Gedung-gedung pencakar langit gemetar
Diterpa angin tenggara
Pepohonan kibaskan
Ranting tua dari pundaknya
Dan debu
Terserak
Dagunya terangguk
Kepada lalu lalang yang merapat
Terurai merapat lagi
Terurai lagi
Atap-atap bangunan menggigil
Ditimpa warna swasa yang menaik
Di langit berwarna cemerlang
Dengan gumpalan awan lembut
Maut sedekat otot-otot kaki
Yang melompat ke dasar
Remuk gairah
Urat nadi
Pecah
Layu antara kerikil
Dan debu
Tak lah bertanya bumi dijejak
Tubuh anak manusia
Satu dari sekian banyak
Yang mesti dipendam
Tak lah bertanya langit mengapa
Hidup anak manusia
Seringan daun
Yang menjadi abu
Di bawah sana keriuhan menjelma
Teriakan-teriakannya
Serupa bahasa manusia
Seorang lelaki mengacungkan telunjuk
Beberapa pegang dada
Memincingkan mata
Sembunyikan tawa
Lalu lalang melambat
Lalu terurai
Beberapa tersangkut
Lalu larut
Beberapa orang
Jepretkan kamera
Kalau hendak mati jangan di sini
Teriak mereka
Hmm, aku heran
Apa yang disibukan di sana
Kenapa tidak berlalu saja
Seperti ketika melalui peminta-minta
Atau mencibiri pengangguran
Atau meninggalkan penghutang
Yang tak juga membayar bunga
Setelah puas memaki-makinya
Ah, biarkanlah aku, untuk ini kali
Sebentar saja, sekehendak diri
Hidup, toh, serapuh jemari
Yang mencengkram rangka baja!