Jumat, 25 Maret 2016

Perkembangan Kognitif pada Awal Keremajaan dan Anak-anak

diposting di:http://candrakris.blogspot.co.id/2009/01/perkembangan-kognitif-pada-awal.html

 Prinsip Dasar dari Perkembangan Kognitif

Secara alamiah anak-anak selalu ingin tahu. Mereka selalu ingin memberi arti atas pengalaman mereka dan dalam prosesnya, membangun pemahaman mereka atas dunia. Bagi Piaget, anak-anak pada semua usia seperti seorang ilmuwan dalam menciptakan teori mereka sendiri mengenai bagaimana dunia bekerja. Tentu saja, teori anak-anak seringkali tidak lengkap. Meski demikian, teori anak-anak tersebut sangat penting bagi mereka karena mereka membuat dunia nampak lebih mudah diperkirakan.
Anak-anak memahami dunia melalui sebuah schemes, yaitu suatu struktur psikologis yang mengorganisir pengalaman. Schemes merupakan kategori mental yang berhubungan dengan kejadian, objek, dan pengetahuan. Pada remaja, schemes lebih banyak didasarkan pada tindakan. Karena itulah kelompok anak-anak mendasarkan objeknya pada tindakan yang mampu menunjukkan kemampuan mereka. Sebagai contoh, anak menyerap dan mengerti, mereka menggunakan tindakan ini untuk menciptakan kategori objek yang dapat diserap dan objek yang dapat dimengerti.
Schemes lebih penting pada masa sesudah remaja, tapi mereka tahu bahwa prinsip utama dari hubungan fungsional atau konseptual bukanlah tindakan. Sebagai contoh, anak usia pra-sekolah belajar bahwa garpu, pisau, dan sendik merupakan bentuk kategori fungsional dari "sesuatu yang saya gunakan untuk makan." Atau mereka belajar bahwa anjing, kucing, dan ikan mas merupakan bentuk kateofri konseptual dari "binatang peliharaan."
Seperti anak-anak usia pra-sekolah, anak-anak yang lebih tua dan remaja memiliki schemes dasar pada schemes fungsional dan konseptual. Tapi mereka juga memiliki schemess yang didasarkan pada pengembangan hal-hal yang abstrak. Sebagai contoh, para remaja mungkin meletakkan fasisme, rasisme, dan seksualisme ke dalam "ideologi yang saya benci."
Dengan demikian, schemes dari hubungan antar objek, kejadian, dan ide akan nampak melalui perkembangan. Tapi sebagaimana perkembangan pada anak-anak, peran mereka utuk menciptakan schemes dan aktivitas fisik ke fungsional, konseptual, dan, kemudian, sifat abstrak dari suatu objek, tindakan, dan ide.
Asimilasi dan Akomodasi
Schemes berubah secara konstan, sesuai dengan pengalaman anak-anak. Pada dasarnya, adaptasi intelektual menyertakan dua proses yang bekerja bersama-sama: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika pengalaman-pengalaman baru siap dikorporasikan ke dalam keberadaan schemes. Bayangkan seorang bayi yang akrab dengan schemes pengertian. Dia akan segera menemukan bahwa schemes pengertian dapat juga diterapkan pada balok-balok, mobil mainan, dan objek-objek kecil lain. Mengembangkan keberadaan pengertian schemes kepada objek-objek baru mengilustrasikan terjadinya asimilasi. Akomodasi terjadi ketika schemes diubah berdasarkan pada pengalaman. Dengan ccepat anak-anak akan belajar bahwa beberapa objek dapat diangkat jika menggunakan dua tangan dan bahwa beberapa objek lain tidak dapat diangkat semuanya. Mengubah schemes sehingga hal yang terjadi tersebut sesuai untuk objek baru mengilustrasikan akomodasi.
Asimilasi dan akomodasi seringkali lebih mudah untuk dipahami ketika anda ingat bahwa Piaget percaya bahwa anak-anak, dan remaja menciptaka teori untuk mencoba memahami peristiwa dan objek di sekeliling mereka. Kanak-kanak yang berteori bahwa sebuah objek bisa diangkat dengan menggunakan satu tangan menemukan bahwa teorinya sesuai ketika dia mencoba mengangkat objek-objek kecil, tapi dia akan terkejut ketika dia mencoba mengangkat buku yang berat dengan menggunakan ssatu tangan. Hasil tak terduga yang diperoleh anak-anak, layaknya seorang ilmuwan handal, akan memperbaiki teorinya untuk memasukkan penemuan baru itu.
Equilibrasi dan Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
Asimilasi dan akomodasi biasanya berada dalam keseimbangan, atau equilibrium. Seorang anak menemukan begitu banyak pengalaman yang siap diakomodasi ke dalam keberadaan schemes mereka, tapi kadang mereka perlu mengakomodasikan schemes mereka untuk memecahkan persoalan pada pengalaman yang baru didapatkan. Keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi ini diilustrasikan oleh bayi dengan teori pengangkatan objek. Secara bertahap, bagaimanapun juga, keseimbangan ini akan menjadi kacau, dan keadaan dari hasil disequilibrium. Dalam hal itu, anak menemukan bahwa hal-hal di dalam schemes merka tidak memadai sebab mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk berakomodasi dan lebih sedikit waktu untuk berasimilasi. Ketika terjadi disequilibrium, seorang anak mengatur kembali schemes mereka untuk kembali pada keadaan equilibrium, proses yang oleh Piaget disebut equilibrasi. Untuk memperbaiki keseimbangan, pada umumnya - tapi sekarang sudah bukan modenya lagi - cara untuk berpikir telah digantikan oleh nilai yang berbeda, lebih banyak mengatur kemajuan schemes.
Salah satu cara untuk memahami equalibrasi adalah kembali pada metafora dari "seorang bayi layaknya seorang ilmuwan." Teori pada anak-anak membantu mereka untuk memahami banyak pengalaman dengan mempredeksikannya. Sebagai contoh, apa yang akan terjadi ("ini waktunya pagi hari, jadi ini adalah waktunya untuk sarapan"), atau siapa dan akan melakukan apa ("mama pagi bekerja, jadi ayah akan mengantarku ke sekolah"), tapi teori tersebut harus diubah ketika predeksinya bergeser ("ayah pikir aku cukup dewasa untuk berjalan sendiri ke sekolah, jadi dia tidak mau mengantarku").
Terkadang seorang ilmuwan menemukan bahwa dalam teori mereka terdapat kesalahan-kesalahan kritis yang tidak dapat ditata lagi dengan revisi yang sederhana; sementara itu, mereka harus menciptakan teori baru yang juga mengabaikan teori yang sebelumnya akan tetapi berbeda secara fundamental. Sebagai contoh, ketika astronom Copernicus menyatakan bahwa teori yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat sistem solah secara fundamental salah, teori barunya dibangun dengan asumsi bahwa matahari adalah pusat dari sistem solar. Dengan jalan yang sama, sebagian besar anak-anak secara periodik mencapai keadaan di mana teoru yang mereka pegang nampak banyak memiliki kesalahan, lalu mereka meninggalkan teori tersebut dengan jalan mengembangkan lebih banyak cara untuk berpikir mengenai lingkungan fisik dan sosial mereka.
Perubahan revolusioner dalam pemikiran ini terjadi sebanyak tiga kali, kurang lebih pada usia 2, 7, dan 11 tahun. Pembagian perkembangan kognitif ini terbagi ke dalam empat tahapan:
  1. Periode senso-motorik 0-2 tahun
  2. Periode pra-operasional 2-7 tahun
  3. Periode pernyataan-operasional 7-11 tahun
  4. Periode operasional formal 11 tahun ke atas
Daftar usia di atas hanya didasarkan pada perkiraan rata-rata. Beberapa remaja bergerak melewati sebuah periode lebih cepat dari yang lain, tergantung pada kepandaian dan pengalaman mereka. Bagaimanapun juga, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai periode operasional formal - sebagian besar tipe sophistik dan pikiran - adalah dengan melewati tiga periode awal. Periode berpikir senso-motorik selalu memberikan pertumbuhan ke arah berpikir pra-operasional; seorang anak tidak bisa "melewatkan" tahap berpikir pra-operasional dan bergerak langsung dari periode senso-motorik ke periode pernyataan-operasional.
Berpikir Senso-Motorik
Piaget yakin bahwa dua tahun pertama tahapan distingtif pada perkembangan manusia. Periode senso-motorik, yang dimulai sejak lahir sampai kira-kira usia 2 tahun, merupakan periode pertama dari perkembangan kognitif Piaget. Selama 24 bulan pada tahapan ini, kemajuan berpikir bayi ditandai dengan tiga sektor penting
Sumber: Jean Piaget, The Language and Thougt of the Child, New York: 1926

