Sabtu, 13 Maret 2021

VISI KEMERDEKAAN YANG TERPENDAM

VISI KEMERDEKAAN YANG TERPENDAM SEBUAH PEMBACAAN ATAS NOVEL “SANG JENDERAL” KARYA H.J. FRIEDERICY Oleh: Chandra Krisnawan
Meski pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini merupakan pendekatan Analisis Wacana Kritis, namun dalam praktiknya tulisan ini tidak menggunakan metodologi penelitian yang ketat sebagaimana yang berlaku dalam tulisan ilmiah. Tulisan ini lebih merupakan pemaparan pengalaman penulis setelah membaca novel berjudul Sang Jenderal karangan H.J. Friedericy. Novel luar biasa yang menceritakan kisah bangsawan Bugis pada rentang pergantian abad lalu ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Belanda pada tahun 1958 dengan judul De Laatste General. Dalam laman Wikipedia novel Sang Jenderal merupakan merupakan novel pertama H.J. Friedericy dan diterbitkan dengan pseudonim H.J. Merlin. Dalam kata pengantar untuk novel ini, Taufik Abdullah menulis: Setelah melalui beberapa proses – dimulai dari beberapa sketsa yang dibuat dalam kamp tawanan Jepang – versi pertama novel ini, dengan judul Bontorio, terbit pada tahun 1947. Versi kedua barulah terbit pada tahun 1958. Inilah versi yang terakhir. Jika pada versi pertama Friederecy melanjutkan ceritanya dengan peristiwa yang dialami oleh putra “Sang Jenderal” (sebagaimana novel ini disebut dalam bahasa Indonesia), maka pada versi kedua (yang terjemahannya kini berada di hadapan Anda) novel ini ditamatkan dengan berakhirnya perlawanan Bone. Dengan memenggal novel ini, Friedericy sekaligus meninggalkan idealisme politik seorang bekas pejabat kolonial yang mencita-citakan terwujudnya pax neerlandica yang harmonis dan maju. (Taufik Abdullah, Kata Pengantar hal viii) Dari kata pengantar tersebut dapat diketahui bahwa novel yang dialihbahasakan oleh Keumalahayati dan diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1991 ini mengalami perubahan dari pertama kali diterbitkan. Perubahan tersebut, pada hemat Taufik Abdullah, mengimplikasikan tanggalnya politik kolonial yang coba hendak direpresentasikan dalam novel tersebut ketika pertama kali ditulis. Meski demikian, pada hemat penulis, politik kolonial yang hendak ditanggalkan tersebut membayangi tiap halaman novel. Pada pembacaan pertama kita (dalam hal ini penulis, red) dibawa masuk ke dalam petualangan seorang tokoh Aru yang hidup pada akhir abad 19 sampai awal abad 20. Pembaca akan dibawa asyik masuk menjelajahi wilayah-wilayah tanah Bugis mulai dari Bontorihu di sebelah selatan hingga sampai ke Pampanua yang berbatasan dengan kerajaan Wajo, seteru kerajaan Bone pada masa itu. Penggambaran tempat serta peristiwa-peristiwa yang mengikutinya mengajak kita untuk turut serta dalam petualangan. Novel Sang Jenderal ini tersusun atas dua bagian. Bagian pertama bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1870-1890. Pada bagian pertama ini berkisah tentang awal mula tokoh utama dalam novel ini, Mappa, lahir dan dibesarkan di tengah-tengah kondisi sosial-politik kerajaan Bone pada kurun 1870-1890. Bagian pertama ini ditutup dengan pengangkatan Mappa sebagai Aru Bontorihu menggantikan kedudukan ibunya yang telah meninggal. Sebagai tambahan, tokoh Mappa dalam novel ini sering diidentikan dengan tokoh Arung Labuaja, tokoh yang pernah hidup dalam sejarah Bugis. Bagian kedua bercerita tentang perjalanan Aru Bontorihu yang akhirnya dipilih oleh Sang Raja untuk menjadi Panglima perang kerajaan Bone. Bagian kedua ini berlangsung pada kurun waktu 1890-1906. Pada bagian kedua ini berkisah tentang petualangan-petualangan Sang Aru, kemenangan-kemenangan dalam peperangan, keberpihakan dalam perpecahan politik yang terjadi di kerajaan, hingga peran sang aru sebagai jenderal dalam peperangan melawan belanda yang berakhir dengan jatuhnya kerajaan Bone, atau yang terkenal dengan istilah Rumpa’na Bone. Di tengah petualangan demi petualangan yang tersaji dalam novel ini terdapat stereotip yang digambarkan berulang-ulang. Stereotip tersebut adalah kebiasan atau kelakuan bangsawan Bugis pada masa itu. Penggambaran yang berulang-ulang tersebut tentu memiliki tujuan tertentu. Sehingga setelah membaca novel tersebut kemudian ditanyakan, ‘seperti apakah tingkah bangsawan bugis pada masa itu?’ dengan mudahnya kita akan menjawab, ‘tidak bermoral’. Lalu bisa ditanyakan lagi lebih jauh, ‘layakkah kaum bangsawan yang sudah merosot moralnya itu memimpin rakyat di negeri Bone?’ Kaum Bangsawan tanpa Visi Awal sekali dalam novel ini sudah menggambarkan bagaimana seorang Aru yang bertugas seharusnya memimpin rakyat di wilayahnya namun malah bersikap apatis: Pelan-pelan Sang Aru menengok ke arah suaminya dan dengan suara tajam melontarkan kata-kata yang pada hari itu belum dikenal di Bontorihu namun selama seratus tahun kemudian tidak akan terlupakan, “Beginilah nasibku, terpaksa memerintah segerombolan monyet.” (Sang Jenderal, halaman 4) Kalimat yang diucapkan oleh Sang Aru tersebut merupakan cermin bagaimana kaum bangsawan yang seharusnya memerintah rakyatnya dengan bijak, namun justru menganggap rakyatnya sebagai segerombolan monyet. Hal ini menunjukkan betapa lebar jurang yang ada antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai. Perlu ditelusuri apakah Sang Aru mengungkapkan hal tersebut dilandasi ketidakpuasannya karena harus memimpin rakyat di wilayah yang jauh berada di pedalaman, yakni sebuah negeri kecil di pegunungan. Namun pada halaman-halaman berikut tidak ditemukan bahwa I Base menginginkan jabatan Aru di tempat lain, di Lamuru misalnya. Meski pada bagian lain dikatakan bahwa I Base tidak suka pada daerah pegunungan dan membenci udaranya yang dingin, dan lebih menyukai wilayah Lamuru yang rakyatnya bersikap lebih takzim, keadaannya lebih makmur, dan bahasanya tidak sekasar bahasa penduduk Bontorihu, namun tidak terdapat dalam teks novel bahwa I Base lebih menginginkan jabatan sebagai Aru Lamuru yang saat itu diduduki oleh kakak perempuannya menggantikan ayahnya. Hubungan antara Aru Bontorihu sebagai adik dan Aru Lamuru sebagai kakak berlangsung sewajarnya. Bahkan bagi I Base kunjungan ke Lamuru merupakan suaka di mana dia merasa terbebas dari apa yang membelenggunya selama di Bontorihu. Meski pada akhirnya I Base tidak puas dengan kakaknya, namun tidak nampak bahwa I Base menginginkan jabatan yang dipangku oleh kakaknya. Sikap I Base sebagai Aru Bontorihu ini bisa dikatakan sebagai stereotip pertama yang berlaku di kalawangan bangsawan Bugis pada masa itu dalam novel Sang Jenderal. Sikap apatis sang Aru terhadap rakyatnya tersebut sejalan dengan sikapnya dalam menghadapi adat istiadat yang dijunjung oleh rakyat Bontorihu. Arajang atau benda-benda sakral yang memiliki nilai magis dan yang umumnya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan sang Aru sedikit pun tidak mendapat perhatian dari I Base. Namun tidak demikian halnya dengan pajak dari rakyat. Sang Aru mengenakan pajak yang tinggi sehingga membuat rakyat menderita. Soalnya, ia tamak dan pelit. Sekalipun tampak kebutuhannya tidak banyak, dan sebagai perempuan dengan pangkat seperti dia tidak banyak mengenakan perhiasan dan memiliki sarung, Ia memeras lebih banyak pajak dari penduduk pegunungan – yang terpaksa mencari nafkah dari sedikit hasil di lereng gunung yang sukar ditanami, kecuali penduduk beberapa desa yang letaknya menguntungkan – daripada yang bisa dibayangkan penguasa laki-laki lain di Tanah Bugis itu. (Sang Jenderal, halaman 4) Dari sini dapat dilihat bagaimana satu praktik pemerintahan bangsawan Bugis pada masa itu dalam novel Sang Jenderal. Khusus praktik yang terakhir disebut, akan terungkap bahwa praktik tersebut merupakan praktik yang lazim dilakukan oleh kaum bangsawan terhadap rakyatnya untuk memperkaya diri. Stereotip selanjutnya yang ada dalam novel ini adalah kebiasan para bangsawan untuk bermain-main. Entah apakah itu berburu rusa yang dapat melatih ketahanan fisik, permainan judi tongko, sabung ayam, sampai ‘bermain’main’ dengan anak perawan di wilayah kekuasaannya. Perlakuan itu terungkap dengan gamblang melalui tokoh Mappa, tokoh yang menggantikan I Base sebagai Aru Bontorihu. Bisa dikatakan bahwa Mappa merupakan tokoh sentral dalam novel Sang Jenderal. Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan di awal novel dibentuk untuk memunculkan sosok Mappa sebagai Aru Bontorihu. Begitu juga tokoh-tokoh sentral dalam novel ini, hadir dalam kaitannya dengan tokoh Mappa sang Aru Bontorihu. Arumpone, misalnya. Raja Bone ini muncul dalam novel ketika berada dalam ruang yang sama, atau setidaknya berada di sekitar Mappa. Begitu juga tokoh Tomarilalang, sang bendahara negeri. Juga tokoh seperti Aru Ta, Aru Macege, Ban Seng Hoat, dan, yang menarik untuk diperhatikan, Aru Bakka. Tokoh-tokoh itu hadir dalam lingkaran Mappa. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut lebih banyak sebagai pendukung yang perannya mengantar Aru Bontorihu menjadi panglima tertinggi kerajaan Bone. Aru Ta misalnya, yang merupakan jenderal kawakan dari Bone, tidak banyak digambarkan sosoknya. Posisinya sebagai tokoh yang menduduki pangkat strategis dalam kerajaan tidak banyak digambarkan. Percakapan hangat, tukar pendapat, ataupun saran yang mungkin terjadi antara Aru Bontorihu sebagai pemimpin dari 500 pasukan dengan Aru Ta sebagai panglima perang digambarkan kalimat singkat, penghormatan dari yang muda kepada yang tua. Begitu juga dengan Aru Macege, yang mengepalai 500 pasukan dalam perang melawan Wajo, tidak banyak digambarkan. Selanjutnya, Aru Ta gugur dalam pertempuran dan Aru Macege tidak muncul lagi dalam novel tersebut setelah perang pertama melawan Wajo. Di sinilah salah satu tempat yang, seperti dikatakan di awal, politik kolonial masih membayangi setiap halaman novel ini meski menurut Taufik Abdullah berusaha ditanggalkan. Tokoh-tokoh yang memiliki posisi sentral dalam kerajaan Bone tidak dimunculkan pandangan-pandangan mereka, khususnya ketika Bone bersiap menghadapi Wajo. Di rumah Tomarilalang hadir juga Aru Ta, salah seorang dari tujuh Aru dan panglima tentara Bone. Ia memenangkan perang terakhir dengan Wajo dan, sekitar tujuh tahun sebelumnya, sekalipun tanpa hasil, ia bertempur dengan Belanda dengan keberanian yang luar biasa. Ia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh kecil berotot, yang tidak banyak bicara. Aru Bontorihu mendapat kesan bahwa Aru Ta menganggap pembicaraan di rumah yang dihadiri Tuan Bendahara tidak penting dan hanya dirasa membosankan. (Sang Jenderal, halaman 75) Dari petikan di atas dapat dilihat bagaimana Aru Ta tokoh yang telah berpengalaman dalam perang tidak dimunculkan pendapatnya. Bisa jadi Aru Ta merupakan orang yang tinggi hati dan menganggap Aru Bontorihu maupun Tuan Bendahara bukan orang yang layak untuk diajak berdiskusi. Meski demikian, kehadiran sosok panglima perang tanpa menghadirkan pengalaman perang yang pernah dilaluinya serta tidak diungkapkan bagaimana visi yang dimilikinya terhadap kerajaan yang dibelanya, merupakan suatu tanda tanya besar. Apakah H.J. Frediericy dalam novelnya Sang Jenderal bermaksud menyembunyikan visi dari sang panglima perang Bone, ataukah ia tidak memiliki gambaran tentang visi yang mungkin dimiliki oleh seorang panglima Bugis sehingga tidak digambarkan dalam novel ini? Jawabnya pada hemat penulis cukup sederhana. Sebab novel ini tidak hendak bercerita tentang bagaimana bangsa Bugis menghadapi musuh-musuhnya, atau bagaimana bangsa Bugis menatap masa depan di tengah konflik antar kerajaan tetangga maupun dengan Belanda. Novel ini tidak bercerita tentang bagaimana kejatuhan bangsa Bugis akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Belanda. Namun novel ini bercerita tentang orang-orang yang pasti akan dikalahkan oleh Belanda. Tokoh lain yang cukup sentral namun tidak mendapat porsi selayaknya adalah Arumpone. Sebagai seorang raja dari bangsa Bugis, tentunya memiliki pandangan tersendiri tentang bagaimana bangsa Bugis nanti akan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah situasi yang dihadapi pada saat itu. Sudut pandang Arumpone tentu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya saja seorang bendahara negeri atau panglima perang. Yang menentukan hitam dan putihnya kerajaan Bone adalah Arumpone. Yang menentukan kelangsungan kerajaan Bone sepuluh atau seratus tahun ke depan adalah Arumpone. Namun dalam banyak percakapannya dengan Mappa tidak sekalipun nampak visi dari seorang raja bangsa Bugis. Bahkan Arumpone lebih banyak digambarkan dengan kondisi fisiknya yang sudah lemah, seolah mencerminkan kondisi kerajaan Bone pada saat itu, namun yang tak kunjung mati juga. Dari tokoh Arumpone kebencian terhadap Belanda terucap. Arumpone mempersiapkan Aru Bontorihu terutama untuk menghadapi Belanda. “Belanda itu telah membunuh saudara perempuanku. Seusai perang terakhir ia meninggal karena sakit hati. Mereka tidak pernah berhenti mengganggu kita. Tidak pernah. Dua ratus tahun yang lalu mereka membantu leluhurku Aru Palakka melawan orang Goa. Tetapi semasa hidupnya mereka telah meninggalkan Bone. Karena kerajaan itu telah menjadi terlalu berkuasa. Dan kemudian kekuasaan mereka sendiri bertambah besar. Seluruh Pantai Selatan berada di tangan mereka. Serangkaian benteng membentang sepanjang laut dari barat ke timur, dari Goa sampai Bone: Takalar, Alu, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Bikeru, Kajang, dan