maka kuberikan separuh
usiaku
tapi pelangi dalam hatimu
tak juga kau tuang ke dalam
gelasku
Demikian tulis MdL (baca: Medy Loekito) dalam puisinya Sajak Penantian yang terkumpul dalam antologi puisi berjudul Jakarta, Senja Hari. Puisi di atas menyiratkan betapa gelisahnya si aku lirik. Antologi puisi ini memuat delapan puluh delapan judul puisi MdL yang ditulus dalam kurun waktu 1988 sampai dengan 1997. Puisi demi puisi dalam antologi ini menunjukkan betapa bening kegelisahan yang bergejolak di dalam dada. Melalui pilihan kata yang tepat, diksi, penyusunan frasa, hubungan antar baris atau larik, MdL seolah menyuguhkan segelas air putih bagi dahaga.
Segelas air putih tidaklah menggiurkan
seperti misalnya es cendol atau mega mendung dengan berbagai atraksi atau
pemberontakan. Segelas air putih, seperti ditulis oleh MdL sendiri tak menjanjikan kenyang. Tapi justru air
putihlah yang setiap waktu diperlukan oleh tubuh. Air putih inilah yang diminum
sepanjang hari, minggu, bulan, tahun. Dan siapa pun bisa meminumnya dengan rasa
yang sama. Coba saja minum es cendol atau mega mendung sepanjang hari, esok
pasti akan ada yang tidak beres dengan tubuh –dan isi kantong.
Tulisan ini hendak menelaah kegelisahan si
aku liris dalam sajak yang terkumpul dalam antologi puisi Jakarta, Senja Hari. Penelaahan dilakukan dengan mempertimbangkan
kurun waktu penulisan. Dipandang dari segi otonomi sastra penelaahan
berdasarkan urutan waktu tertentu tidaklah berpengaruh bagi sebuah karya
sastra. Sebab satu karya sastra seperti puisi bisa dinikmati secara utuh tanpa
harus dikaitkan dengan faktor di luar puisi itu.
Meski demikian unsur kesejarahan memiliki
pengaruh menarik. Dari sini bisa dilihat perkembangan karya seorang penulis,
kecendrungan-kecendrungan untuk mengangkat tema tertentu seperti permasalahan
sosial-budaya yang tengah aktual pada masa karya itu ditulis, atau pun untuk
menelusuri jalinan lembut benang ide yang tersembunyi dalam tiap karya seorang
penulis.
Dalam antologi puisi “Jakarta, Senja Hari”
terdapat enam kurun waktu penulisan sajak yaitu tahun 1988, 1993, 1994, 1995.
1996, dan 1997. Sebagian besar puisi ditulis pada tahun 1996 dan 1997. Oleh
karena itu pembahasan akan dikelompokan ke dalam tiga kurun waktu, yaitu (1)
kurun waktu 1988-1995, (2) kurun waktu 1996, dan kurun waktu 1997. Meski
demikian pembagian tersebut tidak bersikap tegas dan kaku. Sekedar untuk
memudahkan penelaahan. Bukan tidak mungkin makna sebuah puisi yang ditulis pada
kurun waktu 1996 berkaitan dengan puisi yang ditulis di kurun waktu 1993.
1.
Kurun Waktu 1988 sampai dengan 1995
Pada kurun ini terdapat
sembilan puisi. Kurun waktu 1988 terdapat lima puisi Di Penghujung Musim Penghujan; Gadis Kecil; pengkhianat; Lawatan; Saat
Duka. Kurun waktu 1993 terdapat dua puisi, yaitu Elegi dan Akhir Cerita.
Kurun waktu 1994 hanya terdapat satu puisi berjudul Tentang Pertemuan (1). Kurun waktu 1995 juga hanya terdapat satu
puisi berjudul Sendiri Di Sudut Petang.
Saat
Duka
kuukir dukaku
pada dada malam
dengan jemari yang senantiasa
menorehkan amarah dan kebencian
pada dada malam
dengan jemari yang senantiasa
menorehkan amarah dan kebencian
aku pernah menemukan titik di mana aku mulai
tapi tak pernah aku tiba pada akhirnya
Pada puisi di atas si
aku lirik melakukan sebuah aktivitas yang ditunjukan lewat identitas ‘-ku’ dan
‘ukir’. Kata ukir merupakan verba yang mengacu pada pola-pola tertentu biasanya
berupa hiasan pada sebuah benda seperti kayu atau batu. Kata ukir bisa berubah
menjadi verba utuh seperti ‘mengukir’,’diukir’, atau ‘terukir’. Penggunaan kata
kerja seperti ini umumnya diikuti oleh objek yang dikenai oleh pekerjaan itu.
Frasa seperti memancing ikan atau menanam padi misalnya. Dalam puisi di
atas kata ‘ukir’ merupakan verba dari subjek ‘-ku’. Sedangkan objek yang diukir
adalah ‘dukaku’.
Dalam kehidupan
sehari-hari kata (meng)ukir cenderung digunakan untuk memaknai aktifitas
membuat hiasan seperti pohon, binatang, atau pola tertentu yang dilakukan di
atas sebuah benda konkret. Namun dalam puisi di atas kata (meng)ukir digunakan
pada objek yang abstrak yaitu ‘duka’. Dengan menggunakan metafora ini aku lirik
dalam puisi ini tidak hanya mencoba menulis, lebih dari itu aku lirik ingin
‘duka’nya ditatahkan ke permukaan kayu atau batu yang rata. Dengan mengukir apa
yang telah dibuat bertahan lebih lama dibandingkan dengan tulisan pada
permukaan kayu yang segera hilang jika permukaan itu digosok. Sifat ukiran cenderung
lebih kekal ketimbang goresan atau coretan.
Pada baris kedua aku
lirik memberitahu bahwa duka itu diukir ‘pada
dada malam’. Kita mulai dengan kata ‘malam’ yang menunjuk pada waktu
terbenamnya hingga terbitnya matahari. Jika selama ini kata ‘malam’ banyak
digunakan sebagai metafora untuk menutupi sesuatu seperti pada frasa selimut malam atau mantel malam dalam baris kedua ini malam diidentikan dengan tubuh
manusia yang memiliki bagian tubuh tertentu seperti dada.
