terdapat tindakan aktif positif yang dilakukan oleh objek kata dan pandang. Objek-objek itu bergerak yang melintasi kembang. Sedang mereka sebagai subjek sementara itu sembunyi diam karena/pertemuan yang terlampau telanjang. Jika bait pertama tidak dipahami sebagaimana yang telah diungkapkan, maka baris-baris sementara itu sembunyi diam akan terkesan janggal. Bukankah kata dan pandang sudah melintasi kembang yang berarti memang percakapan itu sedang berlangsung? Ya, tapi bagaimana dengan sementara itu sembunyi diam?

Keberadaan kembang kertas bagi mereka rupanya selain menutupi pandang juga menjadi semacam tempat untuk sembunyi diam. Kita dapat bertanya, mengapa begitu alot pertemuan yang terjadi? Tapi memang itulah yang hendak diungkap oleh Toeti Heraty. Pertemuan antara siapa dengan siapa sebenarnya yang terjadi?

Situasi pertemuan yang meliputi mereka terungkap pada baris keempat bait kedua pertemuan yang terlampau telanjang. Kata pertemuan sudah dapat diterka maknanya, tapi bagaimana dengan kata telanjang yang mendapat penekanan lagi melalui kata terlampau. Seperti apakah kata telanjang ini harus dimaknai? Pertemuan di mana masing-masing tidak lagi merasa ada sesuatu yang perlu ditutupi untuk berdialog, atau pertemuan  di mana masing-masing akan saling mengungkap isi hati tanpa merasa malu?

Untuk dapat memaknai kata telanjang yang mendapat tekanan terlampau perlu ditelusuri puisi lain yang juga mengangkat pertemuan sebagai tema. Hal ini dirasa perlu agar kata telanjang itu mendapat tempat yang semestinya sebagai lambang tertentu yang dihadirkan oleh Toeti Heraty. Sebab pertemuan seperti sudah disebutkan, mempunyai tragedinya sendiri. Seperti pada puisi berjudul Saat-saat Gelap terungkap baris saat-saat gelap pertemuan yang dapat menyaran pada situasi adanya pertemuan yang (dalam tanda kutip) ‘disembunyikan’. Atau pada puisi berjudul Impasse pada larik kedua bayangan gelap dalam kamar/amboi, tak ‘kan sampai pada pertemuan.

Pada petikan puisi-puisi tersebut menyiratkan bahwa pertemuan bagi aku lirik Toeti Heraty bernuansa gelap dan tersembunyi. Oleh sebab itu harus dirahasiakan, ditutupi, dan dikeramatkan. Tapi kini pada puisi berjudul Dialog yang terjadi sebaliknya, pertemuan itu berlangsung secara telanjang bahkan ketelanjangan itu berada pada tingkatan terlampau.

Nampaknya situasi terlampau telanjang inilah yang menyebabkan mereka belum berbuat menyisihkan objek-objek yang menutupi pertemuan mereka. Mungkin mereka merasa malu atas pertemuan itu. Malu karena pertemuan itu tidak berlangsung pada kegelapan malam yang dapat menyembunyikannya.

Ironis tersebut lebih kentara dengan mensejajarkan frasa dan tiba-tiba pada baris kelima bait kedua. Sebab selain keterbukaannya, pertemuan itu juga terjadi secara tiba-tiba. Atau meminjam istilah Toeti Heraty “inilah pertemuan yang dinanti-nanti/akhirnya lupa untuk disadari” seperti terungkap pada puisi berjudul Pertemuan. Pensejajaran frasa dan tiba-tiba dengan terlampau telanjang memiliki hubungan makna yang dekat dengan baris-baris pada puisi Pertemuan seperti yang telah disebutkan. Mereka terjekut dan malu. Akan tetapi pertemuan itu harus diatasi oleh mereka  berdua sebagaimana terungkap pada baris terakhir bait kedua.

Bait ketiga menghadirkan nuansa berbeda dengan dua bait sebelumnya. Secara umum, bait ketiga ini memiliki perbedaan bentuk dengan bait-bait lain dalam puisi ini. Bait ini ditulis mulai dari lajur kiri tanpa ada indensi pada baris-baris sesudah baris pertama seperti pada bait lain. Perbedaan bentuk ini dapat dipahami bahwa si aku lirik pada bait ini tengah mengungkapkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak lalu hadir di antara mereka.

Baris pertama tak ada malam tapi bulan turut bicara mengungkap bahwa situasi di mana pertemuan itu berlangsung di siang hari. Kata malam dan bulan pada baris ini mesti dimaknai sebagaimana malam dan bulan pada pengalaman di dunia nyata, yaitu waktu di mana matahari tak bersinar dan objek satelit bumi yang berada di angkasa pada waktu itu.

Makna ini merupakan makna yang ada pada teks puisi tersebut. Akan tetapi jika kita baca puisi lain yang mengangkat tema pertemuan, akan tampak bahwa malam merupakan simbol dari semacam tempat persembunyian. Baris pertemuan yang terlampau telanjang/dan tiba-tiba/ ini segera harus diatasi dengan cara menyembunyikan pertemuan itu lewat kegelapan malam. Nuansa malam yang dibangun melalui baris ini lebih mengungkap fungsinya sebagai ‘penyembunyi’ daripada sebagai penanda waktu.