Balanipa. Kalaulah hanya soal berniaga aku tidak akan peduli.” (Sang Jenderal, halaman 96) Juga pada kutipan berikut: “Tetapi mereka menghendaki kita, para aru, agar takluk kepada mereka! Lihatlah Karaeng Bantaeng! Seratus meter dari rumahnya tinggal seorang Tuan Petoro. Dan ia boleh bungkuk terhadapnya! Dialah yang menjadi tuan di negeri ini!” Suara yang parau itu meninggi. “Kalau aku membayangkan bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi di sini, aku tidak dapat menahan amarah. Seorang Belanda menjadi tuan di Bone? Bedebah! Anjing keparat! Dengan wajah mereka yang pucat dan hidung yang panjang!” (Sang Jenderal, halaman 97) Dari kutipan terakhir samar-samar dapat dilihat bagaimana visi seorang Arumpone. Pada kutipan tersebut secara tidak langsung menyatakan tentang kehendak kerajaan Bone untuk merdeka dan berdaulat, untuk tidak tunduk terhadap bangsa lain yang hendak menjajah negerinya. Sebagai tuan di negeri sendiri. Namun sayangnya pada kedua petikan di atas rakyat Bone yang merupakan bagian tak terpisah dari kerajaan Bone tidak mendapat perhatian dari Arumpone. Tidak dikatakan bagaimana nasib rakyat Bone seandainya Belanda berkuasa. Yang diperhatikan adalah nasib Arumpone, nasib bangsawan Bone. Ketidakpedulian penguasa terhadap rakyatnya, akan muncul dalam gambaran tokoh Mappa sebagai Aru di wilayah Bontorihu berhadapan dengan rakyatnya. Bahwa rakyat tidak mendapat tempat dalam pandangan Arumpone tentu layak dipertanyakan. Apakah memang serupa itu pemikiran seorang raja atau ‘perhatian Arumpone pada rakyat’ tidak diberi tempat dalam novel ini? Pada hemat penulis, dalam novel ini eksistensi rakyat tidak banyak mendapat tempat, kecuali sebagai objek upeti. Novel ini lebih banyak bercerita tentang bangsawan Bone yang tengah berada dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial, terutama tokoh-tokoh yang berada dalam lingkaran tokoh Mappa. Masih melalui tokoh Arumpone tercermin keadaan kerajaan Bone pada masa itu. Bagaimana keadaan Arumpone dalam novel ini digambarkan dapat dilihat pada petikan-petikan berikut: Dari dalam tandu itu seorang tua mengulurkan tangan kepadanya. Aru Bontorihu menyentuhkan tangan itu ke kepalanya. Setua inikah raja yang baru? (halaman 63) Dalam cahaya yang lembut, yang menerawang melalui jendela-jendela kecil berjeriji, raja tua itu seakan-akan telah wafat. (halaman 74) Hari berikutnya Aru Bontorihu harus menghadap Sang Raja yang, lelah dan wajahnya bersinar kuning, ditopang sejumlah bantal duduk di atas tempat tidurnya...Kemudian Tomarilalang berkata pelan bahwa sekarang mereka harus meninggalkan ruangan itu karena sebetulnya Arumpone sedang sakit. (halaman 90-91) Sang Raja yang duduk di atas tempat tidur besar dengan ditopang sejumlah bantal sutera di punggungnya, menyambutnya dengan senyum dan memanggil seorang budak dari sudut ruangan yang gelap untuk menghidangkan kopi…(halaman 92) Sang Pangeran (Aru Bakka, pen) berbicara tentang saudaranya dengan hormat dan terkadang dengan nada agak lembut, misalnya, sambil menggelengkan kepala ia menyesalkan Sang Raja yang terus terbaring di tempat tidur dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya. (halaman 107) Ia (Arumpone, pen) sudah tua, dan lebih mati daripada hidup. (halaman 115) Tomarilalang, yang bermaksud agar pertemuan antara Ban Seng Hoat dengan Arumpone dihadiri oleh Aru Bontorihu, memberitahukan bahwa Baginda sakit dan tidak sanggup membicarakan apapun. Menjelang tengah hari Arumpone agak membaik dan ia menerima kedatangan Tomarilalang dengan orang cina itu. (halaman 154) Ketika rombongan sudah lengkap, mereka dipersilahkan memasuki kamar tidur Arumpone. Ditopang sejumlah bantal, Sang Raja duduk di atas tempat tidur yang besar. (halaman 163) Dari petikan-petikan di atas dapat kita lihat bagaimana keadaan raja Bone: tua, lelah, selalu duduk di atas tempat tidur dengan sejumlah bantal, dan seolah lebih mati ketimbang hidup. Gambaran Sang Raja ini seolah-olah merupakan gambaran dari kerajaan Bone pada waktu itu. Kerajaan yang berada di ambang kejatuhan. Dan kejatuhan itu seperti sebuah keniscayaan. Seolah hendak disampaikan bahwa tanpa serbuan Tentara Belanda pun, kerajaan Bone akan runtuh dengan sendirinya. Sebab pemimpinnya hanyalah seorang tua yang hanya bisa duduk di atas tempat tidur dengan ditopang sejumlah bantal. Sebab yang ada pada Arumpone hanyalah kebencian terhadap Belanda, sedang proses keunggulan yang ada pada Belanda dari perang yang sudah lalu tidak dibicarakan. Sebab Arumpone yang pernah turut melawan Belanda tidak bercerita tentang strategi perang Belanda yang menyebabkan mereka menang. Sebab Sang Raja hanya menambah jumlah senapan, peluru, dan mesiu, tapi tidak memperbaiki cara bertempur prajuritnya. Sebagai sebuah kerajaan maritim di Nusantara, yang tentu sudah pernah berinteraksi dengan bangsa Eropa lain selain Belanda, tidak nampak jejak-jejak interaksi bangsa Bone dengan bangsa lain yang dapat diserap dan diadopsi kemajuannya. Dalam novel ini seolah-olah hendak dikatakan bahwa kondisi itulah yang paling mungkin dicapai oleh bangsa Bugis. Tidak akan bisa lebih. Dengan demikian maka sudah semestinya bangsa Bugis tunduk pada peradaban modern yang dalam hal ini diwakili oleh: Belanda. Dari sekian banyak tokoh yang ada dalam novel Sang Jenderal, terdapat satu tokoh yang menarik untuk disimak, yaitu Aru Bakka. Aru Bakka merupakan saudara lain ibu dari Arumpone. Dibandingkan dengan tokoh lain, Aru Bakka menampilkan citra seorang bangsawan yang modern. Dia menghindari kehidupan keraton yang telah merosot moralnya. Kemudian berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain di Jawa, Sumatera, maupun Singapore. Meski petualangan itu digambarkan secara singkat, namun jelas bahwa melihat dunia luar lebih banyak dibanding dengan tokoh-tokoh lain yang ada di dalam novel ini. Selain itu, melalui sosok Aru Bakka visi kaum bangsawan Bugis digambarkan. “Untuk kita orang Bugis dan Makassar belum terlambat, Mappa. Belum. Sebagian besar dari kita masih tegak berdiri. Di sebelah selatan Belanda berkuasa, tetapi mereka tidak berbuat banyak dan saya tidak yakin bahwa mereka berarti banyak. Mereka tidak menguasai Goa, juga tidak Bone, dan Soppeng, Wajo, Ajataparang, dan Luwu juga tidak. Tetapi siapa yang bisa bertindak sebagai pimpinan? Yang harus mengambil pimpinan?....Karena, seharusnya saudarakulah yang memimpin agar semua Aru dan Karaeng bangsa Bugis dan Makassar terhimpun dalam satu ikatan yang kuat untuk mengusir Belanda dan mengusahakan agar kita tetap menjadi tuan di negeri sendiri. (halaman 114-115) Lepas dari apakah kalimat yang disampaikan oleh Aru Bakka tersebut merupakan bujuk rayu agar Mappa mau menuruti kehendaknya, namun dari dialah visi tentang persatuan dan kemerdekaan hadir dalam novel ini. Bukan hanya itu, tokoh Aru Bakka ini juga menekankan bahwa kaum bangsawan Bugis harus meninggalkan kebiasaan buruk mereka dan mulai menatap masa depan mereka. Bangsa Bugis yang seolah tertidur harus segera dibangunkan, dengan jalan meninggalkan kebiasan buruk dan menuju persatuan. Kesan ideal seorang pemimpin yang berpikiran maju, jika dibandingkan dengan tokoh lain, hanya bisa dilekatkan pada tokoh Aru Bakka. Melalui pandangan-pandangannya yang tertuang secara singkat, dengan mudah kita bisa menunjuk bahwa sosok Aru Bakka memang layak menjadi seorang Arumpone. Atau setidaknya tokoh yang diidealkan untuk memimpin bangsa Bugis dan Makassar untuk keluar dari ancaman kolonial. Namun kita tidak boleh terjebak dalam pandangan sesederhana itu. Sudah sejak awal sekali tokoh Aru Bakka ini digambarkan sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, orang yang penuh muslihat. Pesta-pesta besar di Rumah Bakka bisa jadi merupakan sarana untuk memperoleh pengikut untuk menaikkan dirinya menjadi Arumpone. Sebab keberadaan tokoh Aru Bakka dalam novel ini dipertentangkan dengan Arumpone, sebagai lawan politik sekaligus simbol perpecahan dalam tubuh kerajaan Bone. Dengan kata lain, Aru Bakka belum bisa dikatakan sebagai perwujudan dari cita-cita bangsa Bugis. Sudah sejak awal sekali tokoh ini digambarkan sisi kelicikannya. Kendatipun ia seorang pemberani dan tidak gentar menghadapi pertarungan satu lawan satu, sudah pasti banyak lawannya telah ia singkirkan dengan cara membokong. (halaman 100) Bentrok Bone vs Belanda Dalam novel ini diceritakan bahwa perang antara Bone vs Belanda terjadi dua kali. Pertama pada saat Mappa masih sangat muda. Kedua pada saat Mappa telah menjadi panglima perang kerajaan Bone. Perang pertama tidak diceritakan secara rinci jalannya peperangan. Perang diceritakan melalui ayah Mappa yang berangkat bersama pasukannya dan kembali dengan menelan kekalahan. Perang kedua diceritakan dengan lebih rinci jalan peperangan mulai dari kabar berangkatnya kapal perang Belanda dari Jawa hingga kekalahan yang diderita oleh kerajaan Bone. Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa dari segi militer Belanda jauh lebih unggul dari Bone. Namun keunggulan Belanda atas Bone pada novel ini tidak hanya tergambar melalui kedua perang yang dimenangkan oleh Belanda saja. Apabila diperhatikan keunggulan Belanda banyak tersebar pada halaman-halaman novel baik dari sisi militer, peralatan, maupun sosial–budaya. “Kalian kira akan sanggup menghadapi belanda itu? Kompeni mempunyai ribuan serdadu dengan ribuan senapan. Dari mana kita mendapatkan semua itu? Senapan kan mahal dan prajurit harus dibayar. Boleh saja aku percaya bahwa Arumpone cukup kaya untuk memiliki serdadu dan senapan sama banyaknya seperti Kompeni. Tetapi di mana uangnya? Coba tengok, kawan. Tengoklah pelacur-pelacur anggun di Watampone yang dilapisi permata dan perhiasan! Tengoklah semua bocah lelaki yang diperkosa! Tengoklah para penghisap madat yang kurus pucat di istana! Tengoklah para penjudi! Kalian goblok. Kalian memang pantas untuk dihancurkan.” (halaman 43) Dari petikan di atas dapat dilihat bagaimana I Base, meski dilandasi sikap apatis dan kebencian terhadap gaya hidup kerajaan, mengkritik kebiasan buruk para bangsawan di lingkungan istana Bone. Para bangsawan telah begitu merosot moralnya. Mungkinkah para bangsawan yang telah merosot moralnya itu sanggup memimpin rakyatnya untuk berjuang dan berperang melawan Belanda? Tidak akan sanggup. Bahwa karena sudah begitu merosotnya moral di kalangan para bangsawan, mereka itu pantas untuk dihancurkan. I Base sebagai Aru Bontorihu pada saat itu, dan bagian dari kelas Bangsawan Bone merupakan suara dari dalam lingkungan Bone yang menyatakan bahwa Belanda lebih unggul dibandingkan Bone. “Di kalangan sendiri mereka (Belanda, pen) tidak berbahasa Makassar atau Bugis, tetapi bahasa sendiri…Biasanya mereka juga lebih kuat dan mereka tahu segala sesuatu lebih baik dari kita.” Dan Samaila bercerita tentang rumah batu orang Belanda, tentang kapal tanpa layar, serta tentang senapan. (halaman 44-45) Melalui Samaila, tokoh yang pernah berkunjung ke Makassar dan melihat langsung orang-orang Belanda yang ada di sana, dapat dilihat bagaimana secara budaya dan teknologi Belanda lebih unggul. Dari segi militer, keunggulan Belanda atas Bone sangat kentara sekali. Tidak melulu melalui bentrok fisik keunggulan itu digambarkan, tapi juga melalui perang antara Bone dan Wajo. Pertama dari sisi prajurit atau tentara yang akan berangkat di medan perang. Dalam membentuk prajurit, kerajaan Bone mengumpulkan prajurit dari kantung-kantung wilayah yang menjadi taklukan kerajaan Bone seperti Bontorihu misalnya. Dua kali Aru Bontorihu menerima utusan dari Watampone yang meminta kesediaan Arunya untuk mengirimkan prajurit. Pertama saat perang melawan Belanda yang terjadi pada masa I Base menjadi Aru. Kedua saat Mappa yang menduduki jabatan sebagai Aru. Tidak dikatakan apakah prajurit-prajurit Bone yang berasal dari kantung-kantung taklukan tersebut merupakan prajurit yang terlatih ataukah dari golongan petani. Namun yang pasti, prajurit-prajurit itu tidak menjalani disiplin dan latihan ketat militer. Sementara itu di sisi lain, pasukan Belanda yang akan menghadapi pejuang Bone adalah prajurit terlatih yang memiliki pengalaman perang di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui tokoh Ban Seng Hoat: “Belanda mengadakan persiapan perang. Di Aceh, di Sumatera, setelah bertahun-tahun perang, mereka telah berhasil mematahkan perlawanan. Sekarang mereka ke arah sini.” (halaman 147) Jika para pasukan Belanda telah menjelajah wilayah yang luas dan mampu mematahkan perlawanan tuan rumah Aceh di negeri mereka sendiri, tidak demikian halnya dengan para prajurit Bone yang kelak akan berhadapan dengan Belanda. Prajurit Bone hanya memenangkan peperangan melawan kerajaan Tetangga: Wajo dan Soppeng. Dalam catatan sejarah, Perang Aceh yang antara Belanda melawan Aceh berlangsung dalam kurung waktu yang cukup panjang. Perang pertama berlangsung antara tahun 1873-1874. Perang kedua berlangsung antara tahun 1874-1880. Perang ketiga berlangsung antara tahun 1881-1896. Kemudian berakhir dengan jatuhnya kesultanan Aceh pada tahun 1904, meski perlawanan secara sporadic terhadap Belanda terus berlanjut setelah jatuhnya kesultanan. Sementara itu ekspedisi militer yang dilakukan oleh prajurit Bone pun tidak seluas prajurit Belanda. Ekspedisi militer yang dilakukan oleh prajurit Bone hanya sebatas ke daerah taklukan di perbatasan. Maka dari segi pengalaman