Sabtu, 13 Maret 2021
VISI KEMERDEKAAN YANG TERPENDAM
VISI KEMERDEKAAN YANG TERPENDAM
SEBUAH PEMBACAAN ATAS NOVEL “SANG JENDERAL” KARYA H.J. FRIEDERICY
Oleh: Chandra Krisnawan
Meski pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini merupakan pendekatan Analisis Wacana Kritis, namun dalam praktiknya tulisan ini tidak menggunakan metodologi penelitian yang ketat sebagaimana yang berlaku dalam tulisan ilmiah. Tulisan ini lebih merupakan pemaparan pengalaman penulis setelah membaca novel berjudul Sang Jenderal karangan H.J. Friedericy.
Novel luar biasa yang menceritakan kisah bangsawan Bugis pada rentang pergantian abad lalu ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Belanda pada tahun 1958 dengan judul De Laatste General. Dalam laman Wikipedia novel Sang Jenderal merupakan merupakan novel pertama H.J. Friedericy dan diterbitkan dengan pseudonim H.J. Merlin. Dalam kata pengantar untuk novel ini, Taufik Abdullah menulis:
Setelah melalui beberapa proses – dimulai dari beberapa sketsa yang dibuat dalam kamp tawanan Jepang – versi pertama novel ini, dengan judul Bontorio, terbit pada tahun 1947. Versi kedua barulah terbit pada tahun 1958. Inilah versi yang terakhir. Jika pada versi pertama Friederecy melanjutkan ceritanya dengan peristiwa yang dialami oleh putra “Sang Jenderal” (sebagaimana novel ini disebut dalam bahasa Indonesia), maka pada versi kedua (yang terjemahannya kini berada di hadapan Anda) novel ini ditamatkan dengan berakhirnya perlawanan Bone. Dengan memenggal novel ini, Friedericy sekaligus meninggalkan idealisme politik seorang bekas pejabat kolonial yang mencita-citakan terwujudnya pax neerlandica yang harmonis dan maju.
(Taufik Abdullah, Kata Pengantar hal viii)
Dari kata pengantar tersebut dapat diketahui bahwa novel yang dialihbahasakan oleh Keumalahayati dan diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1991 ini mengalami perubahan dari pertama kali diterbitkan. Perubahan tersebut, pada hemat Taufik Abdullah, mengimplikasikan tanggalnya politik kolonial yang coba hendak direpresentasikan dalam novel tersebut ketika pertama kali ditulis.
Meski demikian, pada hemat penulis, politik kolonial yang hendak ditanggalkan tersebut membayangi tiap halaman novel. Pada pembacaan pertama kita (dalam hal ini penulis, red) dibawa masuk ke dalam petualangan seorang tokoh Aru yang hidup pada akhir abad 19 sampai awal abad 20. Pembaca akan dibawa asyik masuk menjelajahi wilayah-wilayah tanah Bugis mulai dari Bontorihu di sebelah selatan hingga sampai ke Pampanua yang berbatasan dengan kerajaan Wajo, seteru kerajaan Bone pada masa itu. Penggambaran tempat serta peristiwa-peristiwa yang mengikutinya mengajak kita untuk turut serta dalam petualangan.
Novel Sang Jenderal ini tersusun atas dua bagian. Bagian pertama bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1870-1890. Pada bagian pertama ini berkisah tentang awal mula tokoh utama dalam novel ini, Mappa, lahir dan dibesarkan di tengah-tengah kondisi sosial-politik kerajaan Bone pada kurun 1870-1890. Bagian pertama ini ditutup dengan pengangkatan Mappa sebagai Aru Bontorihu menggantikan kedudukan ibunya yang telah meninggal. Sebagai tambahan, tokoh Mappa dalam novel ini sering diidentikan dengan tokoh Arung Labuaja, tokoh yang pernah hidup dalam sejarah Bugis.
Bagian kedua bercerita tentang perjalanan Aru Bontorihu yang akhirnya dipilih oleh Sang Raja untuk menjadi Panglima perang kerajaan Bone. Bagian kedua ini berlangsung pada kurun waktu 1890-1906. Pada bagian kedua ini berkisah tentang petualangan-petualangan Sang Aru, kemenangan-kemenangan dalam peperangan, keberpihakan dalam perpecahan politik yang terjadi di kerajaan, hingga peran sang aru sebagai jenderal dalam peperangan melawan belanda yang berakhir dengan jatuhnya kerajaan Bone, atau yang terkenal dengan istilah Rumpa’na Bone.
Di tengah petualangan demi petualangan yang tersaji dalam novel ini terdapat stereotip yang digambarkan berulang-ulang. Stereotip tersebut adalah kebiasan atau kelakuan bangsawan Bugis pada masa itu. Penggambaran yang berulang-ulang tersebut tentu memiliki tujuan tertentu. Sehingga setelah membaca novel tersebut kemudian ditanyakan, ‘seperti apakah tingkah bangsawan bugis pada masa itu?’ dengan mudahnya kita akan menjawab, ‘tidak bermoral’. Lalu bisa ditanyakan lagi lebih jauh, ‘layakkah kaum bangsawan yang sudah merosot moralnya itu memimpin rakyat di negeri Bone?’
Kaum Bangsawan tanpa Visi
Awal sekali dalam novel ini sudah menggambarkan bagaimana seorang Aru yang bertugas seharusnya memimpin rakyat di wilayahnya namun malah bersikap apatis:
Pelan-pelan Sang Aru menengok ke arah suaminya dan dengan suara tajam melontarkan kata-kata yang pada hari itu belum dikenal di Bontorihu namun selama seratus tahun kemudian tidak akan terlupakan, “Beginilah nasibku, terpaksa memerintah segerombolan monyet.”