Baris berikutnya dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena mengungkap kehadiran atribut lain dari malam. Pada baris ini terdapat sebuah kata kerja meluncur yang merupakan tindakan dari subjek kerlap-kerlip bintang. Pertanyaannya adalah: meluncur ke mana subjek dalam baris ini? Meluncur pergi yang mana berakibat pada ketiadaan eksistensinya ataukah meluncur datang yang berakibat pada kehadiran eksistensinya? Tidak diungkap ke mana meluncur nya. Akan tetapi jika dihubungkan dengan baris sebelumnya di mana nuansa malam dihadirkan, maka meluncur pada baris ini dapat dimaknai sebagai meluncur hadir bersama bulan. Nuansa malam yang dibangun menghadirkan objek-objek yang hanya nampak pada malam hari, yaitu bulan dan kerlap-kerlip bintang.

Baris berikutnya kapal terlalu lancar tahu benar memiliki sebab-akibat dengan baris sebelumnya. Kehadiran objek-objek pada baris sebelumnya merupakan akibat dari keberadaan kapal pada baris ini. Kapal sebagai sarana untuk menjelajah lautan digambarkan terlalu lancar. Tidak diketahui apakah kapal di sini menggunakan tenaga mesin ataukah tenaga angin dengan layar terkembangnya, akan tetapi penggunaan kapal menunjukkan adanya tingkat teknologi baru pada sarana penjelajah lautan ini. Ini berarti kapal pada baris ini lebih dekat pada sebuah kapal motor ketimbang perahu layar. Sebuah kapal motor tentu saja tidak lagi bergantung pada alam untuk mendorong lajunya. Dengan kata lain kecepatan laju bergantung sepenuhnya pada diri kapal ini. Maka alam tidak lagi menjadi penghalang bagi kapal ini, kecuali badai.

Tapi tidak ada badai dalam baris ini, juga pada puisi ini keseluruhan. Laut yang tersirat dalam baris ini adalah laut yang tengah tenang. Yang menggelitik pertanyaan saya adalah: kenapa tidak dipilih kata perahu yang dapat membawa asosiasi makna yang lebih sendu? Karena baris-baris ini mencoba memutar estetika yang digaungkan oleh Chairil Anwar. Secara sepintas akan dibahas  hubungan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.

Pembahasan ini dirasa perlu mengingat kedua puisi tersebut sama-sama mengangkat tema tentang pertemuan. Selain itu kedua puisi tersebut juga menghadirkan nuansa kapal atau perahu dan laut, juga bulan. Hubungan kedua puisi tersebut mengandaikan hubungan intertekstual, di mana puisi Chairil dapat dianggap sebagai hipogram dari puisi Toeti Heraty. Berikut akan dikutip sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau.

 
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
 
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

 
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
 
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(sumber: Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).


Puisi Chairil di atas mengungkapkan kerinduan si aku lirik pada sosok gadis manis, yang pada baris lain disebut sebagai si pacar. Rindu akan sebuah pertemuan. Kalau kita perhatikan pada puisi Chairil di atas terdapat frasa seperti peralu melancar, bulan memancar, angin membantu, laut terang pada bait kedua. Frasa-frasa tersebut mengungkap nuansa laut yang tenang dan tepat untuk berlaut. Perlu diperhatikan pula, dalam sajak ini Chairil menggunakan kata perahu yang berbeda dengan kapal seperti pada sajak Senja di Pelabuhan Kecil di mana disebutkan Kapal, perahu tiada berlaut. Penggunaan kata perahu menyaran pada adanya ketergantungan objek tersebut pada alam untuk melajukannya.

Akan tetapi keadaan yang tepat buat berlaut itu ternyata membawa kegelisahan pada si aku lirik Chairil. Karena ternyata badai justru berlangsung di dalam batin aku lirik sebab ternyata Ajal memanggil dulu. Pertemuan yang diandaikan melalui laju perahu di laut yang terang dan tenang ternyata tidak terjadi.

Kebalikannnya, pada puisi Toeti Heraty kontras ditunjukkan melalui penggunaan kata kapal di mana tidak lagi perlu angin membantu. Kata kapal ini mesti dipahami sebagai kebalikan dari kata perahu pada sajak Chairil. Hal tersebut juga terungkap lewat penekanan terlalu lancar. Jadi di sini angin membantu bukan lagi pertimbangan untuk melangsungkan sebuah pertemuan. Seolah penekanan itu hendak meninggalkan perahu pada Sajak Chairil.

Kontras lain antara kedua puisi di atas adalah akhir dari pertemuan yang diandaikan. Pada Chairil pertemuan yang diandaikan rupa-rupanya tidak pernah berlangsung. Sebab Ajal memanggul dulu,/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!. Sedangkan bagi Toeti Heraty kapal dalam puisinya asing dari kegagalan. Dengan kata lain kapal tersebut selalu berhasil mencapai maksudnya, yaitu melangsungkan sebuah pertemuan.