berperang sudah bisa diketahui siapa yang lebih unggul. Keunggulan Belanda atas Bone juga nampak pada pengaturan jalannya peperangan serta peralatan yang digunakan untuk mengatur strategi. Di bidang militer, keberadaan sebuah peta sangat krusial. Peta sangat dibutuhkan untuk mengenali medan yang akan dihadapi. Rencana alur serangan, pertahanan, penentuan posisi dan letak yang strategis membutuhkan alat bantu berupa peta. Bagi Belanda, dan orang-orang Eropa pada masa itu, keberadaan sebuah peta bukanlah hal yang baru. Bahkan merupakan alat bantu yang memungkinkan mereka mencapai tempat-tempat yang sebelumnya tidak diketahui. Sehingga tanpa perlu dikatakan, pasukan Belanda pasti menggunakan peta dalam strategi perang mereka. Namun tidak demikian dengan para panglima kerajaan Bone. Dalam menyusun strategi perang mereka tidak menggunakan peta. Dalam persiapan menghadapi pasukan Wajo dapat diketahui bagaimana seribu lima ratus prajurit diatur di atas sebuah tikar. Dengan lima ratus prajurit ia (Aru Ta) akan mara ke pada luas. Serangan frontal. Kurang lebih dari selatan ke utara. Dengan jari telunjuk ia menggambar sebuah persegi panjang bayangan di atas tikar dalam batas cahaya lampu. Di sayap kiri Aru Macege bersama lima ratus prajurit akan mara bersama, sebaik mungkin tersembunyi oleh pohon-pohon di sisi padang sebelah barat. Namun, ia tidak turut dalam pertempuran sebelum ternyata bahwa musuh lebih kuat daripada pasukan Aru Ta. Aru Bontorihu bersama lima ratus prajurit akan bersiap di sayap kanan sebagai cadangan di dalam hutan yang cukup lebat sampai ia dipanggil. (halaman 84) Strategi seribu lima ratus prajurit ditentukan melalui bayangan! Bisa jadi perencanaan strategi perang yang sederhana tersebut dikarenakan para panglima perang telah mengenal dengan baik medan yang akan digunakan sebagai pertempuran. Namun cara tersebut hanya cocok digunakan dalam pertempuran yang bersifat lokal. Pertempuran dengan kerajaan yang peradaban dan budayanya kurang lebih sama. Namun cara tersebut jelas tidak dapat digunakan untuk berperang melawan Belanda. Belanda yang telah berperang di banyak tempat, tidak dapat dihadapi dengan pengaturan strategi seperti di atas. Pada bagian-bagian berikutnya, ketika bentrok dengan Belanda sudah di depan mata, tidak diceritakan bagaimana pejuang-pejuang Bone diatur dengan strategi militer. Strategi menghadapi Belanda dilakukan dengan “Di arah menuju ke laut secepat mungkin harus dibangun segala jenis pertahanan, para hulubalang dan aru harus secepatnya dikumpulkan bersama pasukan mereka, dan senapan baru harus dibagikan kepada para penembak yang terbaik.” Selanjutnya, strategi peperangan bersandar pada ramalan dari orang-orang Arab yang bertidak sebagai Kadi Bone. Selain kelengkapan dalam mengatur peperangan, dari jalannya perang antara Bone melawan Wajo juga dapat diketahui bagaimana kualitas tempur prajurit kerajaan Bone, sekaligus prajurit kerajaan tetangga bone dan kerajaan-kerajaan lain yang berada di jazirah Sulawesi Selatan. Peperangan yang berlangsung antara Bone melawan Wajo jauh sekali tertinggal apabila dibandingkan dengan misalnya perang-perang di Eropa pada masa Napoleon Bonaparte. Dari formasi pasukan kavalari misalnya, di Eropa sudah dibedakan antara kavalari ringan dan kavalari berat untuk pasukan berkuda mereka yang masing-masing pasukan memiliki fungsi yang berbeda dalam peperangan. Begitu juga dengan pasukan infantri yang memiliki beberapa bentuk seperti line infantry dan light infantry. Pasukan-pasukan Eropa ini dalam berperang akan berbaris rapi membentuk kolom formasi sesuai dengan pasukan yang akan dihadapi. Jika berhadapan dengan pasukan infantri pasukan akan membentuk formasi kolom memanjang. Namun jika berhadapan dengan pasukan kavaleri, pasukan akan berbaris membentuk sebuah persegi yang menghadap empat sisi dengan meninggalkan ruang kosong pada bagian tengah. Dengan formasi persegi ini, pasukan kavaleri akan kesulitan menembus pertahanan pasukan infantri. Dalam novel Sang Jenderal, pasukan kerajaan Bone tidak memiliki pengetahuan mengenai formasi atau susunan perang seperti ini. Dalam berperang melawan Wajo, prajurit Bone disusun dalam formasi persegi panjang. Gerak pasukan ke arah barisan lawan tidak terstruktur, begitu juga sebaliknya. Tembakan dan teriakan dilepas tanpa komando yang rapi. Terdengar sebuah tembakan dan suaranya tenggelam dalam kegaduhan teriakan dan makian orang Bone. Dari pasukan Wajo yang mendekat pelan juga terdengar bermacam teriakan namun hampir tidak terdengar. Dari atas pohon Mappa melihat kedua pasukan saling mendekat. Barisan depan semakin melebar, tetapi karena barisan terdepan lebih banyak menari ketimbang berjalan, jarak antara kedua pihak itu lamban sekali mengecil. (halaman 86) Seandainya dalam novel Sang Jenderal gabungan pasukan Wajo dan Bone pada saat itu bertempur dengan pasukan Belanda di padang yang luas itu, tentu sudah dapat diketahui pasukan mana yang akan memenangkan pertempuran. Aspek lain yang menunjukkan keunggulan Belanda atas Bone adalah dari segi budaya. Sebelumnya sudah dibahas bahwa dari segi budaya dan teknologi Belanda memiliki sejumlah keunggulan. Lebih dari itu, dalam novel Sang Jenderal Belanda tergambar sangat jelas mendominasi Bone. Tomarilalang menyilahkan utusan itu mengambil tempat, namun dia menggelengkan kepalanya sebentar dan dari kantung di dalam dadanya mengeluarkan sebuah amplop. Dari dalam itu ia mengambil sehelai surat, dan setelah dibuka dan diratakannya ia mulai bicara. Aru Bontorihu sempat terperangah. Belanda ini berbicara dalam bahasa Bugis dengan lancarnya, bahkan dalam logat bahasa Bugis dari istana Bone. Utusan itu – seorang Tuan Petoro – oleh Gubernur Makassar ditunjuk untuk menyampaikan pesan Tuan Besar di Bogor. (halaman 160-161) Dalam novel ini sama sekali tidak dikatakan berapa banyak orang Bugis yang mampu berbahasa Belanda dengan baik. Juga tidak dikatakan berapa banyak bangsawan yang telah melihat atau berinteraksi dengan bangsa lain. Hanya ada tokoh Aru Bakka itupun cenderung digunakan untuk mempengaruhi bangsawan lain, seperti Aru Bontorihu, untuk dapat melanggengkan maksudnya merebut kekuasaan. Tidak adanya orang Bugis yang bisa berbicara dalam bahasa Belanda seolah menunjukkan bahwa bangsa Bugis memang sudah semestinya tunduk pada kekuasaan Belanda. Belanda telah menguasai Bugis dari segi budaya, dan dari segi militer akan ditunjukkan pada bagian akhir novel Sang Jenderal melalui agresi militer yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Bone atau dikenal dengan Rumpa’na Bone. Rumpa’na Bone (Bobollah Bone) Rumpa’na Bone atau bobollah Bone, merupakan seruan yang mashyur dalam mengungkapkan keruntuhan Kerajaan Bone. Seruan ini berasal dari pernyataan Raja Bone ketika menyaksikan gugurnya Putra Mahkota Bone dalam perang melawan Belanda. Dalam novel Sang Jenderal, Aru Bontorihu menyerahkan komando atas pasukan di Watampone kepada putra mahkota. Dia sendiri hendak bersiap menyongsong kemungkinan musuh akan melakukan pendaratan di Tanjung Pattiro. Gugurnya putra mahkota sebagai benteng kerajaan Bone digambarkan sangat singkat. Tidak lebih dari dua kalimat. Gugurnya putra mahkota digambarkan satu dari serangkaian kejadian yang berujung pada kekalahan Pasukan Bone. Tidak digambarkan bagaimana perjuangan sang putra mahkota dalam peperangan. Padahal tokoh inilah yang menjadi penentu jalannya peperangan. “Dalam perjalanan ke Bajowe Putra Mahkota bertabrakan dengan pasukan pendarat Belanda. Ia tewas dalam pertempuran yang menyusul, sementara pasukannya kocar-kacir. Dengan sebuah kursi tandu Arumpone melarikan diri dan sekarang sudah sekitar lima jam dalam perjalanan ke arah utara.” (halaman 177) Sebenarnya dapat dipahami mengapa gugurnya Putra Mahkota dan pelarian Arumpone selanjutnya tidak mendapat tempat. Sebab novel ini berkisah tentang tokoh Mappa. Dua peristiwa dalam petikan di atas merupakan bagian dari perjalanan Aru Bontorihu yang tidak perlu diceritakan dengan detail. Padahal antara Aru Bontorihu sebagai jenderal dan Putra Mahkota sebagai benteng Watampone tentu memiliki hubungan yang istimewa. Sebab seorang jenderal memilih meninggalkan kota untuk menyongsong musuh dan menyerahkan pertahanan kepada Putra Mahkota, tentu sang jenderal tahu bahwa Putra Mahkota memiliki kemampuan untuk mempertahankan kota. Namun hubungan istimewa yang mungkin ada antara Sang Jenderal dan Putra Mahkota tidak tergambar sama sekali. Dalam persiapan perang menghadapi Belanda tidak nampak bagaimana ketrampilan seorang jenderal dalam Menyusun strategi militernya. Pada halaman-halaman sebelumnya diketahui bahwa Aru Bontorihu merupakan seorang panglima yang sangat berhati-hati dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan pertama melawan Wajo dia selalu berusaha untuk mengukur seberapa besar kekuatan lawan. Begitu juga dengan taktik yang mungkin dilakukan oleh pihak lawan. Bahkan dalam perang-perang selanjutnya, sebelum pertempuran sudah diketahui siapa pemenangnya karena kekuatan pasukan lawan sudah diketahui kemampuannya. “Dan ketika mara dalam perang, ia tahu betul berapa orang yang akan dikerahkan Wajo, berapa banyak senapan locok dan senapan baru yang mereka punya, serta di mana saja mereka membangun benteng dan rintangan lainnya.” (halaman 136). Namun tidak demikian halnya ketika menghadapi Belanda. Aru Bontorihu tidak diceritakan menyebar mata-mata ke setiap penjuru Bone untuk mengantisipasi gerak-gerik musuh. Juga tidak diceritakan ada atau tidaknya usaha Aru Bontorihu untuk mengetahui kekuatan musuh yang akan mendarat di Kerajaan Bone. Tugas mata-mata dalam perang ini lenyap dan digantikan oleh ramalan. Tidak adanya mata-mata ini juga nampak jelas dari tidak diketahuinya pergerakan kapal perang Belanda. Kapal perang Belanda sebelumnya telah kandas di atas karang pada kamis siang. Berita ini sangat menggembirakan. Namun tidak satupun perhatian tertuju pada apa yang akan terjadi selanjutnya: apakah kapal itu akan tenggelam atau kembali lagi ke Jawa? Kapal perang Belanda akhirnya diketahui bisa lepas pada hari Jumat. Tidak ada yang memberikan kabar ini kepada Aru Bontorihu. Atau bisa jadi tidak ada satupun orang Bone yang mengetahui. Padahal pada hari Sabtu Aru Bontorihu berperang menghadapi Belanda di rawa dan memenangkannya. Bahkan pada malam harinya mereka berpesta untuk merayakan kemenangannya. Padahal seperti diketahui bahwa Belanda datang dalam satu armada meski tidak disebutkan detail berapa banyak jumlah kapal yang datang Bone. Lepasnya kapal perang Belanda yang kandas baru diketahui pada hari Minggu oleh Aru Bontorihu, itu pun setelah Bone jatuh di mana Putra Mahkota telah gugur dan Arumpone melarikan diri ke utara. Jadi pada Jumat malam, atau paling lambat Sabtu malam tidak ada seorang pun di Bone yang mengabarkan kepada Aru Bontorihu bahwa kapal telah lepas. Dalam pertempuran ini Aru Bontorihu seolah-olah berhadapan dengan hantu. Tidak ada jumlah kapal yang pasti yang diketahui mengangkut serdadu-serdadu Belanda. Tidak ada angka taksiran tentang berapa banyak jumlah serdadu yang akan mendarat di pantai-pantai kerajaan Bone. Berapa banyak jumlah senapan yang mereka miliki atau berapa banyak jumlah persediaan yang mereka bawa. Penutup Novel Sang Jenderal karya H.J. Frediericy ini sering disebut sebagai novel sejarah yang kaya akan unsur sosial-budaya yang terkait dengan kehidupan bangsawan Bugis sebelum keruntuhan kerajaan Bone. Halaman demi halaman memang menyajikan kisah perjalanan seorang Aru yang penuh dengan petualangan. Dari novel ini kita dapat mengenal cara pengangkatan seorang aru yang akan mendiami rumah panggung serta bagaimana arajang yang merupakan simbol legitimasi kekuasan seharusnya diperlakukan. Dari novel ini juga pembaca diperkenalkan dengan kegemaran kaum bangsawan Bugis seperti berburu rusa, kegemaran berpesta, hingga permainan judi kuno: tongko. Kemerosotan bangsawan di lingkungan istana juga tergambar dalam novel ini. Selain itu, dalam novel ini pembaca akan dibawa menjelajahi tempat-tempat tua yang hingga kini namanya masih dapat dikenali seperti Lamuru, Pampanua, Bontorihu, maupun tempat-tempat lain yang masuk dalam wilayah taklukan Bone. Meski berhasil merekam keadaan sosial pada masa itu, namun novel ini tidak merekam semangat serta visi kaum bangsawan Bugis yang ingin merdeka dan menjadi tuan rumah di negeri mereka sendiri. Visi serta cita-cita bangsawan Bugis tidak mendapat tempat dan lebih tenggelam oleh kisah kemerosotan moral yang terjadi. Begitu juga dengan kemajuan sosial-budaya yang mungkin dicapai oleh rakyat Bone pada masa itu, tidak mendapat tempat dalam Novel ini. Sebagai penutup, perlu disampaikan sisi lain dari Aru Bontorihu yang ternyata bisa berbahasa Melayu meski sedikit. Bahasa yang pada masa itu digunakan sebagai lingua franca oleh penduduk nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa Aru Bontorihu, yang pada bagian akhir menyamar sebagai Sampara Daeng Malewa, sedikit banyak pernah menjalin komunikasi dengan suku bangsa lain di nusantara. Pergaulan dengan suku bangsa lain yang mungkin datang ke Bone tentu memberikan gambaran kepada Aru Bontorihu mengenai situasi di luar Bone pada masa itu. Sayangnya hal itu tidak tergambar dalam novel ini. “Ternyata ia bisa sedikit berbahasa Melayu dan, seperti kebanyakan orang Bugis, mudah tertawa.” (halaman 181) Surabaya, 03 Maret 2021