(Sang Jenderal, halaman 4)
Kalimat yang diucapkan oleh Sang Aru tersebut merupakan cermin bagaimana kaum bangsawan yang seharusnya memerintah rakyatnya dengan bijak, namun justru menganggap rakyatnya sebagai segerombolan monyet. Hal ini menunjukkan betapa lebar jurang yang ada antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai. Perlu ditelusuri apakah Sang Aru mengungkapkan hal tersebut dilandasi ketidakpuasannya karena harus memimpin rakyat di wilayah yang jauh berada di pedalaman, yakni sebuah negeri kecil di pegunungan. Namun pada halaman-halaman berikut tidak ditemukan bahwa I Base menginginkan jabatan Aru di tempat lain, di Lamuru misalnya.
Meski pada bagian lain dikatakan bahwa I Base tidak suka pada daerah pegunungan dan membenci udaranya yang dingin, dan lebih menyukai wilayah Lamuru yang rakyatnya bersikap lebih takzim, keadaannya lebih makmur, dan bahasanya tidak sekasar bahasa penduduk Bontorihu, namun tidak terdapat dalam teks novel bahwa I Base lebih menginginkan jabatan sebagai Aru Lamuru yang saat itu diduduki oleh kakak perempuannya menggantikan ayahnya.
Hubungan antara Aru Bontorihu sebagai adik dan Aru Lamuru sebagai kakak berlangsung sewajarnya. Bahkan bagi I Base kunjungan ke Lamuru merupakan suaka di mana dia merasa terbebas dari apa yang membelenggunya selama di Bontorihu. Meski pada akhirnya I Base tidak puas dengan kakaknya, namun tidak nampak bahwa I Base menginginkan jabatan yang dipangku oleh kakaknya.
Sikap I Base sebagai Aru Bontorihu ini bisa dikatakan sebagai stereotip pertama yang berlaku di kalawangan bangsawan Bugis pada masa itu dalam novel Sang Jenderal. Sikap apatis sang Aru terhadap rakyatnya tersebut sejalan dengan sikapnya dalam menghadapi adat istiadat yang dijunjung oleh rakyat Bontorihu. Arajang atau benda-benda sakral yang memiliki nilai magis dan yang umumnya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan sang Aru sedikit pun tidak mendapat perhatian dari I Base.
Namun tidak demikian halnya dengan pajak dari rakyat. Sang Aru mengenakan pajak yang tinggi sehingga membuat rakyat menderita.
Soalnya, ia tamak dan pelit. Sekalipun tampak kebutuhannya tidak banyak, dan sebagai perempuan dengan pangkat seperti dia tidak banyak mengenakan perhiasan dan memiliki sarung, Ia memeras lebih banyak pajak dari penduduk pegunungan – yang terpaksa mencari nafkah dari sedikit hasil di lereng gunung yang sukar ditanami, kecuali penduduk beberapa desa yang letaknya menguntungkan – daripada yang bisa dibayangkan penguasa laki-laki lain di Tanah Bugis itu.
(Sang Jenderal, halaman 4)
Dari sini dapat dilihat bagaimana satu praktik pemerintahan bangsawan Bugis pada masa itu dalam novel Sang Jenderal. Khusus praktik yang terakhir disebut, akan terungkap bahwa praktik tersebut merupakan praktik yang lazim dilakukan oleh kaum bangsawan terhadap rakyatnya untuk memperkaya diri.
Stereotip selanjutnya yang ada dalam novel ini adalah kebiasan para bangsawan untuk bermain-main. Entah apakah itu berburu rusa yang dapat melatih ketahanan fisik, permainan judi tongko, sabung ayam, sampai ‘bermain’main’ dengan anak perawan di wilayah kekuasaannya. Perlakuan itu terungkap dengan gamblang melalui tokoh Mappa, tokoh yang menggantikan I Base sebagai Aru Bontorihu.
Bisa dikatakan bahwa Mappa merupakan tokoh sentral dalam novel Sang Jenderal. Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan di awal novel dibentuk untuk memunculkan sosok Mappa sebagai Aru Bontorihu. Begitu juga tokoh-tokoh sentral dalam novel ini, hadir dalam kaitannya dengan tokoh Mappa sang Aru Bontorihu. Arumpone, misalnya. Raja Bone ini muncul dalam novel ketika berada dalam ruang yang sama, atau setidaknya berada di sekitar Mappa. Begitu juga tokoh Tomarilalang, sang bendahara negeri. Juga tokoh seperti Aru Ta, Aru Macege, Ban Seng Hoat, dan, yang menarik untuk diperhatikan, Aru Bakka. Tokoh-tokoh itu hadir dalam lingkaran Mappa.
Kehadiran tokoh-tokoh tersebut lebih banyak sebagai pendukung yang perannya mengantar Aru Bontorihu menjadi panglima tertinggi kerajaan Bone. Aru Ta misalnya, yang merupakan jenderal kawakan dari Bone, tidak banyak digambarkan sosoknya. Posisinya sebagai tokoh yang menduduki pangkat strategis dalam kerajaan tidak banyak digambarkan. Percakapan hangat, tukar pendapat, ataupun saran yang mungkin terjadi antara Aru Bontorihu sebagai pemimpin dari 500 pasukan dengan Aru Ta sebagai panglima perang digambarkan kalimat singkat, penghormatan dari yang muda kepada yang tua. Begitu juga dengan Aru Macege, yang mengepalai 500 pasukan dalam perang melawan Wajo, tidak banyak digambarkan. Selanjutnya, Aru Ta gugur dalam pertempuran dan Aru Macege tidak muncul lagi dalam novel tersebut setelah perang pertama melawan Wajo.
Di sinilah salah satu tempat yang, seperti dikatakan di awal, politik kolonial masih membayangi setiap halaman novel ini meski menurut Taufik Abdullah berusaha ditanggalkan. Tokoh-tokoh yang memiliki posisi sentral dalam kerajaan Bone tidak dimunculkan pandangan-pandangan mereka, khususnya ketika Bone bersiap menghadapi Wajo.