Kata ‘dada’ sendiri
sering mengalami perluasan makna dalam penggunaannya. Frasa dadanya bidang atau berdada apel misalnya, menunjuk pada bagian tubuh luar yang
terletak di atas perut. Namun kata ‘dada’ juga bisa digunakan untuk mengacu
pada konsep yang lebih abstrak. Frasa dadanya
sesak atau dadanya bergemuruh
misalnya; kedua frasa tersebut mengacu pada sesuatu yang tak tampak seperti
jantung atau sesuatu yang abstrak seperti amarah, atau mengacu pada pusat
kehidupan di mana sedetik saja berhenti berdetak punahlah kehidupan.
Pada baris ketiga si
aku lirik meneruskan ‘dengan jemari yang senantiasa’. Baris ini memiliki
keterkaitan yang erat dengan aktifitas yang dilakukan oleh si aku lirik pada
baris pertama, yaitu (meng)ukir. Si aku lirik mencoba menggunakan metafora yang
bersandar pada logika umum di mana (meng)ukir dilakukan dengan tangan dan
jemari. Akan berbeda sekali maknanya seandainya si aku lirik menggunakan kata
‘tangis’ sehingga baris tersebut berbunyi ‘dengan
tangis yang senantiasa’. Atau dengan kata-kata lain. Dengan bersandar pada
logika ini si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu yang mudah dimengerti. Logika ini digunakan lagi pada baris
keempat.yang memiliki keterkaitan yang erat dengan baris ketiga.
Pada baris keempat sini
‘jemari’ yang digunakan untuk (meng)ukir duka si aku lirik juga digunakan untuk
‘menorehkan amarah dan kebencian’. Kata
‘jemari’ pada baris ini berkaitan
dengan aktifitas ‘menorehkan’ yaitu
sesuatu yang biasa dilakukan dengan menggunakan pena di atas kertas atau kuas
di atas kanvas, sesuatu yang disaputkan pada permukaan sebuah bidang. Jadi ‘jemari´ yang digunakan si aku lirik
untuk mengukir dukanya ‘pada dada malam’
rupanya pada kesempatan lain juga digunakan untuk ‘menorehkan amarah dan kebencian’.
Meski demikian dua
aktifitas yang dilakukan oleh ‘jemari’
yaitu (meng)ukir dan menorehkan memiliki sifat yang berbeda. Seperti disebutkan
di atas, hasil ukiran cenderung memiliki sifat langgeng dibandingkan hasil
torehan. Sebab hasil ukiran menggantikan bentuk permukaan yang rata menjadi
ceruk-ceruk dengan pola tertentu. Sedangkan hasil dari torehan tidak
menggantikan bentuk permukaan. Dilihat dari segi fisik, (meng)ukir cenderung
menunjukkan aktifitas fisik yang lebih berat ketimbang menorehkan.
Si aku lirik dalam
puisi ini seperti hendak menyampaikan bahwa jemari-nya
kali ini melakukan pekerjaan yang lebih berat dari yang senantiasa dilakukannya yaitu (meng)ukir pada dada malam. Yang menjadi objek dalam aktifitas ini pun lebih
muram, yaitu dukaku. Amarah dan kebencian mungkin bisa dihapus dari permukaan, tapi dukaku haruslah memusnahkan kayu atau
batu yang telah terukir itu jika hendak menghapuskannya.
Pada bait kedua si aku
lirik menuliskan pengalamannya yang ‘pernah
menemukan titik di mana aku mulai’. Kata ‘titik’ merupakan kunci bagi si
aku lirik dalam memulai aktifitas entah itu konkret serperti ‘menyapu’ atau aktifitas
abstrak. Dari sekian titik pula tercipta garis. Lalu dari garis tercipta bidang
dan kemudian ruang. Aktifitas yang dimaksud di sini bisa diacukan pada
aktifitas yang dilakukan oleh ‘jemari’
pada bait sebelumnya. Namun kita bisa keliru bila kita mengaitkan maknanya
secara langsung.
Frasa ‘titik di mana aku mulai’ memang bisa
dikaitkan dengan jemari yang senantiasa/menorehkan
amarah karena kedua frasa ini memiliki bentuk waktu lampau dan sudah
terjadi. Hal itu ditunjukkan dengan kata senantiasa
pada bait pertama dan pernah pada
bait kedua. Sedang frasa kuukir lebih
menunjukkan pada sebuah aktifitas yang baru saja atau sedang berlangsung dan
belum usai. Tentu akan berbeda jika frasa yang digunakan adalah telah kuukir, sudah kuukir atau senantiasa
kuukir yang menunjukkan pernah terjadi sekaligus pengulangannya.
Baris kelima ini pada
lebih menunjukkan kegelisahan si aku lirik atas aktifitas yang sedang
berlangsung atau yang sedang dikerjakannya, yaitu (meng)ukir. Kenapa si aku
lirik harus merasa gelisah? Bukankah dia hendak mengukir dukanya supaya duka
itu menjadi abadi dan tak mudah terhapus.
Yang menjadi
kegelisahan si aku lirik terletak pada baris keenam yang merupakan baris
terakhir dari puisi ini ‘tapi tak pernah
aku tiba pada akhirnya’. Seandainya aktifitas yang dilakukan oleh si aku
lirik adalah perjalanan, bisa dikatakan bahwa tempat keberangkatan itu telah
diketahui. Namun tidak seperti titik keberangkatan yang jelas dan tegas, titik
akhirnya tak pernah aku tiba. Hal ini
merupakan kegelisahan eksistensial. Kegelisahan akan masa depan yang samar dan penuh
keragu-raguan.
Secara keseluruhan si
aku lirik dalam puisi Saat Duka dapat digambarkan sebagai
berikut. Bait pertama menunjukkan bahwa si aku lirik sedang melakukan aktifitas
(meng)ukir, yaitu sebuah aktifitas yang lebih berat dan besar dampaknya. Akan
tetapi ternyata aktifitas itu juga menggelisahkan si aku lirik. Sebab si aku
lirik sadar bahwa apabila aktifitas itu dilakukan, sangat mungkin aktifitas itu
tidak akan pernah dapat diakhiri.
Lawatan
di batas angan dan kenangan
ingin kususuri hari-hari lalu
yang seindah langit musim panas dukanya
sementara esok
tertatih kukejar
menuju ke tak pastian
berkawan desah panjang
Puisi berikutnya
berjudul Lawatan. Puisi ini memiliki
nuansa yang sama dengan bait kedua puisi sebelumnya. Warna ke tak pastian akan masa depan menjadi pokok kegelisahan si aku
lirik. Yang menarik dari puisi ini bukan hanya terletak pada penggunaan
metaforanya. Kalau kita baca, puisi di atas telah menyingkapkan dirinya kepada
kita. Kita harus selalu curiga pada puisi yang terlalu terbuka seperti ini; apa
maksud si aku lirik menampilkan dirinya seperti itu?