Senin, 08 Februari 2021

GERAK YANG MENGHILANG DALAM DUNIA BATIN SI AKU LIRIK

SEBUAH PEMBACAAN ATAS ANTOLOGI PUISI MEDY LOEKITO YANG BERJUDUL “AIR MATA TUHAN”

 


Air Mata Tuhan merupakan antologi puisi Medy Loekito yang diterbitkan pada tahun 2009. Buku ini memuat setidaknya seratus puisi pendek. Disebut puisi pendek karena puisi-puisi di dalamnya sebagian besar hanya terdiri dari beberapa larik dengan penggunaan kata yang sedikit. Seperti puisi berjudul “Le Perfait” misalnya, puisi ini terdiri dari dua larik yang pendek: batu/di bening Bulan. Atau pada puisi “Fajar di Maninjau”, puisi ini terdiri dari dua larik dengan masing-masing larik berisi dua kata: penjala tua/menyergap gigil.

Meski dari segi bentuk puisi-puisi di dalamnya dapat dikatakan pendek, namun untuk memaknainya tidaklah sesederhana bentuk yang ditampilkannya. Hubungan antar kata, baris, bait, sangat mungkin menyembunyikan simbol yang tak hendak ditampilkan dalam puisi. Sebagai contoh kata biru misalnya; kata ini tidak hanya dimaknai sebagai warna dari sebuah benda. Kata ini dapat menyiratkan adanya luka memar atau lebam akibat sel-sel darah merah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Atau kata bening sebagai contoh lagi; tidak hanya dipahami sebagai kejernihan warna sebuah benda, namun juga perlu dimaknai sebagai gerak dari benda itu.

Sayangnya tidak ada titimangsa pada tiap puisi sehingga tidak diketahui rentang waktu penulisan puisi-puisi pendek tersebut. Tidak seperti antologi puisi Medy Loekito yang berjudul “Jakarta, Senja Hari” di mana puisi-puisi di dalamnya terdapat titimangsa.

Penulisan titimangsa ini bisa dikatakan penting namun juga bisa dikatakan tidak penting. Penting karena dengan mengurutkan puisi-puisi yang sudah ditulis dapat diketahui perkembangan ide, tema, ataupun gerak pergulatan batin penulis selama menekuni bidang penulisan. Penting karena dengan titimangsa dapat diketahui penggunaan kata tertentu, penggambaran ruang tertentu, atau nuansa-nuansa tertentu yang hanya dapat digambarkan pada saat puisi itu ditulis. Meski begitu, penulisan titimangsa merupakan hak penulis. Tentunya penulis memiliki pertimbangan tersendiri apakah perlu titimangsa dituliskan dalam setiap puisinya atau tidak.

Tulisan ini akan mencoba untuk mengupas puisi-puisi Medy Loekito yang terangkum dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan. Dikarenakan pada masing-masing puisi tidak terdapat titimangsa, pembahasan ini akan mengabaikan urutan dari halaman-halaman puisi.

Dan yang tak kalah penting, mengapa penulis memilih antologi ini untuk dikupas dikarenakan alasan yang subjektif. Penulis merasa bisa menikmati puisi-puisi yang ada di dalamnya. Meski demikian, bukan berarti penulis memahami dengan baik dan benar puisi-puisi tersebut. Berawal dari kenikmatan pada pembacaan puisi itulah penulis bermaksud untuk berbagi pengalaman atas pembacaan puisi-puisi Medy Loekito.

Dengan kata lain, tulisan ini tidak bersifat ilmiah dengan metode yang ketat. Namun lebih kepada pemaparan pengalaman penulis. Meski begitu, sedapat mungkin tulisan ini mengikuti ketentuan-ketentuan ilmiah dalam mengapresiasi karya sastra.

Hal yang menarik dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan ini adalah bagaimana si aku lirik menggunakan gerak alam sebagai metafora untuk menggambarkan pergulatan batinnya. Alam sebagai sumber metafora memang tak akan pernah habis untuk dijelajahi. Setiap gerak, setiap irama, setiap suara, pada setiap materi di alam mengandung metafora yang menanti untuk dikuak, menanti untuk dibahasakan ke dalam kata-kata yang pada akhirnya diwakilkan untuk mengungkapkan pergulatan batin si aku lirik.

Pada puisi yang berjudul “Akhir” dapat dilihat bagaimana gerak alam digunakan sebagai perbandingan untuk menggambarkan pergulatan batin aku lirik.

Akhir

pada tajam karang

akhir

perlawatan

samudera

 

pada geram hati

akhir

perjuangan

doa

 

Puisi di atas terdiri dua bait yang sejajar. Dikatakan sejajar karena masing-masing bait memliki empat baris dengan jumlah kata yang sama pada tiap baris. Selain itu baris pertama dari masing-masing bait merupakan akhir dari sebuah gerak atau pekerjaan yang dilakukan oleh materi pada baris ketiga dan keempat.

Dari segi susunan, puisi ini memanfaatkan susunan yang ada dalam pantun. Bait pertama merupakan sampiran. Si aku lirik pada bait pertama menggambarkan pemandangan alam yang dapat mewakili pergulatan di dalam batinnya. Sedangkan bait kedua merupakan isi. Pada bait kedua ini si aku lirik menyampaikan apa yang tengah bergulat di dalam batinnya.

Pada bait pertama baris pertama terdapat frasa tajam karang. Penggunaan kata tajam menunjukkan adanya sebuah objek yang dapat mengiris atau melukai. Kata ‘tajam’ berkait erat dengan objek-objek yang dapat menyakiti aku. Secara leksikal kata tajam tidak dapat dipisahkan dengan pengertian sebagai benda yang dapat menyakiti aku. Kata tajam ini tidak hanya melekat pada benda-benda seperti pisau, belati, pedang, cangkul dan lain-lainnya di mana pada bagian benda-benda itu memiliki sisi yang bermata tipis dan dapat melukai. Kata tajam juga dapat melekat pada benda seperti lidah yang berarti adanya kata-kata yang menyakitkan yang keluar dari lidah seseorang yang mana dapat melukai atau menyakiti perasaan orang lain. Sedangkan objek yang dapat menyakiti aku itu pada baris ini adalah karang.

Pemilihan objek karang ini terkait erat dengan latar belakang alam yang hendak dibangun dalam puisi ini. Secara sederhana, pemilihan objek yang akan dilekati dengan kata sifat tajam akan menentukan latar belakang yang akan terbentuk selanjutnya. Dalam hal kata karang dipilih untuk membangun latar belakang pantai di mana terdapat batu-batu karang di dalamnya.

Hal tersebut sejalan dengan pemilihan kata pada baris keempat ‘samudera’. Samudra merupakan lautan yang luas. Hamparan gelombang air yang tiada bertepi. Rangkaian gerak air permukaan yang tak pernah berhenti, baik disebabkan oleh hembusan angin ataupun oleh gravitasi bumi dan satelitnya.

Gelombang-gelombang air itu suatu ketika akan mendatangi daratan. Dalam puisi ini digunakan kata ‘perlawatan’ yang merupakan bentuk nomina dari kata kerja melawat yang berarti bepergian atau berkunjung ke suatu tempat. Pada kata perlawatan ini terdapat sedikit kegelapan makna pada hemat penulis. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata perlawatan pada puisi ini? Apakah maknanya sebagaimana yang sudah disebut sebelumnya, atau adakah makna lain?

Untuk memahami penggunaan kata lawat dalam puisi Medy Loekito perlu kita ambil contoh dari puisi yang berjudul “Lawatan” dan “Pemakaman”yang terdapat dalam Antologi Puisi Jakarta, Senja Hari.

Lawatan

di batas angan dan kenangan

ingin kususuri hari-hari lalu

yang seindah langit musim panas dukanya

sementara esok

tertatih kukejar

menuju ke tak pastian

berkawan desah Panjang

Peb, 1988

 

Pemakaman

di tanah sepi dimana dedaun bergurat pelangi

disatukanlah segala yang fana

kembali kepada bumi

singkirkan catatan-catatan dunia

simpan bayang-bayang hari lalu

ke balik jendela rumah using

dan jangan titikkan air-mata

di hari pemakaman, awal perlawatan baru

telah diikrarkan

Des, 1996

Dikutip dari: Antologi Puisi Jakarta, Senja Hari, 1998.

 

Pada kedua puisi di atas, kata lawat terkait erat dengan tindak bepergian ke tempat di mana terdapat suasana duka ditengah-tengahnya. Suasana duka pada puisi pertama lebih bersifat abstrak dan individual, di mana hanya si aku lirik yang dapat pergi ke sana. Sedangkan pada puisi kedua kata perlawatan digunakan dalam konteks, di hari pemakaman. Pada puisi kedua ini tindak bepergian yang dilakukan oleh si aku lirik lebih spesifik, bepergian ke tempat di mana berlangsung pemakaman.

Menarik untuk dibahas, namun tidak pada tulisan ini, bagaimana penggunaan kata lawat pada sekitar tahun-tahun 1988 dan 1996 ketika kedua puisi di atas dibuat. Sebab apabila yang dimaksud dengan kata perlawatan adalah kunjungan ke tempat di mana terdapat kedukaan ditengah-tengahnya (orang mati, misalnya) maka pengertian tersebut lebih dekat dengan kata layat.

Di samping itu, terdapat kata yang secara bunyi memiliki pembacaan yang hampir sama yaitu ‘khalwat’ yang berarti pengasingan diri dalam rangka spiritual. Kata khalwat ini sangat mungkin mengalami distorsi bunyi menjadi lawat dalam pengucapannya. Lalu, bagaimana kata lawat dalam puisi-puisi “Akhir” mesti dimaknai?

Kata lawat akan dimaknai sebagaimana penggunaannya pada puisi “Lawatan” dan “Pemakaman”, jadi sebuah tindak yang berkait erat dengan kunjungan ke tempat di mana di tengah-tengahnya terdapat kedukaan. Kunjungan atau perlawatan dari gelombang pada puisi “Akhir” berakhir dengan pilu, atau dari pemaparan sebelumnya: bertemu dengan sesuatu yang dapat menyakiti aku. Hal ini digambarkan di awal sekali pada baris pertama ‘pada tajam karang’.

Frasa ‘tajam karang’ ini, selain mengacu sebagai tempat yang menyakitkan, terdapat pembaruan makna dari tradisi. Apabila selama ini kata ‘karang’ digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kokoh, kuat, tabah ataupun tegar dari terpaan bencana ataupun cobaan yang diwakili oleh hempasan ombak, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat heroik. Akan tetapi dalam puisi ini karang tampil sebagai sosok yang dapat menyakiti si ombak. Dengan kata lain, karang yang selama ini digambarkan bersifat kokoh, kuat, dan tabah menghadapi terpaan yang menyakitkan dari hempasan ombak, maka dalam puisi ini maknanya dibalik di mana ombaklah yang akan tersakiti ketika dia menerpa karang. Di sini dapat dikatakan terjadi pemaknaan baru atas makna karang dari tradisi yang sudah ada di mana karang menjadi antagonisnya.

Setelah menyajikan latar belakang alam pada bait pertama, pada bait kedua aku lirik masuk ke dalam pergulatan batinnya. Sebagaimana pada bait sebelumnya, pada baris pertama bait kedua ini menggambarkan sebuah tempat atau kondisi yang menyakitkan yang ditunjukkan dengan frasa ‘geram hati’. Frasa ini menunjukkan bagaimana kemarahan yang dirasakan aku lirik tidak dapat tersalurkan.

Si aku lirik merasa geram karena perjuangan yang disebutkan pada baris ketiga, dan doa yang disebutkan pada baris keempat tidak kunjung terwujud. Harapan ataupun cita-cita yang coba diwujudkan lewat perjuangan dan doa dapat berujung pada keputusasaan. Keputusasaan inilah yang pada akhirnya dapat mengantarkan usaha yang dilakukan pada situasi yang menyakitkan: geram hati.

Sajak berikutnya adalah “Mercu Suar”.

Mercu Suar

menangkap ombak

biru di batu

 

menjaring awan

kelabu di kalbu

 

Dari segi struktur, puisi ini terdiri dari dua bait dan masing-masing bait terdiri dari dua baris. Jumlah kata dan susunan frasa antar bait memiliki kesejajaran. Dari segi sintaksis, susunan pada dua bait tersebut juga sejajar. Kesejajaran juga tampak dari tidak adanya subjek sintaksis pada bait tersebut. Ini berarti kedua bait tersebut mengandaikan satu subjek yang sama. Subjek yang sama itu tersemat pada judul: Mercu Suar.

Mercusuar merupakan sebuah bangunan berbentuk menara yang digunakan untuk membantu navigasi para pelaut. Biasanya mercusuar digunakan untuk menandai daerah-daerah yang berbahaya bagi kapal-kapal pelaut seperti daerah berbatu karang di laut atau perairan yang dangkal yang mana bila dilalui oleh kapal akan kandas.

Pada puisi ini kata mercusuar mengalami penyimpangan dari bentuk lazim dituliskan. Penulisannya yang seharusnya digabung ditulis terpisah menjadi Mercu dan Suar dengan menggunakan huruf kapital. Penyimpangan ini seolah hendak mengatakan bahwa terdapat dua objek yang saling terpisah pada judul tersebut. Apabila dikaitkan dengan penjelasan pada paragraf sebelumnya di mana judul puisi ini merupakan subjek dari masing-masing bait, maka dapat dikatakan bahwa Mercu merupakan subjek dari bait pertama. Sedangkan Suar merupakan subjek dari bait kedua. Pemahaman tersebut akan sejalan dengan tindakan yang mungkin dapat dilakukan oleh objek yang berada di bumi, Mercu, dan objek yang berada di udara, Suar.

Tidak berbeda jauh dengan sajak sebelumnya yang sudah dibahas. Sajak ini menjadikan pemandangan laut sebagai latar belakangnya. Mercusuar menjadi subjek sekaligus episentrum dalam puisi ini. Mercu Suar dikelilingi oleh objek-objek yang ada di laut dan pantai seperti ombak pada baris kesatu dan batu di bait pertama. Lalu, seperti apakah makna ombak dan batu pada puisi ini?

Sebelum melangkah, penulis jadi teringat pada puisi Abdul Hadi W.M yang berjudul “Ombak Itulah” terutama pada baris pertama: ‘Ombak itulah yang membangunkan aku lagi padamu’. Dengan disebutkannya puisi Abdul Hadi W.M. ini penulis tidak bermaksud menelaah apakah ada hubungan interteks antara puisi Medy Loekita yang berjudul “Mercu Suar” dengan puisi Abdul Hadi W.M. yang berjudul “Ombak Itulah”.

Yang perlu dicatat adalah ‘ombak’ pada puisi Abdul Hadi W.M. cenderung berposisi sebagai subjek yang membangunkan si aku lirik. Objek alam dalam puisi ‘Ombak Itulah’ lebih dominan berposisi sebagai subjek bagi si aku lirik. Pada bait kedua baris pertama ángin musim panas’ bertindak sebagai subjek yang mendudukkan si aku lirik. Dengan kata lain, si aku lirik dalam puisi Abdul Hadi W.M. seperti sedang terlena oleh pesona alam yang ada di hadapannya.

Berbeda halnya dengan puisi “Mercu Suar”. Dalam puisi ini si aku lirik memadankan dirinya dengan sebuah objek bernama mercusuar. Objek ini meski berada di tengah pesona alam dia tidak terlena. Bahkan Mercu Suar ini menjadi subjek bagi gerak alam di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja ‘menangkap’ pada baris pertama bait pertama dan ‘menjaring’ pada baris pertama bait kedua.

Pada bait pertama baris pertama, subjek dalam puisi ini menjukkan tindak kerja aktif yaitu menangkap ombak. Apabila dikaitkan dengan puisi “Akhir” maka subjek dalam puisi ini menangkap ombak yang datang melawat padanya. Mengapa penulis perlu mengaitkan puisi “Mercu Suar”dengan “Akhir”? Bukankah puisi ini bisa dibahas secara otonom tanpa dikaitkan dengan puisi lain, baik dari penulis yang sama ataupun penulis yang berbeda?

Betul. Namun dalam hal ini penulis merasa ada semacam benang merah antara puisi-puisi yang sudah disebutkan sebelumnya (Mercu Suar, Akhir, Ombak Itulah). Akan sangat disayangkan apabila benang merah yang nampak sekelebat ketika menulis tulisan ini dilewatkan begitu saja.

Puisi “Mercu Suar” dan “Akhir” perlu dikaitkan bukan hanya latar belakang kedua puisi tersebut adalah tempat di mana ada ombak dan sangat mungkin ada karang. Namun sangat mungkin ‘ombak’ pada kedua puisi tersebut berada dalam kondisi yang sama: yang satu berhadapan dengan tajam karang sedangkan yang satu lagi dalam kondisi mem-biru dalam pengertian karena luka atau memar akibat adanya pembuluh darah yang rusak atau pecah dan membeku.

Ombak seperti inilah yang coba ditangkap oleh subjek dalam puisi “Mercu Suar”. Luka akibat keputusasaan yang coba dipandu oleh mercusuar agar tidak kandas perjuangan dan doa-nya.

Bait kedua puisi ini dikatakan bahwa subjek sedang ‘menjaring awan’. Di sini terdapat kata kerja yang biasanya digunakan kata kerja untuk pekerjaan yang berhubungan dengan laut seperti pada kalimat nelayan menjaring ikan. Namun yang dijaring oleh subjek dalam puisi ini bukanlah ikan melainkan awan, sebuah objek berbentuk gas yang tidak mungkin ditangkap oleh jaring. Lalu apa makna kata awan di sini?

Dalam realitas awan merupakan massa tetesan air yang menggantung di atmosfer dan di atas permukaan bumi. Seperti gelombang di laut, bentuk dan gerak awan dipengaruhi oleh gerak udara. Juga seperti gelombang, awan bergerak di ruang yang luas tak bertepi. Bahkan untuk awan tidak ada pulau persinggahan. Hanya beban berat akibat menjenuh maka awan akan beralih menjadi mendung dan kemudian hujan.

Dapat dikatakan bahwa subjek dalam puisi ini pada bait kedua baris pertama tengah melakukan pekerjaan yang mustahil, yaitu menjaring awan. Pada baris ini nampak kesejajaran makna dengan baris pertama bait pertama. Perbedaan dengan bait pertama objek yang ditangkap masih mungkin terjangkau. Sedang pada bait kedua, objek yang ditangkap tidak dimungkinkan untuk diraih. Seperti suatu hal yang mesti dilakukan. Akibatnya dapat dilihat pada baris berikutnya.

Baris kedua bait kedua sajak ini dikatakan ‘kelabu di kalbu’. Apabila pada baris pertama masing-masing bait terdapat kesejajaran makna, namun tidak halnya pada baris kedua di masing-masing bait. Pada bait pertama, ombak yang hendak ditangkap rebah terluka di atas batu. Di sini ada objek yang terluka namun luka itu berada di luar diri aku lirik. Dapat dikatakan bahwa si aku lirik sebagai Mercu Suar seolah-olah melihat perjuangan dan doa-nya terberai di atas batu. Sedangkan pada bait kedua baris kedua, gerak berlangsung dalam dunia batin aku lirik.

Gerak yang berlangsung dalam dunia batin aku lirik ditunjukkan dengan kata ‘di kalbu’. Kata ini dengan jelas menunjukkan tempat yang hendak disampaikan oleh aku lirik kepada kita. Sedangkan gerak yang berlangsung di sana adalah terjadinya perubahan warna menjadi ‘kelabu’. Bagaimana mungkin kata kelabu yang merupakan kata benda dimaknai sebagai kata kerja dalam puisi ini?

Di sini kata kelabu coba dimaknai sebagaimana kata biru pada bait sebelumnya. Kata kelabu di sini dimaknai sebagai meng-kelabu di mana terjadi proses perubahan sebuah warna menjadi kelabu. Perubahan warna ini menunjukkan adanya perubahan suasana dari ceria menjadi murung atau kelam.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aku lirik dalam puisi ini berada dalam suasana batin yang meng-kelabu akibat ombak yang ditangkapnya mem-biru.

Puisi selanjutnya yang akan dibahas adalah puisi berjudul “Saat”. Sebagai catatan, dalam antologi puisi ini terdapat dua puisi yang berjudul “Saat”. Puisi pertama terdapat di halaman 30. Sedangkan puisi kedua terdapat di halaman 98.

Saat

laut bening

ombak memagut sepi

 

langit hening

sepi memagut hati

(halaman 30)

 

Saat

sinar rembulan menyayat angin

malam mendekap cericit kelelawar

di kamar,

pelahan kusimpan usia

(halaman 98)

 

Awal sekali yang menarik dari kedua puisi di atas adalah pemilihan kata ‘saat’ yang disematkan sebagai judul dari masing-masing puisi. Arti dari kata saat adalah waktu dengan rentang yang cenderung pendek. Kata ini biasanya dipadukan dengan kata lain untuk menunjukkan waktu tertentu seperti saat ini, saat itu, saat berangkat untuk merujuk pada momen-momen tertentu. Lalu seperti apa kata saat pada kedua puisi di atas dimaknai?

Sebelum kita mencoba untuk memahami kata saat pada kedua puisi di atas perlu kita tengok ke belakang bagaimana memahami kata waktu dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku”: kalau sampai waktuku. Momen waktuku yang ada pada puisi Chairil sangat bersifat eksistensial di mana dimensi ruang dan waktu yang ada pada waktuku hanyalah milik si aku lirik. Sebuah momen yang menunjukkan giliran si aku lirik untuk berbuat sesuatu  atau dikenai sesuatu yang tidak dapat diwakilkan oleh subjek lain. Momen yang terkait erat dengan eksistensi si aku lirik.

Kata saat memiliki makna yang kurang lebih sama dengan waktuku. Kata saat pada kedua puisi di atas merupakan momen atau waktu yang hanya dimiliki oleh si aku lirik. Meski pada kedua puisi di atas tidak terdapat bentuk klitik -ku sebagai pemilik saat, namun hal tersebut tidak menghalangi pemaknaan momen saat sebagai milik atau kepunyaan dari si aku lirik. Mengapa demikian?

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan. Pertama karena dalam puisi yang berjudul “Saat” si aku lirik tidak sedang berdialog dengan subjek lain. Tidak seperti pada puisi Chairil Anwar yang mengandaikan adanya subjek lain, puisi “Saat” tidak mengandaikan adanya subjek lain yang diajak berdialog oleh si aku lirik. Sehingga saat pada puisi “Saat” hanya mungkin menjadi milik si aku lirik. Kedua karena ada pola penghilangan bagian kata seperti pada mem-biru dan meng-kelabu pada puisi yang berjudul “Mercu Suar”. Selain itu, kedua puisi tersebut menggambarkan dunia batin yang tengah melanda si aku lirik.

Sekarang kita akan mulai membahas puisi berjudul “Saat”. Dari segi bentuk bisa dikatakan bahwa puisi ini memiliki kesejajaran yang sempurna. Masing-masing bait terdiri dari dua baris. Baris pertama dari masing-masing bait terdiri dari dua kata. Baris kedua dari masing-masing bait terdiri dari tiga kata. Dari segi bunyi juga terdapat kesejajaran.

Yang perlu diperhatikan lagi adalah penggunaan kata ‘memagut‘. Kata ini sama-sama digunakan pada baris kedua tiap bait sebagai bentuk tindakan yang sama, yaitu tindakan memeluk sesuatu dengan kedua tangan dan mendekatkannya ke mulut. Namun berbeda dengan memeluk, kata memagut memiliki nuansa yang kelam dan murung. Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, penggunaan kata pagut dapat ditemukan salah satunya pada puisi Chairil Anwar yang berjudul “Catetan Th. 1946” pada baris keempat bait pertama: ‘Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut’. Lebih dari itu, kata pagut/memagut baik pada puisi Medy Loekita maupun Chairil Anwar tidak mengandaikan subjek lain yang dapat melakukan tindak pagut yang memungkinkan kedua subjek tersebut saling berpagutan. Kata pagut pada puisi Medy Loekito dan Chairil Anwar mengandaikan objek personal yang hanya dimiliki oleh si aku lirik: pahatan batu nisan sendiri dan sepi. Lalu apa yang dipagut oleh si aku lirik dalam puisi “Saat”?

Pada baris pertama bait pertama, si aku lirik menyajikan sebuah pemandangan laut bening. Pemandangan seperti apakah tepatnya laut bening itu? Bukankah air laut jika kita ambil ke dalam gelas maka akan terlihat bahwa air laut tersebut sebenarnya bening. Yang membedakannya mungkin tingkat kekeruhannya saja. Namun kata bening di sini tidak merujuk pada objek yang eksistensinya dirasakan secara visual. Kata bening di sini lebih pada eksistensi gerak sebuah objek: laut. Pengertian laut bening bukan hanya hamparan air berwarna bening namun juga berarti hamparan air yang hilang gerak.

Pemaknaan ini lebih mengena lagi bila kita kaitkan dengan baris berikutnya ‘ombak memagut sepi’. Pada baris kedua ini ombak diandaikan sebagai subjek yang tengah melakukan tindakan memagut. Sedang objek yang dipagut oleh ombak adalah objek abstrak bernama sepi. Pada baris ini si aku lirik tidak lagi menyajikan sebuah pemandangan alam sebagaimana pada baris sebelumnya. Pada baris ini si aku lirik menyajikan apa yang sedang berlangsung di dunia batinnya: ada gerak yang menghilang menjadi sepi. Gerak ombak yang riuh penuh buih menjadi sepi.

Bait pertama ini merupakan fase di mana gerak perlahan-lahan menghilang. Alun gelombang laut menjadi bening. Riuh deburan ombak menjadi sepi. Realitas masih bisa ditemukan dalam fase ini lewat frasa laut bening dan kata ombak. Kedua realitas itu mengarah pada objek abstrak: sepi. Pada bait berikutnya akan kita temukan bagaimana gerak dan realitas lenyap.

Pada bait kedua baris pertama si aku lirik kembali menyajikan semuah pemandangan langit hening. Berbeda dengan laut yang eksistensinya dapat diketahui dengan mudah, langit merupakan sebuah ruang yang tak terbatas. Eksistensinya tidak dapat dirasakan. Kita hanya dapat menunjuk ke atas, namun sampai di mana batasnya ‘atas’ itu masih belum bisa ditentukan meski tahun cahaya digunakan untuk mengukurnya. Juga di langit, tidak ada gerak. Yang bergerak adalah benda-benda angkasa seperti bulan, bumi, planet, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemandangan langit hening merupakan pemandangan yang tidak ada apa-apa di dalamnya.

Apabila pemaknaan ini dapat diterima maka pada bait kedua baris pertama si aku lirik berada pada fase di mana gerak sepenuhnya menghilang. Hanya ada sepi dan si aku lirik. Situasi sepi tidak ada apa-apa inilah yang pada akhirnya memagut hati si aku lirik.

Meski demikian, sekedar sebagai catatan, frasa langit hening dapat juga dimaknai sebagai tidak adanya suara bising di malam hari. Pemaknaan seperti ini juga mengena mengingat kata sifat yang digunakan hening terkait erat dengan indra pendengaran. Namun pada hemat penulis pemaknaan yang lebih dekat adalah sebagaimana pemaknaan yang pertama. Sebab pada bait sebelumnya kata bening yang terkait erat dengan indra penglihatan, berkaitan erat dengan gerak. Maka begitu juga dengan kata hening, mesti dipahami sebagai fase akhir dari sebuah gerak: diam!

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puisi berjudul “Saat” pada halaman 30 menggambarkan momen tertentu yang dialami oleh si aku lirik. Tidak dikatakan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh si aku lirik setelah melewati momen itu. Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh si aku lirik justru Muncul pada puisi “Saat” pada halaman 98 yang akan dibahas selanjutnya.

Puisi berjudul “Saat” pada halaman 98 memiliki nuansa yang sangat berbeda dengan pada halaman 30. Puisi “Saat” pada halaman 98 (untuk selanjutnya, puisi yang dibahas dalam uraian selanjutnya merupakan puisi “Saat” halaman pada 98) hanya memiliki satu bait dan tidak ada kesejajaran bentuk maupun bunyi. Selain itu, pada puisi ini Muncul sosok si aku lirik dengan melakukan sebuah tindak kerja.

Pada baris pertama disajikan sebuah pemandangan ‘sinar rembulan menyayat angin’. Frasa sinar rembulan yang menjadi subjek pada baris ini memiliki makna sebagaimana realitas sesungguhnya, yaitu cahaya dari sinar matahari yang terpantul ke bumi malam hari melalui bulan. Namun sinar rembulan yang merupakan benda abstrak diandaikan sebagai subjek yang mampu melakukan tindak kerja menyayat sebagaimana pisau yang merupakan benda konkrit. Sedangkan objek yang disayat adalah angin.

Secara utuh, baris pertama ini dapat dipahami sebagai pemandangan atas ketiadaan gerak. Mengapa demikian? Pada baris ini terdapat objek angin yang merupakan gerak udara akibat adanya perbedaan tekanan udara. Karena merupakan udara yang selalu bergerak, angin sering dijadikan sebagai simbol bagi pengembara atau pengelana.

Pada baris pertama ini dapat kita bayangkan angin sebagai sebuah material yang bergerak di udara dengan kecepatan sekian km per jam. Benda ini bergerak melayang-layang di atas bumi si aku lirik, menyebabkan munculnya bunyi desir, kertap pada ranting, kersik pada daun-daun kering, ataupun membawa suara yang datangnya dari jauh. Namun gerak benda yang dapat menjadikan alam menjadi riuh ini disayat oleh sinar rembulan.

Dalam dunia batin si aku lirik, kehadiran sinar rembulan ini memiliki pengaruh yang jelas. Tidak seperti Chairil Anwar yang merasa ragu ‘Bulan inikah yang membikin dingin, Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?’ si aku lirik Medy Loekito dalam puisi “Saat” dengan tegas mengatakan sinar rembulan-lah yang menyayat angin. Bayangkan sebuah benda padat yang bergerak di udara disayat-sayat oleh sinar rembulan yang cahayanya meliputi seluruh bumi malam hari. Akibatnya, benda-benda yang ada di alam tidak lagi berkertap, tidak lagi berdesir, tidak lagi berkersik, tidak ada lagi suara dari jauh yang datang menghampiri. Benda-benda menjadi kehilangan bunyi. Bunyi pun tak tersampaikan, angin terpendam.

Baris kedua ‘malam mendekap cericit kelelawar’. Berbeda degan baris sebelumnya yang menyajikan objek-objek mati yang tidak dapat mengeluarkan bunyi atau tidak dapat menjadi sumber bunyi, pada baris kedua ini si aku lirik menggambarkan adanya makhluk hidup kelelawar. Sebagai makhluk hidup, kelelawar dapat menjadi sumber bunyi yang dapat menghasilkan bunyi tanpa perlu menerima sentuhan energi dari objek lain. Pada baris kedua ini disebutkan bahwa kelelawar itu ber-cericit.

Meski tidak ada lagi gerak angin sebagai objek yang dapat menghasilkan dan menghantarkan bunyi pada baris pertama, pada bait kedua ini masih ada gerak dari bunyi cericit kelelawar. Namun belahan bumi malam yang diterangi sinar rembulan, mendekap gerak itu. Bayangkanlah cericit kelelawar sebagai seorang bocah yang berlarian dengan riang kesana-kemari. Lalu malam mendekap si bocah sehingga si bocah tidak lagi berlari kesana-kemari namun diam dalam dekapan.

Dapat dikatakan bahwa baris pertama dan kedua menggambarkan alam dalam dunia batin si aku lirik yang tidak lagi bergerak. Alam yang bening dan hening. Di tengah alam dunia batin yang tak lagi bergerak inilah si aku lirik berada di kamar, sebagaimana digambarkan pada baris ketiga.

Pada baris keempat terdapat tindak kerja yang dilakukan oleh si aku lirik di tengah ketidak bergerakan alam di dunia batinnya. Tidak seperti Chairil yang menghadapi waktuku dengan penuh vitalitas, si aku lirik Medy Loekito menghadapinya dengan lembut dan pelahan. Dengan gerak yang lambat pelahan, si aku lirik menyimpan usianya. Tindakan ini merupakan tindakan konkret yang tengah atau sedang berlangsung, yang dilakukan oleh si aku lirik setelah berhadapan dengan momen saat-ku atau waktuku. Dan bukan tindakan pengandaian di masa depan seperti pada kata kalau.

Berikutnya kita beralih kepada puisi yang berjudul “Malam di Bukit”. Puisi ini cukup ringkas, hanya terdiri dari dua baris saja. Dan lagi-lagi judul puisi ini mengingatkan penulis pada puisi Chairil Anwar. Kali ini pada puisi yang berjudul “Malam di Pegunungan”. Berikut puisi Medy Loekito yang berjudul “Malam di Bukit”.

Malam di Bukit

 rumput kecil bergerigi tajam bagai belati

menyayat bulan hingga mengucurkan sepi

 

Judul puisi ini menunjukkan dengan jelas situasi dan tempat di mana si aku lirik berada, yaitu pada malam hari di bukit. Dengan memilih judul tersebut, si aku lirik seolah hendak membawa kita pada pemandangan alam yang tengah dihadapinya. Kata malam dengan jelas akan membawa imaji kita kepada suasana ketika bumi berada di balik arah sinar matahari sehingga gelap melingkupi. Begitu juga bukit, merujuk pada tempat yang lebih tinggi dari sekelilingnya, dan biasanya berada dekat dengan atau di hutan dan pegunungan. Selain membawa imaji kita kepada tempat dan situasi seperti yang sudah disebutkan, imaji penulis juga tertuju pada puisi Chairil Anwar yang berjudul “Malam di Pegunungan”. Mengapa?

Pertama, karena frasa pada judul kedua puisi tersebut bisa dikatakan sejajar: malam di bukit dan malam di pegunungan. Kedua, pada kedua puisi ini terdapat kata bulan yang menjadi episentrum dari pemandangan yang terpantul dalam dunia batin si aku lirik. Perbedaannya, pada puisi Medy Loekito si aku lirik tengah berada sendiri. Tidak mengandaikan adanya bocah cilik atau orang lain. Selain itu, pada puisi Medy Loekito bulan menjadi objek penderita yang dikenai pekerjaan oleh subjek lain.

Baris pertama rumput kecil bergerigi tajam bagai belati menunjukkan pada kita objek yang pertama kali diamati oleh si aku lirik adalah objek yang berada di tanah, yang dirasakan oleh telapak kakinya: rumput kecil. Pemilihan frasa bergerigi tajam mesti dipahami sebagai sensasi rasa yang dialami telapak kaki si aku lirik. Pemahaman ini lebih mengena mengingat pada malam hari cahaya yang terpantul pada objek tidak seterang pada siang hari meski pada malam itu ada sinar rembulan. Suasana malam yang hanya diterangi cahaya rembulan, kurang memungkinkan untuk pemahaman frasa bergerigi tajam sebagai objek visual. Namun lebih dekat dengan objek yang dirasakan oleh kulit seperti jika kita meraba dalam gelap untuk mengenal objek di sekeliling kita. Hal tersebut sejalan dengan metafora bagai belati. Sebuah belati dapat dikenali tajamnya apabila kita menyentuhkan kulit kita.

Apabila pemahaman di atas diterima, maka pada baris pertama ini si aku lirik dapat digambarkan tengah berdiri atau berjalan di atas rumput kecil.

Pada baris kedua dikatakan menyayat bulan hingga mengucurkan sepi. Pada baris ini terdapat objek bulan dikenai tindakan subjek pada baris sebelumnya rumput kecil. Tindakan yang terjadi adalah menyayat. Kata menyayat yang digunakan mengandaikan pesinggungan dua materi, yaitu yang disayat dan yang menyayat. Persinggungan tersebut sangat signifikan sehingga dapat mengubah bentuk dari materi yang disayat.  Sementara materi yang menyayat cenderung tidak mengalami perubahan bentuk.

Berdasarkan pemahaman ini, baris kedua dapat dipahami sebagai terjadinya perubahan bulan dari bentuk yang pertama kali dilihat si aku lirik di bukit itu menjadi bentuk lain setelah disayat. Lalu bagaimana benda kecil yang berada di tanah dapat menyayat bulan yang berada di langit sana hingga mengucurkan sepi? Perubahan bentuk seperti apa yang terjadi pada bulan? Jawab: bulan bergerak hilang di balik bukit, bukit yang memiliki hamparan rumput kecil. Dengan menghilangnya bulan di balik bukit, keadaan akan gulita. Yang tinggal hanya sepi yang dikucurkan oleh bulan.  

Jika pemahaman ini diterima, maka akan sangat berbeda sekali nuansa pada puisi “Malam di Pegunungan”  dengan  “Malam di Bukit”. Apabila “Malam di Pegunungan” suasana yang hadir adalah suasana malam dengan sinar rembulan pucat, yang pada akhirnya menghadirkan pemandangan sepi dan muram bagi si aku lirik, namun pada “Malam di Bukit” sinar bulan melenyap menjadi gulita. Tidak banyak yang dapat dilihat oleh si aku lirik pada puisi “Malam di Bukit”, kecuali merasakan pada telapak kaki rumput kecil bergerigi tajam bagai belati.

Puisi selanjutnya yang akan dibahas adalah puisi berjudul “Malam”.

Malam

rembulan

rebah

di hamparan hening

tanpa warna

tanpa suara

tanpa pusara

 

Puisi berjudul “Malam” ini tak boleh ketinggalan untuk dibahas. Puisi ini cukup menarik karena melalui puisi ini kita dapat menarik benang merah dari pemaknaan yang sudah disampaikan sebelumnya. Benang merah tersebut sedapat mungkin akan disampaikan selanjutnya.

Pertama, pada puisi terdapat kata hening yang juga terdapat pada puisi berjudul “Saat”. Pada hemat penulis, kata hening pada kedua puisi tersebut memiliki pemaknaan yang merujuk pada situasi yang kurang lebih sama. Kemudian terdapat objek bulan yang rebah, sebagai akibat dari perbuatan rumput kecil menyayat bulan pada puisi “Malam di Bukit”. Puisi “Malam” ini seolah-olah merupakan kelanjutan dari kisah rembulan pada puisi “Malam di Pegunungan”.

Hanya ada satu kata pada baris pertama rembulan. Pemilihan kata ini tentu mengandung maksud tertentu karena pada puisi lain Medy Loekito menggunakan kata bulan pada puisi lain seperti pada puisi “Le Parfait”, “Sepi”, “In Solitude”, ataupun “Malam di Bukit”. Pemilihan kata rembulan menunjukkan kekhasan objek yang ditunjuk, yaitu benda di langit yang merupakan satelit bumi. Dengan begitu si aku lirik hendak menyajikan pemandangan malam dengan rembulan sebagai episentrum dari pemandangan itu. Rembulan menjadi subjek dalam pemandangan batin si aku lirik.

Rembulan pada puisi ini digambarkan tengah rebah. Rebah sebagaimana arti leksikalnya ‘terletak berbaring’. Jika pada puisi Chairil, bulan bertindak sebagai subjek aktif yang membikin kaku pohonan. Maka pada puisi “Malam” rembulan tidak digambarkan sebagai subjek aktif yang memantulkan sinar matahari ke belahan bumi malam. Pantulan sinar matahari yang jatuh ke bumi malam, dalam pemandangan batin si aku lirik tidak mendapat tempat. Padahal dalam malam ber-rembulan, eksistensi sinar rembulan tidak dapat diabaikan. Lalu rembulan yang tengah rebah seperti apakah yang ada dalam pemandangan batin si aku lirik dalam puisi “Malam”?

Pada baris ketiga terdapat frasa ‘di hamparan hening’. Pemaknaan frasa ini dapat merujuk pada pemaknaan ‘langit hening’ pada puisi “Saat”. Namun perlu ditambahkan: penggunaan kata hamparan menyiratkan adanya proses perubahan ruang dan waktu. Dari hening yang sebelumnya tidak ada menjadi terhampar. Bisa jadi proses perubahan ruang dan waktu yang dimaksud adalah perubahan dari siang menjadi malam di mana rembulan eksis. Namun bukan tidak mungkin, perubahan ruang dan waktu yang dimaksud adalah perubahan dari malam yang ber-rembulan menjadi malam yang tak ber-rembulan.

Pemaknaan terakhir ini sangat memungkinkan apabila kita kembali pada puisi yang berjudul “Malam di Bukit” di mana sinar bulan melenyap menjadi gulita. Pemaknaan tersebut dikuatkan oleh baris keempat ‘tanpa warna’. Frasa tanpa warna dapat merujuk pada pengertian bulan berwarna pucat. Namun sepertinya akan lebih tepat apabila dimaknai sebagai ketiadaan warna sebagai akibat dari rebah-nya rembulan, yang pada puisi Chairil memberi warna pucat pada dunia. Langit malam yang seharusnya diterangi oleh sinar rembulan, berubah menjadi tanpa warna.

Selanjutnya, frasa ‘tanpa suara’ pada baris kelima menggambarkan ketiadaan gerak. Segala sumber bunyi dalam pemandangan batin si aku lirik diam. Tidak ada bisik, kersik, kertap, maupun cericit kelelawar yang sampai pada telinga si aku lirik. Seolah yang ada hanya kehampaan.

Puisi ini ditutup dengan frasa ‘tanpa pusara’. Pemilihan kata pusara menyiratkan bahwa subjek rembulan yang rebah dalam pemandangan batin si aku lirik ini ternyata telah mati. Penggunaan kata pusara ini menunjukkan bahwa mestinya subjek yang mati itu dikuburkan di suatu tempat tertentu dengan sebuah nisan sebagai penanda bagi yang ditinggalkan. Kata pusara juga dapat berarti sebagai pesan kepada yang masih tinggal bahwa ‘aku’ juga pernah hidup. Lebih dari itu, kata pusara juga menyiratkan pengertian bahwa si mati telah dikuburkan sebagaimana mestinya.

Namun pada penutup puisi ini rembulan dibiarkan rebah begitu saja tanpa pusara. Di tengah hamparan bening yang luas, jasad rembulan malam itu akan terurai oleh gerak ruang dan waktu. Kemudian lenyap tak berbekas tanpa pusara. Lalu akan digantikan oleh rembulan lain di malam yang lain.

Pada puisi-puisi yang sudah dibahas dapat dilihat bagaimana alam dalam dunia batin si aku lirik bergerak ke arah sepi. Pemilihan latar belakang waktu menyiratkan bahwa dunia telah terbenam dari riuh pikuk di siang hari. Malam hari memang selalu menghadirkan kesepian tersendiri. Suasana yang riang di tengah siraman sinar matahari berubah menjadi murung dan kelam di malam hari.

Namun bagi si aku lirik dalam puisi Medy Loekito, tidak hanya malam yang menghadirkan kegelisahan. Pagi hari pun, di mana hari baru akan menjelang dan sinar matahari siap menyirami bumi, si aku lirik juga merasa gelisah. Hal itu nampak pada puisi yang berjudul “Sketsa Fajar”.