Demikian sepintas pembahasan intertekstual antara Sajak Chairil Anwar dan Toeti Heraty. Mestinya pembahasan ini ditulis terpisah. Namun untuk kali ini, pembahasan ini diselipkan dalam pembahasan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog khususnya bait ketiga dengan harapan dapat tergali makna yang utuh dalam pembahasan kali ini. Untuk selanjutnya fokus pembahasan akan kembali pada puisi Toeti Heraty.

Bait keempat merupakan bait terakhir dalam puisi ini. Setelah pada baris ketiga bentuk topografi awal ditinggalkan, bentuk topografi pada bait keempat ini kembali menggunakan pola seperti pada bait pertama dan kedua. Persamaan bentuk ini menyiratkan bahwa yang hendak diungkap dalam bait ini adalah mereka yang sama seperti pada bait pertama dan kedua. Akan tetapi keadaan kini telah berbeda seperti sebelumnya. Bait ketiga seolah-olah menjadi pemisah. Ada sesuatu yang bergerak di bait ketiga, yang menyebabkan nuansa pertemuan itu berubah pada bait keempat.

Baris pertama dimulai dengan di atas meja kini terang. Baris ini mengungkap frasa yang sama dengan awal puisi. Akan tetapi sekarang telah menjadi terang. Kalau sebelumnya disebutkan bahwa meja yang ada pada awal dan akhir ini bukanlah meja yang sama, kini terbukti sudah. Entah meja siapa yang ditinggalkan, yang pasti sekarang kata dan pandang tidak lagi terhalang oleh sebuah objek seperti pada bait kedua, tapi kini terang/dengan kelangsungan kata dan pandang sebagaimana terungkap.

Begitu juga dengan baris-baris berikutnya bunga-bunga,/telah disingkirkan olehnya menunjukkan nuansa yang berbeda dengan bait-bait awal. Akan tetapi yang patut dpertanyakan adalah kata olehnya: siapakah yang dimaksud dengan –nya pada kata ini? Kalau kita membayangkan pertemuan ini berlangsung antara seorang lelaki dan perempuan¸siapakah di antara keduanya yang telah menyingkirkan bunga-bunga itu?

Saya lebih suka memaknainya sebagai keduanya. Sebagaimana judul puisi ini Dialog, mengandaikan adanya percakapan antara dua orang, maka mereka dalam puisi ini diandaikan saling menyingkirkan penghalang yang menutupi dialog mereka.

Surabaya, 23 maret 2016
 

SIHIR RENDRA PADA SAJAK BAYI DI DASAR KALI


Bagi saya keindahan sebuah karya sastra seperti sajak misalnya, terletak pada pembacaan yang tidak kunjung selesai. Sajak Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali, misalnya. Dikatakan tidak kunjung selesai karena setiap kali membacanya saya seolah menemukan sesuatu yang selalu baru. Meski sebenarnya teks yang dihadapi adalah yang itu-itu juga, tapi kesadaran saya selalu tergugah setiap kali membacanya. Seolah-olah di dalamnya ada pergerakan arus yang tak mau berhenti. Gesekan antara saya sebagai pembaca dengan arus itu menciptakan bentuk yang barangkali dapat diumpamakan dengan gerak pada air mancur di mana setiap lompatan airnya mengandung energi untuk hidup. Berikut petikan sajak tersebut:

Bayi Di Dasar Kali
Rendra
 
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi
adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut
bahkan pun mulut yang telah biru dan dingin.
Angin dingin tak berbadan.
Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang.
Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka
di hati arwah kecil dan puti.
 
Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai
adalah dendam
lewat bening air menikam mentari
adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu.
Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya
mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?
Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan
disimpan bagai buah tubuh yang diperam
dan bila telah berhak menatap panah mentari
amboi, ditidurkannya ia di dasar sungai!

Air sungai maha dingin
mencucinya sepanjang hari
matanya menatap saja dan tiada berujung juga
tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya.
Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi.
(sumber: WS Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: 1990. PT Dunia Pustaka Jaya)

 

Sajak di atas berkisah tentang bayi yang oleh orang-orang yang melahirkannya dibuang di dasar sungai. Tidak disebutkan siapakah yang meletakkan sang bayi di dasar sungai, ibu yang melahirkannya ataukah ayah yang menjadi benihnya, atau kedua-duanya. Perhatian Rendra sepertinya tercurah pada keberadaan si bayi ketimbang orang-orang yang mengantarkannya ke dunia. Dan memang keberadaan bayi itulah yang selalu menghentak nurani tiap kali membaca sajak yang berjudul Bayi Di Dasar Kali ini.

Bait pertama sajak di atas merupakan pembuka. Pada baris pertama Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi menghadirkan nuansa suara di tengah-tengah pembaca. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata nyanyi yang merupakan kata verba yang menyaran pada pengertian aktifitas mengeluarkan suara bernada. Kata nyanyi ini cenderung memiliki sifat merdu dan indah. Akan tetapi sifat merdu dan indah ini dipertentangkan dengan kata verba rintih yang menyaran pada pengertian yang cenderung bersifat negatif dan menyakitkan. Frasa Adalah nyanyi sepertinya mengungkapkan bahwa sajak ini merupakan sebuah nyanyian, akan tetapi merupakan nyanyian yang pilu karena nyanyian tersebut mengandung rintih. Atau bisa juga baris pertama ini menunjukkan bahwa sajak ini merupakan rintih yang menjadi nyanyi.

