GERAK YANG MENGHILANG DALAM DUNIA BATIN SI AKU LIRIK
SEBUAH PEMBACAAN ATAS ANTOLOGI PUISI MEDY LOEKITO YANG
BERJUDUL “AIR MATA TUHAN”
Air Mata Tuhan merupakan antologi puisi Medy Loekito yang
diterbitkan pada tahun 2009. Buku ini memuat setidaknya seratus puisi pendek. Disebut
puisi pendek karena puisi-puisi di dalamnya sebagian besar hanya terdiri dari
beberapa larik dengan penggunaan kata yang sedikit. Seperti puisi berjudul “Le
Perfait” misalnya, puisi ini terdiri dari dua larik yang pendek: batu/di
bening Bulan. Atau pada puisi “Fajar di Maninjau”, puisi ini terdiri dari
dua larik dengan masing-masing larik berisi dua kata: penjala tua/menyergap
gigil.
Meski dari segi bentuk puisi-puisi di dalamnya dapat
dikatakan pendek, namun untuk memaknainya tidaklah sesederhana bentuk yang
ditampilkannya. Hubungan antar kata, baris, bait, sangat mungkin menyembunyikan
simbol yang tak hendak ditampilkan dalam puisi. Sebagai contoh kata biru misalnya;
kata ini tidak hanya dimaknai sebagai warna dari sebuah benda. Kata ini dapat
menyiratkan adanya luka memar atau lebam akibat sel-sel darah merah tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Atau kata bening sebagai contoh lagi;
tidak hanya dipahami sebagai kejernihan warna sebuah benda, namun juga perlu
dimaknai sebagai gerak dari benda itu.
Sayangnya tidak ada titimangsa pada tiap puisi sehingga
tidak diketahui rentang waktu penulisan puisi-puisi pendek tersebut. Tidak
seperti antologi puisi Medy Loekito yang berjudul “Jakarta, Senja Hari” di mana
puisi-puisi di dalamnya terdapat titimangsa.
Penulisan titimangsa ini bisa dikatakan penting namun
juga bisa dikatakan tidak penting. Penting karena dengan mengurutkan
puisi-puisi yang sudah ditulis dapat diketahui perkembangan ide, tema, ataupun
gerak pergulatan batin penulis selama menekuni bidang penulisan. Penting karena
dengan titimangsa dapat diketahui penggunaan kata tertentu, penggambaran ruang
tertentu, atau nuansa-nuansa tertentu yang hanya dapat digambarkan pada saat
puisi itu ditulis. Meski begitu, penulisan titimangsa merupakan hak penulis.
Tentunya penulis memiliki pertimbangan tersendiri apakah perlu titimangsa
dituliskan dalam setiap puisinya atau tidak.
Tulisan ini akan mencoba untuk mengupas puisi-puisi Medy
Loekito yang terangkum dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan. Dikarenakan pada
masing-masing puisi tidak terdapat titimangsa, pembahasan ini akan mengabaikan
urutan dari halaman-halaman puisi.
Dan yang tak kalah penting, mengapa penulis memilih
antologi ini untuk dikupas dikarenakan alasan yang subjektif. Penulis merasa
bisa menikmati puisi-puisi yang ada di dalamnya. Meski demikian, bukan berarti
penulis memahami dengan baik dan benar puisi-puisi tersebut. Berawal dari
kenikmatan pada pembacaan puisi itulah penulis bermaksud untuk berbagi
pengalaman atas pembacaan puisi-puisi Medy Loekito.
Dengan kata lain, tulisan ini tidak bersifat ilmiah
dengan metode yang ketat. Namun lebih kepada pemaparan pengalaman penulis.
Meski begitu, sedapat mungkin tulisan ini mengikuti ketentuan-ketentuan ilmiah
dalam mengapresiasi karya sastra.
Hal yang menarik dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan ini
adalah bagaimana si aku lirik menggunakan gerak alam sebagai metafora untuk
menggambarkan pergulatan batinnya. Alam sebagai sumber metafora
memang tak akan pernah habis untuk dijelajahi. Setiap gerak, setiap irama,
setiap suara, pada setiap materi di alam mengandung metafora yang menanti untuk
dikuak, menanti untuk dibahasakan ke dalam kata-kata yang pada akhirnya
diwakilkan untuk mengungkapkan pergulatan batin si aku lirik.