Topografi puisi Lawatan di atas dapat dikatakan
konvensional. Penulisan tiap baris dimulai dari kiri ke kanan dan di susul
dengan baris berikutnya dengan pola yang sama. Larik juga mengikuti pola puisi
pada umumnya meski tidak menggunakan pola lama empat larik tiap bait.
Namun topografi di atas
ternyata menyembunyikan bentuk tertentu. Si aku lirik secara tegas telah
membagi puisi di atas menjadi dua ruang yang berbeda, yaitu masa lalu dan masa
yang akan mendatang. Pada baris kesatu, kedua, dan ketiga si aku lirik mengungkapkan
segala hal yang berkaitan dengan masa lalu, atau dengan sesuatu yang sudah
berlangsung dan menjadi angan dan
kenangan. Sesuatu di masa lalu itu ingin disusuri sekalipun nuansa duka ada
di sana. Nuansa duka itu ditunjukkan pada baris ketiga yang seindah langit musim panas dukanya. Meski demikian si aku
lirik ingin menyusurinya kembali. Memang lebih mudah menghadapi rasa duka yang
telah dikenal. Pada baris-baris ini ruang yang ingin disusuri oleh si aku lirik terletak di masa lalu.
Baris keempat pada
puisi di atas merupakan pemisah antara ruang yang ingin atau hendak dilalui oleh si aku lirik. Yaitu ruang esok atau
masa depan. Hal itu ditunjukkan pada baris kelima, keenam, dan ketujuh.
Tidak seperti pada
ruang di masa lalu yang menggunakan frasa ingin
kususuri, baris kelima menggunakan frasa tertatih kukejar. Penggunaan frasa ini lebih menunjukkan
keterpaksaan ketimbang pilihan. Roda kehidupan yang terus berputar memaksa si
aku lirik untuk bergerak menuju esok, ingin atau pun tidak ingin. Meski harus menuju ke tak pastian dan berkawan desah panjang karena tak pernah aku tiba pada akhirnya.
Kontra juga ditunjukkan
dengan penggunaan kata yang saling berlawanan, yaitu kata kususuri pada baris kedua dan tertatih
pada baris kelima. Kata kususuri
menyaran pada pengertian tentang sebuah perjalanan yang cenderung mengasikan
dengan nuansa alam yang cerah dan tidak ada beban berlebih selama perjalanan.
Langkah kaki terasa ringan melayang. Sedang pada kata tertatih menyaran pada perjalanan yang cenderung lebih berat dan
lambat. Nuansa alam pun cenderung gelap dan samar. Seolah ada kabut menyelimuti
jalan yang terbentang.
Akhir
Cerita
alangkah pedih
menjadi yang tak dikenal
berlari tanpa tahu tempat perhentian
senyum hampa suruk langkah lelah
jadi makna hidup
tatkkala bulan kuning
‘tinggalkan langit
kosong
Si aku lirik pada baris
pertama puisi di atas mengungkapkan alangkah
pedih suasana hati yang dirasakannya. Penggunaan kata alangkah untuk mengikuti kata sifat pedih pada baris pertama menghidupkan kesan puitik yang coba
dibangun oleh si aku lirik. Lalu apa yang membuatnya merasa alangkah pedih? Jawabnya terletak pada
baris kedua menjadi yang tak dikenal.
Mengapa menjadi tak dikenal membuat
si aku lirik merasa alangkah pedih?
Sebagai wujud dari
eksistensi si aku lirik tentu harus mengandaikan keberadaan aku yang lain. Aku
yang mengakui eksistensi si aku lirik yang berada di luar dirinya sendiri.
Singkatnya, aku membutuhkan orang lain untuk memberi arti tentang diriku. Frasa
tak dikenal menunjukkan unsur negatif
eksistensi si aku lirik di hadapan yang lain. Dengan kata lain ketiadaan
dirinya di hadapan ‘aku yang lain’ itulah yang membuat si aku lirik merasa alangkah pedih.
Pada baris ketiga si
aku lirik ‘berlari tanpa tahu tempat
perhentian’. Di sini terdapat kata kerja yang merupakan pokok dalam baris
ketiga ini, yaitu berlari. Berlari
merupakan aktifitas gerak yang menunjukkan adanya perpindahan dari satu tempat
ke tempat yang lain dengan menggunakan kaki yang dipacu. Perpindahan itu
terjadi dimungkinkan karena banyak hal seperti rasa takut, merasa sedirh, atau
sekedar untuk berolahraga. Kata berlari
pada baris ketiga ini menunjukkan akfitifas si aku lirik untuk menghindari atau
pergi dari perasaan alangkah sedih
berada di tengah-tengah tempat yang tak mengenalnya. Lalu, kemana si aku lirik
berlari?
Di sini menyeruak sisi
ironis yang lain. Si aku lirik yang hendak pergi dari tempat yang tak
mengenalnya, ternyata tempat baru yang ditujunya adalah juga sama-sama
asingnya. Si aku lirik berlari tanpa tahu tempat perhentian. Pergi dari
suatu dunia yang asing menuju dunia asing yang lain.
Dari dua puisi
sebelumnya telah kita temukan ‘tak pernah
aku tiba pada akhirnya’ dan ‘menuju
ke tak pastian’. Menjadi lebih jelas ternyata masa depan bagi si aku lirik
merupakan sesuatu yang tidak pasti, samar-samar, dan gelap. Tapi yang mau tak
mau harus dituju juga.
Si aku lirik pada baris
keempat menyampaikan ‘senyum hampa suruk
langkah lelah’. Pada baris ini terdapat frasa senyum hampa. Senyum pada umumnya digunakan untuk menunjukkan
ekspresi tertentu. Entah itu tersenyum karena merasa bahagia, atau pun seperti
yang tampak pada frasa tersenyum sedih.
Akan tetapi dalam baris ini aktifitas senyum
yang dilakukan oleh si aku lirik diikuti dengan kata hampa, keadaan di mana tidak terdapat satu apa pun di dalamnya. Ada
ekspresi senyum yang di baliknya
tidak terdapat perasaan tertentu yang diwakili oleh senyum itu. Seperti senyum
sebuah mesin.