Pada baris berikut, yakni baris kedua, adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut. Baris ini menunjukkan bahwa rintih yang pada baris sebelumnya disandingkan dengan nyanyi kini telah sepenuhnya menjadi nyanyi. Dan sebagaimana setiap rintih bermula dari mulut yang merasakan sakit atau pun duka. Baris kedua ini lebih menunjuk pada rintih yang keluar dari mulut. Kata mulut pada baris ini mesti dipahami sebagai makna denotatifnya, yakni mulut sebagai bagian tubuh dari manusia yang bisa mengeluarkan nyanyi dan rintih.

Di sini menjadi jelas bahwa nyanyi atau rintih yang didengar oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah suara yang berasal dari alam seperti misalnya pada frasa ‘musim semi bernyanyi’ atau ‘batu-batu merintih dihantam badai’. Mulut yang dihadapi oleh si aku lirik adalah mulut sebagaimana si aku lirik sendiri memiliki mulut atau sebagaimana lazimnya mulut kita.

Akan tetapi mulut pada baris ini ternyata tidak seperti lazimnya. Pada baris ketiga disebutkan mulut yang telah biru dan dingin. Baris ini menyiratkan adanya sebuah proses yang telah berlangsung yang dialami oleh mulut pada baris sebelumnya. Frasa telah biru menunjukkan bahwa darah yang mengalir di balik mulut tersebut telah berhenti mengalir dan membeku. Jika yang diacu adalah mulut manusia tentu kejanggalan segera ditemukan: mengapa mulut yang bernyanyi itu darahnya membeku sehingga menyebabkan warnanya berubah menjadi biru? Hal ini dikuatkan lagi dengan bentuk elips telah pada kata dingin yang juga menyiratkan pengertian bahwa telah terjadi proses dari sesuatu yang sebelumnya hangat menjadi dingin yang dalam hal ini adalah mulut. Bisa dikatakan bahwa darah dalam tubuh pemilik mulut ini telah berhenti fungsi-fungsinya, atau dengan kata lain: mati. Jadi pada baris ketiga dapat dipahami bahwa rintih yang menjadi merdu bagi si aku lirik berasal dari mulut yang telah mati. Bagaimana bisa mulut yang telah mati menyuarakan rintih yang menjadi nyanyi?

Baris keempat Angin dingin tak berbadan menyaran pada keadaan alam pada yang merupakan lambang tertentu yang tengah dihadirkan oleh si aku lirik. Di sini terdapat kata benda angin yang mendapat atribut sifat dingin. Frasa Angin dingin menunjukkan kondisi tertentu pada alam. Frasa Angin dingin ini diikuti dengan frasa tak berbadan. Di sini angin yang merupakan unsur benda mati dikuti dengan unsur dari benda hidup, yaitu mahkluk yang berbadan. Baris ini seolah-olah menggambarkan adanya sesuatu yang terpisah yaitu antara angin dan badan. Bisa juga dikatakan bahwa ada sesuatu, yaitu angin, yang kini kini tidak lagi memiliki atau kehilangan badan. Dengan kata lain, ada ruh yang diwakili dengan kata angin, yang terpisah dari badan. Jika pemahaman ini diterima, kata dingin yang menjadi atribut dari angin menjadi lebih ironi maknanya: ruh yang kesepian karena kehilangan badannya!

Baris kelima kembali menghadirkan keadaan alam Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang. Dalam hubungan dengan baris sebelumnya, terdapat pergeseran medan dari angin yang berada di udara beralih ke tanah dengan rumpun pimping, rumpun ilalang nya yang bergerak karena tiupan angin. Kata gersik di sini mengacu pada pengertian suara atau bunyi yang timbul karena gesekan antara daun-daun. Bisa dikatakan dunia yang dihayati oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah dunia yang diam. Akan tetapi dunia yang bersuara, dunia yang me-rintih. Gersik rumpun menyenandungkan rintih.

Baris keenam Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka menunjukkan keberadaan si aku lirik dalam sajak ini. Pada baris ini si aku lirik tengah menyeru. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata seru wahai yang bermaksud untuk memanggil atau menarik perhatian atau pun untuk memperingatkan. Yang diseru oleh si aku lirik pada baris ini adalah nyanyi yang terluput dari liang luka. Nyanyi inilah yang hendak dibangkitkan oleh si aku lirik dalam sajak ini dengan seruannya.