Pada puisi yang berjudul “Akhir” dapat dilihat bagaimana
gerak alam digunakan sebagai perbandingan untuk menggambarkan pergulatan batin
aku lirik.
Akhir
pada tajam karang
akhir
perlawatan
samudera
pada geram hati
akhir
perjuangan
doa
Puisi di atas terdiri dua bait yang sejajar. Dikatakan
sejajar karena masing-masing bait memliki empat baris dengan jumlah kata yang
sama pada tiap baris. Selain itu baris pertama dari masing-masing bait
merupakan akhir dari sebuah gerak atau pekerjaan yang dilakukan oleh materi
pada baris ketiga dan keempat.
Dari segi susunan, puisi ini memanfaatkan susunan yang
ada dalam pantun. Bait pertama merupakan sampiran. Si aku lirik pada bait pertama
menggambarkan pemandangan alam yang dapat mewakili pergulatan di dalam
batinnya. Sedangkan bait kedua merupakan isi. Pada bait kedua ini si aku lirik
menyampaikan apa yang tengah bergulat di dalam batinnya.
Pada bait pertama baris pertama terdapat frasa tajam
karang. Penggunaan kata tajam menunjukkan adanya sebuah objek yang dapat
mengiris atau melukai. Kata ‘tajam’ berkait erat dengan objek-objek yang
dapat menyakiti aku. Secara leksikal kata tajam tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian sebagai benda yang dapat menyakiti aku. Kata tajam ini
tidak hanya melekat pada benda-benda seperti pisau, belati, pedang, cangkul dan
lain-lainnya di mana pada bagian benda-benda itu memiliki sisi yang bermata
tipis dan dapat melukai. Kata tajam juga dapat melekat pada benda
seperti lidah yang berarti adanya kata-kata yang menyakitkan yang keluar
dari lidah seseorang yang mana dapat melukai atau menyakiti perasaan orang
lain. Sedangkan objek yang dapat menyakiti aku itu pada baris ini adalah karang.
Pemilihan objek karang ini terkait erat dengan latar
belakang alam yang hendak dibangun dalam puisi ini. Secara sederhana, pemilihan
objek yang akan dilekati dengan kata sifat tajam akan menentukan latar
belakang yang akan terbentuk selanjutnya. Dalam hal kata karang dipilih
untuk membangun latar belakang pantai di mana terdapat batu-batu karang di
dalamnya.
Hal tersebut sejalan dengan pemilihan kata pada baris
keempat ‘samudera’. Samudra merupakan lautan yang luas. Hamparan
gelombang air yang tiada bertepi. Rangkaian gerak air permukaan yang tak pernah
berhenti, baik disebabkan oleh hembusan angin ataupun oleh gravitasi bumi dan
satelitnya.
Gelombang-gelombang air itu suatu ketika akan mendatangi
daratan. Dalam puisi ini digunakan kata ‘perlawatan’ yang merupakan
bentuk nomina dari kata kerja melawat yang berarti bepergian atau berkunjung ke
suatu tempat. Pada kata perlawatan ini terdapat sedikit kegelapan makna
pada hemat penulis. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata perlawatan
pada puisi ini? Apakah maknanya sebagaimana yang sudah disebut sebelumnya, atau
adakah makna lain?
Untuk memahami penggunaan kata lawat dalam puisi
Medy Loekito perlu kita ambil contoh dari puisi yang berjudul “Lawatan” dan
“Pemakaman”yang terdapat dalam Antologi Puisi Jakarta, Senja Hari.
Lawatan
di batas angan dan kenangan
ingin kususuri hari-hari lalu
yang seindah langit musim panas
dukanya
sementara esok
tertatih kukejar
menuju ke tak pastian
berkawan desah Panjang
Peb, 1988
Pemakaman
di tanah sepi dimana dedaun bergurat pelangi
disatukanlah segala yang fana
kembali kepada bumi
singkirkan catatan-catatan dunia
simpan bayang-bayang hari lalu
ke balik jendela rumah using
dan jangan titikkan air-mata
di hari pemakaman, awal perlawatan
baru
telah diikrarkan
Des, 1996
Dikutip dari: Antologi Puisi
Jakarta, Senja Hari, 1998.