Di rumah Tomarilalang hadir juga Aru Ta, salah seorang dari tujuh Aru dan panglima tentara Bone. Ia memenangkan perang terakhir dengan Wajo dan, sekitar tujuh tahun sebelumnya, sekalipun tanpa hasil, ia bertempur dengan Belanda dengan keberanian yang luar biasa. Ia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh kecil berotot, yang tidak banyak bicara. Aru Bontorihu mendapat kesan bahwa Aru Ta menganggap pembicaraan di rumah yang dihadiri Tuan Bendahara tidak penting dan hanya dirasa membosankan. (Sang Jenderal, halaman 75)
Dari petikan di atas dapat dilihat bagaimana Aru Ta tokoh yang telah berpengalaman dalam perang tidak dimunculkan pendapatnya. Bisa jadi Aru Ta merupakan orang yang tinggi hati dan menganggap Aru Bontorihu maupun Tuan Bendahara bukan orang yang layak untuk diajak berdiskusi. Meski demikian, kehadiran sosok panglima perang tanpa menghadirkan pengalaman perang yang pernah dilaluinya serta tidak diungkapkan bagaimana visi yang dimilikinya terhadap kerajaan yang dibelanya, merupakan suatu tanda tanya besar. Apakah H.J. Frediericy dalam novelnya Sang Jenderal bermaksud menyembunyikan visi dari sang panglima perang Bone, ataukah ia tidak memiliki gambaran tentang visi yang mungkin dimiliki oleh seorang panglima Bugis sehingga tidak digambarkan dalam novel ini?
Jawabnya pada hemat penulis cukup sederhana. Sebab novel ini tidak hendak bercerita tentang bagaimana bangsa Bugis menghadapi musuh-musuhnya, atau bagaimana bangsa Bugis menatap masa depan di tengah konflik antar kerajaan tetangga maupun dengan Belanda. Novel ini tidak bercerita tentang bagaimana kejatuhan bangsa Bugis akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Belanda. Namun novel ini bercerita tentang orang-orang yang pasti akan dikalahkan oleh Belanda.
Tokoh lain yang cukup sentral namun tidak mendapat porsi selayaknya adalah Arumpone. Sebagai seorang raja dari bangsa Bugis, tentunya memiliki pandangan tersendiri tentang bagaimana bangsa Bugis nanti akan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah situasi yang dihadapi pada saat itu. Sudut pandang Arumpone tentu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya saja seorang bendahara negeri atau panglima perang. Yang menentukan hitam dan putihnya kerajaan Bone adalah Arumpone. Yang menentukan kelangsungan kerajaan Bone sepuluh atau seratus tahun ke depan adalah Arumpone. Namun dalam banyak percakapannya dengan Mappa tidak sekalipun nampak visi dari seorang raja bangsa Bugis. Bahkan Arumpone lebih banyak digambarkan dengan kondisi fisiknya yang sudah lemah, seolah mencerminkan kondisi kerajaan Bone pada saat itu, namun yang tak kunjung mati juga.
Dari tokoh Arumpone kebencian terhadap Belanda terucap. Arumpone mempersiapkan Aru Bontorihu terutama untuk menghadapi Belanda.
“Belanda itu telah membunuh saudara perempuanku. Seusai perang terakhir ia meninggal karena sakit hati. Mereka tidak pernah berhenti mengganggu kita. Tidak pernah. Dua ratus tahun yang lalu mereka membantu leluhurku Aru Palakka melawan orang Goa. Tetapi semasa hidupnya mereka telah meninggalkan Bone. Karena kerajaan itu telah menjadi terlalu berkuasa. Dan kemudian kekuasaan mereka sendiri bertambah besar. Seluruh Pantai Selatan berada di tangan mereka. Serangkaian benteng membentang sepanjang laut dari barat ke timur, dari Goa sampai Bone: Takalar, Alu, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Bikeru, Kajang, dan Balanipa. Kalaulah hanya soal berniaga aku tidak akan peduli.” (Sang Jenderal, halaman 96)
Juga pada kutipan berikut:
“Tetapi mereka menghendaki kita, para aru, agar takluk kepada mereka! Lihatlah Karaeng Bantaeng! Seratus meter dari rumahnya tinggal seorang Tuan Petoro. Dan ia boleh bungkuk terhadapnya! Dialah yang menjadi tuan di negeri ini!” Suara yang parau itu meninggi. “Kalau aku membayangkan bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi di sini, aku tidak dapat menahan amarah. Seorang Belanda menjadi tuan di Bone? Bedebah! Anjing keparat! Dengan wajah mereka yang pucat dan hidung yang panjang!” (Sang Jenderal, halaman 97)
Dari kutipan terakhir samar-samar dapat dilihat bagaimana visi seorang Arumpone. Pada kutipan tersebut secara tidak langsung menyatakan tentang kehendak kerajaan Bone untuk merdeka dan berdaulat, untuk tidak tunduk terhadap bangsa lain yang hendak menjajah negerinya. Sebagai tuan di negeri sendiri. Namun sayangnya pada kedua petikan di atas rakyat Bone yang merupakan bagian tak terpisah dari kerajaan Bone tidak mendapat perhatian dari Arumpone. Tidak dikatakan bagaimana nasib rakyat Bone seandainya Belanda berkuasa. Yang diperhatikan adalah nasib Arumpone, nasib bangsawan Bone. Ketidakpedulian penguasa terhadap rakyatnya, akan muncul dalam gambaran tokoh Mappa sebagai Aru di wilayah Bontorihu berhadapan dengan rakyatnya.
Bahwa rakyat tidak mendapat tempat dalam pandangan Arumpone tentu layak dipertanyakan. Apakah memang serupa itu pemikiran seorang raja atau ‘perhatian Arumpone pada rakyat’ tidak diberi tempat dalam novel ini? Pada hemat penulis, dalam novel ini eksistensi rakyat tidak banyak mendapat tempat, kecuali sebagai objek upeti. Novel ini lebih banyak bercerita tentang bangsawan Bone yang tengah berada dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial, terutama tokoh-tokoh yang berada dalam lingkaran tokoh Mappa.