Kalau kita perhatikan pada baris kedua, nyanyi tak terluput dari mulut. Artinya nyanyi itu hadir di antara objek yang nampak di dunia benda meski berasal dari sesuatu yang mati. Akan tetapi nyanyi pada baris keenam yang diseru oleh si aku lirik bukanlah nyanyi sebagaimana pada baris kedua. Yang diseru oleh si aku lirik adalah nyanyi yang asalnya bukan dari dunia benda. Akan tetapi berasal dari suatu sumber yang terluput dari liang luka. Di manakah letak liang luka itu? jawabnya terletak pada baris ketujuh di hati arwah kecil dan puti.

Setelah pada baris-baris sebelumnya kita diajak oleh si aku lirik untuk mendengarkan suara-suara alam, pada baris terakhir kita diajak untuk (dalam tanda kutip) menghidupkan atau mendengar suara dari arwah kecil dan puti. Baris ini juga menunjukkan ada kehadiran manusia (atau yang dulunya manusia) yang dapat diidentifikasi dengan kata kecil dan puti. Kata kecil tentu saja menunjuk pada pengertian bayi sebagaimana judul sajak ini. Sedang kata puti menunjuk pada jenis kelamin bayi itu, yaitu perempuan. Dengan kata lain, nyanyi arwah bayi perempuan inilah yang tengah diseru oleh si aku lirik.

Dari bait pertama ini tidak salah jika pada judul tulisan ini penulis menggunakan kata sihir. Ini karena bait pertama ini didominasi oleh unsur bunyi-bunyian. Indra pendengaran diarahkan untuk satu tujuan. Seperti mantra-mantra kuno yang lebih cenderung menggunakan bunyi-bunyian untuk menghadirkan suasana magis. Begitulah bait pertama ini menyihir kita dengan perpaduan nyanyi, rintih, gersik, mungkin juga desir angin, dan seruan si aku lirik yang hadir di tengah-tengah kita.

Baris pertama pada bait kedua atau baris kedelapan Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai menegaskan apa yang pada baris terakhir bait pertama disebutkan. Di sini digunakan kata bayi yang merujuk pada sosok tubuh mungil yang dipertentangkan dengan kata nyawa yang merujuk pada sesuatu yang menempati tubuh si bayi. Namun dua substansi (nyawa dan tubuh) yang mestinya bersatu ini terpisah. Dan tempat pemisahan itu terletak di dasar sungai.

Bagi penulis pemandangan pada baris kedelapan ini begitu mencengangkan: tubuh bayi terbaring di dasar sungai. Padahal bayi adalah mahkluk tak berdaya yang kehadirannya di dunia ini sangat tergantung pada keberadaan ibunya. Pada usia ini bayi lebih mungkin berada di atas ranjang di tengah-tengah kamar yang hangat dengan dilindungi oleh kojong yang menghindarkannya dari gigitan nyamuk. Ya, pada usia ini bayi benar-benar dimanjakan dan disayang. Dia hanya bisa berbaring dan memandang dunia dari balik mata mungilnya. Keberlangsungan hidupnya bergantung dari belas kasihan ibu yang menyusuinya. Tapi pada sajak ini, bayi itu sendirian di dunia ini. Dia terbaring di dasar sungai tanpa seorang pun yang tahu. Nyawa nya tersia. Hidupnya telah terenggut oleh ketiadaan. Menyisakan mulut yang telah biru dan dingin.

Baris kesembilan adalah dendam menampilkan suasana yang berbeda. Jika pada baris-baris sebelumnya suasana yang hadir cenderung lembut, dingin, dan tak berdaya, namun pada baris ini ada semacam amarah yang merangkak ke permukaan. Di balik sesuatu yang tak berdaya dan mati itu ternyata ada amarah terhadap sesuatu yang mengantarkannya pada ketiadaan.

Baris selanjutnya lewat bening air menikam mentari. Baris ini secara tersirat menggambarkan tatapan mata si bayi. Hal itu nampak pada frasa lewat bening air. Di sini yang mungkin menembus bening air hanyalah penglihatan. Kita bisa melihat corak batu-batu dasar sungai pada air yang bening dengan indra penglihatan kita. Begitu pula sebaliknya, tatapan mata si bayi menembus bening air dari tempatnya terbaring di dasar sungai. Kini bayi itu bukan lagi sesuatu yang telah biru dan dingin, melainkan sesuatu yang amarah dan menikam mentari dengan tatapan matanya.

Mengapa dikatakan tatapan mata? Telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang mungkin menembus bening air hanyalah indra penglihatan. Selain itu pada baris lain juga disebutkan matanya menatap saja. Ini menunjukkan bahwa mata bayi itu tidak terpejam. Bayi itu ternyata tidak tertidur melainkan terjaga. Dan dengan tatapannya itu dia meluapkan amarahnya, yang oleh si aku lirik didengar sebagai rintih pada nyanyi.

Baris kesebelas adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu menunjukkan adanya proses yang telah dilalui oleh si bayi, yaitu nyawa lepas. Sebagaimana keberadaan bayi yang belum mampu berbuat apa-apa, proses nyawa lepas itu tidak dapat ditolaknya. Bayi itu tidak mampu misalnya meronta dan melepaskan diri dari cengkaram air sungai yang dingin lalu berenang ke permukaan. Juga sangat mungkin bayi itu tidak tahu bahwa dia akan dibaringkan di dasar sungai. Dia tidak dapat melawan yang pada baris ini diwakili dengan frasa di luar dayanya.