Pada kedua puisi di atas, kata lawat terkait erat dengan tindak bepergian ke tempat di mana terdapat suasana duka ditengah-tengahnya. Suasana duka pada puisi pertama lebih bersifat abstrak dan individual, di mana hanya si aku lirik yang dapat pergi ke sana. Sedangkan pada puisi kedua kata perlawatan digunakan dalam konteks, di hari pemakaman. Pada puisi kedua ini tindak bepergian yang dilakukan oleh si aku lirik lebih spesifik, bepergian ke tempat di mana berlangsung pemakaman.
Menarik untuk dibahas, namun tidak pada tulisan ini,
bagaimana penggunaan kata lawat pada sekitar tahun-tahun 1988 dan 1996
ketika kedua puisi di atas dibuat. Sebab apabila yang dimaksud dengan kata perlawatan
adalah kunjungan ke tempat di mana terdapat kedukaan ditengah-tengahnya (orang
mati, misalnya) maka pengertian tersebut lebih dekat dengan kata layat.
Di samping itu, terdapat kata yang secara bunyi memiliki
pembacaan yang hampir sama yaitu ‘khalwat’ yang berarti pengasingan diri dalam
rangka spiritual. Kata khalwat ini sangat mungkin mengalami distorsi
bunyi menjadi lawat dalam pengucapannya. Lalu, bagaimana kata lawat
dalam puisi-puisi “Akhir” mesti dimaknai?
Kata lawat akan dimaknai sebagaimana penggunaannya
pada puisi “Lawatan” dan “Pemakaman”, jadi sebuah tindak yang berkait erat
dengan kunjungan ke tempat di mana di tengah-tengahnya terdapat kedukaan. Kunjungan
atau perlawatan dari gelombang pada puisi “Akhir” berakhir dengan pilu,
atau dari pemaparan sebelumnya: bertemu dengan sesuatu yang dapat menyakiti
aku. Hal ini digambarkan di awal sekali pada baris pertama ‘pada tajam
karang’.
Frasa ‘tajam karang’ ini, selain mengacu sebagai
tempat yang menyakitkan, terdapat pembaruan makna dari tradisi. Apabila selama
ini kata ‘karang’ digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kokoh, kuat, tabah
ataupun tegar dari terpaan bencana ataupun cobaan yang diwakili oleh hempasan
ombak, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat heroik. Akan tetapi dalam puisi ini
karang tampil sebagai sosok yang dapat menyakiti si ombak. Dengan kata lain,
karang yang selama ini digambarkan bersifat kokoh, kuat, dan tabah menghadapi
terpaan yang menyakitkan dari hempasan ombak, maka dalam puisi ini maknanya
dibalik di mana ombaklah yang akan tersakiti ketika dia menerpa karang. Di sini
dapat dikatakan terjadi pemaknaan baru atas makna karang dari tradisi
yang sudah ada di mana karang menjadi
antagonisnya.
Setelah menyajikan latar belakang alam pada bait pertama,
pada bait kedua aku lirik masuk ke dalam pergulatan batinnya. Sebagaimana pada
bait sebelumnya, pada baris pertama bait kedua ini menggambarkan sebuah tempat
atau kondisi yang menyakitkan yang ditunjukkan dengan frasa ‘geram hati’.
Frasa ini menunjukkan bagaimana kemarahan yang dirasakan aku lirik tidak dapat
tersalurkan.
Si aku lirik merasa geram karena perjuangan
yang disebutkan pada baris ketiga, dan doa yang disebutkan pada baris
keempat tidak kunjung terwujud. Harapan ataupun cita-cita yang coba diwujudkan
lewat perjuangan dan doa dapat berujung pada keputusasaan. Keputusasaan
inilah yang pada akhirnya dapat mengantarkan usaha yang dilakukan pada situasi
yang menyakitkan: geram hati.
Sajak berikutnya adalah “Mercu Suar”.