Berikutnya diungkapkan
bahwa ternyata senyum hampa itu suruk langkah lelah. Setelah berlari pada baris sebelumnya, pada
baris keempat ini terdapat frasa langkah
lelah. Frasa ini menunjukkan keadaan dari anggota tubuh yaitu kaki yang
biasa digunakan untuk berjalan atau berlari; kaki ini berada dalam kondisi lelah.
Mungkin karena capek berlari. Mungkin juga jarak yang dilalui sudah cukup
panjang. Mungkin juga karena tempat
perhentian yang dicari itu tidak pernah ada.
Pada baris kelima si
aku lirik menemukan makna hidup dari
perjalanan yang telah ditempuhnya. Tidak disebutkan apakah yang menjadi makna hidup itu. Akan tetapi yang
menjadi ironis, makna hidup itu
didapat tatkala bulan kuning/’tinggalkan
langit/kosong. Keadaan alam tentu telah menjadi begitu pekat. Tentu dapat
dibayangkan kepekatan malam di sebuah padang rumput atau tegalan yang
ditinggalkan oleh cahaya bulan kuning.
Cahaya yang ditangkap oleh mata untuk mengenal
lingkungan kita telah pergi. Padahal si aku lirik baru saja menemukan makna hidup.
Lebih jauh, frasa tinggalkan langit pada baris ketujuh menyaran
pada suasana sepi. Suasana sepi ini terungkap lagi pada baris kedelapan kosong. Jadi di langit sudah tidak ada
sesuatu yang menemani rupanya. Di kota besar seperti Jakarta yang penuh dengan
cahaya mungkin hanya bulan yang menjadi teman di malam hari. Cahya bintang yang
berada jauh di angkasa sana tenggelam dalam limpahan lampu kota.Dan bila bulan kuning/tinggalkan langit maka di
atas sana yang ada hanya kosong. Si
aku lirik pun tiada lagi berkawan.
Pengkhianat
taklah menolong berbicara banyak
sedikit senyum
lengkaplah segala duka
Puisi berjudul Pengkhianat ditulis pada bulan Pebruari
1988. Pendek saja, hanya terdiri dari tiga baris. Tidak seperti puisi
sebelumnya yang mengungkap adanya gerak perpindahan, puisi Pengkhianat menggambarkan sebuah situasi tertentu yang dihadapi
oleh si aku lirik. Tersirat pula adanya seorang kawan bicara yang oleh si aku
lirik tak hendak diajak berbicara banyak
tapi hanya cukup dengan sedikit senyum.
Lalu, kenapa kata Pengkhianat justru
dijadikan sebagai judul dalam puisi ini? Bukankah seorang pengkhianat adalah
seorang yang berbicara banyak hal tentang sekutunya kepada musuh-musuhnya?
Seseorang yang membocorkan informasi berharga kepada lawannya?
Baris pertama taklah menolong berbicara banyak selain
menunjukkan adanya lawan bicara si aku liris secara tersirat, baris ini juga
menunjukkan adanya pokok, gagasan, atau tema atau informasi yang ingin
diungkapkan oleh si aku lirik kepada lawan bicaranya itu. Mungkin sudah cukup
lama si aku lirik menyimpan gagasan itu untuk pada akhirnya nanti diutarakan.
Mungkin juga gagasan yang hendak disampaikan itu mengandaikan sebuah keadaan
tertentu yang diharapkan oleh si aku lirik. Tapi ketika saat yang dinantikan
untuk mengungkapkan gagasan itu tiba, rupanya sekian banyak gagasan yang dibicarakan itu taklah menolong. Tapi cukup dengan sedikit senyum sehingga lengkaplah
segala duka.
Bisa jadi yang dimaksud
dengan Pengkhianat pada puisi di atas
adalah si aku lirik sendiri. Sebab aku lirik hanya memendam isi dukanya. Akan
tetapi bisa juga Pengkhianat merujuk
pada si kawan bicara. Mungkin aku lirik tengah berhadapan dengan seseorang
telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan padanya. Berhadapan dengan
kawan bicara seperti ini memang taklah
menolong berbicara banyak atau hanya akan sia-sia saja. Lebih baik diam dan
menerima pengkhianatan kawan bicara
itu.
Pada puisi di atas lagi-lagi
kita bertemu dengan kata senyum dan duka. Kalau pada puisi sebelumnya senyumnya bermakna hampa, senyum dalam puisi ini lebih dekat dengan cara si aku lirik
untuk menindas emosinya. Dengan kata lain, senyum tidak hanya lambang ekspresi
dari rasa gembira atau sedih, senyum juga hadir sebagai cara untuk menindas
keinginan sendiri. Dan dengan sedikit
senyum maka lengkaplah segala duka
si aku lirik.
Gadis
Kecil
gadis kecil bercermin di sampah-sampah
mengais takdir
pada malam pada siang
dengan kaki koreng
dan gaun berbau
duka
Selain menampilkan kegelisahan
batin si aku lirik puisi-puisi MdL juga menampilkan kepekaan sosial sebagai hasil
penghayatan terhadap lingkungan sekelilingnya. Pada kurun waktu tahun 1998
dapat ditemukan puisi berjudul Gadis
Kecil yang berkisah tentang aktifitas gadis
kecil yang berjuang mengarungi samudera kehidupan dan takdir.
Pada baris pertama
diungkapkan gadis kecil bercermin di
sampah-sampah. Pada baris ini langsung dapat diketahui tokoh atau subjek
yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik melalui puisinya, yaitu gadis kecil. Si gadis kecil dalam baris ini melakukan sebuah aktifitas yaitu bercermin. Aktifitas ini merujuk pada
kegiatan yang biasa dilakukan ketika kita hendak melihat diri sendiri di
hadapan sebuah benda yang memantulkan diri kita, entah untuk berias, berdandan,
atau untuk melihat betapa celakanya diri kita sebenarnya: ini muka penuh luka/siapa punya?! tulis Chairil. Akan tetapi cermin yang yang dihadapai oleh gadis kecil dalam sajak ini adalah sampah-sampah, sisa kotoran atau
pembuangan yang tidak memiliki sifat memantulkan seperti air misalnya.