Akan tetapi sekali pun bayi itu tidak kuasa melawan perlakuan terhadapnya, namun dia tahu perbuatan apa yang dilakukan padanya. Ini merupakan sisi ironi karena tubuh yang tidak berdaya melawan ternyata tahu bahwa dia tidak berdaya dan ketidakberdayaannya itu akan mengantarkannya pada kematian. Nyawa atau ruh itulah yang kini sedang berbicara. Nyawa itu sedang berbicara kepada kita melalui si aku lirik. Suasana magis telah menghidupkan si bayi ke tengah-tengah kita.

Pada baris selanjutnya Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya merupakan pertanyaan yang ditujukan kepada mereka yang telah ‘menjadikannya’ di dunia. Pertanyaan ini lebih merupakan tuntutan hak atas hidup. Juga pada baris ketigabelas mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya? adalah tuntutan hak atas hidup. Sebab jika memang kehadirannya ditolak mestinya dia ditiadakan semenjak berada dalam rahim. Sebab jika kehadirannya memang tidak diinginkan, mengapa daging dalam rahim yang belum berjiwa itu tidak dilenyapkan! Dan si bayi tahu, di situlah dia harus ditolak jika kehadirannya di dunia memang tidak diinginkan.

Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kehadirannya dalam rahim diterima. Hal itu terungkap lewat baris keempatbelas Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan. Seolah-olah perempuan pemilik rahim dan lelaki penanam benih mengharapkan kehadirannya. Bahkan lebih jauh keberadaannya dalam rahim dijaga. Hal itu terungkap pada baris selanjutnya disimpan bagai buah tubuh yang diperam. Kata disimpan menunjukkan bahwa kedua orang itu tak hendak membuang buah yang terjadi akibat hubungan lelaki dan perempuan. Metafora yang digunakan selama proses bayi dalam kandungan adalah buah tubuh yang diperam. Hal ini menunjukkan bahwa janin yang dikandung makin lama makin besar. Karena dia diperam layaknya buah tubuh.

Meski demikian kata disimpan jika dihubungkan dengan kata diperam juga bisa memiliki pengertian lain. Pengertian lain yang mungkin timbul adalah kandungan yang dirahasiakan atau disembunyikan. Mungkin yang dimaksud adalah kehamilan yang ditutup-tutupi. Entah karena kandungan itu akibat benih dari hubungan yang tidak direstui atau sebab lain seperti hubungan di luar nikah, yang pasti janin dalam kandungan tersebut dibiarkan tumbuh makin besar dari hari ke hari. Si pemilik rahim dan penanam benih tidak menggugurkan janin dalam kandungan itu. Di sini disebutkan pemilik rahim dan penanam benih karena seharusnya kedua manusia itulah yang bertanggungjawab atas hak hidup si bayi. Tapi pada sajak di atas, kedua manusia itu merenggut hak si bayi. Hak untuk hidup yang terlukis pada baris keenambeas bila telah berhak menatap panah mentari direnggut dengan membaringkan si bayi di dasar sungai!

Pada baris ketujuhbelas digunakan kata ditidurkannya untuk menyaran pada pengertian meletakkan tubuh si bayi. Penggunaan kata ditidurkannya pada baris ini menunjukkan kesan bahwa si bayi sedang mengantuk dan mesti ditidurkan. Kata ditidurkannya yang biasanya dilakukan oleh orang tua kepada bayi dengan penuh kasih sayang, menjadi ironis karena pada baris ketujuhbelas ini ini digunakan untuk menggantikan pengertian tindakan membunuh si bayi. Apakah kedua manusia itu pada dasarnya menyayangi bayi itu namun karena berbagai macam sebab mereka harus membuangnya? Apakah kedua manusia itu sadar dengan apa yang mereka lakukan, merenggut hak menatap panah mentari dari si bayi?

Sajak di atas tidak melukiskan tentang manusia-manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia dan menidurkannya di dasar sungai. Sajak ini adalah tentang tubuh bayi yang ditidurkan di dasar sungai. Jadi apa yang terjadi dengan kedua manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia hanya dapat dilakukan dengan menduga-duga. Keberadaan kedua manusia itu hanya ditampilkan secara tersirat melalui kata kerja pasif seperti dimasukkannya, disimpan, atau pun ditidurkan.

Penggunaan kata kerja pasif ini pada hemat penulis karena si aku lirik, selain tak hendak menceritakan tentang kedua manusia yang dimaksud, juga hendak mengajukan tuntutan kepada kedua manusia itu melalui perbuatan mereka terhadap si bayi. Pertanyaan si aku lirik pada baris keduabelas dan ketigabelas pada dasarnya bukanlah pertanyaan meski pada akhir baris ketigabelas terdapat tanda tanya (?). Kedua baris tersebut pada dasarnya adalah pengajuan tuntutan kepada kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai.  Juga kedua baris tersebut, bisa dikatakan sebagai luapan amarah si aku lirik dalam sajak ini. Bukankah kadang kalau kita marah terhadap sesuatu, kita sering mempertanyakan kejadian yang membuat kita marah?