Selasa, 08 Maret 2016

Catatan dari Bawah Tanah: Proses Kemenjadian Diri


Oleh: Chandra Krisnawan


Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) merupakan seorang sastrawan eksistensial, terutama dalam novelnya Catatan dari Bawah Tanah. Banyak filsuf maupun sastrawan yang mengadopsi pemikiran Dostoyevsky seperti Nietzsche, Sartre, Levinas, Rene Girard, maupun Camus.
            Kelebihan novel ini terletak pada analisis yang tajam terhadap kesadaran eksistensi manusia. Sebuah profil psikologis lengkap tentang seseorang yang hidup menyendiri di kota St. Petersburg pada suatu masa tertentu (abad 19) dapat ditemukan dalam novel ini. Pada awal sekali tokoh aku dalam novel ini sudah mengungkapkan jati dirinya dengan menulis, “Aku orang sakit..Aku seorang pendendam. Aku orang yang tidak menyenangkan.” Lebih jauh, ke-aku-an yang diungkapkan tokoh tersebut ternyata lebih dari sekedar luapan keputusasaan akibat tekanan dari kehidupan terpisah yang dipilihnya.
            Novel ini ditulis dalam bentuk catatan oleh seorang tokoh berusia 40 tahun di mana di dalamnya berisi pandangan, pengalaman pahit di masa lalu, kecemasan dan perasaan yang mungkin ada bersama pengalaman itu. Keseluruhan isi novel ini bergerak menuju satu muara: mengantarkan pembaca pada argumen yang dikemukakan tokoh aku di awal catatannya.
            Secara objektif tokoh aku dalam novel ini tergambar negatif di depan pembacanya. Sebab yang hendak diungkapkan bukanlah sisi positif dirinya melainkan sisi negatif dirinya. Makna eksistensi individu ditemukan dalam hubungannya dengan orang lain, tapi siapa yang mau berkawan dengan seseorang yang penuh dengan prasangka buruk pada orang lain? Tapi justru itulah yang hendak disampaikan. Ironisme tokoh Dostoyevsky terletak pada pengungkapan sisi negatif dirinya. Artinya, dalam berhubungan dengan orang lain individu harus diterima lengkap bersama sisi negatif dalam dirinya. Tanpa itu hubungan antar-individu akan menjadi hambar, penuh kepura-puraan, dan tak bermakna.
            Hubungan antar tokoh dalam novel ini merupakan usaha untuk mengungkapkan sisi negatif tersebut. Tokoh aku memliki kecendrungan untuk menelanjangi orang lain. Penelanjangan tersebut dimaksudkan supaya orang lain  juga memahami eksistensi diri yang lemah. Dengan menyadari kelemahan tersebut hubungan yang lebih bermakna baru mungkin tercapai. Individu di hadapan individu lain tidak harus membanggakan kelebihannya; sebab semua kelebihan itu tidak ada artinya ketika hanya ada 'aku' dan 'diriku sendiri'. Membanggakan diri pada diri sendiri dan orang lain hanyalah perbuatan sia-sia, palsu, dan tak bermoral–inilah yang terjadi di sekeliling tokoh aku.
            Tapi rupa-rupanya tokoh-tokoh yang dioposisikan dengan tokoh aku tidak mau mengakui eksistensi diri yang lemah; mulai dari kerani yang tidak menyadari bahwa dirinya menjijikkan untuk dipandang, letnan berbadan tegap, dan Zherkov. Hanya pada tokoh Lizalah eksistensi diri yang lemah diakui.
            Hubungan yang alot antar tokoh dalam novel ini dapat dilihat dari konsep Sartre yang menyatakan bahwa neraka ialah sesama kita. Sebab hubungan antar-subjek berubah menjadi hubungan subjek-objek. Tokoh aku dalam novel ini tidak bersedia menerima dirinya dijadikan sebagai objek oleh individu lain. Hal ini nampak pada sikapnya yang lebih memilih diam daripada turut dalam pembicaraan antara atasannya dengan orang lain yang membicarakan kewajiban berlebih, usahanya beradu bahu dengan letnannya, serangannya pada Zherkov, dan usahanya untuk menaklukan 'Liza yang malang'.
            Sayangnya dari semua usaha mensejajarkan diri itu hanya satu yang berhasil, yaitu pada Liza seorang. Maka terciptalah neraka dalam hubungan dengan 'dunia luar'. Sebab dunia luar tidak bersedia mengakui esksistensinya sebagai subjek dan mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya. Dia tidak sepakat bahwa penampilan seseorang harus seperti ini atau itu, bahwa sudah menjadi nasib bagi seorang bawahan untuk selalu menjilat atasannya, bahwa keberhasilan seseorang dinilai dari pangkat yang didapat, bahwa orang-orang seperti Zherkovlah orang yang patut dipuji dan diikuti.
            Kesepakatan-bersama yang diciptakan tanpa persetujuannya ini melukainya dengan dalam. Pada dasarnya kesepakatan-bersama itu baik karena mengarahkan orang-orang pada pandangan positif, tapi bukan berarti dia tidak dapat mencibir dan menjulurkan lidahnya pada kesepakatan-bersama itu. Dia merasa dirinya bukan tuts piano yang begitu ditekan mengeluarkan nada tertentu. Artinya, jika suatu kekuatan asing mengharuskannya mengikuti kesepakatan-bersama itu, dia memiliki kebebasan untuk tidak mengarah ke sana.
            Secara psikologis dapat dibantah bahwa tokoh aku membenci kesepakatan bersama karena dia tidak berada pada posisi di mana ide-idenya diikuti dan dijadikan sebagai kesepakatan-bersama. Sekiranya berada pada posisi yang diikuti tentu dia akan mencemooh habis-habisan orang-orang yang menentangnya. Tapi justru di sinilah eksistensialisme dalam novel ini bergerak. Dalam konsep Kierkegaard dikatakan bahwa putus asa adalah kebalikan dari mau menjadi diri sendiri sebagaimana adanya. Tokoh aku berusaha keras menjadikan dirinya sebagai pihak yang diikuti dan dibanggakan orang lain. Tapi tidak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya lemah dan terasing. Ide-idenya tidak akan diikuti karena hanya akan mengantarkan orang lain pada sisi gelap masing-masing–tokoh Simonov yang pernah begitu dekat meninggalkannya setelah berhasil ditaklukkan.
            Keputusasaan ini mengantarkan tokoh aku ditepi jurang hidupnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahannya untuk tidak jatuh kecuali dirinya sendiri. Dan pada tahap-tahap tertentu dia tidak lagi takut pada 'kemungkinan' kejatuhan dirinya; sebaliknya, malah menemukan kenikmatan di dalam pesaran kehinaan itu.
            Ditinjau dari konsep Kierkegaard, keputusasaan tokoh aku dalam novel ini merupakan keputusasaan yang disadari dan negatif sifatnya. Dia sadar bahwa dia berputusasa, tapi tidak menyadari bahwa orang-orang lain itu berputus asa juga. Dia tidak habis pikir, bagaimana orang lain bisa tidak menyadarinya. Karena itu dia menganggap kesadaran yang dimilikinyalah kesadaran yang paling tinggi dan, dengan gaya ironis, menyatakan bahwa seorang lelaki cerdas, sebagai akibat kesadarannya yang tajam, tidak mungkin bisa menjadi apa-apa.
            Sikap tokoh aku dalam menghadapi keputusasaannya itu bersifat menentang. Kita andaikan bahwa penulis catatan itu adalah seorang lelaki berusia 40 tahun yang sebagian profilnya sudah kita ketahui; lelaki ini, daripada menerima dengan pasrah keadaan dirinya yang tersakiti, memilih menentang tingkah nasib padanya. Penderitaannya dia terima dengan bersikap melawan. Dia menulis, “Aku tahu mereka selama hidupku berkumpul dalam diriku dan mencari jalan untuk keluar, tapi aku tidak akan membiarkan mereka keluar, dengan sengaja.”
            Dengan ide seperti itulah tokoh aku ingin dipuji dan diikuti. Tokoh aku dalam novel ini menyampaikan pengertian tentang eksistensi manusia dengan gaya yang ironis. Tapi usahanya itu tidak dihargai dan malah berakibat pengucilan, karena itu dia merasa putus asa karena tidak dapat menjadi seperti yang diinginkannya sendiri. Pada akhirnya, setelah terdorong sedemikian rupa hingga ke tepi jurang kehidupannya, dia melakukan lompatan eksistensial dengan menuliskan dalam catatannya, “Aku orang sakit...”
            Kesimpulannya, novel Catatan dari Bawah Tanah ini merupakan perjalanan tokoh aku dalam menjadi diri sendiri. Kemenjadian ini dilewati melalui proses hubungan dengan individu lain. Namun proses menjadi diri sendiri ini belum usai selama tokoh aku tersebut hidup. Sebab pengalaman tokoh aku belum usai, pengalaman itu tak terbatas dan tak selesai; menulis catatan merupakan salah satu cara melestarikan hubungan dengan diri sendiri. Sartre mengatakan, aku bukan diriku, dan aku akan menjadi diriku. Dengan membuat catatan tersebut tokoh aku berusaha menuju ke arah 'akan menjadi diri' dengan jalan mengabstraksi pengalaman yang sudah dilaluinya untuk menapak pengalaman-pengalaman yang akan dilaluinya.

Jumat, 26 Februari 2016

IRONISME KOTA JAKARTA DALAM ANTOLOGI PUISI “JAKARTA, SENJA HARI” MEDY LOEKITO BAGIAN KEDUA (Sub Pertama)



Oleh : Chandra Krisnawan

siapa yang tak menangis melihat Jakarta
ia seperti penderita kusta yang tak boleh mati
juga seperti ratu tak punya istana

Demikian tulis MdL (baca: Medy Loekito) dalam salah satu puisinya yang ditulis pada kurun waktu tahun 1996. Petikan puisi di atas mengungkapkan betapa kota metropolis seperti Jakarta yang bergelimang kemajuan dan pembangunan ternyata seperti penderita kusta. Dan penderita ini tak boleh mati, dia harus hidup demi kelangsungan negara yang beribu kota padanya dan demi penduduk yang tinggal di dalamnya.
Pada kurun waktu tahun 1996, puisi MdL banyak mengungkapkan realitas sosial yang tengah dihadapinya, terutama realitas kehidupan kota mertropolitan Jakarta. Paling tidak terdapat tujuh puisi yang menggunakan nama Jakarta sebagai judul puisi. Penghayatan si aku lirik terhadap realitas sosial yang dihadapinya menarik untuk ditelaah. Sebab suatu realitas yang sama akan dihayati secara berbeda oleh tiap individu. Juga bagaimana realitas sosial itu berpengaruh terhadap individu seperti nanti akan nampak pada puisi-puisi yang ditulis MdL. Hal itu tergantung dunia batin individu yang mencakup pengalaman, wawasan, kecerdasan, dan sebagainya.
Telaah kali ini akan dibagi kedalam beberapa sub pembahasan. Sub pembahasan pertama akan menelaah puisi-puisi yang mengungkap tema realitas sosial. Kemudian dilanjutkan dengan sub pembahasan berikutnya.

Ironisme Kota Jakarta

Jakarta (I)

I
tengah malam
erang kucing mengangkangi
Jakarta yang menjerit
seperti babi tersembelih

II
ketika pagi
bau sampah menggugah selera sarapan
lalu ambisi-ambisi memaksa
jemari menoreh gedung serta rumah-rumah
dengan caci maki

III
lepas maghrib
melongok jendela mesjid di kaca TV
hanya ada sepi
(okt 1996)

Puisi di atas merupakan puisi pertama berjudul Jakarta. Dalam antologi puisi ini paling tidak terdapat sebanyak sembilan puisi berjudul Jakarta. Yaitu Jakarta (I tahun 1996), (II tahun 1996), (III tahun 1996), (IV tahun 1996), (V tahun 1996), (VI tahun 1996), (IX), (X tahun 1997), dan (XI tahun 1997). Nampak ada penomoran yang tidak komplit. Nomor ke VII dan VIII tidak ada. Mungkin MdL mengubahnya menjadi judul lain semisal Jakarta, Senja Hari (tahun 1997), Jakarta dan Gelandangan (tahun 1996) atau Berkatilah Jakarta, Tuhan (tahun 1996). Diperlukan penelitian terhadap seluruh sajak MdL agar diketahui kemana puisi Jakarta (VII) dan (VIII) berada.
Puisi di atas terbagi menjadi tiga bagian waktu di mana masing-masing waktu terdiri dari satu bait. Bagian I menggambarkan Jakarta pada waktu tengah malam. Bagian II menggambarkan Jakarta pada waktu pagi hari. Sedangkan bagian III menggambarkan Jakarta pada waktu lepas maghrib.
Waktu tengah malam yang digambarkan pada bagian I cukup jelas pada baris pertama tengah malam. Frasa ini menyaran pada saat pergantian hari di mana waktu 24 jam nyaris lewat dan akan masuk pada 24 hari berikutnya. Suasana Jakarta tengah malam ini digambarkan pada baris kedua dengan metafora erang kucing mengangkangi. Suasana malam telah demikian sepi hingga suara yang hadir pada waktu ini adalah suara yang nyaris tidak diperhatikan pada siang hari seperti suara erang kucing. Bisa jadi frasa erang kucing dipilih dalam puisi ini untuk mengganti lambang gonggong anjing yang banyak menyaran pada situasi larut malam, seperti pada puisi yang berjudul Elegi misalnya.
Frasa erang kucing sendiri menyaran pada keadaan atau aktifitas kucing. Mungkin kucing itu merasa lapar sehingga mengerang. Mungkin kucing itu hendak bergelut dengan kucing lain. Atau mungkin juga kucing itu merasa birahi. Keadaan si kucing digambarkan dengan kata mengangkangi. Kata ini menyiratkan adanya kuasa pada kucing untuk melakukan sesuatu yang ditandai pada kata kerja mengangkangi. Penggunaan imbuhan me-i pada kata itu menunjukkan adanya relasi kekuasaan pada objek yang dihadapi kucing. Siapa yang dikangkangi oleh erang kucing?
Jawabannya terletak pada baris ketiga, yaitu Jakarta yang menjerit. Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan ternyata berada dalam kuasa kucing. Dalam hubungannya itu Jakarta menjadi objek yang dikangkangi oleh kucing. Jakarta tidak memiliki kuasa sehingga hanya bisa menjerit. Rupanya di balik suara erang kucing tersirat suara yang lebih pilu pada tengah malam yaitu suara Jakarta yang menjerit. Jeritan ini terasa memilukan karena diperbandingkan dengan jeritan babi tersembelih. Bagi kita yang pernah mendengarkan jeritan babi tersembelih tentu akan tahu betapa memilukannya jeritan itu. Lalu apa makna Jakarta pada bagian pertama puisi ini?
Masih terasa samar simbol apa yang diwakili oleh Jakarta pada bagian pertama ini. Mungkin kesepian dan kesunyian. Mungkin juga hingar bingar kehidupan malam Jakarta yang beranjak pudar. Yang pasti simbol yang diwakili oleh Jakarta ini berada dalam relasi pasif subjek yang dikangkangi oleh subjek lain.
Bagian kedua menggambarkan suasana ketika pagi seperti diungkapkan pada baris pertama. Baris ini sekaligus menggambarkan peralihan waktu dari tengah malam pada bagian sebelumnya menjadi ketika pagi di mana aktifitas atau kegiatan pada sebuah hari dimulai. Berbeda dengan bagian pertama yang penuh dengan nuansa bunyi, bagian kedua ini terdapat nuansa suara dan aroma sekaligus. Nuansa aroma ditunjukkan pada baris kedua bau sampah menggugah selera sarapan.
Rupanya pagi di Jakarta dimulai dengan menyeruaknya bau sampah di lingkungan rumah aku lirik (mungkin juga di tengah-tengah meja makannya). Bau sampah ini mungkin timbul dari aktifitas tukang sampah perumahan yang harus mengangkut sampah dari bak ke gerobaknya. Aktifitas ini merupakan aktifitas khas perkotaan. Di desa tempat pembuangan sampah umumnya berada pekarangan belakang rumah yang digali tanahnya. Bau sampah di sana tidak mengganggu karena sampah jauh dari rumah dan tidak dibongkar yang mana dapat menyebabkan bau sampah menyebar.
Meski begitu bau sampah justru digambarkan menggugah selera makan. Aktifitas rutin pengangkutan sampah setiap pagi bersama aromanya ini mungkin telah begitu akrab bagi si aku lirik sehingga dia memandangnya dengan cukup ironis melalui penggunaan frasa menggugah selera sarapan.
Pada baris ketiga diungkapkan lalu ambisi-ambisi memaksa. Pada baris ini terdapat subjek ambisi-ambisi yang berpasangan dengan kata kerja memaksa. Mengenai siapa yang dipaksa oleh ambisi-ambisi terungkap pada baris ketiga jemari menoreh gedung serta rumah-rumah. Rupanya objek dari ambisi-ambisi adalah jemari. Baris keempat ini memiliki keterkaitan yang erat dengan baris sebelumnya di mana jemari dipaksa melakukan aktifitas menoreh. Aktifitas jemari serupa ini dapat kita temukan pula pada puisi yang berjudul Saat Duka. Nuansanya pun hampir sama, yaitu menorehkan amarah dan kebencian sementara puisi di atas menoreh dengan caci maki. Adapun yang menjadi objek torehan itu adalah gedung serta rumah-rumah.
Mungkin dapat diajukan pertanyaan: ambisi-ambisi siapa, dan kenapa gedung serta rumah-rumah menjadi korban caci maki? Pada puisi di atas tidak nampak adanya hubungan si aku lirik dengan yang lain. Maka ambisi-ambisi dapat dipahami sebagai milik si aku lirik. Begitu juga dengan jemari dan caci maki, merupakan aktifitas yang dilakukan oleh si aku lirik sebagai akibat dari suasana bau sampah menggugah selera. Mungkin dari gedung serta rumah-rumah itulah bau sampah berasal, yang mana menyebabkan si aku lirik menoreh caci maki.
Bisa jadi ada makna lain yang tersembunyi pada bagian kedua puisi di atas. Kata ambisi yang digunakan pada baris ketiga dapat menyaran pada keinginan manusia dalam menggapai sesuatu. Keinginan itu begitu kuat dan angkuh sehingga berubah menjadi ambisi. Mungkin ambisi di sini bermakna keinginan untuk hidup bersih sebagai kebalikan dari baris kedua. Kehidupan seperti baris kedua ditemui oleh si aku lirik selama berada di Jakarta. Kehidupan serupa inilah yang dicaci maki oleh si aku lirik. Frasa gedung serta rumah-rumah bisa menjadi simbol sebagai bagian dari kota Jakarta. Makna ambisi-ambisi akan terungkap pada puisi-puisi berikutnya.
Pada bagian ketiga menggambarkan tengah berlangsungnya waktu sebagaimana diungkap pada baris pertamanya yaitu lepas maghrib. Waktu ini menyaran pada usainya jam kerja atau usainya aktifitas kerja. Juga menyaran pada salah satu waktu ibadah umat muslim, maghrib. Akan tetapi jam kerja yang telah usai dan tibanya saat ibadah itu ternyata tidak membuat manusia kembali kepada ibadahnya. Hal itu terungkap pada baris kedua melongok jendela mesjid di kaca TV.
Baris kedua ini menunjukkan aktifitas yang tengah dilakukan oleh si aku lirik, yaitu melongok. Adapun yang dilongok adalah jendela mesjid di kaca TV. Hal ini menyiratkan sebuah tempat di belahan bumi lain yaitu sebuah mesjid yang merupakan tempat ibadah bagi umat muslim. Seperti apa suasana mesjid itu terungkap pada baris ketiga yang hanya ada sepi.
Mesjid sebagai tempat ibadah dan lepas maghrib sebagai salah satu waktu untuk beribadah rupanya menyajikan sepi bagi si aku lirik. Mungkin si aku lirik dalam bagian ketiga puisi ini hendak mengungkapkan betapa sepi mesjid yang ditinggalkan oleh umatnya karena terbelit rutinitas yang menyibukkan. Rutinitas itu, sebagai bagian tak terpisahkan dari kota metropolitan seperti Jakarta, menyebabkan manusia lupa akan haknya untuk turut meramaikan mesjid.

Jakarta (II)

aku pernah rindu sekali
belaian gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang
serta kabel-kabel telepon
juga desah klakson mobil, kucing sekarat
serta sumpah serapah
namun tiap kali ‘ku tiba di peluknya
tak lagi ada waktu buat berbagi rindu
kerna aku mesti menyusut air-matanya
yang membusuk di tong-tong sampah
dan menyuapi mulutnya
yang senantiasa selapar anak kutilang
(nop 1996)

Puisi di atas merupakan puisi kedua yang berjudul Jakarta, terdiri dari satu bait dan sebelas baris. Pada baris pertama si aku lirik mengungkapkan perasaannya pada Jakarta dengan larik yang berbunyi aku pernah rindu sekali. Baris ini mengungkapkan aku lirik secara utuh dengan penggunaan kata ganti aku. Pengungkapan secara utuh ini menguatkan suasana batin aku lirik yang pernah rindu sekali.
Kerianduan aku lirik terletak pada baris kedua, ketiga, keempat, dan kelima yang mana pada baris-baris itu menggambarkan suasana perabadan kota metropolitan. Pada baris kedua misalnya belaian gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang. Infrastruktur seperti gedung tinggi dan jalan layang hanya mungkin ditemui di sebuah kota metropolitan. Dalam hal ini Jakarta dimaknai melalui keberadaan infrastruktur fisik yang mendukung mobilitas dan perekonomian sebuah ibu kota.
Baris ketiga masih menunjukkan infrastruktur fisik lain yaitu serta kabel-kabel telepon. Selain mobilitas, dukungan komunikasi juga menjadi bagian dari ibu kota. kabel-kabel telpon yang menjalar di jalan-jalan ibu kota tak luput dari kerinduan aku lirik. selain itu  penggunaan kata sambung serta menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan baris kedua, yaitu penunjukkan pada benda-benda konkret yang melekat menjadi bagian ibu kota.
Baris keempat menunjukkan nuansa lain yang dirindu aku lirik, yaitu juga desah klakson mobil, kucing sekarat. Pada baris ini bayangan yang dirindu aku lirik bergerak dari dunia benda ke dunia suara yang diwakili dengan penggunaan kata desah oleh klakson dan kucing. Proses perpindahan dari dunia benda ke dunia suara ditandai dengan penggunaan kata juga pada awal baris. Penggunaan kata juga menyaran pada pengertian bahwa ada sesuatu yang lain selain yang sudah disebut sebelumnya.
Pada baris ini frasa yang yang dipisahkan oleh tanda baca koma ‘,’, yaitu desah klakson mobil dengan kucing sekarat. Ada hubungan apa antara kedua frasa itu? Telah disebutkan bahwa pada baris keempat nuansa yang dihadapi aku lirik bergerak dari dunia benda ke dunia suara; bukankah kucing sekarat masih merujuk pada dunia benda? Kita bisa keliru juga menganggap frasa kucing sekarat sebagai tanda dari dunia benda. Kucing sekarat harus dipahami sebagai tanda dari dunia suara. Dalam hal ini kita harus merujuk pada puisi lain yang juga menampilkan kata kucing, yaitu pada puisi berjudul Jakarta I yaitu pada baris kedua bagian pertama erang kucing.
Dalam hubungan makna kedua kucing itu memang terlibat dalam aktifitas yang berbeda di mana yang satu mengangkangi sedang yang lain sekarat. Akan tetapi nuansa suara yang coba dihadirkan dalam puisi Jakarta II memiliki hubungan makna yang dekat dengan erang. Dengan kata lain, kucing sekarat yang ada pada puisi Jakarta II menyaran pada erangannya dan bukan pada konsep yang bersifat benda.
Selain dalam hubungannya dengan nuansa suara yang hendak dibangun si aku lirik, kondisi Jakarta yang padat dengan lalu-lalang kendaraan memungkinkan pemaknaan erang. Mungkin sebuah mobil lewat menabrak kucing. Fenomena seekor kucing yang tiba-tiba menyeberang di jalan merupakan fenomena yang sangat mungkin ditemui di jalanan dengan lalu lintas yang padat. Atau dalam keremangan malam di mana lalu-lalang telah sepi dan kucing-kucing berkeliaran di jalan, lalu sebuah mobil lewat tanpa memperhatikan kucing yang sedang melintas jalan.
Dalam khasanah puisi Indonesia fenomena serupa ini dapat kita temui pada puisi Toeti Heraty yang berjudul Terbangun. Pada bait kedua baris kedua sajak ini menggambarkan fenomena serupa, hewan yang tertabrak, meski objek yang digunakan berbeda: anjing baru tergilas mobil tetangga. Meski dalam puisi Terbangun Toeti Heraty memiliki perbedaan makna dengan puisi Jakarta II MdL namun realitas serupa ini telah diangkat ke dalam dunia puisi. Realitas yang hampir sama itulah yang hendak diungkap dalam hubungannya dengan frasa kucing sekarat.
Baris kelima masih menyaran pada nuansa suara. Pada baris ini diungkap serta sumpah serapah. Penggunaan kata serta menunjukkan adanya hubungan makna dengan baris sebelumnya, yaitu adanya sesuatu yang sama atau yang serupa dengan yang sudah disebutkan sebelumnya. Kesamaan itu masih terletak pada nuansa suara yang diungkap lewat frasa sumpah serapah, yaitu salah satu bentuk ucapan yang digunakan oleh manusia dalam keadaan tertentu, merasa jengkel misalnya.
Sebagai bentuk ucapan frasa sumpah serapah cenderung bersifat negatif. Frasa ini menunjukkan adanya hubungan subjek yang tidak harmonis dengan lingkungannya. Satu subjek mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan pada subjek lain, atau pada sekian banyak orang yang dalam bahasa Iwan Simatupang yang berarti: tak seorang pun. Mungkin juga diucapkan pada keadaan yang terasa begitu menghimpit subjek. Tapi mungkin makna yang lebih dekat terletak pada hubungannya dengan frasa desah klakson mobil. Pengendara yang saling berlomba tak mau mengalah sehingga menyebabkan terjadinya singgunan yang dapat memicu ucapan sumpah serapah.Begitu juga jika seekor kucing terlindas.
Dari keempat baris di atas, yaitu baris kedua hingga kelima terungkap keadaan kota Jakarta. Pada baris kedua dan ketiga menunjukkan betapa Jakarta begitu padat dengan bangunan yang menjulang dari tanah. Sedang pada baris keempat dan kelima menunjukkan betapa bisingnya kota Jakarta. Rupa-rupanya realitas seperti inilah yang oleh si aku lirik pernah rindu sekali.
Kerinduan si aku lirik itu diungkapkan dengan rapi. Mulai penataan baris di mana dua baris menggambarkan nuansa benda. Sedangkan dua baris lain menggambarkan nuansa suara. Juga penggunaan tanda baca koma ‘,’ untuk memisahkan frasa berbeda pada pada baris awal penggambaran nuansa benda dan suara. Begitu juga penggunaan kata serta untuk menunjukkan adanya sesuatu lain yang sama atau serupa dari yang sudah disebutkan. Seolah-olah baris kedua-ketiga dengan baris keempat-kelima memiliki kekembaran makna. Kalau kita ingat pembahasan puisi yang berjudul Lawatan penyusunan topograsi demikian seperti disengaja untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang dalam puisi ini adalah hal-hal yang oleh si aku lirik membuatnya merasa rindu.
Setelah dibawa dalam suasana kerinduan, tiba-tiba pada baris keenam si aku lirik mengungkapkan situasi yang berlawanan dengan kerinduannya dengan berkata namun tiap kali ‘ku tiba di peluknya. Penggunaan kata namun pada baris ini menunjukkan adanya unsur yang saling bertentangan atau berlawanan. Pertentangan itu terletak pada situasi yang dihadapi aku lirik yang terungkap lewat baris berikutnya tak ada lagi waktu buat berbagi rindu.
Subjek yang merasa rindu tentu bercengkrama dengan sesuatu yang dirinduinya itu ketika sesuatu itu tiba di pelukan. Akan tetapi yang terjadi pada si aku lirik dalam puisi ini adalah sebaliknya. Justru ketika aku lirik tiba di peluknya dia malah kehilangan waktu buat berbagi rindu. Seolah sia-sia saja tiba di peluknya karena pada akhirnya tak bisa berbagi. Kegelisahan si aku lirik akan kesia-siaan itu terungkap pula lewat enjabemen yang kuat pada baris keenam dan ketujuh. Enjabemen ini juga nampak pada baris selanjutnya. Seolah-olah pada titik ini hanya kerinduan aku lirik telah digantikan oleh kegelisahan. Bentuk-bentuk seperti pada baris-baris sebelumnya kehilangan keteraturannya.
Pada baris kedelapan terungkap sebab yang menjadi sumber kegelisahannya kerna aku mesti menyusut air-matanya. Penggunaan kata kerna pada awal baris ini menyiratkan adanya argumen atau alasan atau pernyataan yang harus diungkap (pada diri si aku lirik sendiri atau pun kepada pembacanya) yang menyebabkannya tak sempat.
Pada baris kedelapan ini terdapat hubungan interaksional antara aku lirik dengan subjek lain yang diwakili dengan kata ganti –nya. Siapakah –nya yang oleh aku lirik disusut air matanya itu? Siapakah –nya yang menyebabkan aku lirik tak ada lagi waktu buat berbagi rindu itu? Jawab: Jakarta. Sebagaimana yang terungkap pada baris keenam.
Baris kedelapan mengungkapkan sisi lain Jakarta yang berbeda dari yang sudah disebutkan pada baris-baris sebelumnya. Pada baris ini Jakarta dianalogikan dengan manusia (atau hewan) yang memiliki kemampuan mengalirkan air mata. Air mata inilah yang menjadi objek dari aktifitas yang dilakukan oleh aku lirik, yaitu menyusut. Aktifitas ini pula yang menyebabkan aku lirik tak ada lagi waktu. Mengapa aktifitas itu dapat menyebabkan aku lirik tak ada lagi waktu buat berbagi rindu?
Baris kedepalan memiliki hubungan yang erat dengan baris berikutnya, yang membusuk di tong-tong sampah.  Pada baris kesembilan ada pemunculan nuansa indra penciuman yang diwakili dengan kata kerja membusuk yang diikuti dengan keterangan di tong-tong sampah. Kata membusuk sendiri mengandaikan suatu proses alamiah dari keadaan yang semula baik menjadi rusak, seperti pada proses pembusukan buah misalnya. Biasanya proses membusuk ini dialami atau berlangsung pada benda-benda yang dapat diurai oleh tanah (dalam waktu yang relatif singkat).
Akan tetapi yang mengalami pembusukan pada baris ini adalah air matanya. Air mata yang merupakan bagian dari proses tangis atau kesedihan rupanya bertempat di tong-tong sampah, tempat di mana benda-benda yang tak berguna atau tak terpakai dibuang. Entah mana yang lebih dulu: membusuk sehingga dibuang di tong-tong sampah atau dibuang di tong-tong sampah yang menyebabkannya membusuk. Pastinya kesedihan Jakarta tidak bukan sesuatu yang berarti sehingga dia mesti dibuang di tong-tong sampah. Bisa juga, kesedihan Jakarta membusuk sehingga dia harus dibuang di tong-tong sampah.
Jika mengacu pada puisi ini, sesuatu yang membusuk itu memiliki hubungan makna dengan frasa kucing sekarat pada baris keempat dan sumpah serapah pada baris kelima. Kucing sekarat pada akhirnya akan mati dan membusuk di tong-tong sampah jika tak seorang pun sudi menguburkannya. Pernahkah kita temui fenomena serupa ini? Begitu juga dengan sumpah serapah yang didengar oleh telinga, akan membusuk dan terbuang ke dalam tong-tong sampah di dalam dada bercampur endapan caci maki yang diterima. Begitu juga dengan frasa desah klakson. Sebab frasa ini memiliki hubungan makna yang hampir sama dengan frasa sumpah serapah. Pengendara yang tak sabar sangat mudah membunyikan klakson pada pengendara lain di depannya. Atau apa pun yang terjadi di jalan raya di mana satu pengendara dengan pengendara lain saling bersinggungan. Bedanya satu disampaikan lewat mulut sedangkan satunya lagi diteriakkan lewat klakson.
Begitu juga dengan frasa gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang/serta kabel-kabel telepon, pada akhirnya akan membusuk dan terbuang. Keberadaannya akan digantikan oleh yang baru. Sebab Jakarta selapar anak kutilang yang tak henti-hentinya membangun gedung-gedung, jalan-jalan, atau kabel-kabel baru atau Jakarta akan mati kelaparan.
Pada baris kesepuluh diungkap sisi lain dari Jakarta dengan larik yang berbunyi dan menyuapi mulutnya. Setelah pada baris sebelumnya Jakarta digambarkan memiliki bagian tubuh serupa manusia yang dapat mengucurkan air mata kini diungkap juga bagian tubuh lain dari Jakarta, yaitu mulutnya. Rupa-rupanya pada baris ini terdapat aktifitas lain yang dilakukan oleh aku lirik terhadap Jakarta yaitu menyuapi. Kata menyuapi ini menyaran pada pengertian memberi makan pada seseorang yang belum mampu (pada anak-anak) atau tak dapat menggunakan tangannya untuk makan.
Setelah terungkap bahwa Jakarta dianalogikan dengan sosok manusia, pada baris ini dapat dipertanyakan: Jakarta adalah bocah, atau seorang tua renta? Atau si sakit yang tak boleh mati seperti pada puisi Mdl yang berjudul Berkatilah Jakarta, Tuhan? Pada dua aktifitas yang dilakukan oleh aku lirik menunjukkan sifat pasif Jakarta yang menjadi objek dari kata menyusut dan menyuapi. Meski tersirat sifat yang aktif seperti pada frasa air-matanya di mana Jakarta  menangis, akan tetapi bentuk aktif ini tidak terungkap secara penuh. Akan tetapi sebagai penggambaran bahwa Jakarta tengah dianalogikan dengan manusia. Lalu: seperti apakah sosoknya yang pasif itu?
Sebelum menjawabnya perlu ditelusuri terlebih dahulu baris berikutnya, yang senantiasa selapar anak kutilang. Baris ini memiliki hubungan yang erat dengan baris sebelumnya, di mana frasa senantisa selapar mengacu langsung pada kata mulutnya yang terdapat pada baris sebelumnya. Hal itu juga ditunjukkan dengan penggunaan kata penggunaan kata yang di awal baris. Sedangkan penggunaan kata senantiansa menunjukan adanya sesuatu yang berulang-ulang terjadi, yaitu selapar. Kata selapar pada itu sendiri merupakan perbandingan dari kata mulutnya. Dengan kata lain mulut yang terdapat pada baris kesepuluh diperbandingkan dengan selapar anak kutilang.
Sekarang insaf sudah mengapa aku lirik tak lagi ada waktu buat berbagi rindu. Rupa-rupanya aku lirik terlalu ‘sibuk’ mengurus jakarta yang yang membusuk dan lapar. Jakarta yang pernah dirindukannya lewat pemandangan bangunan dan kebisingan ternyata tak memberinya waktu untuk bercengkrama. Sebaliknya si aku lirik malah harus ‘merawat’ Jakarta.

Jakarta (III)

dalam belantara asap polusi
kita saling menatap tanpa melihat
meraba tanpa bisa menjamah
dan tiap kali pembicaraan saling dipekikkan
tiada berita yang pernah sampai
sebab suara-suara terpantul dan terlempar pada
debu-debu
kembali ‘penuhi kepala sendiri
hingga tinggal angan-angan kosong belaka

Jika pada dua puisi sebelumnya cenderung mengungkap lingkungan atau dunia benda, baik konkret (seperti gedung) atau pun abstrak (seperti bunyi atau bau), pada puisi Jakarta (III) aku lirik cenderung mengungkap hubungan transaksional antar personal. Bisa saja hubungan transaksional itu berlangsung antara aku lirik dengan subjek lain. Bisa juga antara satu subjek dengan subjek lain dalam pengamatan si aku lirik.
Meski demikian puisi berjudul Jakarta (III) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dua puisi sebelumnya. Sebab nuansa Jakarta yang menjerit, ambisi-ambisi, atau sumpah serapah mendapat bentuk yang lebih konkret dalam puisi Jakarta (III).
Baris pertama dalam belantara asap polusi menunjukkan situasi atau tempat di mana aku lirik tengah berada. Jakarta yang padat dengan kendaraan bermotor, dan mungkin juga pabrik-pabriknya, digambarkan sebagai belantara asap polusi. Kata belantara umumnya digunakan berpasangan dengan kata hutan atau rimba untuk pengertian keluasan dan ketebalan vegetasinya.
Akan tetapi pada baris pertama ini kata tersebut berpasangan dengan asap polusi. Kata asap yang berpasangan dengan polusi di sini menyaran pada pengertian gas buangan yang dihasilkan oleh mesin tertentu seperti mesin kendaraan misalnya, atau mesin produksi di pabrik. Penggunaan kata polusi juga menunjukkan bahwa asap tersebut meracuni. Udara yang bersih dan segar telah tercemar, dan dalam skala yang luas dan pekat sebagaimana terungkap dalam kata belantara. Dalam situasi seperti inilah aku lirik tengah berada.
Pada baris kedua disebutkan kita saling menatap tanpa melihat. Rupa-rupanya aku lirik tidak berada sendirian dalam situasi yang digambarkan pada baris pertama. Bersama aku-aku lain aku lirik berada dalam situasi itu. Penggunaan kata kita untuk menyebut diri aku lirik dan diri yang lain menunjukkan betapa ‘seharusnya’ mereka itu dekat. Penggunaan kata kita untuk menyebut aku dengan kau atau aku dengan kalian atau aku dengan kalian seharusnya meniadakan jarak antara aku dengan mereka. Sebab aku dengan kau atau kalian telah berada dalam satu komuni ‘kita’.
Akan tetapi kedekatan hubungan itu ternyata hanya kulitnya saja. Aku dengan kalian didekatkan oleh ruang yang sama: belantara asap polusi. Aku dengan kalian dekat karena bisa saling menatap. Antara tubuhmu dengan tubuh kalian tidak terpisah jarak sehingga biji mataku bisa menatap biji mata kalian. Tapi ternyata cukup hanya itu yang terjadi. Sebab menatap tanpa melihat tidak memiliki banyak arti, baik bagi yang ditatap mau pun yang menatap.
Menatap sebagai salah satu bentuk dari melihat kehilangan arti sepenuhnya. Mungkin bagi yang menatap berarti ‘oh, ada orang lain di sana, di jalan yang hendak kulalui’. Mungkin juga bagi yang ditatap berarti ‘oh, ada orang yang akan lewat’ tanpa ada minat untuk menyelami diri orang yang ditatap. Fenomena serupa inilah yang coba diungkap dalam puisi ini. Hubungan antar manusia yang semestinya harmonis menjadi kaku dan dingin di belantara asap polusi.
Pada baris ketiga meraba tanpa bisa menjamah aku lirik mengungkapkan hal senada dalam nuansa yang berbeda. Jika pada baris sebelumnya indra yang digunakan untuk mengetahui keberadaan aku-lain adalah mata, pada baris ketiga ini indra yang digunakan adalah tangan atau kulit. Hal itu diwakili dengan kata kerja meraba yang memiliki hubungan makna yang kuat dengan aktifitas yang dilakukan oleh tangan. Seperti pada baris sebelumnya, pada baris ini ada kata pengingkaran ‘tanpa’ yang menyaran pada kebalikan atau pertentangan dari makna yang diungkap sebelumnya.
Baris keempat dan tiap kali pembicaraan saling dipekikkan mengungkap nuansa indra yang berbeda, yaitu pembicaraan yang terucap untuk didengar oleh indra pendengaran. Pada hakikatnya berbicara pada individu lain dimaksudkan untuk menjalin dialog. Dengan begitu pesan yang hendak disampaikan oleh individu yang berbicara dapat diterima dan direspon oleh pendengar atau penerima pesan. Dialog ini mengandaikan hubungan dua arah di mana pihak satu harus bersedia mendengar pihak lain, begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi pada baris ini ada momen tertentu di mana pembicaraan saling dipekikkan. Kata-kata disampaikan dengan nada tinggi dalam sebuah situasi yang terjadi tidak hanya sekali tapi berulang kali. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan frasa tiap kali yang menyaran pada pengulangan peristiwa pada waktu yang berbeda. Mengapa harus dipekikkan? Adanya nada tinggi dalam pembicaraan ini menunjukkan transaksi bahasa yang searah, yaitu dari si pembicara saja. Siapakah si pembicara ini; apakah dia atasan yang memberi perintah pada bawahannya, atau pekikkan kernet dan kondektur bus kota kepada khalayak ramai di terminal?Atau sumpah serapah seseorang?
Akibat dari pekikkan itu terdapat pada baris kelima tiada berita yang pernah sampai. Baris keempat ini seolah menjadi kunci untuk memahami puisi ini. Dalam sebuah interaksi antar individu hampir dipastikan terjadi tukar informasi atau berita. Lewat tatapan mata misalnya, individu bisa mengabarkan keadaan tertentu dalam dirinya. Mungkin yang hendak dikabarkannya melalui tatapan itu adalah keinginan untuk bercakap, atau sekedar untuk menunjukkan bahwa individu yang ditatap tidaklah berada sendirian. Atau bisa juga lewat sentuhan seseorang hendak berkabar bahwa dia turut merasakan penderitaan atau duka dari individu yang disentuh itu. Atau bisa juga lewat kata-kata.
Akan tetapi tatapan, rabaan dan wicara yang bisa mengandung berbagai kabar itu ternyata kehilangan arti yang sesungguhnya. Lebih tegas lagi diungkap pada baris keenam sebab suara-suara terpantul dan terlempar pada/debu-debu. Pembicaraan yang dipekikkan bukannya diterima oleh si pendengar tetapi malah terpantul dan terlempar. Telinga si pendengar mungkin menganggapnya sebagai omelan atau makian karena kata pekik dalam baris keempat memiliki konotasi yang negatif, bukan sebagai informasi tentang sesuatu. Maka apa yang didengar itu serupa debu yang terbang terbawa angin lalu. Sebagaimana terungkap pada baris ketujuh debu-debu.
Baris kutujuh puisi ini menunjukkan kontras tersendiri. Dibandingkan dengan baris-baris yang lain baris ini terbilang pendek, hanya terdiri dari pengulangan kata debu yang menunjukkan kejamakannya. Mengapa kontras ini dimunculkan? Apakah karena terlalu panjang jika disertakan pada baris sebelumnya atau sesudahnya? Atau adakah maksud lain yang harus dicari maknanya?
Seperti juga asap polusi, keberadaan debu-debu juga dapat mengganggu kejernihan udara jika kebetulan angin menerbangkannya. Bedanya yang satu bersifat merusak karena merupakan gas buangan dari suatu konsentrasi kimiawi tertentu. Sedangkan yang lain tidak karena merupakan bagian dari alam. Selain itu keberadaan debu-debu pada puisi ini digambarkan diam atau tidak sedang bergerak. Keberadaannya lebih menunjuk pada sebuah tempat yang kering. Tempat di mana pekikkan terlempar. Di manakah tempat itu? Hati yang gersangkah?
Baris kedelapan kembali ‘penuhi kepala sendiri menyaran adanya tempat lain yang berbeda dari debu-debu. Kata kembali yang digunakan menunjukkan ada proses perpindahan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan dari apa? Jawab: dari pekikkan. Kata-kata bernada tinggi yang semula ditujukan pada subjek lain atau kawan bicara lain tidak diterima beritanya. Malah kata-kata itu terpantul dan terlempar. Pada baris ini berita yang hendak disampaikan kembali kepada si pengirim berita tadi. Hal itu ditunjukkan dengan frasa ‘penuhi kepala sendiri. Jadi berita yang mestinya diterima di kepala pendengar malah balik mengarah kepada kepala sendiri. Bahkan yang kembali itu digambarkan dengan kata kerja ‘penuhi, seolah-olah yang kembali lebih banyak dari apa yang sudah dipekikkan.
Fenomena psikologis seperti ini kerap berlangsung pada seseorang yang marah kepada orang lain. Kata-kata bernada tinggi yang dipekikkan kepada orang yang dimarahi terpantul dan terlempar kembali pada orang yang memarahi. Bahkan kembalinya itu menyesakkan bagi yang memarahi. Sebab amarah yang menguras banyak energi tidak memperbaiki sesuatu yang membuatnya marah tapi malah membuat semakin marah. Ini yang mungkin terjadi jika satu orang memarahi orang lain yang berada dalam sub-ordinat orang yang dimarahi. Tapi bagaimana jika yang terjadi adalah: dua orang sama-sama mengeluarkan kata-kata bertensi tinggi?
Nampaknya puisi di atas lebih dekat pada fenomena serupa ini. Kata saling yang digunakan menunjukkan adanya dua orang atau lebih yang berbicara saling dipekikkan. Lebih awal lagi juga dijumpai kata saling pada baris kedua. Jadi puisi ini memang sedang menggambarkan hubungan antar manusia satu dengan manusia lain. Dalam pandangan eksistensialisme keberadaan aku selalu mengandaikan keberadaan aku yang lain. Sebab aku ada karena aku dipandang sebagai aku yang lain oleh aku yang lain itu. Begitu juga keberadaan aku yang lain hanya mungkin jika aku mengakui keberadaannya sebagai aku yang lain. Tapi bagaimana jika yang terjadi hanya ‘pengakuan’ saja?
Pada puisi di atas meski yang nampak terpantul dan terlempar kembali hanyalah suara-suara yang hendak ber-berita mau tak mau aktifitas menatap dan meraba kembali juga kepada pelaku aktifitas itu. Dunia indra yang hadir pada puisi di atas tak dapat menjangkau keberadaan aku yang lain. Sebab aku yang lain pun tak dapat menjangkau aku. Pengakuan kepada aku yang lain memang harus diberi arti. Dengan begitu lengkaplah keberadaan aku yang lain bagiku. Sebaliknya, jika yang terjadi hanyalah menatap tanpa melihat dan meraba tanpa bisa menjamah dapatlah dikatakan: alangkah kesepiannya manusia!
Sepertinya itulah yang hendak diungkapkan dalam puisi di atas. Baris terakhir hingga tinggal angan-angan kosong belaka menunjukkan betapa sia-sianya usaha yang telah dilakukan. Frasa tinggal angan-angan menunjukkan betapa sesuatu yang diharapkan ternyata tidak terwujud. Apalagi diikuti dengan frasa selanjutnya kosong belaka yang menunjukkan dalam kesia-siaan usaha yang sudah dilakukan. Padahal  Jakarta yang menjadi judul puisi adalah tempat tinggal bagi ribuan penduduknya. Tak dapat dibayangkan tempat yang begitu pada dan ramai itu ternyata bagi si aku lirik sepi.
Lalu bagaimana memaknai debu-debu? Debu-debu menjadi semacam tong-tong sampah dari segala keinginan untuk berkomunikasi dengan manusia lain sebelum akhirnya kembali ‘penuhi kepala sendiri. Berbeda dengan tong-tong sampah, sebuah tempat yang ditunjuk dengan debu-debu menyaran pada pengertian yang kering. Tempat di mana tidak ada air di tanah untuk mengikat debu. Bisa dikatakan juga bahwa di sana tidak akan tumbuh sesuatu. Benih komunikasi yang terpantul dan terlempar akan mati di tempat kering, menjelma menjadi angan-angan kosong belaka.

Jakarta (IV)

berjuta kenangan terbantai setiap hari di sini
tak guna mencari hari-hari silam
kawan lamapun tak juga ‘jumpa
meski iklan telah terpasang
di setiap pojok restoran, bis kota dan sandal
manusia-manusia asing

Membaca puisi di atas terasa ada perubahan yang kentara dalam diri si aku lirik di masa ini. Kalau ditinjau lagi pembahasan bagian pertama tulisan ini yang berjudul kegelisahan aku liris Dalam antologi puisi “jakarta, senja hari” medy loekito (Bagian pertama) yang menelaah puisi-puisi pada kurun waktu tahun 1984 s/d 19945 si aku lirik merasa ‘nyaman’ dengan masa lalu seperti pada puisi berjudul Lawatan dengan lariknya yang seindah musim panas dukanya. Si aku lirik pada kurun waktu itu lebih ‘gelisah’ dengan masa depan yang bakal ditempuhnya. Tapi tidak dengan puisi Jakarta (IV).
Baris pertama bejuta kenangan terbantai setiap hari di sini menunjukkan bahwa masa lalu yang diwakili dengan kata kenangan menjadi objek pasif dari kata kerja terbantai. Kalau diperhatikan betapa kejam perbuatan yang diwakili dengan kata kerja terbantai. Seolah terjadi tragedi massal karena di awal baris terdapat kata berjuta yang menunjukkan banyaknya ‘pemilik’ kenangan itu. Dan pembantaian ini terjadi berulangkali, seolah aktifitas rutin yang ditunjukkan dengan frasa setiap hari. Kenangan yang mestinya menjadi sesuatu yang berharga bagi si empunya terbantai. Di manakah kejadian mengerikan ini berlangsung? Jawab: di sini, di Jakarta (IV).
Benarkah kejadian pada baris pertama ini berlangsung secara massif? Selain ditunjukkan dengan pengunaan kata berjuta untuk menyatakan jumlah bilangan yang lebih dari lima digit pada puisi di atas tidak ditemui kata ganti ‘aku’ atau ‘-ku’ yang dapat menjadi simbol dari si aku lirik. Hal ini menunjukkan bahwa si aku lirik tidak sedang mengungkapkan dirinya. Si aku lirik tengah menghayati fenomena yang berlangsung di sekelilingnya, di mana dia sendiri larut di dalamnya. Kalau kita baca makalah Teeuw yang membahas tentang hubungan sajak Berdiri Aku Amir Hamzah dengan Senja Di Pelabuhan Kecil Chairil Anwar dapat diketahui betapa keberadaan ‘aku’ dalam sebuah sajak menyiratkan situasi tertentu dari si aku lirik. Jika dalam sajak Berdiri Aku si aku lirik yang muncul di awal sajak tenggelam untuk kemudian hilang dalam keindahan alam; jika dalam sajak Senja Di Pelabuhan Kecil si aku lirik justru muncul di akhir sajak karena alam hanya menyinggung muram, maka dalam puisi Jakarta (IV) si aku lirik tenggelam dalam situasi yang mengelilinginya. Si aku lirik tidak dapat menunjukkan eksistensinya karena dia sendiri merupakan bagian dari berjuta kenangan yang tengah digambarkannya.
Baris kedua tak guna mencari hari-hari silam menguatkan makna baris sebelumnya. Baris ini menyaran pada kesia-siaan aktifitas mencari hari-hari silam, sebab hari-hari itu terbantai untuk pada akhirnya membusuk di tong-tong sampah dan ‘penuhi kepala sendiri. Begitu juga dengan baris ketiga kawan lamapun tak juga ‘jumpa. Penggunaan frasa kawan lama menunjukkan bahwa sesuatu yang dicari itu berasal dari hari-hari silam, hari di mana aku lirik dan berjuta lainnya pernah akrab di masa lalu. Fenomena seperti apa yang tengah digambarkan pada kedua baris ini?
Jakarta sebagai kota metropolitan dengan tingkat lapangan kerja yang luas tentu menjadi magnet bagi daerah-daerah lain untuk berurbanisasi di tempat ini. Mungkin si fulan yang berasal dari kampung pedalaman atau dari kota lain mendengar kabar bahwa kawan sekolah atau kawan sepermainnya dulu juga urban di Jakarta. Mungkin juga ada beberapa kawan lain dua-tiga atau beberapa lagi. Kenangan seperti inilah yang terbantai. Kawan lama dari hari-hari silam tak juga ‘jumpa. Mungkin kesibukan dari masing-masing menyebabkan ‘jumpa yang diharapkan tak kunjung tiba.
Akan tetapi yang cukup mengejutkan adalah baris keempat meski iklan telah terpasang. Penggunaan kata meski di awal baris menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan baris-baris sebelumnya, yaitu mengungkapkan usaha yang dilakukan dalam rangka mencari hari-hari silam itu. Yang mengejutkan adalah usaha yang dilakukan iklan telah terpasang; kalau hendak mencari kawan lama kenapa mesti memasang iklan? Bahkan iklan itu terpasang/di setiap pojok restoran, bis kota dan sandal. Kenapa pula di tempat-tempat seperti ini iklan itu dipasang? Apakah fenomena si fulan sebagai urban sesuai dengan puisi ini? Sepertinya tidak karena urban dengan mencari kawan melalui iklan tidak memiliki kedekatan makna. Fenomena yang selanjutnya dapat dikemukakan adalah: sebuah renui! Dan dari bentuk yang ada nampaknya: sebuah reuni yang gagal!


Jakarta (V)

setiap malam
kubaringkan gedung-gedung batu berhimpitan lelah
menjadi lahan berpetak-petak seperti sawah
lalu kutebar benih-benih penuh kasih
yang tumbuh menjadi serigala-serigala
setiap pagi

setiap pagi
kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi pusara-pusara makam maha luas
lalu kuukir nama-nama penuh cinta
yang tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap malam

Bentuk topografi pada puisi Jakarta (V) di atas terdiri dari dua bait di mana masing-masing bait secara teratur terdiri dari enam baris. Pensejajaran bentuk seperti pada puisi di atas menyiratkan adanya pola hubungan yang sama antara bait satu dengan bait yang lain, meski masing-masing bait mengungkapkan situasi waktu yang berbeda: situasi malam menuju pagi pada bait pertama dan situasi pagi menuju malam pada bait kedua.
Jika dilihat lagi pada pembahasan sebelumnya, puisi berjudul Jakarta (I)-(IV) hanya terdiri dari satu bait saja. Begitu juga dengan puisi berjudul Jakarta (VI), (IX), (X), dan (XI) yang terdapat dalam buku antologi puisi Jakarta, Senja Hari. hanya pada puisi Jakarta (I) terdapat tiga bait, itu pun terpisah menjadi tiga sub di mana masing-masing sub menggambarkan tiga waktu yang berbeda: tengah malam, ketika pagi, dan lepas magrib. Bahkan jika diamati cukup banyak puisi yang terdiri dari satu bait saja dalam antologi puisi ini. Apakah tujuan MdL menulis puisinya dalam bentuk seperti itu?
Pada baris pertama setiap malam membawa kita lagi pada puisi yang berjudul Jakarta (I). Pada kedua puisi ini aku lirik memulai dengan puisinya dengan kala waktu malam hari. Pemilihan waktu ini mungkin hendak mengungkap sisi lain Jakarta yang pada siang hari tidak banyak menjadi perhatian orang. Mungkin juga menyaran pada proses penulisan puisi pada malam hari; bukankah lebih mudah menuliskan berbagai imaji yang berkelebat di kepala pada malam hari? Karena siang begitu padat dan sibuk, dan malam dengan caranya sendiri menghadirkan ruang-ruang yang sebelumnya tersembunyi dari dunia? Lepas dari itu, suasana malam memang menghadirkan nuansa tertentu bagi aku lirik seperti tampak pada puisi-puisi yang lain. Dan inilah yang hendak diungkap aku lirik.
Baris kedua kubaringkan gedung-gedung batu berhimpitan lelah menyaran pada tindakan aku lirik yang ditunjukkan dengan kata kubaringkan. Pada baris ini dapat dijumpai pula metafora kota Jakarta yang digambarkan melalui frasa gedung-gedung batu. Metafora serupa ini dapat kita temukan pada Jakarta (II): gedung-gedung tinggi. Akan tetapi jika pada frasa gedung-gedung tinggi yang menjadi perhatian adalah sifat luarnya yang tinggi menjulang ke langit dari atas tanah, namun pada puisi ini yang menjadi perhatian aku lirik adalah bagian kedalamannya: batu. Mungkin perbedaan perhatian aku lirik pada gedung-gedung berkaitan dengan waktu yang hendak diungkap: gedung-gedung tinggi menyaran pada waktu siang hari karena frasa tersebut secara implisit menunjukkan keterlihatan tinggi gedung yang dinilai melalui indra penglihatan. Sebaliknya pada gedung-gedung batu tidak menyaran pada penggunaan indra penglihatan. Unsur batu yang menjadi materi dari gedung-gedung bersembunyi dibalik semen-semen yang menutupinya. Di sini indra penglihatan tidak banyak berfungsi, seperti halnya pada malam hari tanpa penerangan.
Berikutnya frasa berhimpitan lelah menunjukkan kontras yang lain lagi dari gedung-gedung tinggi yang menyaran pada pengertian tegak berdiri. Mereka berdiri berhimpitan dengan gedung-gedung lain yang juga lelah. Penggambaran gedung serupa manusia yang lelah mengungkapkan bahwa gedung-gedung batu itu serupa manusia yang perlu beristirahat di malam hari, dan itulah yang coba dilakukan oleh si aku lirik dengan kata kubaringkan nya.
Pada baris ketiga gedung-gedung batu yang pada siang hari berdiri tinggi oleh si aku lirik dibaringkan menjadi lahan berpetak-petak seperti sawah membawa kita pada situasi yang berbeda lagi. Kata kerja menjadi yang terletak di awal baris merupakan tindakan yang dilakukan oleh si aku lirik dalam hubungannya dengan tindakan kubaringkan. Sekarang, pada baris ketiga ini, tidak ada lagi gedung-gedung tinggi, semuanya telah berbaring rata dengan tanah seperti sawah yang datar. Dalam dunia batin aku lirik sekarang, setiap malam, Jakarta telah berubah menjadi hamparan luas tanpa gedung-gedung batu yang menjulang tinggi.
Lalu kutebar benih-benih penuh kasih pada baris keempat menunjukkan tindakan lain dari si aku lirik. setelah melakukan tindakan kubaringkan dan menjadi, kini aku lirik melakukan tindakan kutebar. Seperti seorang petani yang mulai menanam biji-biji padi. Tindakan kutebar ini memiliki hubungan makna dengan baris sebelumnya di mana yang dihadapi oleh aku lirik sekarang adalah lahan berpetak-petak seperti sawah. Tindakan kutebar ini rupanya merupakan bagian tak terpisah dari dua tindakan sebelumnya. Yang ditebar pun menunjukkan hubungan makna yang dekat benih-benih penuh kasih. Hubungan yang harmonis ini menunjukkan seolah-olah aku lirik dalam puisi ini bertindak sebagai seorang ibu yang tengah menidurkan anak-anaknya dengan penuh kasih.
Tapi tindakan penuh kasih yang dilakukan seperti seorang ibu pada anaknya ini dikejutkan pada baris kelima yang tumbuh menjadi serigala-serigala. Pada baris ini si aku lirik lenyap. Tindakan-tindakan yang dilakukan aku lirik selesai pada baris sebelumnya, selebihnya objek-objek yang semula dikenai oleh tindakan si aku lirik berubah menjadi subjek aktif. Hal itu terungkap melalui frasa yang tumbuh menjadi. Jadi benih-benih penuh kasih pada baris keempat berkembang mendapatkan bentuknya yang nyata: serigala-serigala. Kehadiran serigala-serigala sebagai lambang tertentu pada baris ini cukup mengejutkan karena pada baris-baris sebelumnya kata-kata yang digunakan cenderung menyaran pada sesuatu yang lembut dan halus. Lalu lambang dari apakah serigala-serigala ini?
Untuk memahami lambang tersebut perlu dikutip sebuah lagu Ebit G Ade yang berjudul Rembulan Menangis. dalam lagunya itu Ebit menyanyikan: intan buah hatimu dicabik tangan-tangan serigala. Dari sini dapat dikatakan bahwa serigala-serigala pada puisi Jakarta (V) merupakan lambang dari kejahatan atau tipu muslihat yang licik. Inilah yang tumbuh setiap pagi dalam dunia batin aku lirik dari usahanya sebagai seorang ibu yang membaringkan anak-anaknya dengan penuh kasih.
Baris terakhir pada bait ini diakhiri dengan adanya perpindahan waktu dari setiap malam yang terungkap pada baris pertama menjadi setiap pagi. Baris ini juga menjadi penanda untuk masuk ke bait kedua yang mengungkapkan suasana Jakarta pada pagi hari.Peralihan waktu diungkap dengan mensejajarkan frasa yang sama di akhir bait dan awal awal bait berikutnya.
Bait kedua dimulai dengan setiap pagi. Frasa ini merujuk pada suasana di waktu pagi di mana kita terbangun dan memulai rutinitas sehari-hari. Seperti halnya pada puisi Jakarta (I) pada puisi Jakarta (V) suasana pagi mendapat tempat di struktur kedua, setelah sebelumnya dimulai dengan malam hari. Kata setiap yang digunakan menunjukkan adanya aktivitas yang berulang di pagi hari. Apakah yang berulang itu?
Baris kedua kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk memiliki hubungan makna yang kuat dengan bait pertama baris kedua. Tindakan aku lirik kubaringkan yang terdapat pada bait pertama baris kedua kini berganti menjadi kubangunkan. Sesuatu yang pada malam hari dibaringkan kini hendak dibangunkan. Objek keduanya pun sama gedung-gedung batu dengan frasa selanjutnya berhimpitan kantuk. Jadi si aku lirik pada bait kedua ini masih berhadapan dengan objek yang sama. Hanya saja yang dibangunkan pada bait kedua ini berhimpitan kantuk.
Baris ketiga menjadi pusara-pusara makam maha luas juga menyaran pada tindakan aku lirik mengubah objeknya menjadi pusara-pusara makam: makna apa yang ada di balik perbandingan ini? Baris ini mesti dipahami sebagai kebalikan dari bait pertama baris ketiga di mana pada bait pertama terungkap gedung-gedung yang menjulang dibaringkan rata dengan tanah; sebaliknya pada bait kedua baris ketiga ada pemandangan pusara-pusara makam di mana nisan-nisan berdiri di atas tanah. Atau dengan kata lain, dari sesuatu yang tidur (gedung-gedung batu) pada bait pertama baris ketiga menjadi sesuatu yang bangkit berdiri pada bait kedua baris ketiga. Jadi gedung-gedung batu kini disejajarkan dengan pusara-pusara makam yang maha luas seluas kota Jakarta itu sendiri.
Penggunaan frasa pusara-pusara makam menyaran pada pengertian adanya sesuatu yang mati di sini atau ada yang terbantai dan telah dimakamkan di sini. Jika menengok kembali pada puisi Jakarta (IV) sepertinya kenangan lah yang dimakamkan dengan pusara serupa gedung-gedung batu. Pemaknaan ini terasa cukup dekat dengan maksud yang hendak diungkap oleh aku lirik. Sebab pada baris keempat tindakan aku lirik kuukir nama-nama penuh cinta menunjukkan bahwa tindakan ukir itu dilakukan kepada nama-nama yang sudah dikenalnya atau yang akrab dengannya atau yang dicintainya yang terungkap lewat frasa penuh cinta. Tindakan ukir pada baris ini mesti dipahami sebagai tindakan seperti pada puisi Saat Duka yang pada puisi Jakarta (V) aku lirik mengukir di atas pusara.
Inilah salah satu kelebihan puisi-puisi MdL: kegelisahan yang dirasakan oleh si aku lirik mendapatkan pemaknaan yang lebih utuh jika diperbandingkan dengan puisi-puisinya yang lain. Pada dasarnya bisa saja pemaknaan sebuah puisi dilakukan tanpa merujuk pada teks lain di luar puisi tersebut. Sebab puisi sebagai sebuah teks merupakan struktur otonom yang dapat digali maknanya berdasarkan struktur yang membangunnya sendiri. Akan tetapi bagi saya sebagai seorang pembaca, pengetahuan tentang makna pada puisi yang lain dapat membantu memahami puisi tersebut secara lebih utuh.
Baris kelima yang tumbuh menjadi iblis-iblis. Sebelum memaknai baris ini, yang patut menjadi perhatian adalah serigala-serigala yang merupakan lambang dari kejahatan atau tipu muslihat yang licik. Serigala-serigala inilah yang oleh si aku lirik setiap pagi/kubangunkan yang menyembunyikan diri atau merubah wujudnya ke dalam wajah gedung-gedung batu. Pada baris ini mesti dipahami bahwa yang menjadi iblis-iblis adalah serigala-serigala. Penggunaan kata iblis dalam bentuknya yang jamak menunjukkan bahwa yang tumbuh dan dihadapi oleh aku lirik lebih hebat lagi, dan lebih dari satu keberadaannya. Jika serigala lebih mengacu pada lambang keberadaan kejahatan di dunia, penggunaan kata iblis menunjuk langsung pada pelaku atau sosok yang tindakannya dimaksudkan untuk menghasut manusia ke dalam kesesatan. Apakah sosok iblis yang dihadapi oleh aku lirik pada puisi ini adalah sosoknya yang murni, iblis yang sama yang membujuk Adam dan Hawa? Ataukah adakah makna tertentu yang yang hendak disampaikan dalam kaitannya dengan kota Jakarta? Dan iblis-iblis inilah yang oleh aku lirik kubaringkan jika hari telah malam.
Setelah menelaah puisi Jakarta (I) sampai dengan (V) dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan serigala dan iblis adalah sebagaimana terungkap pada puisi Jakarta (I): yaitu ambisi-ambisi. Ambisi inilah yang oleh si aku lirik kubaringkan pada malam hari dan kubangunkan pada pagi hari. Ambisi inilah yang berubah menjadi serigala pada pagi hari dan berubah menjadi iblis pada malam hari. Dan proses ini berlangsung secara berulang. Hal itu ditunjukkan pada baris terakhir setiap malam.
Puisi Jakarta (V) secara umum memiliki kepaduan yang utuh. Pola pengulangan bait yang digunakan untuk mengungkapkan dua waktu yang berbeda mendapat bentuk yang padu. Cara seperti ini dirasa tepat sebab objek yang dihadapi oleh si aku lirik di dua waktu yang berbeda itu pada hakikatnya adalah sama: gedung-gedung batu sebagai simbol dari Jakarta yang penuh dengan belaian gedung-gedung tinggi yang dapat bermakna: ambisi-ambisi.

Jakarta (VI)

di jalan-jalan
Jakarta merah membara
menebar dendam
di kepala-kepala

Puisi Jakarta (VI) merupakan puisi terakhir dari rangkaian puisi Jakarta (I)-(XI) yang ditulis pada kurun waktu tahun 1996. Puisi ini cukup pendek dan padat, menggambarkan situasi di jalan-jalan yang dihayati oleh aku lirik seperti terungkap pada baris pertama. Pada puisi ini aku lirik secara jelas menunjuk sebuah tempat dengan langsung tanpa metafora. Cara pengungkapan secara langsung seperti ini menunjukkan bahwa aku lirik ingin menyampaikan apa yang tengah dihayatinya tanpa terganggu bias-bias makna.
Baris kedua Jakarta merah membara menggambarkan situasi kota Jakarta yang tengah dihayati aku lirik pada baris pertama. Frasa merah membara yang digunakan mencoba membandingkan kota Jakarta dengan sesuatu yang terbakar. Jika dilihat lagi sebelumnya seperti pada puisi Jakarta (II) akan terungkap desah klakson mobil, kucing sekarat/serta sumpah serapah. Kondisi serupa inilah yang pada puisi Jakarta (VI) digambarkan dengan metafora merah membara. Sebuah kondisi yang dapat membuat darah naik dengan cepat di kepala-kepala.
Baris ketiga menebar dendam menunjukkan betapa penuh amarah situatsi yang dihayati si aku lirik. Mungkin seorang pengendara mendapat sumpah serapah, yang kelak akan dilampiaskan pada pengendara lain yang entah siapa. Mungkin seorang pengendara menyerobot pengendara lain. Mungkin ada seorang pengendara menyerobot trafic light. Berbagai kemungkinan persinggungan di jalan-jalan tanpa disadari telah  menebar dendam.
Si aku lirik sepertinya menyaksikan fenomena ini tanpa terlibat di dalamnya. Hal tersebut terungkap dari tidak adanya kata ganti ‘aku’ atau ‘-ku’ yang dapat menjadi simbol dari keberadaannya dalam sebuah puisi. Aku lirik hadir di sana tapi terdapat jarak dengan objek yang disaksikannya. Si aku lirik tidak menyuarakan desah klakson atau sumpah serapah. Seperti seorang pelukis menatap objek lukisannya.
Tapi bisa jadi juga sebaliknya, si aku lirik terlibat secara langsung. Sehingga pada suatu ketika menjeritkan desah klakson mobil dan sumpah serapah. Frasa kepala-kepala yang terdapat pada baris keempat bisa jadi merupakan kepala aku lirik yang lalu digambarkannya sebagai kepala-kepala Jakarta. Akan tetapi kemungkinan ini terbilang kecil. Sebab sepertinya si aku lirik lebih suka berbuat kuukir dukaku ketimbang melontarkan sumpah serapah.

Jakarta dan Gelandangan

malam tiba
para gelandangan merekayasa
penampilan hari berikut
sambil kencing dan berak sembarangan

sementara Jakarta
sibuk memeras tubuh dari air-air kencing
sambil menjanjikan pentas yang lebih hebat
untuk hari berikut

Setelah membahas puisi berjudul Jakarta (I) – (VI) puisi selanjutnya berjudul Jakarta dan Gelandangan yang bertitimangsa des 1996. Pada antologi ini puisi yang berjudul Jakarta selanjutnya adalah Jakarta (IX), (X), (XI) yang ditulis pada kurun tahun 1997. Sedangkan untuk (seandainya ada!) Jakarta (VII), (VIII) tidak terdapat dalam antologi puisi ini. Mungkin kedua nomor itu terbit dalam buku yang berbeda. Atau mungkin beralih judul seperti misalnya saja Jakarta, Senja Hari yang menjadi judul antologi puisi ini. Diperlukan penelusuran terhadap puisi-puisi yang pernah diterbitkan oleh MdL untuk menjawab pertanyaan: kemanakah engkau Jakarta (VII) dan (VIII)? Untuk saat ini kita akan lompat membahas puisi Jakarta dan Gelandangan.
Puisi di atas memiliki struktur yang terdiri dari dua bait. Masing-masing bait yang terdiri dari empat baris yang tersusun secara teratur. Seperti disengaja pula, kedua bait tersebut mengungkapkan dua subjek yang disebut oleh si aku lirik pada judul. Bait pertama mengungkap tentang Gelandangan. Sedangkan bait kedua mengungkap tentang Jakarta. Dapat dikatakan bahwa topografi pada puisi ini telah terbagi ke dalam dua pengungkapan. Akan tetapi yang diungkap pada satu bait berhubungan erat dengan bait lain. Sebab antara keduanya terdapat hubungan interaksional: Gelandangan sebagai ekses dari ketimpangan sosial kota Jakarta, atau Jakarta sebagai rumah dari para Gelandangan.
Selain itu, jika dibandingkan dengan puisi-puisi sebelumnya, realitas yang diungkap dalam puisi ini lebih tajam. Kalau pada puisi-puisi sebelumnya lebih banyak bergulat dengan dunia batinnya sendiri dalam berhadapan dengan Jakarta atau dengan manusia-manusia asing yang tak disebut siapakah manusia itu, kali ini aku lirik si aku irik mengacu pada Gelandangan.
Baris pertama dimulai dengan malam tiba. Jika sebelumnya si aku lirik melihat Jakarta dari dalam kamar untuk ‘dibaringkan’, kini si aku lirik berada dalam situasi yang berbeda: dia hadir di antara Gelandangan. Hal ini tersirat pada sosok yang diungkap pada baris kedua para gelandangan merekayasa. Penggunaan kata para untuk menunjuk sosok gelandangan menunjukkan bahwa yang diungkap oleh aku lirik adalah lebih dari satu orang atau sebuah kelompok yang tinggal bersama-sama di suatu wilayah tertentu, yang tengah merekayasa.
Apa yang direkayasa? penampilan hari berikut sebagaimana terungkap pada baris ketiga. Sebagaimana situasi yang mesti dihayati seperti pada baris pertama, sosok yang diungkap oleh aku lirik dalam puisinya ini tengah merekayasa/penampilan untuk hari berikut. Mungkin yang dimaksud adalah beristirahat setelah seharian menggelandang, atau tiduran di emper-empor toko sambil menatap langit-langit. Atau bisa juga penonton lah yang pergi dari kursinya sehingga para gelandangan yang tak lagi disaksikan di atas pentas digambarkan tengah merekayasa/penampilannya.
Baris keempat sambil kencing dan berak sembarangan. Sekilas baris ini nampak tidak sejalan dengan realitas sosial yang hendak diungkap oleh aku lirik. Penggunaan kata sembarangan untuk menilai perilaku para gelandangan yang kencing dan berak dapat merujuk pada ketidaksopanan para gelandangan. Yang mana dapat memberikan nilai negatif kepada sosok yang hendak diungkap dalam puisi ini.
Akan tetapi penilaian itu bisa keliru. Mengangkat sosok yang terpinggirkan ke dalam karya sastra tentu bertujuan untuk menyuarakan sosok yang selama ini tak pernah didengar suaranya itu. Tujuannya agar pembaca dapat lebih peka dan simpati terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Bagimana kita bisa simpati terhadap mereka yang kencing dan berak sembarangan? Tapi, siapa yang sudi sediakan kamar kecil buat mereka?
Bait kedua yang dimulai dengan sementara Jakarta mendukung kontras realitas sosial yang hendak diungkap oleh aku lirik. Baris pertama bait menunjukkan bahwa yang diungkap selanjutnya adalah sosok yang lain lagi, yaitu Jakarta yang pada saat bersamaan sibuk memeras tubuh dari air-air kencing. Pada baris kedua ini terdapat kesan yang lebih jelek lagi terhadap para gelandagan. Hal itu dijunjukkan dengan penggunaan kata kerja memeras. Kata kerja ini menyaran tindakan tangan yang mengeluarkan air dari sesuatu seperti kain untuk membersihkannya atau seperti ketika pada memeras santan kelapa. Pada baris ini tindakan ini lebih menyaran pada mengeluarkan air untuk membersihkannya dari. Pengertian ini tepat dengan tindakan sembarangan. Dengan kata lain, Jakarta harus menanggung perbuatan sembarangan dari para gelandangan.
Dari sini seolah-olah cukup jelas bahwa yang mesti menjadi perhatian untuk diberi simpati adalah Jakarta dan bukan para gelandangan. Sebab Jakarta berada pada posisi ditindas. Tubuh nya mesti dibersihkan dari air-air kencing. Tapi baris ketiga sambil menjanjikan pentas yang lebih hebat dapat membawa kita pada pengertian yang bertolak belakang. Frasa sambil menjanjikan pentas mengungkap bahwa ada panggung di mana lakon-lakon tertentu akan pentas. Jadi selain memeras ternyata Jakarta juga menjanjikan pentas. Bahkan pentas ini diungkapkan akan lebih hebat dari hari sebelumnya, sebagaimana terungkap pada baris keempat. Di sinilah ironisnya: siapa yang dipentaskan oleh Jakarta?
Tentu saja para gelandangan. Kata penampilan yang terdapat pada baris ketiga bait pertama mesti dipahami berhubungan dengan kata pentas pada bait kedua baris ketiga. Dengan kata lain, masing-masing baris ketiga pada dua bait puisi ini menggambarkan dua komponen pertunjukan: penampilan dan pentas. Lagi-lagi kesejajaran bentuk topografi kita temukan! Jadi para gelandangan bagi Jakarta adalah tontonan. Mereka dijadikan sebagai lakon pentas yang dapat menghibur penontonnya, bukan sebagai ketimpangan sosial yang mesti dibenahi.

Berkatilah Jakarta, Tuhan

siapa yang tak menangis melihat Jakarta
ia seperti penderita kusta yang tak boleh mati
juga seperti ratu tak punya istana
tiap pagi ditangkapnya para penjual nasi uduk
untuk mengelu-elukan dan menyanjungnya
sementara para gelandangan mengencingi tubuhnya
tanpa sungkan-sungkan

Puisi ini diawali dengan monolog aku lirik siapa yang tak menangis melihat Jakarta. Kata tanya siapa yang digunakan tanpa ada tanda baca mengingatkan pada puisi berjudu Sendiri Di Sudut Petang di mana dalam puisi itu aku lirik bertanya kepada dirinya sendiri. Mengapa si aku lirik memulai monolognya dengan kata tanya siapa? Baris pertama ini secara tidak langsung menggambarkan keadaan aku lirik melalui frasa yang tak menangis. Pada kondisi seperti itulah aku lirik pada baris ini; monolog digunakan oleh si aku lirik untuk mendamaikan tangis yang tumpah karena melihat Jakarta.
Dimulai dari puisi Jakarta dan Gelandangan, puisi kali ini juga mengungkap realitas sosial yang dihayati oleh aku lirik. Dari dunia batin yang bertabur gedung-gedung batu kini kita dibawa ke dunia manusianya yang sarat dengan ironi. Dalam puisi ini dijumpai sosok-sosok yang mengais takdir dan berkeliaran di sudut-sudutnya. Kalau dalam puisi sebelumnya kita jumpai para gelandangan, dalam puisi ini sosok tersebut kembali diungkapkan bersama sosok lain para penjual nasi uduk. Sosok lain yang juga diungkap namun secara implisit adalah sosok yang bersembunyi dibalik kata kerja pasif ditangkapnya yang merupakan oposisi langsung dari para penjual nasi uduk: siapakah sosok yang bertindak melaui kata ditangkapnya itu? Tak lain dan tak bukan adalah Jakarta dengan segenap aparaturnya.
Situasi yang membuat si aku lirik menangis terungkap pada baris berikutnya ia seperti penderita kusta yang tak boleh mati. Kata ganti ia digunakan oleh si aku lirik untuk menunjuk Jakarta. Pada baris ini kota Jakarta dibandingkan dengan penderita kusta. Perbandingan ini menimbulkan makna yang cukup dalam: gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang adalah penderita kusta. Kemegahan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia ternyata adalah penderita kusta. Kesempatan kerja yang luas, basis kemajuan ekonomi, serta pusat perdagangan ternyata adalah penderita kusta yang tak boleh mati, sebab roda ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain bertumpu padanya.
Baris kedua ini menyajikan sebuah pemandangan yang mengerikan. Di hadapan si aku lirik seolah-olah tengah terbaring sesosok manusia yang menderita sakit namun tak hendak disembuhkan. Kalau kita baca kembali puisi Jakarta (II) akan terasa bahwa yang diungkap pada baris-baris terakhir puisi tersebut adalah si penderita kusta ini. Inilah yang dirawat oleh si aku lirik dan yang kini ditangisinya. Si sakit ini tak boleh atau tak bisa disembuhkan, tapi juga tak boleh mati. Pemandangan serupa ini dapat menggetarkan hati yang melihatnya, paling tidak bagi si aku lirik.
Baris kedua ini juga hendak mengungkapkan sisi lain dari Jakarta. Kota Jakarta yang selalu berada dalam kelimpahan cahaya ternyata memiliki sisi gelap. Sosok penderita kusta yang digunakan sebagai perbandingan menunjukkan kontrasnya dengan baris ketiga juga seperti ratu tak punya istana. Dari sosok yang rendah penderita kusta, kini Jakarta digambarkan sebagai sosok yang kedudukannya tinggi seperti ratu. Penggunaan kata ratu menyaran pada pengertian sebagai sosok yang dapat menentukan hidup dan matinya kawula. Penggunaan kata juga di awal baris menunjukkan bahwa sosok yang diungkap pada baris kedua dan ketiga masih sosok yang sama. Adanya kontras perbandingan yang tajam seperti ini menunjukkan betapa ironisnya kota Jakarta yang diungkap oleh si aku lirik.
Akan tetapi sosok ratu yang diungkap pada baris ketiga ini digambarkan tak punya istana, bangunan megah tempat sang ratu tinggal dan mengatur pemerintahannya. Mengapa si aku lirik meletakkan perhatiannya pada ketiadaan istana? Makna apa yang tersembunyi di balik perbandingan itu? Bisa saja kata istana diartikan sebagai Istana lain yang tidak terletak di Jakarta. Akan tetapi pemberian arti seperti itu dapat membawa kita pada ‘pelebaran’ arti yang justru bisa melenceng dari makna yang terdekat. Dalam hal ini tak punya istana lebih dekat diartikan sebagai gelar tanpa baiat dari rakyatnya. Atau dengan kata lain, Jakarta menjadi ratu karena ketersediaan aparatur pemerintahannya, tapi rakyat tidak pernah mengangkatnya sebagai ratu mereka. Makna ini dirasa lebih dekat karena baris-baris berikut mengungkapkan tindakan sang ratu dan perbuatan para gelandangan terhadapnya.
Baris ketiga tiap pagi ditangkapnya para penjual nasi uduk mengungkapkan tindakan yang dilakukan oleh Jakarta kepada para penjual. Penggunaan kata kerja pasif ditangkapnya menunjukkan adanya kekuasaan yang dimiliki oleh sang ratu. Bukankah kewajiban ratu adalah melindungi dan mengayomi kawulanya? Lalu mengapa mereka yang mengais takdir padanya malah ditangkapnya? Bahkan perbuatannya itu dilakukan tiap pagi.
Situasi yang hendak diungkap pada baris ketiga ini mungkin situasi penertiban yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap pedagang kaki lima. Perlu dihadirkan sejumlah data sosial berseumber berita-berita di koran atau tulisan laina dari masa di mana puisi ini ditulis agar benar-benar dapat ditangkap situasi yang sesungguhnya. Akan tetapi fenomena penertiban pedagang kaki lima yang belakangan terjadi dapat membantu kita memahami situasi pada baris ketiga. Paling tidak dalam situasi tersebut hadir protagonis-protagonis seperti aparat, pedagang, dan rombong atau lapak yang dimuat ke dalam truk pemerintah.
Padahal jika diamati keberadaan para penjual nasi uduk sangat membantu para pekerja dan masyarakat kelas bawah. Tapi dengan kekuasaan dimiliki si ratu mereka ditangkap dengan alasan untuk mengelu-elukan dan menyanjungnya. Jadi Jakarta perlu dielu dan disanjung: oleh siapa? Kenapa eluan dan sanjungan mesti ‘menyingkirkan’ para penjual nasi uduk? Agar kota ibu kota negara yang metropolit terlihat bersih dan indah? Sepertinya pertanyaan terakhir mendekati makna yang hendak diungkap oleh aku lirik dalam baris kelima ini. Keberadaan pedagang kaki lima memang unik ditengah-tengah kota besar. Mereka berjualan secara berkelompok (secara terkoordinir atau pun tidak) di tempat-tempat yang berpotensi didatangi banyak orang. Antara lapak satu dengan lapak atau rombong satu dengan rombong lain kadang tidak teratur. Mungkin keberadaannya dapat menjadi sebab kemacetan. Atau mungkin juga menjadi kambing hitam kesemrawutan tata ruang kota. Yang mana bagi ‘kebersihan dan keindahan’ kota mesti ditangkap agar kota mendapat elu dan sanjung. Padahal keberadaan mereka berpengaruh terhadap gerak perekonomian kota.
Pemaknaan tersebut dirasa tepat jika dikaitkan dengan baris berikutnya sementara para gelandangan mengencingi tubuhnya. Seperti pada puisi sebelumnya yang berjudul Jakarta dan Gelandangan, sosok para gelandangan kembali diungkapkan oleh si aku lirik dalam kaitannya dengan kota Jakarta. Seolah-olah keberadaannya melekat benar. Juga pada puisi ini para gelandangan itu melakukan tindakan yang serupa yaitu mengencingi. Hanya saja kali ini aku lirik memberikan perhatian lebih pada kata sembarangan yang muncul pada puisi Jakarta dan Gelandangan menjadi tubuhnya, tubuh Jakarta. Bahkan tindakan itu dilakukan tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah Jakarta bukanlah ratu yang berkuasa terhadap para penjual nasi uduk.
Di sini dapat dilihat betapa kuat ironis yang ditampilkan dalam puisi ini. Dua sosok yang diungkap dalam puisi ini mendapat perlakukan yang berbeda dari sang ratu. Dua sosok ini melakukan tindakan yang berbeda kepada sang ratu: yang satu mengais takdir sedang yang laing mengencingi tubuhnya. Kenapa para gelandangan tidak ditangkap sebagaimana halnya para penjual nasi uduk? ‘Penangkapan’ itu sendiri apakah dapat juga diartikan sebagai pentas yang lebih hebat juga? Bukankah koran-koran memerlukan berita untuk disajikan kepada khalayak? Berita tentang ditangkapnya para penjual nasi uduk mungkin merupakan salah satu pentas itu.
Ironisnya, sang ratu tak dapat berbuat banyak terhadap para gelandangan. Jika konsep ‘kebersihan dan keindahan’ kota hendak diterapkan, mestinya mereka inilah yang pertama-tama ditangkapnya. Keberadaan mereka digambarkan seolah-olah sebagai penderita kusta yang tak boleh mati.Jadi, yang diungkap oleh si aku lirik adalah permintaan yang bernada ironis: "Berkatilah Jakarta, Tuhan".

Kesimpulan
Tanpa disadari puisi-puisi yang telah dibahas pada ‘bagian kedua’ ini bergerak mencari jalinan makna di antara puisi-puisi yang lain. Kelebihan membahas puisi-puisi yang telah termaktub dalam satu buku adalah ketika membaca salah satu puisi di dalamnya, ada kemungkinan menemukan makna lain yang tersembunyi dari puisi telah dibaca di halaman sebelumnya atau halaman berikutnya. Khusus dalam ‘bagian kedua’ ini ada beberapa makna yang telah dibahas pada tulisan ‘bagian pertama’ yang coba diungkap kembali di sini untuk memperkaya pemaknaan tanpa harus menjadikan pembahasan melebar.
Dari delapan puisi yang telah dibahas dalam tulisan ini dapat dibedakan ke dalam dua situasi yang dihayati oleh si aku lirik. Pertama, si aku lirik cenderung menjadikan Jakarta sebagai pintu masuk untuk menghayati dunia batinnya. Lambang-lambang dari kota Jakarta seperti erang kucing, jalan-jalan layang, belantara asap polusi, atau gedung-gedung batu merupakan lambang-lambang khas yang hanya dapat ditampilkan atau dimiliki oleh kota metropolitan seperti Jakarta.
Melalui lambang-lambang itu si aku lirik menemukan betapa dirinya hanyut dalam situasi yang Jakarta yang mengepungnya. Keterasingan dapat menjadi kata kunci dari apa yang tengah dihadapi oleh si aku lirik. Begitu juga dengan manusia-manusia asing yang ditemuinya. Seolah-olah kehidupan berlangsung seperti gerakan materi-materi lembam tanpa tegur sapa dan komunikasi yang berarti. Keterasingan serupa ini mencapai puncaknya pada puisi Jakarta (III) yang disarati dengan penyangkalan upaya manusia membangun komunikasi dengan manusia lain.
Lewat lambang-lambang yang sama si aku lirik juga menghayati sisi gelap dalam dirinya yang ternyata selama ini ‘berbaring’ dan ‘bangun’ bersamanya. Dan keberadaan sisi gelap ini sangat erat kaitannya dengan Jakarta. Mungkin tanpa disadari lingkungan dan kehidupan Jakarta yang begitu padat dan bising beserta ambisi-ambisi nya telah membesarkan anak serigala-serigala dalam diri aku lirik. Aku lirik menjadi lihai ‘bermuslihat’ untuk kemudian menjadi ‘penghasut’.
 Puisi-puisi yang menjadikan Jakarta sebagai pintu masuk bagi si aku lirik untuk menghayati dunia batinnya terdapat pada puisi Jakarta (I), (II), (III), (IV), (V), dan (VI). Sedangkan pada puisi Jakarta dan Gelandangan dan Berkatilah Jakarta, Tuhan si aku lirik lebih banyak mengungkap realitas sosial yang dihayati dari eksistensi dirinya sendiri. pada kedua puisi ini tidak kita temukan adanya kata ganti ‘aku’, ‘-ku’, atau kata lain yang dapat dianggap sebagai wakil dari keberadaan aku lirik. Kedua puisi ini sarat dengan dunia luar yang dihayati aku lirik.
 Rupa-rupanya dunia luar yang dihayati oleh aku lirik penuh dengan ironisme. Sosok-sosok ironis yang menjadi perhatian aku lirik pertama-tama adalah Jakarta itu sendiri, lalu mereka yang tertangkap, dan yang terbuang. Ironis karena sang ratu yang berkuasa ternyata hanya diam saja tubuhnya dikencingi. Ironis karena ternyata kekayaan yang melimpah di suatu tempat berseberangan dengan gelandangan di tempat lain. Ironis karena ternyata mereka yang mengais takdir sebagai penjual nasi uduk disingkirkan sementara gedung-gedung batu menjulang tinggi, dan jalan-jalan layang menjadi bagian kota: untuk siapa pembangunan itu ditujukan? Pertanyaan ini seolah-olah menjadi pesan moral yang hendak diungkap oleh si aku lirik.
Surabaya, 23 February 2016