Pada baris ini
pengertian bercermin menggunakan sampah-sampah sebagai medianya lebih
dekat pada pengertian bercermin untuk berias atau berdandan. Lagipula subjek gadis kecil menunjukkan kecendrungan
hubungan makna yang dekat dengan cermin
jika dibandingkan dengan jika subjeknya lelaki.
Gadis, perempuan, wanita bercermin untuk berias, tapi jarang untuk anak laki,
pemuda, atau lelaki. Makna yang kemudian timbul dari baris ini adalah wajah
seorang gadis kecil yang semula
bersih dan cantik menjadi kotor dan bau. Mungkin sisa-sisa air dan makanan
terpercik di wajahnya. Mungkin sisa-sisa minyak tersaput dipipinya, menjadikan
wajahnya penuh dengan riasan sampah.
Baris kedua menunjukkan
aktifitas lain si gadis kecil, yaitu mengais takdir. Jadi bukan sampah yang diais akan tetapi takdir. Bukan cermin yang
digunakan berias melainkan sampah. Kata
mengais merupakan aktifitas yang
dilakukan oleh seseorang untuk mencari sesuatu, yang dalam hal ini takdir, di tengah tumpukan sampah.
Terasa aneh karena biasanya kata mengais
berfrasa dengan kata lain menjadi mengais
rejeki. Tetapi justru di situlah letak kebebasan dan kreatifitas penyair
mencipta makna melalui diksi-diksi baru yang digunakannya.
Baris ketiga ‘pada malam pada siang’ menunjukkan
aktifitas yang dilakukan pada baris kedua dilakukan secara terus menerus dan
intens. Takdir pada baris kedua
ternyata tidak hanya sudah digariskan atau ditentukan, akan tetapi juga harus
diciptakan melalui perjuangan yang terus menerus.
Pada baris keempat si
aku lirik hendak menunjukkan ciri tertentu dari tokoh yang tengah dikisahkannya
sedang mengais takdir itu. Hal itu
nampak pada ungkapan ‘dengan kaki koreng’.
Tidak ada metafora yang digunakan dalam baris ini untuk menggambarkan sosok si gadis kecil. Koreng adalah penyakit yang menghinggapi kulit yang kotor. Si aku
lirik menggambarkannya tanpa metafora tentu memiliki tujuan tertentu. Bisa saja
si aku lirik menggambarkan fenomena itu secara tersembunyi. Akan tetapi
fenomena itu digambarkan dengan cara yang langsung. Mungkin penggambaran secara
langsung ini akan lebih mengena dibandingkan dengan menggunakan metafora.
Baris kelima juga
menampilkan ciri fisik dari gadis kecil.
Dalam baris ini si aku lirik menulis ‘dan
gaun berbau’. Setelah sampai pada wajah yang terias sampah dan kaki koreng
si aku lirik menggambarkan pakaian yang dikenakan oleh si gadis kecil. Pemilihan kata ‘gaun’
menunjukkan keinginan si aku lirik untuk menunjukkan kesan anggun atas pakaian
yang dikenakan. Namun yang mengejutkan kata gaun
diikuti oleh kata kerja berbau.
Kata kerja berbau ini memiliki kesan
negatif. Maksudnya, bau yang ada
dalam baris ini lebih dekat dengan sesuatu yang busuk ketimbang yang harum.
Baris keenam yang hanya
terdiri dari kata ‘duka’ memiliki
enjabemen yang kuat dengan baris kelima. Kata duka ini merupakan objek dari gaun
yang terdapat pada baris sebelumnya. Yang mengejutkan adalah gaun yang biasanya ditampilkan dengan
segala macam keindahannya, dalam puisi ini gaun
ditampilkan dengan berbau/duka. Duka
sebagai kata benda abstrak umumnya tidak dapat mengikuti kata kerja berbau yang merujuk pada sifat. Berbau umumnya merujuk pada harum atau
busuk. Akan tetapi justru kata benda yang dilekatkan membuat kita bisa membau
aroma duka yang menyeruak dari balik gaun
si gadis kecil.
Sendiri
Di Sudut Petang
ketika sepi datang
kutanya hati
siapa membunuh angin
dan memenjarakan derunya
Puisi yang ditulis pada
bulan Mei 1995 di atas menggambarkan suasana hati si aku lirik yang Sendiri Di Sudut Petang. Petang yang
sepi oleh si aku lirik tidak digambarkan secara langsung dengan menunjuk pada
alam sekeliling yang menyaran sepi. Chairil misalnya menulis lurus kaku pohonan/tak bergerak/sampai ke
puncak.
Akan tetapi sepi dalam
puisi di atas diungkapkan oleh si aku lirik melalui monolognya dengan hati. Hal itu tampak pada baris pertama
dan kedua, di mana baris pertama menyatakan situasi dimulainya sepi dan baris
kedua menyatakan monolog si aku lirik dengan hatinya. Adanya monolog si aku
lirik dengan hati nya ini juga
menyaran pada nuansa sepi yang dibangun dalam puisi tersebut. Yaitu si aku
lirik tengah berada sendiri.
Seandainya ada kawan bicara, mungkin si aku lirik mencoba bercakap dengan kawan
bicaranya itu.
Dalam monolognya itu si
aku lirik mengajukan pertanyaan kepada hatinya. Pertanyaan pertama terletak
pada baris ketiga ‘siapa membunuh angin’.
Pertanyaan ini menyiratkan alam yang sedang sepi membeku. Tak ada gerak yang
ditimbulkan oleh angin seperti pada suasana cemara
menderai sampai jauh. Siapa membunuh
angin bukanlah pertanyaan yang mesti terjawab. Tapi angin telah mati dan tak mampu lagi menghadirkan gerak, itulah yang
tengah di hadapi si aku lirik.
Pada baris selanjutnya
si aku lirik masih tetap bertanya kepada hati
nya. Hal itu nampak pada baris keempat dan
memenjarakan derunya. Yang menarik dari baris ketiga dan keempat adalah,
meski kedua baris itu merupakan pertanyaan namun tidak dilekatkan tanda baca
pada pertanyaannya. Kealpaankah itu atau kesengajaan untuk membangun kesan
tertentu dalam puisi Sendiri Di Sudut
Petang?