Masih melalui tokoh Arumpone tercermin keadaan kerajaan Bone pada masa itu. Bagaimana keadaan Arumpone dalam novel ini digambarkan dapat dilihat pada petikan-petikan berikut:
Dari dalam tandu itu seorang tua mengulurkan tangan kepadanya. Aru Bontorihu menyentuhkan tangan itu ke kepalanya. Setua inikah raja yang baru? (halaman 63)
Dalam cahaya yang lembut, yang menerawang melalui jendela-jendela kecil berjeriji, raja tua itu seakan-akan telah wafat. (halaman 74)
Hari berikutnya Aru Bontorihu harus menghadap Sang Raja yang, lelah dan wajahnya bersinar kuning, ditopang sejumlah bantal duduk di atas tempat tidurnya...Kemudian Tomarilalang berkata pelan bahwa sekarang mereka harus meninggalkan ruangan itu karena sebetulnya Arumpone sedang sakit. (halaman 90-91)
Sang Raja yang duduk di atas tempat tidur besar dengan ditopang sejumlah bantal sutera di punggungnya, menyambutnya dengan senyum dan memanggil seorang budak dari sudut ruangan yang gelap untuk menghidangkan kopi…(halaman 92)
Sang Pangeran (Aru Bakka, pen) berbicara tentang saudaranya dengan hormat dan terkadang dengan nada agak lembut, misalnya, sambil menggelengkan kepala ia menyesalkan Sang Raja yang terus terbaring di tempat tidur dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya. (halaman 107)
Ia (Arumpone, pen) sudah tua, dan lebih mati daripada hidup. (halaman 115)
Tomarilalang, yang bermaksud agar pertemuan antara Ban Seng Hoat dengan Arumpone dihadiri oleh Aru Bontorihu, memberitahukan bahwa Baginda sakit dan tidak sanggup membicarakan apapun. Menjelang tengah hari Arumpone agak membaik dan ia menerima kedatangan Tomarilalang dengan orang cina itu. (halaman 154)
Ketika rombongan sudah lengkap, mereka dipersilahkan memasuki kamar tidur Arumpone. Ditopang sejumlah bantal, Sang Raja duduk di atas tempat tidur yang besar. (halaman 163)
Dari petikan-petikan di atas dapat kita lihat bagaimana keadaan raja Bone: tua, lelah, selalu duduk di atas tempat tidur dengan sejumlah bantal, dan seolah lebih mati ketimbang hidup. Gambaran Sang Raja ini seolah-olah merupakan gambaran dari kerajaan Bone pada waktu itu. Kerajaan yang berada di ambang kejatuhan. Dan kejatuhan itu seperti sebuah keniscayaan. Seolah hendak disampaikan bahwa tanpa serbuan Tentara Belanda pun, kerajaan Bone akan runtuh dengan sendirinya. Sebab pemimpinnya hanyalah seorang tua yang hanya bisa duduk di atas tempat tidur dengan ditopang sejumlah bantal. Sebab yang ada pada Arumpone hanyalah kebencian terhadap Belanda, sedang proses keunggulan yang ada pada Belanda dari perang yang sudah lalu tidak dibicarakan. Sebab Arumpone yang pernah turut melawan Belanda tidak bercerita tentang strategi perang Belanda yang menyebabkan mereka menang. Sebab Sang Raja hanya menambah jumlah senapan, peluru, dan mesiu, tapi tidak memperbaiki cara bertempur prajuritnya.
Sebagai sebuah kerajaan maritim di Nusantara, yang tentu sudah pernah berinteraksi dengan bangsa Eropa lain selain Belanda, tidak nampak jejak-jejak interaksi bangsa Bone dengan bangsa lain yang dapat diserap dan diadopsi kemajuannya. Dalam novel ini seolah-olah hendak dikatakan bahwa kondisi itulah yang paling mungkin dicapai oleh bangsa Bugis. Tidak akan bisa lebih. Dengan demikian maka sudah semestinya bangsa Bugis tunduk pada peradaban modern yang dalam hal ini diwakili oleh: Belanda.
Dari sekian banyak tokoh yang ada dalam novel Sang Jenderal, terdapat satu tokoh yang menarik untuk disimak, yaitu Aru Bakka. Aru Bakka merupakan saudara lain ibu dari Arumpone. Dibandingkan dengan tokoh lain, Aru Bakka menampilkan citra seorang bangsawan yang modern. Dia menghindari kehidupan keraton yang telah merosot moralnya. Kemudian berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain di Jawa, Sumatera, maupun Singapore. Meski petualangan itu digambarkan secara singkat, namun jelas bahwa melihat dunia luar lebih banyak dibanding dengan tokoh-tokoh lain yang ada di dalam novel ini.
Selain itu, melalui sosok Aru Bakka visi kaum bangsawan Bugis digambarkan.
“Untuk kita orang Bugis dan Makassar belum terlambat, Mappa. Belum. Sebagian besar dari kita masih tegak berdiri. Di sebelah selatan Belanda berkuasa, tetapi mereka tidak berbuat banyak dan saya tidak yakin bahwa mereka berarti banyak. Mereka tidak menguasai Goa, juga tidak Bone, dan Soppeng, Wajo, Ajataparang, dan Luwu juga tidak. Tetapi siapa yang bisa bertindak sebagai pimpinan? Yang harus mengambil pimpinan?....Karena, seharusnya saudarakulah yang memimpin agar semua Aru dan Karaeng bangsa Bugis dan Makassar terhimpun dalam satu ikatan yang kuat untuk mengusir Belanda dan mengusahakan agar kita tetap menjadi tuan di negeri sendiri. (halaman 114-115)
Lepas dari apakah kalimat yang disampaikan oleh Aru Bakka tersebut merupakan bujuk rayu agar Mappa mau menuruti kehendaknya, namun dari dialah visi tentang persatuan dan kemerdekaan hadir dalam novel ini. Bukan hanya itu, tokoh Aru Bakka ini juga menekankan bahwa kaum bangsawan Bugis harus meninggalkan kebiasaan buruk mereka dan mulai menatap masa depan mereka. Bangsa Bugis yang seolah tertidur harus segera dibangunkan, dengan jalan meninggalkan kebiasan buruk dan menuju persatuan.