Sketsa Fajar

embun

di bibir daun

resah

hari baru

entah

 

Puisi ini diawali dengan menyajikan pemandangan khas pagi hari: embun. Udara yang tenang, suhu yang turun, hangat yang memudar, menjenuhkan uap air di udara sehingga tercipta titik-titik embun. Titik-titik embun ini akan menempel pada setiap benda yang telah menjadi dingin. Pada puisi ini, embun yang dilihat oleh si aku lirik berada di bibir daun. Mengapa embun yang menjadi perhatian si aku lirik adalah embun yang berada di bibir daun? Bukankah embun akan menempel pada setiap benda yang bersuhu dingin?

Pemilihan frasa di bibir daun bukan hanya menunjukkan tempat di mana embun itu berada. Secara leksikal frasa di bibir daun menunjukkan tempat atau bagian terujung dari daun, yang terjauh dari batang: pucuk daun. Dalam hal ini daun disifatkan sebagaimana mahkluk hidup, khususnya manusia yang memiliki bibir. Pemilihan kata bibir sendiri menyiratkan tindakan yang mungkin dilakukan oleh bagian tubuh tersebut: mencium atau mengecup.

Jadi embun pada pemandangan alam si aku lirik berada dalam ciuman atau kecupan sang daun. Namun ciuman atau kecupan itu tidak bertahan lama dan akan segera lepas. Seperti sudah disebutkan, frasa di bibir daun menunjukkan termpat di mana embun itu berada: pucuk daun. Apabila gerak alam terus berlaku, proses berikutnya yang mungkin terjadi adalah: sang embun akan jatuh lepas dari bibir daun.

Proses lepasnya embun dari bibir daun merupakan proses alam yang tak dapat ditawar. Baik itu lepas jatuh ke tanah karena bibir daun tak lagi dapat menahan beban embun, ataupun karena datangnya sang matahari yang akan menghangatkan bumi dan menguapkan kembali sang embun. Dengan kata lain embun/di bibir daun bukanlah pemandangan seperti apabila kita memotretnya dengan kamera di mana ada terdapat objek embun yang terperangkap di bibir daun. Namun embun/di bibir daun dalam puisi ini merupakan pemandangan gerak yang belum usai: lepas jatuh ataupun menguapnya embun.

Dengan kata lain, pemandangan pagi hari di dunia batin si aku lirik bukanlah sebuah pemandangan yang ceria dan penuh harapan. Pemandangan pagi hari dalam dunia batin si aku lirik merupakan pemandangan dari yang sudah nyata menjadi sesuatu yang akan lenyap, baik itu musnah terserap tanah ataupun menguap terbawa hangat angin. Pemandangan ini merupakan pemandangan yang sebagaimana dikatakan si aku lirik pada baris ketiga: resah.

Pada baris ketiga inilah pemandangan sesungguhnya yang tersaji pada puisi “Sketsa Fajar”. Bangun dari tidur malamnya, si aku lirik menatap pagi dengan suasana hati yang resah. Pemandangan yang nampak pada penglihatannya bukan alam yang bersiap akan perayaan warna dan kehangatan pagi. Bukan pula kicau burung bernyanyi atau bunga-bunga yang mekar. Akan tetapi yang disaksikan si aku lirik malah embun yang bersiap untuk lepas jatuh atau menguap di bibir daun.

Ke-resah-an ini terjadi karena si aku lirik pagi itu akan menghadapi hari baru sebagaimana dikatakan pada baris keempat. Hari baru bagi si aku lirik tidak menyiratkan semangat dan optimisme. Hari baru yang bagi kebanyakan kita merupakan awal untuk memulai yang baru dengan lebih baik dari hari kemarin, namun tidak demikian bagi si aku lirik. Hari baru bagi si aku lirik pada puisi ini justru membangkitkan perasaan resah. Seolah si aku lirik tengah putus asa dengan apa yang akan dilaluinya di hari baru.

Pemaknaan seperti di atas sejalan dengan pemilihan kata penutup puisi ini: entah. Kata entah mewakili ketidaktahuan si aku lirik atas apa yang mesti dilakukan di hari baru itu.

Puisi selanjutnya yang tidak boleh ketinggalan untuk dibahas adalah puisi berjudul “Jakarta XIV”. Mengapa tidak boleh ketinggalan? Sebab ada banyak puisi dari Medy Loekito menggunakan nama ibu kota negara kita sebagai judul puisinya, baik dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan maupun Jakarta, Senja Hari. Jakarta, oleh Medy Loekito, telah ditilik dari berbagai sudut dalam puisinya. Oleh karena itu, tak lengkap rasanya membahas antologi puisi Medy Loekito tanpa membahas puisi “Jakarta”.

 Jakarta XIV

sinar lampu

memungut serpih malam

yang dihempas sepi

 Jakarta, mendengar nama kota ini terbayang sebuah kota yang padat dan ramai. Pada siang hari Gedung-gedung yang menjulang tinggi akan penuh sesak dengan pegawai-pegawai. Jalanan macet dan bising karena jumlah kendaraan dan tingkat mobilitas yang tinggi. Pada malam hari, musik dari tempat hiburan akan bergema. Lampu-lampu kota menerangi setiap sudut seolah tidak ada tempat bagi gelap.

Suasana Jakarta seperti itulah yang tersaji dalam puisi berjudul “Jakarta XIV”. Beberapa puisi Medy Loekito yang berjudul “Jakarta” menampilkan kota Jakarta sebagai tempat di mana gedung-gedung batu menjulang tinggi. Kota Jakarta tidak ditunjuk dengan menampilkan sudut-sudut tertentu, tapi disajikan sebagai sebuah lanskap. Begitu juga dengan puisi berjudul “Jakarta XIV”, tersaji lanskap kota Jakarta pada malam hari.

Puisi ini diawali dengan frasa sinar lampu. Frasa ini selain menunjuk pada objek lampu yang bersinar, secara tak langsung juga merujuk pada waktu tertentu di mana lampu dinyalakan apabila hari telah gelap: malam hari. Frasa sinar lampu ini dapat dimaknai sebagaimana makna leksikalnya. Namun yang perlu ditanyakan adalah: sinar lampu mana yang dimaksud dalam puisi ini? Apakah yang dimaksud adalah sinar lampu suatu sudut tertentu dari Jakarta? Apakah sinar lampu jalan? Gedung? Atau yang mana lagi?

Sayangnya tidak diketahui titimangsa dari puisi ini. Seandainya ada titimangsa pada puisi ini, setidaknya dapat terbayang suasana Jakarta malam hari dengan berbagai macam sinar lampu yang meneranginya. Keadaan Jakarta malam hari pada saat puisi ini ditulis, tentu berbeda dengan saat ini. Meski demikian, ketiadaan titimangsa itu tidak mempengaruhi kualitas puisi tersebut. Hanya saja pengalaman membaca penulis akan lebih diperkaya seandainya terdapat titimangsa.

Kita kembali ke pembahasan. Frasa sinar lampu yang dimaksud pada puisi ini tidak merujuk pada salah satu sinar lampu tertentu melainkan sebagai sebuah lanskap. Frasa sinar lampu ini merujuk pada ribuan sinar lampu di Jakarta pada malam hari. Si aku lirik dalam puisi ini seolah melihat Jakarta dari suatu tempat yang tinggi sehingga nampak di hadapannya lanskap dari ribuan sinar lampu Jakarta malam hari.

Lebih dari itu, frasa sinar lampu dalam puisi ini merupakan subjek yang menjadi pusat perhatian si aku lirik. Pada baris kedua, sinar lampu digambarkan memiliki sifat sebagaimana makhluk hidup yang dapat melakukan tindakan memungut. Hanya makhluk hidup yang memiliki tangan yang dapat melakukan tindakan memungut. Adapun yang dipungutnya adalah benda abstrak bernama serpih malam.

Frasa serpih malam yang dipungut itu tidak hanya dimaknai sebagai potongan atau kepingan-kepingan malam, tapi juga mengandaikan adanya proses yang terjadi pada malam, yaitu dari bentuknya yang utuh lalu terberai menjadi serpih-serpih yang dapat dipungut. Penyebab terberainya malam dapat diketahui pada baris ketiga yang dihempas sepi.

Baris ketiga yang dihempas sepi ini menggambarkan tentang siapa yang memberaikan malam, yaitu sepi, dan bagaimana hal itu dilakukan, yaitu dengan dihempas. Yang menarik untuk disimak adalah objek sepi digambarkan mampu melakukan tindakan menghempas, dan yang dihempas adalah malam.

Pada umumnya kata malam dan sepi memiliki keterkaitan yang kuat. Frasa malam sepi dengan berbagai variannya, sangat mudah ditemui dalam berbagai macam tulisan. Suasana yang dihadirkan oleh kata sepi seolah melekat dengan malam. Apabila terdapat frasa atau kalimat seperti malam ini begitu ramai dengan berbagai macam variannya, tentu selanjutnya akan ada keterangan bahwa pada malam itu tengah berlangsung atau terjadi sesuatu yang berbeda dari kebiasaan.

Namun pada puisi “Jakarta XIV” malam dan sepi dipisahkan. Malam digambarkan tidak lagi utuh namun dalam keadaan menjadi serpih. Sedangkan objek yang menjadikan malam dalam keadaan serupa itu adalah sepi dengan cara dihempas. Apakah yang terjadi dengan sepi sehingga ia berlaku serupa itu? Apakah pada malam ini tengah berlangsung atau terjadi sesuatu yang berbeda dari biasanya? Apakah pada malam ini ada pertunjukan, keributan, atau apa?

Tidak ada dan tidak terjadi apa-apa. Jakarta, dalam pemandangan batin si aku lirik, berlaku sebagaimana sewajarnya sebuah kota apabila malam tiba: sinar lampu menyala di setiap sudutnya. Apabila dilihat dari tempat yang tinggi, akan nampak lanskap ribuan sinar lampu. Si aku lirik seolah hendak berkata: tidak ada sepi pada malam-malam di Jakarta.

Namun itukah yang hendak disampaikan si aku lirik? Bukan. Bagi si aku lirik dalam puisi Medy Loekito, Jakarta merupakan sebuah ironi. Jakarta adalah ruang di mana benih yang ditebar penuh kasih, menjadi serigala setiap pagi. Jakarta adalah ruang di mana angin tersesat dan rumput tersekap, dan manusia terhempas di dalam detik waktu.  

Dengan begitu, puisi “Jakarta XIV” mesti dipahami dengan cara yang ironis. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa malam di Jakarta selalu terang benderang dengan sinar lampu. Anda tidak akan kesepian pada malam hari di sana. Namun sebaliknya, justru di sanalah berkumpulnya manusia-manusia kesepian!

Penutup

Pada akhirnya, tak banyak puisi yang dapat dibahas dalam tulisan ini. Dari seratus puisi yang terkmaktub hanya delapan puisi yang dapat dibahas. Dan dari yang sedikit itu tidak dapat dikatakan mewakili keseluruhan puisi yang ada dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan. Meski demikian, dengan membahas yang sedikit itu diharapkan dapat menjadi pintu bagi pembaca (penulis, red) untuk memahami puisi-puisi lain yang ada dalam antologi tersebut.

Dari puisi-puisi yang sudah dibahas dapat terlihat bagaimana si aku lirik memaknai dunia yang dilihatnya. Sebagai makhluk simbolik, si aku lirik menangkap objek-objek alam di sekitar, kemudian ditangkap oleh dunia batinnya dan digunakan untuk menggambarkan pengalaman batin yang disampaikan melalui puisi.

Objek-objek alam itu seperti karang, samudera, ombak, batu, awan, laut, langit, bulan, ataupun embun. Objek-objek alam itu, dalam pemandangan batin si aku lirik, tidak hanya digambarkan diam sebagai objek pasif dari subjek, namun juga sebagai subjek aktif yang bergerak. Pada puisi “Akhir” dapat kita lihat bagaimana samudera bergerak mendatangi tajam karang. Juga dapat kita lihat bagaimana mercu suar menangkap dan menjaring objek alam di sekitarnya. Gerak alam itu dapat juga dilihat pada laut dan langit memagut objek lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan objek lain seperti sinar rembulan, rumput kecil, embun, dan sinar lampu. Berbagai gerak dari objek-objek alam itu dalam dunia batin si aku lirik bergerak ke arah diam.

Diam yang akan dituju oleh gerak itulah yang tersebar pada puisi-puisi yang sudah dibahas dalam tulisan ini. Kondisi diam dari objek-objek alam yang telah kehilangan gerak ini mengantarkan si aku lirik pada ruang di mana hanya ada si aku lirik dengan pergulatan batinnya.

Surabaya, 04 Februari 2021