Tentu hal ini merupakan
kesengajaan. Sebab pada puisi lain dapat kita temui penggunaan tanda tanya
seperti pada puisi yang berjudul Usia
pada baris kelima ‘kapankah masa kanakku
kembali?’ Atau juga pada puisi yang berjudul Oktober 1995 pada baris kedelapan ‘masihkah guna bertahan?’ Dengan kata lain penggunaan tanda baca
seperti tanda tanya merupakan satu bentuk cara penyampaian yang digunakan dalam
kumpulan puisi ini. Ketika terdapat sebuah pertanyaan tanpa diikuti tanda baca,
maka maknanya harus kita pahami dengan berbeda.
Tidak digunakannya
tanda tanya pada baris ketiga atau keempat pada puisi Sendiri Di Sudut Petang menguatkan monolog yang telah dibangun oleh
si aku lirik. Kalau pada Chairil kita temukan kawanku tinggal rangka, bertanya juga jam berapa?! Tapi pada puisi di atas si aku lirik tidak memiliki
kawan bicara yang dapat diandaikannya. Berbicara hanya mungkin dilakukan dengan
diri sendiri. Dan jawaban dari pertanyaannya pun sudah pula diketahui: tak
terjawab. Kata tanya siapa pada baris
ketiga puisi di atas lebih dekat pada sebuah pernyataan ketimbang pertanyaan.
Pernyataan suasana petang yang dihadapi si aku lirik.
Meski demikian baris
keempat memiliki hubungan yang agak longgar dengan baris ketiga. Disebutkan
bahwa angin yang telah mati rupanya
memiliki deru. Bagi si aku lirik angin dan derunya rupanya merupakan dua elemen yang terpisah, di mana yang
satu terbunuh dan yang lain terpenjara. Lalu, seperti apakah angin dan deru harus kita gambarkan supaya dapat kita tangkap maksud si aku
lirik? Mungkin bisa kita gambarkan sebagai panglima dan pasukannya. Ketika
panglima perang mati kalah di medan perang, pasukan pun menyerah sehingga
terpenjara deru langkahnya. tapi
mungkin juga kedua elemen itu terpisah dan tidak berhubungan satu sama lain
sehingga harus dipahami secara berbeda pula.
Elegi
malam sepi
bulan bermain sendiri
gonggong anjing pelahan
mengoyak bayang
wajah dalam rindu
Suasana alam yang sepi
merupakan salah satu tema dalam Antologi Puisi Jakarta, Senja Hari seperti pada
puisi di atas yang berjudul Elegi. Elegi merupakan bentuk gubahan liris sebagai
nyanyian yang bersifat kedukaan tetapi penuh dengan ketabahan. Puisi di atas
dimulai dengan baris yang menggambarkan situasi yang dihadapi si aku lirik ‘malam sepi’. Dalam khasanah puisi
Indonesia kata ‘malam’ cenderung
menyaran pada nuansa sepi, sunyi, atau kelam. Sebagai suatu waktu di mana
cahaya matahari giliran menerangi belahan bumi lain, malam memang menghadirkan kesan yang murung dengan kegelapannya.
Tempat atau ruang yang tak dapat dijangkau oleh cahaya lampu menyembunyikan
benda-benda dari pandangan mata, membuat kita bertanya-tanya: ada apa di balik
kegelapan itu?
Meski demikian malam juga menghadirkan aktifitas
tertentu. Selepas dari rutinitas sehari-hari, malam hari bisa digunakan sebagai tempat untuk melepaskan lelah
atau untuk bersantai menghilangkan kejemuan. Itu biasanya terjadi sebelum pukul
sembilan atau sepuluh malam. Pada titik ini malam menjanjikan keramaian
tertentu. Setelah itu, aktifitas cenderung diarahkan untuk beristirahat. Pada
titik inilah malam bergerak menuju sepi. Aktifitas pada jam-jam sebelumnya
berkurang. Manusia menuju peraduannya. Frasa malam sepi pada baris pertama puisi di atas menyaran pada waktu
serupa ini.
Pada baris kedua
disebutkan bulan bermain sendiri di
luar sana. Bulan yang menjadi subjek
pada baris ini mungkin merupakan pantulan atau pengejawantahan si aku lirik. Di
malam sepi di mana aktifitas manusia
jauh berkurang itu bulan masih saja
melakukan aktifitas, yaitu bermain.
Akan tetapi bulan melakukan aktifitasnya itu sendiri saja. Bulan tidak
ditemani bintang yang juga merupakan atribut dari malam atau awan. Kehidupan di tengah kota dengan limpahan cahaya
dari lampu, memang mampu menyembunyikan keberadaan bintang sehingga hanya bulan
saja yang tampak di malam hari. Atau bisa juga, keberadaan bintang tak lagi
berarti pada malam sepi kali ini. Sebab
bulan sebagai pantulan dari si aku
lirik memang sedang tidak berteman pada malam
sepi ini.
Selain bulan yang bermain sendiri di luar sana ternyata masih ada aktifitas lain
seperti yang diungkapkan pada baris ketiga gonggong
anjing pelahan. Frasa gonggong anjing
sering menyaran pada tanda betapa telah demikian sepi suasana malam. Chairil
menulis orang ngomong anjing nggonggong.
Dalam puisi di atas suara gonggong anjing
yang didengar oleh si aku lirik hanya pelahan.
Mungkin gonggong anjing itu berada di
kejauhan sehingga yang sampai di telinga si aku lirik adalah suaranya yang
lemah. Tetapi mungkin juga gonggong
anjing itu memang benar-benar pelahan. Atau bisa saja aku lirik
mendengarnya pelahan karena bulan sedang asyik bermain sendiri.
Pada baris kedua dan
ketiga terungkap adanya aktifitas yang tetap berlangsung meski malam sepi yaitu bulan bermain dan gonggong
anjing. Kedua aktifitas itu mengacu pada dunia sekeliling si aku lirik.
Pada baris keempat aktifitas itu bergeser ke dunia batin aku lirik.
Pada baris keempat terdapat
frasa mengoyak bayang. Siapakah
subjek yang melakukan aktifitas mengoyak
bayang itu? Bentuk elips dengan menghilangkan unsur subjek pada baris ini
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara baris keempat dengan baris-baris
sebelumnya. Mungkin subjek yang mengoyak itu bisa terletak pada baris kedua
atau baris ketiga. Mungkin juga baris kedua dan ketiga merupakan subjek yang mengoyak bayang.
