Hentilah sebentar sesudah tikungan
Pepohonan rindang
Teduh di sana
Ada juga
Batu besar bersandar
Meski diam cukup ramah
Kepada kita dia sedia punggung kekar
Duduklah kemari, sapanya
Tak kah kau dengar itu
Wahai, hati kecilku
Udara kota panas–mengeroyok
Manusia berkaki pantat seenaknya jalan
Kadang menyeruduk ke tepi
Menyakiti lengan kita
Dengan batang setir dan makiannya
Sungguh, engkau harus maafkan mereka
Wahai, tubuh lelahku
Dan jepit sendal kita nyaris lepas
Pegal dialasi kaki berdebu
Yang tak mau berhenti
Meski tenggorokan kental
Kita terus sampai batu itu, tekadnya
Berhenti tak lah lenyapkan dahaga
Jadi tunggulah
Wahai, rasa hausku
Gedung-gedung tua berpangku tangan
Cahya matanya kelabu
Menatap jalanan
Kian asing dan padat
Jangan kita mendekat istirahat
Terlebih jika rambutmu yang tergerai
Jatuh sentuh kusut kain
Mata itu berubah was-was curiga
Tenangkan dirimu
Wahai, amarahku
Bajingan sesungguhnya di dalam sedan
Yang melesat di jalanan kota
Serupa peluru
Sedikit, sedikit, sedikit lagi kita sampai
Pepohonan di sana sudah membukakan dadanya
Untuk punggung kita bersandar
Dan jangan pikir tentang kebaikan hati
Segelas air memang tidak tersimpan
Dalam kotak baja
Si miskin sekali pun tak lah keberatan
Jika padanya diminta segelas air
Tapi bukan itu pokoknya
Wahai, perut yang mengering
Pertama kau meminta
Esok kau berharap
Lalu kepalamu penuh dahaga
Sepanjang perjalanan pulang
Sungguh, bukan itu, satu-satunya,
Kesulitan kita
Tahan, wahai, jiwaku, tahan
Di rumah nanti tak lah kesulitan ini ada
Dan setelah sampai di pepohonan teduh itu
Perjalanan tinggal separuh
Atau sepertiga supaya tak putus asa
Boleh juga seperempat
Bujuk kaki kita
Dan jika nanti dinding kamar
Sembunyikan kita
Wahai, kawanku
Ajaklah sesuatu bersamamu
Sebagai penengah atau yang ketiga
Supaya tidak engkau empat mata saja
Bercakap dengan sunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar