Sabtu, 30 Januari 2016

TERLAMBAT


Gedung-gedung pencakar langit gemetar
Diterpa angin tenggara
Pepohonan kibaskan
Ranting tua dari pundaknya
Dan debu
Terserak
Dagunya terangguk
Kepada lalu lalang yang merapat
Terurai merapat lagi
Terurai lagi
Atap-atap bangunan menggigil
Ditimpa warna swasa yang menaik

Di langit berwarna cemerlang
Dengan gumpalan awan lembut
Maut sedekat otot-otot kaki
Yang melompat ke dasar
Remuk gairah
Urat nadi
Pecah
Layu antara kerikil
Dan debu

Tak lah bertanya bumi dijejak
Tubuh anak manusia
Satu dari sekian banyak
Yang mesti dipendam

Tak lah bertanya langit mengapa
Hidup anak manusia
Seringan daun
Yang menjadi abu

Di bawah sana keriuhan menjelma
Teriakan-teriakannya
Serupa bahasa manusia
Seorang lelaki mengacungkan telunjuk
Beberapa pegang dada
Memincingkan mata
Sembunyikan tawa
Lalu lalang melambat
Lalu terurai
Beberapa tersangkut
Lalu larut
Beberapa orang
Jepretkan kamera
Kalau hendak mati jangan di sini
Teriak mereka

Hmm, aku heran
Apa yang disibukan di sana
Kenapa tidak berlalu saja
Seperti ketika melalui peminta-minta
Atau mencibiri pengangguran
Atau meninggalkan penghutang
Yang tak juga membayar bunga
Setelah puas memaki-makinya

Ah, biarkanlah aku, untuk ini kali
Sebentar saja, sekehendak diri
Hidup, toh, serapuh jemari
Yang mencengkram rangka baja!

KALI PENGHABISAN


miringkan sedikit tubuhmu
supaya tak lekas engkau lelah
tidurmu kali ini panjang
sebentar ‘kan kuselimuti seluruhnya
supaya dingin tak mengganggu
tapi sebelumnya biar
papan-papan ini menaungi
agar longgar engkau di sana

udara menembang
antara mereka yang membawa kembang
mengawang pupuh megatruh
menyelang tangis pengantar
bersama, tubuh dan bumi sirna

seperti baru kemarin
engkau naikkan selimut
atas dagu kami
seperti baru kemarin
seragam sekolah kami
engkau salin baru
tawamu tumpah
antara tiga cucumu
lalu jantungmu teremas
lunas sudah hidup engkau tempuh

percayakan saja anak-anakmu pada bumi
seperti tubuhmu sendiri
mungkin tak lama
sekelebat saja
kami pun tiba pula
entah di tanah mana
nisan berpaut
dan selamat tinggal
bumi tak ‘lah lupa
darah siapa disimpannya

HAMPIR


Kuseru saja sesuatu di luar sana
Dari balik gemuruh dada
Menderu bahasa
Tanpa sukma

Istriku bertanya: “ada apa?”
Padahal tahu kerak jiwa
Mengukir gunung-gunung resah

Anakku, mendekat, berkata:
“tak boleh teriak kalau makan!”
Aku kira mengerti juga dia

Kami pun lanjutkan makan
Sementara istriku suapi anaknya
Kuselimutkan air laut
Hingga ke dagu
Supaya kawah-kawah gelisah
Tertutup dari dunia

SEORANG PEREMPUAN


Perempuan itu duduk benahi rambut
Geliat sesal naik daki kerongkongan
Ditindas goresan gincu
Berwarna merah tebal

Ada lagi kah yang datang pikirnya
Disapukannya bedak pada kulit pipi
Jam tangan rantai berwarna emas
Pakaian merah jambu tanpa lengan
Rok pendek yang terbuka
Dan mantra-mantra penjerat
Menguap sia-sia

Tinggal tersisa lelaki celaka untuk aku
Kemari hendak menawar sunyi
Kelakarnya pada sepi

Di langit punggung mendung gemetar
Hendak ditumpahkan
Beban yang ditanggungnya
Udara mengental
Merayapi puncak nisan
Berat beraroma tanah basah
Padati gelap pekuburan kota

Sebuah motor memintas
Berpacu dengan gerimis

Pukul sepuluh malam lewat
Perempuan itu mengembalikan riasannya
Mengutuk mendung di langit
Mengutuk nasib
Sunyi
Suaranya lenyap
Dijerat bisu pekuburan

PERJALANAN PULANG


Hentilah sebentar sesudah tikungan
Pepohonan rindang
Teduh di sana
Ada juga
Batu besar bersandar
Meski diam cukup ramah
Kepada kita dia sedia punggung kekar
Duduklah kemari, sapanya
Tak kah kau dengar itu
Wahai, hati kecilku

Udara kota panas–mengeroyok
Manusia berkaki pantat seenaknya jalan
Kadang menyeruduk ke tepi
Menyakiti lengan kita
Dengan batang setir dan makiannya
Sungguh, engkau harus maafkan mereka
Wahai, tubuh lelahku

Dan jepit sendal kita nyaris lepas
Pegal dialasi kaki berdebu
Yang tak mau berhenti
Meski tenggorokan kental
Kita terus sampai batu itu, tekadnya
Berhenti tak lah lenyapkan dahaga
Jadi tunggulah
Wahai, rasa hausku

Gedung-gedung tua berpangku tangan
Cahya matanya kelabu
Menatap jalanan
Kian asing dan padat
Jangan kita mendekat istirahat
Terlebih jika rambutmu yang tergerai
Jatuh sentuh kusut kain
Mata itu berubah was-was curiga
Tenangkan dirimu
Wahai, amarahku
Bajingan sesungguhnya di dalam sedan
Yang melesat di jalanan kota
Serupa peluru

Sedikit, sedikit, sedikit lagi kita sampai
Pepohonan di sana sudah membukakan dadanya
Untuk punggung kita bersandar
Dan jangan pikir tentang kebaikan hati
Segelas air memang tidak tersimpan
Dalam kotak baja
Si miskin sekali pun tak lah keberatan
Jika padanya diminta segelas air
Tapi bukan itu pokoknya
Wahai, perut yang mengering

Pertama kau meminta
Esok kau berharap
Lalu kepalamu penuh dahaga
Sepanjang perjalanan pulang
Sungguh, bukan itu, satu-satunya,
Kesulitan kita

Tahan, wahai, jiwaku, tahan
Di rumah nanti tak lah kesulitan ini ada
Dan setelah sampai di pepohonan teduh itu
Perjalanan tinggal separuh
Atau sepertiga supaya tak putus asa
Boleh juga seperempat
Bujuk kaki kita
Dan jika nanti dinding kamar
Sembunyikan kita
Wahai, kawanku
Ajaklah sesuatu bersamamu
Sebagai penengah atau yang ketiga
Supaya tidak engkau empat mata saja
Bercakap dengan sunyi