Begitu juga dengan baris keempatbelas sampai keenambelas, merupakan pernyataan si aku lirik. akan tetapi jika pada baris keduabelas dan ketigabelas pernyataan itu lebih ditujukan kepada kepada kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai, baris-baris selanjutnya lebih ditujukan kepada pembaca. Artinya, si aku lirik ingin pembaca memahami mengapa dia sampai begitu marah. Baris keempatbelas sampai ketujuhbelas yang menggambarkan bagaimana kehidupan si bayi bermula dan berakhir, bisa dikatakan sebagai alasan kemarahan si aku lirik.

Kalau kita amati lagi pada baris ketujuhbelas terdapat kata seru amboi. Kata seru ini lebih menyaran pada adanya perasaan heran pada subjek yang mengucapkannya. Dan keheranan itu terjadi karena adanya sesuatu yang saling bertentangan atau berlawanan. Kalau kita mau menengok pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau misalnya, di sana disebutkan: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama ‘kan merapuh!/Mengapa ajal memangggil dulu/Sebelum sempat berpeluk cintaku?! Si aku lirik pada sajak Chairil Anwar tersebut merasa heran karena apa yang sudah diusahakannya selama ini ternyata sia-sia. Contoh lain adalah sajak Toeti Heraty yang berjudul Impasse: kedua bayangan dalam gelap kamar/amboi, tak ‘kan sampai pada pertemuan. Sekali lagi, pada petikan sajak tersebut kata seru amboi digunakan untuk menunjukkan keheranan atas sesuatu yang saling bertentangan; dua bayangan dalam kamar, dalam satu ruang, mengapa tidak terjadi pertemuan?

Ya, si aku lirik pada sajak Rendra ini juga merasa heran. Sebab apa yang terjadi selanjutnya pada si bayi berlawanan dengan apa yang telah dilakukan, yaitu membiarkan janin itu menjadi bayi dan kemudian membunuhnya! Kalau ingin membunuhnya, kenapa tidak dilakukan sejak awal, sejak bayi itu masih berupa daging yang belum bernyawa?!

Bisa dikatakan bait kedua pada sajak berjudul Bayi Di Dasar Kali di atas merupakan inti yang hendak diungkap dari sajak tersebut. Setelah pada bait pertama nuansa bunyi dihadirkan untuk menghidupkan suasana gaib, bait kedua mencoba menghidupkan amarah si bayi yang menjelma dalam diri si aku lirik dalam sajak tersebut. Si mati itu telah menghampiri si aku lirik lewat angin dingin tak berbadan.

Bait ketiga bisa dikatakan sebagai bait penutup. Dalam bait ini si aku lirik kembali pada posisinya sebagai subjek yang mengamati keberadaan si bayi di dasar sungai. Sebelumnya perlu disampaikan juga permasalahan waktu dalam sajak ini. Jika diperhatikan pada baris kesepuluh terdapat kata mentari yang dapat digunakan sebagai kata penunjuk waktu, yaitu siang hari. Dan fenomena yang dihadirkan dalam sajak ini, selain nuansa bunyi, juga menghadirkan nuansa indra penglihatan. Frasa seperti menikam mentari dan menatap saja, dapat dijadikan sebagai acuan bahwa si aku lirik tengah menyaksikan si bayi dalam keadaan yang terang benderang di mana mata sangat mungkin untuk melihat ke kedalaman air yang bening.

Mengapa waktu perlu disebutkan karena dapat menunjukkan sisi ironis keberadaan si bayi di dasar sungai. Bagaimana tidak, di siang hari yang benderang di mana sebagian besar manusia menjalankan aktifitasnya, bergaul atau pun bercengkrama dengan manusia lain, justru di belahan lain yang sunyi, yang tak terjangkau kehidupan, sesosok bayi ditinggalkan sendirian!

Baris pertama bait ketiga atau baris kedelapanbelas Air sungai maha dingin merujuk pada lingkungan yang mengelilingi si bayi. Pada hari yang terang di bawah sinar mentari yang cemerlang ini ternyata suhu air sungai disebutkan dengan frasa maha dingin. Frasa ini memiliki pengertian dingin yang tiada terkira. Bagaimana bisa dunia yang sedang hangat pada siang hari Air sungai maha dingin? Bukankah suhu dipermukaan bumi mestinya menyebabkan Air sungai cenderung terasa segar ketimbang maha dingin?

Hal itu mungkin terjadi karena kata sifat dingin pada baris ini tidak hanya merujuk pada suhu tertentu dalam ruang. Kata dingin pada baris ini memiliki asosiasi yang lebih luas seperti misalnya pada frasa ‘tatapan matanya dingin’ atau ‘pembunuh berdarah dingin’. Dengan kata lain, Air sungai itu tidak peduli apakah yang dilalui dan direndamnya merupakan tubuh bayi mungil yang tidak berdaya atau pun batu-batu kali yang tak berjiwa. Bagi Air sungai keberadaan si bayi sama seperti objek lain yang mesti mengikuti hukum alam jika sebuah benda bermassa jenis lebih besar dimasukkan ke dalam air: tenggelam.