Bisa dikatakan bahwa
suasana malam sepi di mana bulan bermain sendiri dan gonggong anjing pelahan menyebabkan
terjadinya pergolakan batin dalam diri si aku lirik yang dinyatakan pada baris
keempat, yaitu mengoyak bayang. Unsur
dari dunia luar yang menyaran pada sepi
(sendiri dan pelahan) menyebabkan dunia batin terasa gelisah. Kegelisahan itu
pada akhirnya membuat si aku lirik mengoyak
bayang yang dilanjutkan dengan baris kelima wajah dalam rindu.
Rupanya bayang yang dikoyak pada baris sebelumnya adalah bayang seraut wajah dalam
rindu. Tidak begitu jelas wajah siapa
yang diungkap oleh aku lirik dalam puisi ini. Mungkin itu wajah kekasihnya,
mungkin juga wajah anak-anaknya, atau mungkin juga wajah Sang Pencipta. Yang pasti sosok itu adalah wajah dalam rindu. Bisa juga kita
menengok Amir Hamzah yang menulis rindu
rupa/rindu rasa, yang mana dalam sajak Amir Hamzah yang dirindu adalah Sang
Pencipta.
Secara keseluruhan
puisi di atas menggambarkan suasana batin si aku lirik yang tengah rindu pada
sesosok wajah di malam sepi. Akan tetapi kerinduan itu justru dikoyak oleh sesuatu dari dunia luar. Yaitu bulan bermain sendiri dan gonggong
anjing pelahan.
Tentang
Pertemuan (I)
di jernih matamu cahya lilin tinggalkan
sepotong pesan
tanpa kutahu makna
ia berbincang akrab dengan hatiku
Selain
duka, sepi, dan realitas sosial, pertemuan antar insan yang berbalut kebisuan juga
menjadi tema dalam antologi puisi MdL seperti terlihat pada puisi yang berjudul
Tentang Pertemuan (I). Pada puisi di
atas si aku lirik tengah berhadapan dengan seorang kawan bicara yang diwakili
dengan adanya kata ganti –mu. Pada
baris pertama si aku lirik mengungkapkan di
jernih matamu cahya lilin tinggalkan sepotong pesan. Baris pertama ini
dapat dipisah menjadi empat unsur yaitu di
jernih matamu, cahya lilin, tinggalkan, dan sepotong pesan.
Unsur
pertama yaitu di jernih matamu
menunjukkan aktifitas yang sedang dilakukan oleh si aku lirik yaitu menatap jernih mata kawan pertemuannya. Lalu
diikuti unsur kedua. Melalui jernih mata
itu si aku lirik melihat cahya lilin.
Frasa cahya lilin bisa merujuk pada
sebuah benda konkret yang berada di tengah-tengah si aku lirik dan –mu kawan bicaranya yang terpantul
melalu mata itu. Akan tetapi cahya lilin bisa
juga merupakan simbol tertentu yang merujuk pada makna tertentu. Mungkin
mengacu pada kenangan masa lalu yang remang atau tentang kelembutan. Juga tidak
menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan cahya lilin pada baris pertama ini adalah isi hati kawan bicara si
aku lirik. Ungkapan mata adalah jendela hati berlaku di sini. Suasana hati atau
perasaan kawan bicara si aku lirik terpantul melalui jernih mata-nya.
Unsur
yang ketiga pada baris pertama berbentuk kata kerja ‘tinggalkan’. Kata kerja ini menyaran pada pengertian waktu yang
telah berlalu, yaitu keberadaan sesuatu setelah ditinggal. Sesuatu yang
ditinggalkan itu mengacu pada unsur keempat yaitu pada frasa ‘sepotong pesan’. Frasa sepotong pesan
menyiratkan sebuah tulisan yang ditinggalkan
oleh –mu yang harus dibaca oleh si
aku lirik. Bisa dikatakan bahwa si aku lirik dan kawan bicaranya berdialog
dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Kata-kata tak lagi penting dalam pertemuan itu. Sebab kehadiran telah
berbicara lebih banyak ketimbang kata.
Pada
baris kedua diungkapkan tanpa kutahu
makna. Pada baris ini si aku lirik mengungkapkan ketidaktahuannya akan makna
dari sepotong pesan yang ada pada
baris pertama. Meski tanpa kutahu makna
si aku lirik pada baris ketiga mengungkapkan betapa akrabnya dialog yang
terjadi pada pesan yang tidak diketahui
makna nya itu.
Pada
baris ketiga si aku lirik mengungkapkan ia
berbincang akrab dengan hatiku. Pada baris ini terdapat kata ganti ia yang merujuk pada kawan bicara si aku
lirik. Akan tetapi kawan bicara ia yang
disebut pada baris ketiga ini apakah sama dengan –mu yang disebut pada baris pertama? Rupa-rupanya –mu pada baris pertama dan ia pada baris ketiga adalah kawan
berbicara yang berlainan. Pada baris ketiga nampak bahwa –mu pada baris pertama ditinggalkan oleh si aku lirik. Hal itu
sudah mulai terasa sejak pada baris kedua. Lalu munculah kawan bicara yang
baru, yaitu ia.
Pada
dasarnya ia ini merupakan sisi lain
dari –mu, yaitu sepotong pesan yang ditinggalkan
cahya lilin. Percakapan atau pertemuan sejati pada puisi di atas
berlangsung antara si aku lirik dengan ia
si sepotong pesan itu. Bukan
dengan –mu yang jernih mata nya. Karena –mu hanya
menjadi perantara dalam pertemuan itu. Sebab
ia berbicara akrab dengan hatiku
meski tanpa kutahu makna.
Di
Penghujung Musim Hujan
lewat awan hitam yang menggantung di balik
jendela
kulihat petir menerkam rumput yang basah
Puisi berjudul Di Penghujung Musim Hujan di atas
menggambarkan suasana alam yang tengah dihadapi oleh si aku lirik. Baris
pertama menunjukkan pemandangan dunia luar yang tengah dihadapi si aku lirik lewat awan hitam yang menggantung di balik
jendela. Baris ini dapat dibagi ke dalam tiga unsur, yaitu lewat awan hitam, yang menggantung, dan dibalik jendela. Unsur pertama lewat awan hitam merupakan pintu masuk
bagi si aku lirik dalam menghayati suasana alam. Hal itu nampak pada penggunaan
kata lewat yang kemudian diikuti
dengan fenomena alam awan hitam. Unsur
kedua merupakan predikat dari unsur pertama yang
menggantung. Sedangkan unsur ketiga merupakan keterangan tempat yaitu di balik jendela. Secara terpadu baris
pertama menyiratkan sebuah lukisan alam yang dihayati si aku lirik dari dalam
ruang yang berjendela; mungkin dari dalam rumah.
Pada baris kedua
menunjukkan adanya fenomena alam yang lain yaitu kulihat petir menerkam rumput yang basah. Baris ini dapat dibagi ke
dalam empat unsur, yaitu kulihat, petir,
menerkam, dan rumput yang basah.
Unsur pertama yaitu kulihat, merupakan
pernyataan si aku lirik bahwa di luar sana dia melihat sesuatu. Apa yang
dilihatnya adalah fenomena yang merupakan bagian dari fenomena alam yang
terdapat pada baris pertama, yaitu petir
yang merupakan unsur kedua sekaligus subjek dari fenomena yang dihayati si aku
lirik. Unsur ketiga merupakan predikat atau kata kerja dari subjek yaitu menerkam. Dalam hal ini petir digambarkan memiliki sifat yang
sama dengan binatang sehingga petir
bisa melakukan aktifitas menerkam. Penggunaan
kata menerkam lebih jauh menunjukkan
adanya hubungan antara mangsa dengan yang dimangsa, biasanya hewan. Unsur
keempat merupakan objek yang dikenai tindakan subjek, yaitu rumput yang basah. Kata rumput yang digunakan bisa menjadi
simbol dari rakyat atau wong cilik.
Secara terpadu baris
kedua menyiratkan pemandangan yang dilihat oleh si aku lirik di mana sebuah
petir yang menyambar mengenai rumput yang
basah. Lebih jauh bisa juga ditanyakan, kenapa yang diterkam dalam puisi
ini adalah rumput dan bukan pohon-pohon yang lebih tinggi misalnya? Mungkin si
aku lirik ingin menunjukkan betapa kejamnya alam. Kalau pada badai angin hanya akar rumput yang mampu bertahan sedang
pohon-pohon tumbang, maka dalam badai pada puisi di atas rumput yang basah pun tak luput dari keganasan alam.
Meski puisi di atas
menggambarkan suasana alam yang tengah di hadapai si aku lirik, namun mungkin
juga terdapat makna lain yang hendak di sampaikan oleh MdL. Frasa awan hitam dengan petir menerkam menyaran pada pengertian adanya badai atau prahara.
Jika frasa tersebut diterapkan pada sebuah negeri, Indonesia misalnya, maka
maknanya akan lain sama sekali. Maknanya menyaran pada adanya kegoncangan atau
prahara yang melanda sebuah negeri. Mungkin kegoncangan ekonomi, mungkin juga
kegoncangan sosial. Yang pasti negeri itu sedang berada dalam kondisi yang
kurang stabil.
Begitu juga dengan
frasa rumput yang basah, bisa
menyaran pada rakyat suatu negeri. Dengan kata lain, rakyat menjadi korban
kegoncangan yang terjadi di negerinya. Sedangkan kata menerkam yang digunakan dapat menunjukkan betapa prahara yang
melanda itu benar-benar menjadikan rakyat sebagai korban mangsa prahara.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, puisi yang ditulis pada
kurun waktu tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 mengangkat beberapa tema. Tema
pertama adalah kegelisahan batin si aku lirik akan masa depan. Dari sembilan
puisi yang telah dibahas di atas dapat ditemui sebanyak tiga puisi
mengungkapkan kegelisahan ini, antara lain Saat
Duka, Lawatan, dan Akhir Cerita.
Ketiga puisi tersebut mengandaikan dua ruang yang berbeda, yaitu ruang masa
lalu dan ruang masa depan. Bagi si aku lirik ruang masa lalu merupakan tempat
yang kokoh, pasti, dan tak berubah. Kadang juga terasa seindah langit musim panas dukanya. Akan tetapi tempat itulah yang
menjadi titik di mana aku mulai. Di
masa lalu itulah si aku lirik tahu perbuatan atau aktifitas yang dikerjakannya.
Berbeda dari masa lalu, masa depan bagi si
aku lirik adalah gerak menuju ke tak
pastian. Mungkin si aku lirik bertanya: aku sudah berbuat, apa selanjutnya?
Berbeda dari 3x3=9, ‘apa selanjutnya?’ menyiratkan banyak kemungkinan. Dalam
pandangan eksistensialisme, masa depan adalah masa yang harus diwujudkan oleh
si aku. Kegelisahan akan masa depan adalah kegelisahan jika aku tidak dapat
menemukan diriku sendiri di sana.
Tema kedua adalah kondisi sosial yang
memprihatinkan. Hal ini tampak dengan jelas pada puisi berjudul Gadis Kecil yang menggambarkan kesibukan
gadis kecil sedang mengais takdir. Meski puisi ini cukup
pendek, namun berhasil membangun gagasan tentang gadis kecil dengan atribut yang melekat pada kulit dan yang
menyeruak darinya, berbau duka. Hubungan
antar baris pun cukup rapat meski tidak terdapat enjabemen kecuali pada baris
keempat dan kelima.
Tema berikutnya adalah kebisuan atau kesepian.
Tema ini muncul pada puisi yang berjudul Pengkhianat,
Sendiri Di Sudut Petang, Elegi, Tentang Pertemuan (I). Bisa ditambahkan
juga puisi yang berjudul Akhir Cerita.
Puisi-puisi tersebut menyiratkan keberadaan ‘diri lain’ selain si aku lirik.
Frasa menjadi yang tak dikenal
menyiratkan adanya ‘diri lain’, frasa taklah
menolong berbicara banyak menyiratkan adanya kawan bicara, frasa kutanya hati tanpa ada tanda baca’?’
menunjukkan monolog si aku lirik dengan dirinya sendiri, juga pada frasa bulan bermain sendiri. Pada puisi yang
berjudul Tentang Pertemuan (I) kawan
bicara si aku lirik malah ditinggalkan dan beralih berbincang dengan sepotong
pesan. Dengan kata lain, meski berada di antara atau dengan ‘diri lain’ si
aku lirik merasa bahwa manusia selalu merasakan kesepiannya masing-masing.
Surabaya, 30 January 2016
Dear Chandra,
BalasHapusMatur nuwun sanget atas uraiannya. Maaf saya baru lihat tulisan ini. Terima-kasih atas ijinnya bagi saya menimba ilmu dr tulisanmu. Thank you so much!
Dear Bu Medy,
BalasHapusTerima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan di atas.
Saya harap tidak bosan berkunjung ke laman ini.