Kesan ideal seorang pemimpin yang berpikiran maju, jika dibandingkan dengan tokoh lain, hanya bisa dilekatkan pada tokoh Aru Bakka. Melalui pandangan-pandangannya yang tertuang secara singkat, dengan mudah kita bisa menunjuk bahwa sosok Aru Bakka memang layak menjadi seorang Arumpone. Atau setidaknya tokoh yang diidealkan untuk memimpin bangsa Bugis dan Makassar untuk keluar dari ancaman kolonial.
Namun kita tidak boleh terjebak dalam pandangan sesederhana itu. Sudah sejak awal sekali tokoh Aru Bakka ini digambarkan sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, orang yang penuh muslihat. Pesta-pesta besar di Rumah Bakka bisa jadi merupakan sarana untuk memperoleh pengikut untuk menaikkan dirinya menjadi Arumpone. Sebab keberadaan tokoh Aru Bakka dalam novel ini dipertentangkan dengan Arumpone, sebagai lawan politik sekaligus simbol perpecahan dalam tubuh kerajaan Bone. Dengan kata lain, Aru Bakka belum bisa dikatakan sebagai perwujudan dari cita-cita bangsa Bugis. Sudah sejak awal sekali tokoh ini digambarkan sisi kelicikannya.
Kendatipun ia seorang pemberani dan tidak gentar menghadapi pertarungan satu lawan satu, sudah pasti banyak lawannya telah ia singkirkan dengan cara membokong. (halaman 100)
Bentrok Bone vs Belanda
Dalam novel ini diceritakan bahwa perang antara Bone vs Belanda terjadi dua kali. Pertama pada saat Mappa masih sangat muda. Kedua pada saat Mappa telah menjadi panglima perang kerajaan Bone. Perang pertama tidak diceritakan secara rinci jalannya peperangan. Perang diceritakan melalui ayah Mappa yang berangkat bersama pasukannya dan kembali dengan menelan kekalahan. Perang kedua diceritakan dengan lebih rinci jalan peperangan mulai dari kabar berangkatnya kapal perang Belanda dari Jawa hingga kekalahan yang diderita oleh kerajaan Bone. Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa dari segi militer Belanda jauh lebih unggul dari Bone.
Namun keunggulan Belanda atas Bone pada novel ini tidak hanya tergambar melalui kedua perang yang dimenangkan oleh Belanda saja. Apabila diperhatikan keunggulan Belanda banyak tersebar pada halaman-halaman novel baik dari sisi militer, peralatan, maupun sosial–budaya.
“Kalian kira akan sanggup menghadapi belanda itu? Kompeni mempunyai ribuan serdadu dengan ribuan senapan. Dari mana kita mendapatkan semua itu? Senapan kan mahal dan prajurit harus dibayar. Boleh saja aku percaya bahwa Arumpone cukup kaya untuk memiliki serdadu dan senapan sama banyaknya seperti Kompeni. Tetapi di mana uangnya? Coba tengok, kawan. Tengoklah pelacur-pelacur anggun di Watampone yang dilapisi permata dan perhiasan! Tengoklah semua bocah lelaki yang diperkosa! Tengoklah para penghisap madat yang kurus pucat di istana! Tengoklah para penjudi! Kalian goblok. Kalian memang pantas untuk dihancurkan.” (halaman 43)
Dari petikan di atas dapat dilihat bagaimana I Base, meski dilandasi sikap apatis dan kebencian terhadap gaya hidup kerajaan, mengkritik kebiasan buruk para bangsawan di lingkungan istana Bone. Para bangsawan telah begitu merosot moralnya. Mungkinkah para bangsawan yang telah merosot moralnya itu sanggup memimpin rakyatnya untuk berjuang dan berperang melawan Belanda? Tidak akan sanggup. Bahwa karena sudah begitu merosotnya moral di kalangan para bangsawan, mereka itu pantas untuk dihancurkan. I Base sebagai Aru Bontorihu pada saat itu, dan bagian dari kelas Bangsawan Bone merupakan suara dari dalam lingkungan Bone yang menyatakan bahwa Belanda lebih unggul dibandingkan Bone.
“Di kalangan sendiri mereka (Belanda, pen) tidak berbahasa Makassar atau Bugis, tetapi bahasa sendiri…Biasanya mereka juga lebih kuat dan mereka tahu segala sesuatu lebih baik dari kita.” Dan Samaila bercerita tentang rumah batu orang Belanda, tentang kapal tanpa layar, serta tentang senapan. (halaman 44-45)
Melalui Samaila, tokoh yang pernah berkunjung ke Makassar dan melihat langsung orang-orang Belanda yang ada di sana, dapat dilihat bagaimana secara budaya dan teknologi Belanda lebih unggul.
Dari segi militer, keunggulan Belanda atas Bone sangat kentara sekali. Tidak melulu melalui bentrok fisik keunggulan itu digambarkan, tapi juga melalui perang antara Bone dan Wajo. Pertama dari sisi prajurit atau tentara yang akan berangkat di medan perang. Dalam membentuk prajurit, kerajaan Bone mengumpulkan prajurit dari kantung-kantung wilayah yang menjadi taklukan kerajaan Bone seperti Bontorihu misalnya. Dua kali Aru Bontorihu menerima utusan dari Watampone yang meminta kesediaan Arunya untuk mengirimkan prajurit. Pertama saat perang melawan Belanda yang terjadi pada masa I Base menjadi Aru. Kedua saat Mappa yang menduduki jabatan sebagai Aru.
Tidak dikatakan apakah prajurit-prajurit Bone yang berasal dari kantung-kantung taklukan tersebut merupakan prajurit yang terlatih ataukah dari golongan petani. Namun yang pasti, prajurit-prajurit itu tidak menjalani disiplin dan latihan ketat militer. Sementara itu di sisi lain, pasukan Belanda yang akan menghadapi pejuang Bone adalah prajurit terlatih yang memiliki pengalaman perang di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui tokoh Ban Seng Hoat:
“Belanda mengadakan persiapan perang. Di Aceh, di Sumatera, setelah bertahun-tahun perang, mereka telah berhasil mematahkan perlawanan. Sekarang mereka ke arah sini.” (halaman 147)
Jika para pasukan Belanda telah menjelajah wilayah yang luas dan mampu mematahkan perlawanan tuan rumah Aceh di negeri mereka sendiri, tidak demikian halnya dengan para prajurit Bone yang kelak akan berhadapan dengan Belanda. Prajurit Bone hanya memenangkan peperangan melawan kerajaan Tetangga: Wajo dan Soppeng.
Dalam catatan sejarah, Perang Aceh yang antara Belanda melawan Aceh berlangsung dalam kurung waktu yang cukup panjang. Perang pertama berlangsung antara tahun 1873-1874. Perang kedua berlangsung antara tahun 1874-1880. Perang ketiga berlangsung antara tahun 1881-1896. Kemudian berakhir dengan jatuhnya kesultanan Aceh pada tahun 1904, meski perlawanan secara sporadic terhadap Belanda terus berlanjut setelah jatuhnya kesultanan.
Sementara itu ekspedisi militer yang dilakukan oleh prajurit Bone pun tidak seluas prajurit Belanda. Ekspedisi militer yang dilakukan oleh prajurit Bone hanya sebatas ke daerah taklukan di perbatasan. Maka dari segi pengalaman berperang sudah bisa diketahui siapa yang lebih unggul.
Keunggulan Belanda atas Bone juga nampak pada pengaturan jalannya peperangan serta peralatan yang digunakan untuk mengatur strategi. Di bidang militer, keberadaan sebuah peta sangat krusial. Peta sangat dibutuhkan untuk mengenali medan yang akan dihadapi. Rencana alur serangan, pertahanan, penentuan posisi dan letak yang strategis membutuhkan alat bantu berupa peta. Bagi Belanda, dan orang-orang Eropa pada masa itu, keberadaan sebuah peta bukanlah hal yang baru. Bahkan merupakan alat bantu yang memungkinkan mereka mencapai tempat-tempat yang sebelumnya tidak diketahui. Sehingga tanpa perlu dikatakan, pasukan Belanda pasti menggunakan peta dalam strategi perang mereka.
Namun tidak demikian dengan para panglima kerajaan Bone. Dalam menyusun strategi perang mereka tidak menggunakan peta. Dalam persiapan menghadapi pasukan Wajo dapat diketahui bagaimana seribu lima ratus prajurit diatur di atas sebuah tikar.
Dengan lima ratus prajurit ia (Aru Ta) akan mara ke pada luas. Serangan frontal. Kurang lebih dari selatan ke utara. Dengan jari telunjuk ia menggambar sebuah persegi panjang bayangan di atas tikar dalam batas cahaya lampu. Di sayap kiri Aru Macege bersama lima ratus prajurit akan mara bersama, sebaik mungkin tersembunyi oleh pohon-pohon di sisi padang sebelah barat. Namun, ia tidak turut dalam pertempuran sebelum ternyata bahwa musuh lebih kuat daripada pasukan Aru Ta. Aru Bontorihu bersama lima ratus prajurit akan bersiap di sayap kanan sebagai cadangan di dalam hutan yang cukup lebat sampai ia dipanggil. (halaman 84)
Strategi seribu lima ratus prajurit ditentukan melalui bayangan! Bisa jadi perencanaan strategi perang yang sederhana tersebut dikarenakan para panglima perang telah mengenal dengan baik medan yang akan digunakan sebagai pertempuran. Namun cara tersebut hanya cocok digunakan dalam pertempuran yang bersifat lokal. Pertempuran dengan kerajaan yang peradaban dan budayanya kurang lebih sama. Namun cara tersebut jelas tidak dapat digunakan untuk berperang melawan Belanda. Belanda yang telah berperang di banyak tempat, tidak dapat dihadapi dengan pengaturan strategi seperti di atas.
Pada bagian-bagian berikutnya, ketika bentrok dengan Belanda sudah di depan mata, tidak diceritakan bagaimana pejuang-pejuang Bone diatur dengan strategi militer. Strategi menghadapi Belanda dilakukan dengan “Di arah menuju ke laut secepat mungkin harus dibangun segala jenis pertahanan, para hulubalang dan aru harus secepatnya dikumpulkan bersama pasukan mereka, dan senapan baru harus dibagikan kepada para penembak yang terbaik.” Selanjutnya, strategi peperangan bersandar pada ramalan dari orang-orang Arab yang bertidak sebagai Kadi Bone.
Selain kelengkapan dalam mengatur peperangan, dari jalannya perang antara Bone melawan Wajo juga dapat diketahui bagaimana kualitas tempur prajurit kerajaan Bone, sekaligus prajurit kerajaan tetangga bone dan kerajaan-kerajaan lain yang berada di jazirah Sulawesi Selatan. Peperangan yang berlangsung antara Bone melawan Wajo jauh sekali tertinggal apabila dibandingkan dengan misalnya perang-perang di Eropa pada masa Napoleon Bonaparte. Dari formasi pasukan kavalari misalnya, di Eropa sudah dibedakan antara kavalari ringan dan kavalari berat untuk pasukan berkuda mereka yang masing-masing pasukan memiliki fungsi yang berbeda dalam peperangan. Begitu juga dengan pasukan infantri yang memiliki beberapa bentuk seperti line infantry dan light infantry.
Pasukan-pasukan Eropa ini dalam berperang akan berbaris rapi membentuk kolom formasi sesuai dengan pasukan yang akan dihadapi. Jika berhadapan dengan pasukan infantri pasukan akan membentuk formasi kolom memanjang. Namun jika berhadapan dengan pasukan kavaleri, pasukan akan berbaris membentuk sebuah persegi yang menghadap empat sisi dengan meninggalkan ruang kosong pada bagian tengah. Dengan formasi persegi ini, pasukan kavaleri akan kesulitan menembus pertahanan pasukan infantri.
Dalam novel Sang Jenderal, pasukan kerajaan Bone tidak memiliki pengetahuan mengenai formasi atau susunan perang seperti ini. Dalam berperang melawan Wajo, prajurit Bone disusun dalam formasi persegi panjang. Gerak pasukan ke arah barisan lawan tidak terstruktur, begitu juga sebaliknya. Tembakan dan teriakan dilepas tanpa komando yang rapi.
Terdengar sebuah tembakan dan suaranya tenggelam dalam kegaduhan teriakan dan makian orang Bone. Dari pasukan Wajo yang mendekat pelan juga terdengar bermacam teriakan namun hampir tidak terdengar. Dari atas pohon Mappa melihat kedua pasukan saling mendekat.
Barisan depan semakin melebar, tetapi karena barisan terdepan lebih banyak menari ketimbang berjalan, jarak antara kedua pihak itu lamban sekali mengecil. (halaman 86)
Seandainya dalam novel Sang Jenderal gabungan pasukan Wajo dan Bone pada saat itu bertempur dengan pasukan Belanda di padang yang luas itu, tentu sudah dapat diketahui pasukan mana yang akan memenangkan pertempuran.
Aspek lain yang menunjukkan keunggulan Belanda atas Bone adalah dari segi budaya. Sebelumnya sudah dibahas bahwa dari segi budaya dan teknologi Belanda memiliki sejumlah keunggulan. Lebih dari itu, dalam novel Sang Jenderal Belanda tergambar sangat jelas mendominasi Bone.
Tomarilalang menyilahkan utusan itu mengambil tempat, namun dia menggelengkan kepalanya sebentar dan dari kantung di dalam dadanya mengeluarkan sebuah amplop. Dari dalam itu ia mengambil sehelai surat, dan setelah dibuka dan diratakannya ia mulai bicara. Aru Bontorihu sempat terperangah. Belanda ini berbicara dalam bahasa Bugis dengan lancarnya, bahkan dalam logat bahasa Bugis dari istana Bone. Utusan itu – seorang Tuan Petoro – oleh Gubernur Makassar ditunjuk untuk menyampaikan pesan Tuan Besar di Bogor. (halaman 160-161)
Dalam novel ini sama sekali tidak dikatakan berapa banyak orang Bugis yang mampu berbahasa Belanda dengan baik. Juga tidak dikatakan berapa banyak bangsawan yang telah melihat atau berinteraksi dengan bangsa lain. Hanya ada tokoh Aru Bakka itupun cenderung digunakan untuk mempengaruhi bangsawan lain, seperti Aru Bontorihu, untuk dapat melanggengkan maksudnya merebut kekuasaan.
Tidak adanya orang Bugis yang bisa berbicara dalam bahasa Belanda seolah menunjukkan bahwa bangsa Bugis memang sudah semestinya tunduk pada kekuasaan Belanda. Belanda telah menguasai Bugis dari segi budaya, dan dari segi militer akan ditunjukkan pada bagian akhir novel Sang Jenderal melalui agresi militer yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Bone atau dikenal dengan Rumpa’na Bone.
Rumpa’na Bone (Bobollah Bone)
Rumpa’na Bone atau bobollah Bone, merupakan seruan yang mashyur dalam mengungkapkan keruntuhan Kerajaan Bone. Seruan ini berasal dari pernyataan Raja Bone ketika menyaksikan gugurnya Putra Mahkota Bone dalam perang melawan Belanda. Dalam novel Sang Jenderal, Aru Bontorihu menyerahkan komando atas pasukan di Watampone kepada putra mahkota. Dia sendiri hendak bersiap menyongsong kemungkinan musuh akan melakukan pendaratan di Tanjung Pattiro.
Gugurnya putra mahkota sebagai benteng kerajaan Bone digambarkan sangat singkat. Tidak lebih dari dua kalimat. Gugurnya putra mahkota digambarkan satu dari serangkaian kejadian yang berujung pada kekalahan Pasukan Bone. Tidak digambarkan bagaimana perjuangan sang putra mahkota dalam peperangan. Padahal tokoh inilah yang menjadi penentu jalannya peperangan.
“Dalam perjalanan ke Bajowe Putra Mahkota bertabrakan dengan pasukan pendarat Belanda. Ia tewas dalam pertempuran yang menyusul, sementara pasukannya kocar-kacir. Dengan sebuah kursi tandu Arumpone melarikan diri dan sekarang sudah sekitar lima jam dalam perjalanan ke arah utara.” (halaman 177)
Sebenarnya dapat dipahami mengapa gugurnya Putra Mahkota dan pelarian Arumpone selanjutnya tidak mendapat tempat. Sebab novel ini berkisah tentang tokoh Mappa. Dua peristiwa dalam petikan di atas merupakan bagian dari perjalanan Aru Bontorihu yang tidak perlu diceritakan dengan detail. Padahal antara Aru Bontorihu sebagai jenderal dan Putra Mahkota sebagai benteng Watampone tentu memiliki hubungan yang istimewa. Sebab seorang jenderal memilih meninggalkan kota untuk menyongsong musuh dan menyerahkan pertahanan kepada Putra Mahkota, tentu sang jenderal tahu bahwa Putra Mahkota memiliki kemampuan untuk mempertahankan kota. Namun hubungan istimewa yang mungkin ada antara Sang Jenderal dan Putra Mahkota tidak tergambar sama sekali.