Baris selanjutnya mencucinya sepanjang hari menambah kesan yang kuat tentang lingkungan di mana si bayi berada. Pada baris ini terdapat kata kerja mencuci yang merupakan aktifitas yang dilakukan oleh Air sungai terhadap tubuh si bayi. Penggunaan kata mencuci yang merujuk pada pengertian membersihkan menunjukkan betapa aliran Air sungai menggerus tubuh si bayi. Aliran air itu perlahan-lahan membersihkan atau mengelupasi daging-daging pada tubuh si bayi. Dengan daya geraknya, dia bawa serpihan-serpihan kecil daging dan kulit bersamanya. Mungkin tidak tampak daging dan kulit itu terkelupas karena intensitasnya sangat renik. Akan tetapi proses ini berlangsung sepanjang hari. Bisa dipastikan tubuh yang mengalami proses pembusukan lambat laun akan rusak dan hancur! Itulah yang terjadi pada baris kedelapanbelas dan kesembilanbelas.

Baris selanjutnya matanya menatap saja dan tiada berujung juga merujuk pada keadaan si bayi di tengah-tengah air yang melingkupinya. Di tengah lingkup itu si bayi digambarkan hidup dengan penggunaan kata kerja aktif menatap. Tapi secara keseluruhan hanya itu satu-satunya aktifitas yang dilakukan oleh si bayi. Si bayi tidak lagi merengek atau pun menangis. Si bayi tak kuasa pula menendang-nendang. Si bayi hanya dapat menatap saja, itu pan tanpa sanggup berkedip atau pun terpejam sekiranya dia lelah dan mengantuk. Sebab semua hal yang mungkin dilakukan oleh bayi bernyawa sudah di luar dayanya. Hal itu nampak pada frasa tiada berujung saja.

Frasa tiada berujung saja menunjukkan bahwa mata si bayi selain tak dapat berkedip dan tak dapat terpejam juga menyiratkan kehampaan, bahwa di balik mata itu sudah tidak ada apa-apa lagi. Jika dikatakan bahwa mata adalah jendela hati, maka di balik tatapan si bayi itu sudah tidak ada dunia lagi. Nyawa yang menghidupnya kini tak berbadan, kesepian, dan menuntut dendam.

Tubuh yang sudah ditinggalkan itu perlahan-lahan mengalami proses pembusukan. Hal itu nampak pada baris keduapuluh satu tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya. Frasa tubuhnya kian putih menunjukkan ada proses alamiah yang tengah berlangsung. Daging yang berwarna merah karena diselimuti darah, juga warna kulit yang yang lebih gelap karena ada aliran darah di baliknya, kini lenyap dan menjadi kian putih. Penggunaan kata kian ini menunjukkan adanya penekanan warna putih yang lebih dari sekedar putih. Putihnya daging yang membusuk dan rapuh, mudah sekali hancur.

Pengertian ini menjadi mengena dengan frasa kerikil masuk ke dagingnya. Di sini dapat dilihat bagaimana benda yang asing dan keras masuk ke dalam dagingnya karena mendapat dorongan aliran air. Dan tubuh bayi itu tidak dapat mengelakkannya. Dia tidak dapat menggoyangkan punggungnya untuk menolak kerikil yang melukai dagingnya. Dia hanya menatap saja. Jika frasa menatap saja dihubungkan dengan frasa kerikil masuk dagingnya, akan hadir kesan bahwa si bayi hanya dapat menatap saja tubuhnya perlahan-lahan dirusak oleh kekuatan dari luar. Bagi penulis ini menjadi pemandangan yang mengerikan: menyaksikan tubuh sendiri perlahan-lahan hancur tanpa mampu berbuat apa-apa!

Dan sajak ini diakhiri dengan Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi sebagaimana ditulis pada baris pertama sajak ini. Baris terkahir ini dengan baris pertama merupakan simpul yang mengikat kisah si bayi. Jika pada awal ada usaha untuk menghidupkan si bayi, pada bagian akhir ini dapat disaksikan sosok tubuh si bayi perlahan-lahan lenyap. Atau dari tiada menjadi ada dan kembali pada ketiadaan. Pada akhirnya semua kembali pada Yang Menciptakan Pertama Kali.

Demikian pembahasan singkat tentang sajak WS Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali. Pembahasan ini merupakan pengalaman yang penulis dapat selama melakukan pembacaan terhadap sajak yang dimaksud. Sangat mungkin apa yang dibahas jauh dari apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya. Paling tidak bagi penulis tulisan ini dapat menjadi pegangan untuk menikmati sajak yang dimaksud. Dan sampai saat ini, setiap  kali membaca sajak ini, penulis tetap merasa ada sesuatu yang ‘tidak tidur’ dalam sajak itu mesti si bayi sudah dibaringkan.
Surabaya, 19 Agustus 2016

* Naskah ini pernah dipublikasikan di situs http://www.plimbi.com/article/165439/sihir-rendra-pada-sajak-bayi-di-dasar-kali