Mercu Suar
menangkap ombak
biru di batu
menjaring awan
kelabu di kalbu
Dari segi struktur, puisi ini terdiri dari dua bait dan
masing-masing bait terdiri dari dua baris. Jumlah kata dan susunan frasa antar
bait memiliki kesejajaran. Dari segi sintaksis, susunan pada dua bait tersebut
juga sejajar. Kesejajaran juga tampak dari tidak adanya subjek sintaksis pada
bait tersebut. Ini berarti kedua bait tersebut mengandaikan satu subjek yang
sama. Subjek yang sama itu tersemat pada judul: Mercu Suar.
Mercusuar merupakan sebuah bangunan berbentuk menara yang
digunakan untuk membantu navigasi para pelaut. Biasanya mercusuar digunakan
untuk menandai daerah-daerah yang berbahaya bagi kapal-kapal pelaut seperti
daerah berbatu karang di laut atau perairan yang dangkal yang mana bila dilalui oleh kapal akan
kandas.
Pada puisi ini kata mercusuar mengalami
penyimpangan dari bentuk lazim dituliskan. Penulisannya yang seharusnya digabung ditulis terpisah menjadi Mercu dan Suar dengan
menggunakan huruf kapital. Penyimpangan ini seolah hendak mengatakan bahwa
terdapat dua objek yang saling terpisah pada judul tersebut. Apabila dikaitkan
dengan penjelasan pada paragraf sebelumnya di mana judul puisi ini merupakan
subjek dari masing-masing bait, maka dapat dikatakan bahwa Mercu
merupakan subjek dari bait pertama. Sedangkan Suar merupakan subjek dari
bait kedua. Pemahaman tersebut akan sejalan dengan tindakan yang mungkin dapat
dilakukan oleh objek yang berada di bumi, Mercu, dan objek yang berada
di udara, Suar.
Tidak berbeda jauh dengan sajak sebelumnya yang sudah dibahas.
Sajak ini menjadikan pemandangan laut sebagai latar belakangnya. Mercusuar
menjadi subjek sekaligus episentrum dalam puisi ini. Mercu Suar dikelilingi
oleh objek-objek yang ada di laut dan pantai seperti ombak pada baris kesatu
dan batu di bait pertama. Lalu, seperti apakah makna ombak dan batu
pada puisi ini?
Sebelum melangkah, penulis jadi teringat pada puisi Abdul
Hadi W.M yang berjudul “Ombak Itulah” terutama pada baris pertama: ‘Ombak
itulah yang membangunkan aku lagi padamu’. Dengan disebutkannya puisi Abdul
Hadi W.M. ini penulis tidak bermaksud menelaah apakah ada hubungan interteks
antara puisi Medy Loekita yang berjudul “Mercu Suar” dengan puisi Abdul
Hadi W.M. yang berjudul “Ombak Itulah”.
Yang perlu dicatat adalah ‘ombak’ pada puisi Abdul
Hadi W.M. cenderung berposisi sebagai subjek yang membangunkan si aku
lirik. Objek alam dalam puisi ‘Ombak Itulah’ lebih dominan berposisi
sebagai subjek bagi si aku lirik. Pada bait kedua baris pertama ángin musim
panas’ bertindak sebagai subjek yang mendudukkan si aku lirik. Dengan kata
lain, si aku lirik dalam puisi Abdul Hadi W.M. seperti sedang terlena oleh
pesona alam yang ada di hadapannya.
Berbeda halnya dengan puisi “Mercu Suar”. Dalam puisi ini
si aku lirik memadankan dirinya dengan sebuah objek bernama mercusuar. Objek
ini meski berada di tengah pesona alam dia tidak terlena. Bahkan Mercu Suar ini
menjadi subjek bagi gerak alam di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja ‘menangkap’ pada baris pertama bait pertama dan ‘menjaring’
pada baris pertama bait kedua.
Pada bait pertama baris pertama, subjek dalam puisi ini
menjukkan tindak kerja aktif yaitu menangkap ombak. Apabila
dikaitkan dengan puisi “Akhir” maka subjek dalam puisi ini menangkap ombak yang
datang melawat padanya. Mengapa penulis perlu mengaitkan puisi “Mercu
Suar”dengan “Akhir”? Bukankah puisi ini bisa dibahas secara otonom tanpa
dikaitkan dengan puisi lain, baik dari penulis yang sama ataupun penulis yang
berbeda?
Betul. Namun dalam hal ini penulis merasa ada semacam
benang merah antara puisi-puisi yang sudah disebutkan sebelumnya (Mercu Suar,
Akhir, Ombak Itulah). Akan sangat disayangkan apabila benang merah yang nampak sekelebat
ketika menulis tulisan ini dilewatkan begitu saja.
Puisi “Mercu Suar” dan “Akhir” perlu dikaitkan bukan
hanya latar belakang kedua puisi tersebut adalah tempat di mana ada ombak dan
sangat mungkin ada karang. Namun sangat mungkin ‘ombak’ pada kedua puisi
tersebut berada dalam kondisi yang sama: yang satu berhadapan dengan tajam
karang sedangkan yang satu lagi dalam kondisi mem-biru dalam
pengertian karena luka atau memar akibat adanya pembuluh darah yang rusak atau
pecah dan membeku.
Ombak seperti inilah yang coba ditangkap oleh subjek
dalam puisi “Mercu Suar”. Luka akibat keputusasaan yang coba dipandu oleh mercusuar
agar tidak kandas perjuangan dan doa-nya.
Bait kedua puisi ini dikatakan bahwa subjek sedang ‘menjaring
awan’. Di sini terdapat kata kerja yang biasanya digunakan kata kerja untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan laut seperti pada kalimat nelayan
menjaring ikan. Namun yang dijaring oleh subjek dalam puisi ini bukanlah
ikan melainkan awan, sebuah objek berbentuk gas yang tidak mungkin
ditangkap oleh jaring. Lalu apa makna kata awan di sini?
Dalam realitas awan merupakan massa tetesan air yang
menggantung di atmosfer dan di atas permukaan bumi. Seperti gelombang di laut,
bentuk dan gerak awan dipengaruhi oleh gerak udara. Juga seperti gelombang, awan
bergerak di ruang yang luas tak bertepi. Bahkan untuk awan tidak ada pulau
persinggahan. Hanya beban berat akibat menjenuh maka awan akan beralih
menjadi mendung dan kemudian hujan.
Dapat dikatakan bahwa subjek dalam puisi ini pada bait
kedua baris pertama tengah melakukan pekerjaan yang mustahil, yaitu menjaring
awan. Pada baris ini nampak kesejajaran makna dengan baris pertama bait
pertama. Perbedaan dengan bait pertama objek yang ditangkap masih
mungkin terjangkau. Sedang pada bait kedua, objek yang ditangkap tidak
dimungkinkan untuk diraih. Seperti suatu hal yang mesti dilakukan. Akibatnya
dapat dilihat pada baris berikutnya.
Baris kedua bait kedua sajak ini dikatakan ‘kelabu di
kalbu’. Apabila pada baris pertama masing-masing bait terdapat kesejajaran
makna, namun tidak halnya pada baris kedua di masing-masing bait. Pada bait
pertama, ombak yang hendak ditangkap rebah terluka di atas batu. Di
sini ada objek yang terluka namun luka itu berada di luar diri aku lirik. Dapat
dikatakan bahwa si aku lirik sebagai Mercu Suar seolah-olah melihat perjuangan
dan doa-nya terberai di atas batu. Sedangkan pada bait kedua baris
kedua, gerak berlangsung dalam dunia batin aku lirik.
Gerak yang berlangsung dalam dunia batin aku lirik
ditunjukkan dengan kata ‘di kalbu’. Kata ini dengan jelas menunjukkan
tempat yang hendak disampaikan oleh aku lirik kepada kita. Sedangkan gerak yang
berlangsung di sana adalah terjadinya perubahan warna menjadi ‘kelabu’. Bagaimana
mungkin kata kelabu yang merupakan kata benda dimaknai sebagai kata
kerja dalam puisi ini?
Di sini kata kelabu coba dimaknai sebagaimana kata
biru pada bait sebelumnya. Kata kelabu di sini dimaknai sebagai meng-kelabu
di mana terjadi proses perubahan sebuah warna menjadi kelabu. Perubahan warna
ini menunjukkan adanya perubahan suasana dari ceria menjadi murung atau kelam.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aku lirik dalam
puisi ini berada dalam suasana batin yang meng-kelabu akibat ombak yang
ditangkapnya mem-biru.
Puisi selanjutnya yang akan dibahas adalah puisi berjudul
“Saat”. Sebagai catatan, dalam antologi puisi ini terdapat dua puisi yang
berjudul “Saat”. Puisi pertama terdapat di halaman 30. Sedangkan puisi kedua
terdapat di halaman 98.
Saat
laut bening
ombak memagut sepi
langit hening
sepi memagut hati
(halaman 30)
Saat
sinar rembulan menyayat angin
malam mendekap cericit kelelawar
di kamar,
pelahan kusimpan usia
(halaman 98)
Awal sekali yang menarik dari kedua puisi di atas adalah
pemilihan kata ‘saat’ yang disematkan sebagai judul dari masing-masing
puisi. Arti dari kata saat adalah waktu dengan rentang yang cenderung pendek.
Kata ini biasanya dipadukan dengan kata lain untuk menunjukkan waktu tertentu
seperti saat ini, saat itu, saat berangkat untuk merujuk pada
momen-momen tertentu. Lalu seperti apa kata saat pada kedua puisi di
atas dimaknai?
Sebelum kita mencoba untuk memahami kata saat pada
kedua puisi di atas perlu kita tengok ke belakang bagaimana memahami kata waktu
dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku”: kalau sampai waktuku.
Momen waktuku yang ada pada puisi Chairil sangat bersifat eksistensial
di mana dimensi ruang dan waktu yang ada pada waktuku hanyalah milik si
aku lirik. Sebuah momen yang menunjukkan giliran si aku lirik untuk berbuat
sesuatu atau dikenai sesuatu yang tidak
dapat diwakilkan oleh subjek lain. Momen yang terkait erat dengan eksistensi si
aku lirik.
Kata saat memiliki makna yang kurang lebih sama
dengan waktuku. Kata saat pada kedua puisi di atas merupakan
momen atau waktu yang hanya dimiliki oleh si aku lirik. Meski pada kedua puisi
di atas tidak terdapat bentuk klitik -ku sebagai pemilik saat, namun
hal tersebut tidak menghalangi pemaknaan momen saat sebagai milik atau kepunyaan
dari si aku lirik. Mengapa demikian?
Ada beberapa alasan yang dapat diajukan. Pertama karena
dalam puisi yang berjudul “Saat” si aku lirik tidak sedang berdialog dengan
subjek lain. Tidak seperti pada puisi Chairil Anwar yang mengandaikan adanya
subjek lain, puisi “Saat” tidak mengandaikan adanya subjek lain yang diajak
berdialog oleh si aku lirik. Sehingga saat pada puisi “Saat” hanya
mungkin menjadi milik si aku lirik. Kedua karena ada pola penghilangan bagian
kata seperti pada mem-biru dan meng-kelabu pada puisi yang
berjudul “Mercu Suar”. Selain itu, kedua puisi tersebut menggambarkan dunia
batin yang tengah melanda si aku lirik.
Sekarang kita akan mulai membahas puisi berjudul “Saat”.
Dari segi bentuk bisa dikatakan bahwa puisi ini memiliki kesejajaran yang
sempurna. Masing-masing bait terdiri dari dua baris. Baris pertama dari
masing-masing bait terdiri dari dua kata. Baris kedua dari masing-masing bait
terdiri dari tiga kata. Dari segi bunyi juga terdapat kesejajaran.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah penggunaan kata ‘memagut‘.
Kata ini sama-sama digunakan pada baris kedua tiap bait sebagai bentuk tindakan
yang sama, yaitu tindakan memeluk sesuatu dengan kedua tangan dan
mendekatkannya ke mulut. Namun berbeda dengan memeluk, kata memagut memiliki
nuansa yang kelam dan murung. Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, penggunaan
kata pagut dapat ditemukan salah satunya pada puisi Chairil Anwar yang
berjudul “Catetan Th. 1946” pada baris keempat bait pertama: ‘Kupahat
batu nisan sendiri dan kupagut’. Lebih dari itu, kata pagut/memagut
baik pada puisi Medy Loekita maupun Chairil Anwar tidak mengandaikan subjek
lain yang dapat melakukan tindak pagut yang memungkinkan kedua subjek
tersebut saling berpagutan. Kata pagut pada puisi Medy Loekito
dan Chairil Anwar mengandaikan objek personal yang hanya dimiliki oleh si aku
lirik: pahatan batu nisan sendiri dan sepi. Lalu apa yang dipagut
oleh si aku lirik dalam puisi “Saat”?
Pada baris pertama bait pertama, si aku lirik menyajikan
sebuah pemandangan laut bening. Pemandangan seperti apakah tepatnya laut
bening itu? Bukankah air laut jika kita ambil ke dalam gelas maka akan
terlihat bahwa air laut tersebut sebenarnya bening. Yang membedakannya mungkin
tingkat kekeruhannya saja. Namun kata bening di sini tidak merujuk pada
objek yang eksistensinya dirasakan secara visual. Kata bening di sini
lebih pada eksistensi gerak sebuah objek: laut. Pengertian laut
bening bukan hanya hamparan air berwarna bening namun juga berarti hamparan
air yang hilang gerak.
Pemaknaan ini lebih mengena lagi bila kita kaitkan dengan
baris berikutnya ‘ombak memagut sepi’. Pada baris kedua ini ombak
diandaikan sebagai subjek yang tengah melakukan tindakan memagut. Sedang
objek yang dipagut oleh ombak adalah objek abstrak bernama sepi. Pada
baris ini si aku lirik tidak lagi menyajikan sebuah pemandangan alam sebagaimana
pada baris sebelumnya. Pada baris ini si aku lirik menyajikan apa yang sedang
berlangsung di dunia batinnya: ada gerak yang menghilang menjadi sepi. Gerak
ombak yang riuh penuh buih menjadi sepi.
Bait pertama ini merupakan fase di mana gerak
perlahan-lahan menghilang. Alun gelombang laut menjadi bening. Riuh
deburan ombak menjadi sepi. Realitas masih bisa ditemukan dalam fase ini
lewat frasa laut bening dan kata ombak. Kedua realitas itu
mengarah pada objek abstrak: sepi. Pada bait berikutnya akan kita
temukan bagaimana gerak dan realitas lenyap.
Pada bait kedua baris pertama si aku lirik kembali
menyajikan semuah pemandangan langit hening. Berbeda dengan laut
yang eksistensinya dapat diketahui dengan mudah, langit merupakan sebuah
ruang yang tak terbatas. Eksistensinya tidak dapat dirasakan. Kita hanya
dapat menunjuk ke atas, namun sampai di mana batasnya ‘atas’ itu masih belum
bisa ditentukan meski tahun cahaya digunakan untuk mengukurnya. Juga di langit,
tidak ada gerak. Yang bergerak adalah benda-benda angkasa seperti bulan, bumi,
planet, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemandangan langit
hening merupakan pemandangan yang tidak ada apa-apa di dalamnya.
Apabila pemaknaan ini dapat diterima maka pada bait kedua
baris pertama si aku lirik berada pada fase di mana gerak sepenuhnya
menghilang. Hanya ada sepi dan si aku lirik. Situasi sepi tidak ada
apa-apa inilah yang pada akhirnya memagut hati si aku lirik.
Meski demikian, sekedar sebagai catatan, frasa langit
hening dapat juga dimaknai sebagai tidak adanya suara bising di malam hari.
Pemaknaan seperti ini juga mengena mengingat kata sifat yang digunakan hening
terkait erat dengan indra pendengaran. Namun pada hemat penulis pemaknaan yang lebih
dekat adalah sebagaimana pemaknaan yang pertama. Sebab pada bait sebelumnya kata
bening yang terkait erat dengan indra penglihatan, berkaitan erat dengan
gerak. Maka begitu juga dengan kata hening, mesti dipahami sebagai fase akhir
dari sebuah gerak: diam!
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puisi berjudul
“Saat” pada halaman 30 menggambarkan momen tertentu yang dialami oleh si aku
lirik. Tidak dikatakan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh si aku lirik
setelah melewati momen itu. Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh si aku
lirik justru Muncul pada puisi “Saat” pada halaman 98 yang akan dibahas
selanjutnya.