Dalam persiapan perang menghadapi Belanda tidak nampak bagaimana ketrampilan seorang jenderal dalam Menyusun strategi militernya. Pada halaman-halaman sebelumnya diketahui bahwa Aru Bontorihu merupakan seorang panglima yang sangat berhati-hati dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan pertama melawan Wajo dia selalu berusaha untuk mengukur seberapa besar kekuatan lawan. Begitu juga dengan taktik yang mungkin dilakukan oleh pihak lawan. Bahkan dalam perang-perang selanjutnya, sebelum pertempuran sudah diketahui siapa pemenangnya karena kekuatan pasukan lawan sudah diketahui kemampuannya.
“Dan ketika mara dalam perang, ia tahu betul berapa orang yang akan dikerahkan Wajo, berapa banyak senapan locok dan senapan baru yang mereka punya, serta di mana saja mereka membangun benteng dan rintangan lainnya.” (halaman 136).
Namun tidak demikian halnya ketika menghadapi Belanda. Aru Bontorihu tidak diceritakan menyebar mata-mata ke setiap penjuru Bone untuk mengantisipasi gerak-gerik musuh. Juga tidak diceritakan ada atau tidaknya usaha Aru Bontorihu untuk mengetahui kekuatan musuh yang akan mendarat di Kerajaan Bone. Tugas mata-mata dalam perang ini lenyap dan digantikan oleh ramalan.
Tidak adanya mata-mata ini juga nampak jelas dari tidak diketahuinya pergerakan kapal perang Belanda. Kapal perang Belanda sebelumnya telah kandas di atas karang pada kamis siang. Berita ini sangat menggembirakan. Namun tidak satupun perhatian tertuju pada apa yang akan terjadi selanjutnya: apakah kapal itu akan tenggelam atau kembali lagi ke Jawa?
Kapal perang Belanda akhirnya diketahui bisa lepas pada hari Jumat. Tidak ada yang memberikan kabar ini kepada Aru Bontorihu. Atau bisa jadi tidak ada satupun orang Bone yang mengetahui. Padahal pada hari Sabtu Aru Bontorihu berperang menghadapi Belanda di rawa dan memenangkannya. Bahkan pada malam harinya mereka berpesta untuk merayakan kemenangannya. Padahal seperti diketahui bahwa Belanda datang dalam satu armada meski tidak disebutkan detail berapa banyak jumlah kapal yang datang Bone. Lepasnya kapal perang Belanda yang kandas baru diketahui pada hari Minggu oleh Aru Bontorihu, itu pun setelah Bone jatuh di mana Putra Mahkota telah gugur dan Arumpone melarikan diri ke utara. Jadi pada Jumat malam, atau paling lambat Sabtu malam tidak ada seorang pun di Bone yang mengabarkan kepada Aru Bontorihu bahwa kapal telah lepas.
Dalam pertempuran ini Aru Bontorihu seolah-olah berhadapan dengan hantu. Tidak ada jumlah kapal yang pasti yang diketahui mengangkut serdadu-serdadu Belanda. Tidak ada angka taksiran tentang berapa banyak jumlah serdadu yang akan mendarat di pantai-pantai kerajaan Bone. Berapa banyak jumlah senapan yang mereka miliki atau berapa banyak jumlah persediaan yang mereka bawa.
Penutup
Novel Sang Jenderal karya H.J. Frediericy ini sering disebut sebagai novel sejarah yang kaya akan unsur sosial-budaya yang terkait dengan kehidupan bangsawan Bugis sebelum keruntuhan kerajaan Bone. Halaman demi halaman memang menyajikan kisah perjalanan seorang Aru yang penuh dengan petualangan. Dari novel ini kita dapat mengenal cara pengangkatan seorang aru yang akan mendiami rumah panggung serta bagaimana arajang yang merupakan simbol legitimasi kekuasan seharusnya diperlakukan.
Dari novel ini juga pembaca diperkenalkan dengan kegemaran kaum bangsawan Bugis seperti berburu rusa, kegemaran berpesta, hingga permainan judi kuno: tongko. Kemerosotan bangsawan di lingkungan istana juga tergambar dalam novel ini. Selain itu, dalam novel ini pembaca akan dibawa menjelajahi tempat-tempat tua yang hingga kini namanya masih dapat dikenali seperti Lamuru, Pampanua, Bontorihu, maupun tempat-tempat lain yang masuk dalam wilayah taklukan Bone.
Meski berhasil merekam keadaan sosial pada masa itu, namun novel ini tidak merekam semangat serta visi kaum bangsawan Bugis yang ingin merdeka dan menjadi tuan rumah di negeri mereka sendiri. Visi serta cita-cita bangsawan Bugis tidak mendapat tempat dan lebih tenggelam oleh kisah kemerosotan moral yang terjadi. Begitu juga dengan kemajuan sosial-budaya yang mungkin dicapai oleh rakyat Bone pada masa itu, tidak mendapat tempat dalam Novel ini.
Sebagai penutup, perlu disampaikan sisi lain dari Aru Bontorihu yang ternyata bisa berbahasa Melayu meski sedikit. Bahasa yang pada masa itu digunakan sebagai lingua franca oleh penduduk nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa Aru Bontorihu, yang pada bagian akhir menyamar sebagai Sampara Daeng Malewa, sedikit banyak pernah menjalin komunikasi dengan suku bangsa lain di nusantara. Pergaulan dengan suku bangsa lain yang mungkin datang ke Bone tentu memberikan gambaran kepada Aru Bontorihu mengenai situasi di luar Bone pada masa itu. Sayangnya hal itu tidak tergambar dalam novel ini.
“Ternyata ia bisa sedikit berbahasa Melayu dan, seperti kebanyakan orang Bugis, mudah tertawa.” (halaman 181)
Surabaya, 03 Maret 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar