Sabtu, 30 Januari 2016

KEGELISAHAN AKU LIRIK DALAM ANTOLOGI PUISI “JAKARTA, SENJA HARI” MEDY LOEKITO


Oleh : Chandra Krisnawan

maka kuberikan separuh usiaku
tapi pelangi dalam hatimu
tak juga kau tuang ke dalam gelasku




Demikian tulis MdL (baca: Medy Loekito) dalam puisinya Sajak Penantian yang terkumpul dalam antologi puisi berjudul Jakarta, Senja Hari. Puisi di atas menyiratkan betapa gelisahnya si aku lirik. Antologi puisi ini memuat delapan puluh delapan judul puisi MdL yang ditulus dalam kurun waktu 1988 sampai dengan 1997. Puisi demi puisi dalam antologi ini menunjukkan betapa bening kegelisahan yang bergejolak di dalam dada. Melalui pilihan kata yang tepat, diksi, penyusunan frasa, hubungan antar baris atau larik, MdL seolah menyuguhkan segelas air putih bagi dahaga. 

Segelas air putih tidaklah menggiurkan seperti misalnya es cendol atau mega mendung dengan berbagai atraksi atau pemberontakan. Segelas air putih, seperti ditulis oleh MdL sendiri tak menjanjikan kenyang. Tapi justru air putihlah yang setiap waktu diperlukan oleh tubuh. Air putih inilah yang diminum sepanjang hari, minggu, bulan, tahun. Dan siapa pun bisa meminumnya dengan rasa yang sama. Coba saja minum es cendol atau mega mendung sepanjang hari, esok pasti akan ada yang tidak beres dengan tubuh –dan isi kantong.
Tulisan ini hendak menelaah kegelisahan si aku liris dalam sajak yang terkumpul dalam antologi puisi Jakarta, Senja Hari. Penelaahan dilakukan dengan mempertimbangkan kurun waktu penulisan. Dipandang dari segi otonomi sastra penelaahan berdasarkan urutan waktu tertentu tidaklah berpengaruh bagi sebuah karya sastra. Sebab satu karya sastra seperti puisi bisa dinikmati secara utuh tanpa harus dikaitkan dengan faktor di luar puisi itu.
Meski demikian unsur kesejarahan memiliki pengaruh menarik. Dari sini bisa dilihat perkembangan karya seorang penulis, kecendrungan-kecendrungan untuk mengangkat tema tertentu seperti permasalahan sosial-budaya yang tengah aktual pada masa karya itu ditulis, atau pun untuk menelusuri jalinan lembut benang ide yang tersembunyi dalam tiap karya seorang penulis.
Dalam antologi puisi “Jakarta, Senja Hari” terdapat enam kurun waktu penulisan sajak yaitu tahun 1988, 1993, 1994, 1995. 1996, dan 1997. Sebagian besar puisi ditulis pada tahun 1996 dan 1997. Oleh karena itu pembahasan akan dikelompokan ke dalam tiga kurun waktu, yaitu (1) kurun waktu 1988-1995, (2) kurun waktu 1996, dan kurun waktu 1997. Meski demikian pembagian tersebut tidak bersikap tegas dan kaku. Sekedar untuk memudahkan penelaahan. Bukan tidak mungkin makna sebuah puisi yang ditulis pada kurun waktu 1996 berkaitan dengan puisi yang ditulis di kurun waktu 1993.
1.      Kurun Waktu 1988 sampai dengan 1995
Pada kurun ini terdapat sembilan puisi. Kurun waktu 1988 terdapat lima puisi Di Penghujung Musim Penghujan; Gadis Kecil; pengkhianat; Lawatan; Saat Duka. Kurun waktu 1993 terdapat dua puisi, yaitu Elegi dan Akhir Cerita. Kurun waktu 1994 hanya terdapat satu puisi berjudul Tentang Pertemuan (1). Kurun waktu 1995 juga hanya terdapat satu puisi berjudul Sendiri Di Sudut Petang.

Saat Duka
kuukir dukaku
pada dada malam
dengan jemari yang senantiasa
menorehkan amarah dan kebencian

aku pernah menemukan titik di mana aku mulai
tapi tak pernah aku tiba pada akhirnya

Pada puisi di atas si aku lirik melakukan sebuah aktivitas yang ditunjukan lewat identitas ‘-ku’ dan ‘ukir’. Kata ukir merupakan verba yang mengacu pada pola-pola tertentu biasanya berupa hiasan pada sebuah benda seperti kayu atau batu. Kata ukir bisa berubah menjadi verba utuh seperti ‘mengukir’,’diukir’, atau ‘terukir’. Penggunaan kata kerja seperti ini umumnya diikuti oleh objek yang dikenai oleh pekerjaan itu. Frasa seperti memancing ikan atau menanam padi misalnya. Dalam puisi di atas kata ‘ukir’ merupakan verba dari subjek ‘-ku’. Sedangkan objek yang diukir adalah ‘dukaku’.
Dalam kehidupan sehari-hari kata (meng)ukir cenderung digunakan untuk memaknai aktifitas membuat hiasan seperti pohon, binatang, atau pola tertentu yang dilakukan di atas sebuah benda konkret. Namun dalam puisi di atas kata (meng)ukir digunakan pada objek yang abstrak yaitu ‘duka’. Dengan menggunakan metafora ini aku lirik dalam puisi ini tidak hanya mencoba menulis, lebih dari itu aku lirik ingin ‘duka’nya ditatahkan ke permukaan kayu atau batu yang rata. Dengan mengukir apa yang telah dibuat bertahan lebih lama dibandingkan dengan tulisan pada permukaan kayu yang segera hilang jika permukaan itu digosok. Sifat ukiran cenderung lebih kekal ketimbang goresan atau coretan.
Pada baris kedua aku lirik memberitahu bahwa duka itu diukir ‘pada dada malam’. Kita mulai dengan kata ‘malam’ yang menunjuk pada waktu terbenamnya hingga terbitnya matahari. Jika selama ini kata ‘malam’ banyak digunakan sebagai metafora untuk menutupi sesuatu seperti pada frasa selimut malam atau mantel malam dalam baris kedua ini malam diidentikan dengan tubuh manusia yang memiliki bagian tubuh tertentu seperti dada.
Kata ‘dada’ sendiri sering mengalami perluasan makna dalam penggunaannya. Frasa dadanya bidang atau berdada apel misalnya, menunjuk pada bagian tubuh luar yang terletak di atas perut. Namun kata ‘dada’ juga bisa digunakan untuk mengacu pada konsep yang lebih abstrak. Frasa dadanya sesak atau dadanya bergemuruh misalnya; kedua frasa tersebut mengacu pada sesuatu yang tak tampak seperti jantung atau sesuatu yang abstrak seperti amarah, atau mengacu pada pusat kehidupan di mana sedetik saja berhenti berdetak punahlah kehidupan.
Pada baris ketiga si aku lirik meneruskan ‘dengan jemari yang senantiasa’. Baris ini memiliki keterkaitan yang erat dengan aktifitas yang dilakukan oleh si aku lirik pada baris pertama, yaitu (meng)ukir. Si aku lirik mencoba menggunakan metafora yang bersandar pada logika umum di mana (meng)ukir dilakukan dengan tangan dan jemari. Akan berbeda sekali maknanya seandainya si aku lirik menggunakan kata ‘tangis’ sehingga baris tersebut berbunyi ‘dengan tangis yang senantiasa’. Atau dengan kata-kata lain. Dengan bersandar pada logika ini si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu yang mudah dimengerti.  Logika ini digunakan lagi pada baris keempat.yang memiliki keterkaitan yang erat dengan baris ketiga.
Pada baris keempat sini ‘jemari’ yang digunakan untuk (meng)ukir duka si aku lirik juga digunakan untuk ‘menorehkan amarah dan kebencian’. Kata ‘jemari’ pada baris ini berkaitan dengan aktifitas ‘menorehkan’ yaitu sesuatu yang biasa dilakukan dengan menggunakan pena di atas kertas atau kuas di atas kanvas, sesuatu yang disaputkan pada permukaan sebuah bidang. Jadi ‘jemari´ yang digunakan si aku lirik untuk mengukir dukanya ‘pada dada malam’ rupanya pada kesempatan lain juga digunakan untuk ‘menorehkan amarah dan kebencian’.
Meski demikian dua aktifitas yang dilakukan oleh ‘jemari’ yaitu (meng)ukir dan menorehkan memiliki sifat yang berbeda. Seperti disebutkan di atas, hasil ukiran cenderung memiliki sifat langgeng dibandingkan hasil torehan. Sebab hasil ukiran menggantikan bentuk permukaan yang rata menjadi ceruk-ceruk dengan pola tertentu. Sedangkan hasil dari torehan tidak menggantikan bentuk permukaan. Dilihat dari segi fisik, (meng)ukir cenderung menunjukkan aktifitas fisik yang lebih berat ketimbang menorehkan.
Si aku lirik dalam puisi ini seperti hendak menyampaikan bahwa jemari-nya kali ini melakukan pekerjaan yang lebih berat dari yang senantiasa dilakukannya yaitu (meng)ukir pada dada malam. Yang menjadi objek dalam aktifitas ini pun lebih muram, yaitu dukaku. Amarah dan kebencian mungkin bisa dihapus dari permukaan, tapi dukaku haruslah memusnahkan kayu atau batu yang telah terukir itu jika hendak menghapuskannya.
Pada bait kedua si aku lirik menuliskan pengalamannya yang ‘pernah menemukan titik di mana aku mulai’. Kata ‘titik’ merupakan kunci bagi si aku lirik dalam memulai aktifitas entah itu konkret serperti ‘menyapu’ atau aktifitas abstrak. Dari sekian titik pula tercipta garis. Lalu dari garis tercipta bidang dan kemudian ruang. Aktifitas yang dimaksud di sini bisa diacukan pada aktifitas yang dilakukan oleh ‘jemari’ pada bait sebelumnya. Namun kita bisa keliru bila kita mengaitkan maknanya secara langsung.
Frasa ‘titik di mana aku mulai’ memang bisa dikaitkan dengan jemari yang senantiasa/menorehkan amarah karena kedua frasa ini memiliki bentuk waktu lampau dan sudah terjadi. Hal itu ditunjukkan dengan kata senantiasa pada bait pertama dan pernah pada bait kedua. Sedang frasa kuukir lebih menunjukkan pada sebuah aktifitas yang baru saja atau sedang berlangsung dan belum usai. Tentu akan berbeda jika frasa yang digunakan adalah telah kuukir, sudah kuukir atau senantiasa kuukir yang menunjukkan pernah terjadi sekaligus pengulangannya.
Baris kelima ini pada lebih menunjukkan kegelisahan si aku lirik atas aktifitas yang sedang berlangsung atau yang sedang dikerjakannya, yaitu (meng)ukir. Kenapa si aku lirik harus merasa gelisah? Bukankah dia hendak mengukir dukanya supaya duka itu menjadi abadi dan tak mudah terhapus.
Yang menjadi kegelisahan si aku lirik terletak pada baris keenam yang merupakan baris terakhir dari puisi ini ‘tapi tak pernah aku tiba pada akhirnya’. Seandainya aktifitas yang dilakukan oleh si aku lirik adalah perjalanan, bisa dikatakan bahwa tempat keberangkatan itu telah diketahui. Namun tidak seperti titik keberangkatan yang jelas dan tegas, titik akhirnya tak pernah aku tiba. Hal ini merupakan kegelisahan eksistensial. Kegelisahan akan masa depan yang samar dan penuh keragu-raguan.
Secara keseluruhan si aku lirik dalam puisi Saat Duka dapat digambarkan sebagai berikut. Bait pertama menunjukkan bahwa si aku lirik sedang melakukan aktifitas (meng)ukir, yaitu sebuah aktifitas yang lebih berat dan besar dampaknya. Akan tetapi ternyata aktifitas itu juga menggelisahkan si aku lirik. Sebab si aku lirik sadar bahwa apabila aktifitas itu dilakukan, sangat mungkin aktifitas itu tidak akan pernah dapat diakhiri.

Lawatan

di batas angan dan kenangan
ingin kususuri hari-hari lalu
yang seindah langit musim panas dukanya
sementara esok
tertatih kukejar
menuju ke tak pastian
berkawan desah panjang

Puisi berikutnya berjudul Lawatan. Puisi ini memiliki nuansa yang sama dengan bait kedua puisi sebelumnya. Warna ke tak pastian akan masa depan menjadi pokok kegelisahan si aku lirik. Yang menarik dari puisi ini bukan hanya terletak pada penggunaan metaforanya. Kalau kita baca, puisi di atas telah menyingkapkan dirinya kepada kita. Kita harus selalu curiga pada puisi yang terlalu terbuka seperti ini; apa maksud si aku lirik menampilkan dirinya seperti itu?
Topografi puisi Lawatan di atas dapat dikatakan konvensional. Penulisan tiap baris dimulai dari kiri ke kanan dan di susul dengan baris berikutnya dengan pola yang sama. Larik juga mengikuti pola puisi pada umumnya meski tidak menggunakan pola lama empat larik tiap bait.
Namun topografi di atas ternyata menyembunyikan bentuk tertentu. Si aku lirik secara tegas telah membagi puisi di atas menjadi dua ruang yang berbeda, yaitu masa lalu dan masa yang akan mendatang. Pada baris kesatu, kedua, dan ketiga si aku lirik mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan masa lalu, atau dengan sesuatu yang sudah berlangsung dan menjadi angan dan kenangan. Sesuatu di masa lalu itu ingin disusuri sekalipun nuansa duka ada di sana. Nuansa duka itu ditunjukkan pada baris ketiga yang seindah langit musim panas dukanya. Meski demikian si aku lirik ingin menyusurinya kembali. Memang lebih mudah menghadapi rasa duka yang telah dikenal. Pada baris-baris ini ruang yang ingin disusuri oleh si aku lirik terletak di masa lalu.
Baris keempat pada puisi di atas merupakan pemisah antara ruang yang ingin atau hendak dilalui oleh si aku lirik. Yaitu ruang esok atau masa depan. Hal itu ditunjukkan pada baris kelima, keenam, dan ketujuh.
Tidak seperti pada ruang di masa lalu yang menggunakan frasa ingin kususuri, baris kelima menggunakan frasa tertatih kukejar. Penggunaan frasa ini lebih menunjukkan keterpaksaan ketimbang pilihan. Roda kehidupan yang terus berputar memaksa si aku lirik untuk bergerak menuju esok, ingin atau pun tidak ingin. Meski harus menuju ke tak pastian dan berkawan desah panjang karena tak pernah aku tiba pada akhirnya.
Kontra juga ditunjukkan dengan penggunaan kata yang saling berlawanan, yaitu kata kususuri pada baris kedua dan tertatih pada baris kelima. Kata kususuri menyaran pada pengertian tentang sebuah perjalanan yang cenderung mengasikan dengan nuansa alam yang cerah dan tidak ada beban berlebih selama perjalanan. Langkah kaki terasa ringan melayang. Sedang pada kata tertatih menyaran pada perjalanan yang cenderung lebih berat dan lambat. Nuansa alam pun cenderung gelap dan samar. Seolah ada kabut menyelimuti jalan yang terbentang.

Akhir Cerita

alangkah pedih
menjadi yang tak dikenal
berlari tanpa tahu tempat perhentian
senyum hampa suruk langkah lelah
jadi makna hidup
tatkkala bulan kuning
‘tinggalkan langit
kosong

Si aku lirik pada baris pertama puisi di atas mengungkapkan alangkah pedih suasana hati yang dirasakannya. Penggunaan kata alangkah untuk mengikuti kata sifat pedih pada baris pertama menghidupkan kesan puitik yang coba dibangun oleh si aku lirik. Lalu apa yang membuatnya merasa alangkah pedih? Jawabnya terletak pada baris kedua menjadi yang tak dikenal. Mengapa menjadi tak dikenal membuat si aku lirik merasa alangkah pedih?
Sebagai wujud dari eksistensi si aku lirik tentu harus mengandaikan keberadaan aku yang lain. Aku yang mengakui eksistensi si aku lirik yang berada di luar dirinya sendiri. Singkatnya, aku membutuhkan orang lain untuk memberi arti tentang diriku. Frasa tak dikenal menunjukkan unsur negatif eksistensi si aku lirik di hadapan yang lain. Dengan kata lain ketiadaan dirinya di hadapan ‘aku yang lain’ itulah yang membuat si aku lirik merasa alangkah pedih.
Pada baris ketiga si aku lirik ‘berlari tanpa tahu tempat perhentian’. Di sini terdapat kata kerja yang merupakan pokok dalam baris ketiga ini, yaitu berlari. Berlari merupakan aktifitas gerak yang menunjukkan adanya perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan kaki yang dipacu. Perpindahan itu terjadi dimungkinkan karena banyak hal seperti rasa takut, merasa sedirh, atau sekedar untuk berolahraga.  Kata berlari pada baris ketiga ini menunjukkan akfitifas si aku lirik untuk menghindari atau pergi dari perasaan alangkah sedih berada di tengah-tengah tempat yang tak mengenalnya. Lalu, kemana si aku lirik berlari?
Di sini menyeruak sisi ironis yang lain. Si aku lirik yang hendak pergi dari tempat yang tak mengenalnya, ternyata tempat baru yang ditujunya adalah juga sama-sama asingnya. Si aku lirik berlari tanpa tahu tempat perhentian. Pergi dari suatu dunia yang asing menuju dunia asing yang lain.
Dari dua puisi sebelumnya telah kita temukan ‘tak pernah aku tiba pada akhirnya’ dan ‘menuju ke tak pastian’. Menjadi lebih jelas ternyata masa depan bagi si aku lirik merupakan sesuatu yang tidak pasti, samar-samar, dan gelap. Tapi yang mau tak mau harus dituju juga.
Si aku lirik pada baris keempat menyampaikan ‘senyum hampa suruk langkah lelah’. Pada baris ini terdapat frasa senyum hampa. Senyum pada umumnya digunakan untuk menunjukkan ekspresi tertentu. Entah itu tersenyum karena merasa bahagia, atau pun seperti yang tampak pada frasa tersenyum sedih. Akan tetapi dalam baris ini aktifitas senyum yang dilakukan oleh si aku lirik diikuti dengan kata hampa, keadaan di mana tidak terdapat satu apa pun di dalamnya. Ada ekspresi senyum yang di baliknya tidak terdapat perasaan tertentu yang diwakili oleh senyum itu. Seperti senyum sebuah mesin.
Berikutnya diungkapkan bahwa ternyata senyum hampa itu suruk langkah lelah. Setelah berlari pada baris sebelumnya, pada baris keempat ini terdapat frasa langkah lelah. Frasa ini menunjukkan keadaan dari anggota tubuh yaitu kaki yang biasa digunakan untuk berjalan atau berlari; kaki ini berada dalam kondisi lelah. Mungkin karena capek berlari. Mungkin juga jarak yang dilalui sudah cukup panjang. Mungkin juga karena tempat perhentian yang dicari itu tidak pernah ada.
Pada baris kelima si aku lirik menemukan makna hidup dari perjalanan yang telah ditempuhnya. Tidak disebutkan apakah yang menjadi makna hidup itu. Akan tetapi yang menjadi ironis, makna hidup itu didapat tatkala bulan kuning/’tinggalkan langit/kosong. Keadaan alam tentu telah menjadi begitu pekat. Tentu dapat dibayangkan kepekatan malam di sebuah padang rumput atau tegalan yang ditinggalkan oleh cahaya bulan kuning. Cahaya yang ditangkap oleh mata untuk mengenal lingkungan kita telah pergi. Padahal si aku lirik baru saja menemukan makna hidup.
Lebih jauh, frasa tinggalkan langit pada baris ketujuh menyaran pada suasana sepi. Suasana sepi ini terungkap lagi pada baris kedelapan kosong. Jadi di langit sudah tidak ada sesuatu yang menemani rupanya. Di kota besar seperti Jakarta yang penuh dengan cahaya mungkin hanya bulan yang menjadi teman di malam hari. Cahya bintang yang berada jauh di angkasa sana tenggelam dalam limpahan lampu kota.Dan bila bulan kuning/tinggalkan langit maka di atas sana yang ada hanya kosong. Si aku lirik pun tiada lagi berkawan.

Pengkhianat

taklah menolong berbicara banyak
sedikit senyum
lengkaplah segala duka

Puisi berjudul Pengkhianat ditulis pada bulan Pebruari 1988. Pendek saja, hanya terdiri dari tiga baris. Tidak seperti puisi sebelumnya yang mengungkap adanya gerak perpindahan, puisi Pengkhianat menggambarkan sebuah situasi tertentu yang dihadapi oleh si aku lirik. Tersirat pula adanya seorang kawan bicara yang oleh si aku lirik tak hendak diajak berbicara banyak tapi hanya cukup dengan sedikit senyum. Lalu, kenapa kata Pengkhianat justru dijadikan sebagai judul dalam puisi ini? Bukankah seorang pengkhianat adalah seorang yang berbicara banyak hal tentang sekutunya kepada musuh-musuhnya? Seseorang yang membocorkan informasi berharga kepada lawannya?
Baris pertama taklah menolong berbicara banyak selain menunjukkan adanya lawan bicara si aku liris secara tersirat, baris ini juga menunjukkan adanya pokok, gagasan, atau tema atau informasi yang ingin diungkapkan oleh si aku lirik kepada lawan bicaranya itu. Mungkin sudah cukup lama si aku lirik menyimpan gagasan itu untuk pada akhirnya nanti diutarakan. Mungkin juga gagasan yang hendak disampaikan itu mengandaikan sebuah keadaan tertentu yang diharapkan oleh si aku lirik. Tapi ketika saat yang dinantikan untuk mengungkapkan gagasan itu tiba, rupanya sekian banyak gagasan yang dibicarakan itu taklah menolong. Tapi cukup dengan sedikit senyum sehingga lengkaplah segala duka.
Bisa jadi yang dimaksud dengan Pengkhianat pada puisi di atas adalah si aku lirik sendiri. Sebab aku lirik hanya memendam isi dukanya. Akan tetapi bisa juga Pengkhianat merujuk pada si kawan bicara. Mungkin aku lirik tengah berhadapan dengan seseorang telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan padanya. Berhadapan dengan kawan bicara seperti ini memang taklah menolong berbicara banyak atau hanya akan sia-sia saja. Lebih baik diam dan menerima pengkhianatan kawan bicara itu.
Pada puisi di atas lagi-lagi kita bertemu dengan kata senyum dan duka. Kalau pada puisi sebelumnya senyumnya bermakna hampa, senyum dalam puisi ini lebih dekat dengan cara si aku lirik untuk menindas emosinya. Dengan kata lain, senyum tidak hanya lambang ekspresi dari rasa gembira atau sedih, senyum juga hadir sebagai cara untuk menindas keinginan sendiri. Dan dengan sedikit senyum maka lengkaplah segala duka si aku lirik.


Gadis Kecil

gadis kecil bercermin di sampah-sampah
mengais takdir
pada malam pada siang
dengan kaki koreng
dan gaun berbau
duka

Selain menampilkan kegelisahan batin si aku lirik puisi-puisi MdL juga menampilkan kepekaan sosial sebagai hasil penghayatan terhadap lingkungan sekelilingnya. Pada kurun waktu tahun 1998 dapat ditemukan puisi berjudul Gadis Kecil yang berkisah tentang aktifitas gadis kecil yang berjuang mengarungi samudera kehidupan dan takdir.
Pada baris pertama diungkapkan gadis kecil bercermin di sampah-sampah. Pada baris ini langsung dapat diketahui tokoh atau subjek yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik melalui puisinya, yaitu gadis kecil. Si gadis kecil dalam baris ini melakukan sebuah aktifitas yaitu bercermin. Aktifitas ini merujuk pada kegiatan yang biasa dilakukan ketika kita hendak melihat diri sendiri di hadapan sebuah benda yang memantulkan diri kita, entah untuk berias, berdandan, atau untuk melihat betapa celakanya diri kita sebenarnya: ini muka penuh luka/siapa punya?! tulis Chairil. Akan tetapi cermin yang yang dihadapai oleh gadis kecil dalam sajak ini adalah sampah-sampah, sisa kotoran atau pembuangan yang tidak memiliki sifat memantulkan seperti air misalnya.
Pada baris ini pengertian bercermin menggunakan sampah-sampah sebagai medianya lebih dekat pada pengertian bercermin untuk berias atau berdandan. Lagipula subjek gadis kecil menunjukkan kecendrungan hubungan makna yang dekat dengan cermin jika dibandingkan dengan jika subjeknya lelaki. Gadis, perempuan, wanita bercermin untuk berias, tapi jarang untuk anak laki, pemuda, atau lelaki. Makna yang kemudian timbul dari baris ini adalah wajah seorang gadis kecil yang semula bersih dan cantik menjadi kotor dan bau. Mungkin sisa-sisa air dan makanan terpercik di wajahnya. Mungkin sisa-sisa minyak tersaput dipipinya, menjadikan wajahnya penuh dengan riasan sampah.
Baris kedua menunjukkan aktifitas lain si gadis kecil, yaitu mengais takdir. Jadi bukan sampah yang diais akan tetapi takdir. Bukan cermin yang digunakan berias melainkan sampah. Kata mengais merupakan aktifitas yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari sesuatu, yang dalam hal ini takdir, di tengah tumpukan sampah. Terasa aneh karena biasanya kata mengais berfrasa dengan kata lain menjadi mengais rejeki. Tetapi justru di situlah letak kebebasan dan kreatifitas penyair mencipta makna melalui diksi-diksi baru yang digunakannya.
Baris ketiga ‘pada malam pada siang’ menunjukkan aktifitas yang dilakukan pada baris kedua dilakukan secara terus menerus dan intens. Takdir pada baris kedua ternyata tidak hanya sudah digariskan atau ditentukan, akan tetapi juga harus diciptakan melalui perjuangan yang terus menerus.
Pada baris keempat si aku lirik hendak menunjukkan ciri tertentu dari tokoh yang tengah dikisahkannya sedang mengais takdir itu. Hal itu nampak pada ungkapan ‘dengan kaki koreng’. Tidak ada metafora yang digunakan dalam baris ini untuk menggambarkan sosok si gadis kecil. Koreng adalah penyakit yang menghinggapi kulit yang kotor. Si aku lirik menggambarkannya tanpa metafora tentu memiliki tujuan tertentu. Bisa saja si aku lirik menggambarkan fenomena itu secara tersembunyi. Akan tetapi fenomena itu digambarkan dengan cara yang langsung. Mungkin penggambaran secara langsung ini akan lebih mengena dibandingkan dengan menggunakan metafora.
Baris kelima juga menampilkan ciri fisik dari gadis kecil. Dalam baris ini si aku lirik menulis ‘dan gaun berbau’. Setelah sampai pada wajah yang terias sampah dan kaki koreng si aku lirik menggambarkan pakaian yang dikenakan oleh si gadis kecil. Pemilihan kata ‘gaun’ menunjukkan keinginan si aku lirik untuk menunjukkan kesan anggun atas pakaian yang dikenakan. Namun yang mengejutkan kata gaun diikuti oleh kata kerja berbau. Kata kerja berbau ini memiliki kesan negatif. Maksudnya, bau yang ada dalam baris ini lebih dekat dengan sesuatu yang busuk ketimbang yang harum.
Baris keenam yang hanya terdiri dari kata ‘duka’ memiliki enjabemen yang kuat dengan baris kelima. Kata duka ini merupakan objek dari gaun yang terdapat pada baris sebelumnya. Yang mengejutkan adalah gaun yang biasanya ditampilkan dengan segala macam keindahannya, dalam puisi ini gaun ditampilkan dengan berbau/duka. Duka sebagai kata benda abstrak umumnya tidak dapat mengikuti kata kerja berbau yang merujuk pada sifat. Berbau umumnya merujuk pada harum atau busuk. Akan tetapi justru kata benda yang dilekatkan membuat kita bisa membau aroma duka yang menyeruak dari balik gaun si gadis kecil.

Sendiri Di Sudut Petang

ketika sepi datang
kutanya hati
siapa membunuh angin
dan memenjarakan derunya

Puisi yang ditulis pada bulan Mei 1995 di atas menggambarkan suasana hati si aku lirik yang Sendiri Di Sudut Petang. Petang yang sepi oleh si aku lirik tidak digambarkan secara langsung dengan menunjuk pada alam sekeliling yang menyaran sepi. Chairil misalnya menulis lurus kaku pohonan/tak bergerak/sampai ke puncak.
Akan tetapi sepi dalam puisi di atas diungkapkan oleh si aku lirik melalui monolognya dengan hati. Hal itu tampak pada baris pertama dan kedua, di mana baris pertama menyatakan situasi dimulainya sepi dan baris kedua menyatakan monolog si aku lirik dengan hatinya. Adanya monolog si aku lirik dengan hati nya ini juga menyaran pada nuansa sepi yang dibangun dalam puisi tersebut. Yaitu si aku lirik tengah berada sendiri. Seandainya ada kawan bicara, mungkin si aku lirik mencoba bercakap dengan kawan bicaranya itu.
Dalam monolognya itu si aku lirik mengajukan pertanyaan kepada hatinya. Pertanyaan pertama terletak pada baris ketiga ‘siapa membunuh angin’. Pertanyaan ini menyiratkan alam yang sedang sepi membeku. Tak ada gerak yang ditimbulkan oleh angin seperti pada suasana cemara menderai sampai jauh. Siapa membunuh angin bukanlah pertanyaan yang mesti terjawab. Tapi angin telah mati dan tak mampu lagi menghadirkan gerak, itulah yang tengah di hadapi si aku lirik.
Pada baris selanjutnya si aku lirik masih tetap bertanya kepada hati nya. Hal itu nampak pada baris keempat dan memenjarakan derunya. Yang menarik dari baris ketiga dan keempat adalah, meski kedua baris itu merupakan pertanyaan namun tidak dilekatkan tanda baca pada pertanyaannya. Kealpaankah itu atau kesengajaan untuk membangun kesan tertentu dalam puisi Sendiri Di Sudut Petang?
Tentu hal ini merupakan kesengajaan. Sebab pada puisi lain dapat kita temui penggunaan tanda tanya seperti pada puisi yang berjudul Usia pada baris kelima ‘kapankah masa kanakku kembali?’ Atau juga pada puisi yang berjudul Oktober 1995 pada baris kedelapan ‘masihkah guna bertahan?’ Dengan kata lain penggunaan tanda baca seperti tanda tanya merupakan satu bentuk cara penyampaian yang digunakan dalam kumpulan puisi ini. Ketika terdapat sebuah pertanyaan tanpa diikuti tanda baca, maka maknanya harus kita pahami dengan berbeda.
Tidak digunakannya tanda tanya pada baris ketiga atau keempat pada puisi Sendiri Di Sudut Petang menguatkan monolog yang telah dibangun oleh si aku lirik. Kalau pada Chairil kita temukan kawanku tinggal rangka, bertanya juga jam berapa?! Tapi pada puisi di atas si aku lirik tidak memiliki kawan bicara yang dapat diandaikannya. Berbicara hanya mungkin dilakukan dengan diri sendiri. Dan jawaban dari pertanyaannya pun sudah pula diketahui: tak terjawab. Kata tanya siapa pada baris ketiga puisi di atas lebih dekat pada sebuah pernyataan ketimbang pertanyaan. Pernyataan suasana petang yang dihadapi si aku lirik.
Meski demikian baris keempat memiliki hubungan yang agak longgar dengan baris ketiga. Disebutkan bahwa angin yang telah mati rupanya memiliki deru. Bagi si aku lirik angin dan derunya rupanya merupakan dua elemen yang terpisah, di mana yang satu terbunuh dan yang lain terpenjara. Lalu, seperti apakah angin dan deru harus kita gambarkan supaya dapat kita tangkap maksud si aku lirik? Mungkin bisa kita gambarkan sebagai panglima dan pasukannya. Ketika panglima perang mati kalah di medan perang, pasukan pun menyerah sehingga terpenjara deru langkahnya. tapi mungkin juga kedua elemen itu terpisah dan tidak berhubungan satu sama lain sehingga harus dipahami secara berbeda pula.

Elegi

malam sepi
bulan bermain sendiri
gonggong anjing pelahan
mengoyak bayang
wajah dalam rindu


Suasana alam yang sepi merupakan salah satu tema dalam Antologi Puisi Jakarta, Senja Hari seperti pada puisi di atas yang berjudul Elegi. Elegi merupakan bentuk gubahan liris sebagai nyanyian yang bersifat kedukaan tetapi penuh dengan ketabahan. Puisi di atas dimulai dengan baris yang menggambarkan situasi yang dihadapi si aku lirik ‘malam sepi’. Dalam khasanah puisi Indonesia kata ‘malam’ cenderung menyaran pada nuansa sepi, sunyi, atau kelam. Sebagai suatu waktu di mana cahaya matahari giliran menerangi belahan bumi lain, malam memang menghadirkan kesan yang murung dengan kegelapannya. Tempat atau ruang yang tak dapat dijangkau oleh cahaya lampu menyembunyikan benda-benda dari pandangan mata, membuat kita bertanya-tanya: ada apa di balik kegelapan itu?
Meski demikian malam juga menghadirkan aktifitas tertentu. Selepas dari rutinitas sehari-hari, malam hari bisa digunakan sebagai tempat untuk melepaskan lelah atau untuk bersantai menghilangkan kejemuan. Itu biasanya terjadi sebelum pukul sembilan atau sepuluh malam. Pada titik ini malam menjanjikan keramaian tertentu. Setelah itu, aktifitas cenderung diarahkan untuk beristirahat. Pada titik inilah malam bergerak menuju sepi. Aktifitas pada jam-jam sebelumnya berkurang. Manusia menuju peraduannya. Frasa malam sepi pada baris pertama puisi di atas menyaran pada waktu serupa ini.
Pada baris kedua disebutkan bulan bermain sendiri di luar sana. Bulan yang menjadi subjek pada baris ini mungkin merupakan pantulan atau pengejawantahan si aku lirik. Di malam sepi di mana aktifitas manusia jauh berkurang itu bulan masih saja melakukan aktifitas, yaitu bermain. Akan tetapi bulan melakukan aktifitasnya itu sendiri saja. Bulan tidak ditemani bintang yang juga merupakan atribut dari malam atau awan. Kehidupan di tengah kota dengan limpahan cahaya dari lampu, memang mampu menyembunyikan keberadaan bintang sehingga hanya bulan saja yang tampak di malam hari. Atau bisa juga, keberadaan bintang tak lagi berarti pada malam sepi kali ini. Sebab bulan sebagai pantulan dari si aku lirik memang sedang tidak berteman pada malam sepi ini.
Selain bulan yang bermain sendiri di luar sana ternyata masih ada aktifitas lain seperti yang diungkapkan pada baris ketiga gonggong anjing pelahan. Frasa gonggong anjing sering menyaran pada tanda betapa telah demikian sepi suasana malam. Chairil menulis orang ngomong anjing nggonggong. Dalam puisi di atas suara gonggong anjing yang didengar oleh si aku lirik hanya pelahan. Mungkin gonggong anjing itu berada di kejauhan sehingga yang sampai di telinga si aku lirik adalah suaranya yang lemah. Tetapi mungkin juga gonggong anjing itu  memang benar-benar pelahan. Atau bisa saja aku lirik mendengarnya pelahan karena bulan sedang asyik bermain sendiri.
Pada baris kedua dan ketiga terungkap adanya aktifitas yang tetap berlangsung meski malam sepi yaitu bulan bermain dan gonggong anjing. Kedua aktifitas itu mengacu pada dunia sekeliling si aku lirik. Pada baris keempat aktifitas itu bergeser ke dunia batin aku lirik.
Pada baris keempat terdapat frasa mengoyak bayang. Siapakah subjek yang melakukan aktifitas mengoyak bayang itu? Bentuk elips dengan menghilangkan unsur subjek pada baris ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara baris keempat dengan baris-baris sebelumnya. Mungkin subjek yang mengoyak            itu bisa terletak pada baris kedua atau baris ketiga. Mungkin juga baris kedua dan ketiga merupakan subjek yang mengoyak bayang.
Bisa dikatakan bahwa suasana malam sepi di mana bulan bermain sendiri dan gonggong anjing pelahan menyebabkan terjadinya pergolakan batin dalam diri si aku lirik yang dinyatakan pada baris keempat, yaitu mengoyak bayang. Unsur dari dunia luar yang menyaran pada sepi (sendiri dan pelahan) menyebabkan dunia batin terasa gelisah. Kegelisahan itu pada akhirnya membuat si aku lirik mengoyak bayang yang dilanjutkan dengan baris kelima wajah dalam rindu.
Rupanya bayang yang dikoyak pada baris sebelumnya adalah bayang seraut wajah dalam rindu. Tidak begitu jelas wajah siapa yang diungkap oleh aku lirik dalam puisi ini. Mungkin itu wajah kekasihnya, mungkin juga wajah anak-anaknya, atau mungkin juga wajah Sang Pencipta. Yang pasti sosok itu adalah wajah dalam rindu. Bisa juga kita menengok Amir Hamzah yang menulis rindu rupa/rindu rasa, yang mana dalam sajak Amir Hamzah yang dirindu adalah Sang Pencipta.
Secara keseluruhan puisi di atas menggambarkan suasana batin si aku lirik yang tengah rindu pada sesosok wajah di malam sepi. Akan tetapi kerinduan itu justru dikoyak oleh sesuatu dari dunia luar. Yaitu bulan bermain sendiri dan gonggong anjing pelahan.

Tentang Pertemuan (I)

di jernih matamu cahya lilin tinggalkan sepotong pesan
tanpa kutahu makna
ia berbincang akrab dengan hatiku

Selain duka, sepi, dan realitas sosial, pertemuan antar insan yang berbalut kebisuan juga menjadi tema dalam antologi puisi MdL seperti terlihat pada puisi yang berjudul Tentang Pertemuan (I). Pada puisi di atas si aku lirik tengah berhadapan dengan seorang kawan bicara yang diwakili dengan adanya kata ganti –mu. Pada baris pertama si aku lirik mengungkapkan di jernih matamu cahya lilin tinggalkan sepotong pesan. Baris pertama ini dapat dipisah menjadi empat unsur yaitu di jernih matamu, cahya lilin, tinggalkan, dan sepotong pesan.
Unsur pertama yaitu di jernih matamu menunjukkan aktifitas yang sedang dilakukan oleh si aku lirik yaitu menatap jernih mata kawan pertemuannya. Lalu diikuti unsur kedua. Melalui jernih mata itu si aku lirik melihat cahya lilin. Frasa cahya lilin bisa merujuk pada sebuah benda konkret yang berada di tengah-tengah si aku lirik dan –mu­ kawan bicaranya yang terpantul melalu mata itu. Akan tetapi cahya lilin bisa juga merupakan simbol tertentu yang merujuk pada makna tertentu. Mungkin mengacu pada kenangan masa lalu yang remang atau tentang kelembutan. Juga tidak menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan cahya lilin pada baris pertama ini adalah isi hati kawan bicara si aku lirik. Ungkapan mata adalah jendela hati berlaku di sini. Suasana hati atau perasaan kawan bicara si aku lirik terpantul melalui jernih mata-nya.
Unsur yang ketiga pada baris pertama berbentuk kata kerja ‘tinggalkan’. Kata kerja ini menyaran pada pengertian waktu yang telah berlalu, yaitu keberadaan sesuatu setelah ditinggal. Sesuatu yang ditinggalkan itu mengacu pada unsur keempat yaitu pada frasa ‘sepotong pesan’. Frasa sepotong pesan menyiratkan sebuah tulisan yang ditinggalkan oleh –mu yang harus dibaca oleh si aku lirik. Bisa dikatakan bahwa si aku lirik dan kawan bicaranya berdialog dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Kata-kata tak lagi penting dalam pertemuan itu. Sebab kehadiran telah berbicara lebih banyak ketimbang kata.
Pada baris kedua diungkapkan tanpa kutahu makna. Pada baris ini si aku lirik mengungkapkan ketidaktahuannya akan makna dari sepotong pesan yang ada pada baris pertama. Meski tanpa kutahu makna si aku lirik pada baris ketiga mengungkapkan betapa akrabnya dialog yang terjadi pada pesan yang tidak diketahui makna nya itu.
Pada baris ketiga si aku lirik mengungkapkan ia berbincang akrab dengan hatiku. Pada baris ini terdapat kata ganti ia yang merujuk pada kawan bicara si aku lirik. Akan tetapi kawan bicara ia yang disebut pada baris ketiga ini apakah sama dengan –mu yang disebut pada baris pertama? Rupa-rupanya –mu pada baris pertama dan ia pada baris ketiga adalah kawan berbicara yang berlainan. Pada baris ketiga nampak bahwa –mu pada baris pertama ditinggalkan oleh si aku lirik. Hal itu sudah mulai terasa sejak pada baris kedua. Lalu munculah kawan bicara yang baru, yaitu ia.
Pada dasarnya ia ini merupakan sisi lain dari ­–mu, yaitu sepotong pesan yang ditinggalkan cahya lilin. Percakapan atau pertemuan sejati pada puisi di atas berlangsung antara si aku lirik dengan ia si sepotong pesan itu. Bukan dengan –mu yang jernih mata nya. Karena –mu hanya menjadi perantara dalam pertemuan itu.  Sebab ia berbicara akrab dengan hatiku meski tanpa kutahu makna.


Di Penghujung Musim Hujan

lewat awan hitam yang menggantung di balik jendela
kulihat petir menerkam rumput yang basah

Puisi berjudul Di Penghujung Musim Hujan di atas menggambarkan suasana alam yang tengah dihadapi oleh si aku lirik. Baris pertama menunjukkan pemandangan dunia luar yang tengah dihadapi si aku lirik lewat awan hitam yang menggantung di balik jendela. Baris ini dapat dibagi ke dalam tiga unsur, yaitu lewat awan hitam, yang menggantung, dan dibalik jendela. Unsur pertama lewat awan hitam merupakan pintu masuk bagi si aku lirik dalam menghayati suasana alam. Hal itu nampak pada penggunaan kata lewat yang kemudian diikuti dengan fenomena alam awan hitam. Unsur kedua merupakan predikat dari unsur pertama yang menggantung. Sedangkan unsur ketiga merupakan keterangan tempat yaitu di balik jendela. Secara terpadu baris pertama menyiratkan sebuah lukisan alam yang dihayati si aku lirik dari dalam ruang yang berjendela; mungkin dari dalam rumah.
Pada baris kedua menunjukkan adanya fenomena alam yang lain yaitu kulihat petir menerkam rumput yang basah. Baris ini dapat dibagi ke dalam empat unsur, yaitu kulihat, petir, menerkam, dan rumput yang basah. Unsur pertama yaitu kulihat, merupakan pernyataan si aku lirik bahwa di luar sana dia melihat sesuatu. Apa yang dilihatnya adalah fenomena yang merupakan bagian dari fenomena alam yang terdapat pada baris pertama, yaitu petir yang merupakan unsur kedua sekaligus subjek dari fenomena yang dihayati si aku lirik. Unsur ketiga merupakan predikat atau kata kerja dari subjek yaitu menerkam. Dalam hal ini petir digambarkan memiliki sifat yang sama dengan binatang sehingga petir bisa melakukan aktifitas menerkam. Penggunaan kata menerkam lebih jauh menunjukkan adanya hubungan antara mangsa dengan yang dimangsa, biasanya hewan. Unsur keempat merupakan objek yang dikenai tindakan subjek, yaitu rumput yang basah. Kata rumput yang digunakan bisa menjadi simbol dari rakyat atau wong cilik.
Secara terpadu baris kedua menyiratkan pemandangan yang dilihat oleh si aku lirik di mana sebuah petir yang menyambar mengenai rumput yang basah. Lebih jauh bisa juga ditanyakan, kenapa yang diterkam dalam puisi ini adalah rumput dan bukan pohon-pohon yang lebih tinggi misalnya? Mungkin si aku lirik ingin menunjukkan betapa kejamnya alam. Kalau pada badai angin hanya akar rumput yang mampu bertahan sedang pohon-pohon tumbang, maka dalam badai pada puisi di atas rumput yang basah pun tak luput dari keganasan alam.
Meski puisi di atas menggambarkan suasana alam yang tengah di hadapai si aku lirik, namun mungkin juga terdapat makna lain yang hendak di sampaikan oleh MdL. Frasa awan hitam dengan petir menerkam menyaran pada pengertian adanya badai atau prahara. Jika frasa tersebut diterapkan pada sebuah negeri, Indonesia misalnya, maka maknanya akan lain sama sekali. Maknanya menyaran pada adanya kegoncangan atau prahara yang melanda sebuah negeri. Mungkin kegoncangan ekonomi, mungkin juga kegoncangan sosial. Yang pasti negeri itu sedang berada dalam kondisi yang kurang stabil.
Begitu juga dengan frasa rumput yang basah, bisa menyaran pada rakyat suatu negeri. Dengan kata lain, rakyat menjadi korban kegoncangan yang terjadi di negerinya. Sedangkan kata menerkam yang digunakan dapat menunjukkan betapa prahara yang melanda itu benar-benar menjadikan rakyat sebagai korban mangsa prahara.

Kesimpulan
Secara keseluruhan, puisi yang ditulis pada kurun waktu tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 mengangkat beberapa tema. Tema pertama adalah kegelisahan batin si aku lirik akan masa depan. Dari sembilan puisi yang telah dibahas di atas dapat ditemui sebanyak tiga puisi mengungkapkan kegelisahan ini, antara lain Saat Duka, Lawatan, dan Akhir Cerita. Ketiga puisi tersebut mengandaikan dua ruang yang berbeda, yaitu ruang masa lalu dan ruang masa depan. Bagi si aku lirik ruang masa lalu merupakan tempat yang kokoh, pasti, dan tak berubah. Kadang juga terasa seindah langit musim panas dukanya. Akan tetapi tempat itulah yang menjadi titik di mana aku mulai. Di masa lalu itulah si aku lirik tahu perbuatan atau aktifitas yang dikerjakannya.
Berbeda dari masa lalu, masa depan bagi si aku lirik adalah gerak menuju ke tak pastian. Mungkin si aku lirik bertanya: aku sudah berbuat, apa selanjutnya? Berbeda dari 3x3=9, ‘apa selanjutnya?’ menyiratkan banyak kemungkinan. Dalam pandangan eksistensialisme, masa depan adalah masa yang harus diwujudkan oleh si aku. Kegelisahan akan masa depan adalah kegelisahan jika aku tidak dapat menemukan diriku sendiri di sana.
Tema kedua adalah kondisi sosial yang memprihatinkan. Hal ini tampak dengan jelas pada puisi berjudul Gadis Kecil yang menggambarkan kesibukan gadis kecil sedang mengais takdir. Meski puisi ini cukup pendek, namun berhasil membangun gagasan tentang gadis kecil dengan atribut yang melekat pada kulit dan yang menyeruak darinya, berbau duka. Hubungan antar baris pun cukup rapat meski tidak terdapat enjabemen kecuali pada baris keempat dan kelima.
Tema berikutnya adalah kebisuan atau kesepian. Tema ini muncul pada puisi yang berjudul Pengkhianat, Sendiri Di Sudut Petang, Elegi, Tentang Pertemuan (I). Bisa ditambahkan juga puisi yang berjudul Akhir Cerita. Puisi-puisi tersebut menyiratkan keberadaan ‘diri lain’ selain si aku lirik. Frasa menjadi yang tak dikenal menyiratkan adanya ‘diri lain’, frasa taklah menolong berbicara banyak menyiratkan adanya kawan bicara, frasa kutanya hati tanpa ada tanda baca’?’ menunjukkan monolog si aku lirik dengan dirinya sendiri, juga pada frasa bulan bermain sendiri. Pada puisi yang berjudul Tentang Pertemuan (I) kawan bicara si aku lirik malah ditinggalkan dan beralih berbincang dengan sepotong pesan. Dengan kata lain, meski berada di antara atau dengan ‘diri lain’ si aku lirik merasa bahwa manusia selalu merasakan kesepiannya masing-masing.
Surabaya, 30 January 2016

2 komentar:

  1. Dear Chandra,
    Matur nuwun sanget atas uraiannya. Maaf saya baru lihat tulisan ini. Terima-kasih atas ijinnya bagi saya menimba ilmu dr tulisanmu. Thank you so much!

    BalasHapus
  2. Dear Bu Medy,
    Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan di atas.
    Saya harap tidak bosan berkunjung ke laman ini.

    BalasHapus