Puisi berjudul “Saat” pada halaman 98 memiliki nuansa
yang sangat berbeda dengan pada halaman 30. Puisi “Saat” pada halaman 98 (untuk
selanjutnya, puisi yang dibahas dalam uraian selanjutnya merupakan puisi “Saat”
halaman pada 98) hanya memiliki satu bait dan tidak ada kesejajaran bentuk
maupun bunyi. Selain itu, pada puisi ini Muncul sosok si aku lirik dengan
melakukan sebuah tindak kerja.
Pada baris pertama disajikan sebuah pemandangan ‘sinar
rembulan menyayat angin’. Frasa sinar rembulan yang menjadi subjek
pada baris ini memiliki makna sebagaimana realitas sesungguhnya, yaitu cahaya
dari sinar matahari yang terpantul ke bumi malam hari melalui bulan. Namun sinar
rembulan yang merupakan benda abstrak diandaikan sebagai subjek yang mampu
melakukan tindak kerja menyayat sebagaimana pisau yang merupakan benda
konkrit. Sedangkan objek yang disayat adalah angin.
Secara utuh, baris pertama ini dapat dipahami sebagai
pemandangan atas ketiadaan gerak. Mengapa demikian? Pada baris ini terdapat
objek angin yang merupakan gerak udara akibat adanya perbedaan tekanan
udara. Karena merupakan udara yang selalu bergerak, angin sering dijadikan
sebagai simbol bagi pengembara atau pengelana.
Pada baris pertama ini dapat kita bayangkan angin sebagai
sebuah material yang bergerak di udara dengan kecepatan sekian km per jam.
Benda ini bergerak melayang-layang di atas bumi si aku lirik, menyebabkan
munculnya bunyi desir, kertap pada ranting, kersik pada
daun-daun kering, ataupun membawa suara yang datangnya dari jauh. Namun gerak
benda yang dapat menjadikan alam menjadi riuh ini disayat oleh sinar
rembulan.
Dalam dunia
batin si aku lirik, kehadiran sinar rembulan ini memiliki pengaruh yang
jelas. Tidak seperti Chairil Anwar yang merasa ragu ‘Bulan inikah yang
membikin dingin, Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?’ si aku lirik Medy
Loekito dalam puisi “Saat” dengan tegas mengatakan sinar rembulan-lah
yang menyayat angin. Bayangkan sebuah benda padat yang bergerak di udara disayat-sayat
oleh sinar rembulan yang cahayanya meliputi seluruh bumi malam hari. Akibatnya,
benda-benda yang ada di alam tidak lagi berkertap, tidak lagi berdesir,
tidak lagi berkersik, tidak ada lagi suara dari jauh yang datang
menghampiri. Benda-benda menjadi kehilangan bunyi. Bunyi pun tak tersampaikan, angin
terpendam.
Baris kedua ‘malam
mendekap cericit kelelawar’. Berbeda degan baris sebelumnya yang menyajikan
objek-objek mati yang tidak dapat mengeluarkan bunyi atau tidak dapat menjadi
sumber bunyi, pada baris kedua ini si aku lirik menggambarkan adanya makhluk
hidup kelelawar. Sebagai makhluk hidup, kelelawar dapat menjadi
sumber bunyi yang dapat menghasilkan bunyi tanpa perlu menerima sentuhan energi
dari objek lain. Pada baris kedua ini disebutkan bahwa kelelawar itu
ber-cericit.
Meski tidak
ada lagi gerak angin sebagai objek yang dapat menghasilkan dan
menghantarkan bunyi pada baris pertama, pada bait kedua ini masih ada gerak
dari bunyi cericit kelelawar. Namun belahan bumi malam
yang diterangi sinar rembulan, mendekap gerak itu. Bayangkanlah cericit
kelelawar sebagai seorang bocah yang berlarian dengan riang kesana-kemari.
Lalu malam mendekap si bocah sehingga si bocah tidak lagi berlari
kesana-kemari namun diam dalam dekapan.
Dapat dikatakan bahwa baris pertama dan kedua
menggambarkan alam dalam dunia batin si aku lirik yang tidak lagi bergerak.
Alam yang bening dan hening. Di tengah alam dunia batin yang tak
lagi bergerak inilah si aku lirik berada di kamar, sebagaimana
digambarkan pada baris ketiga.
Pada baris keempat terdapat tindak kerja yang dilakukan
oleh si aku lirik di tengah ketidak bergerakan alam di dunia batinnya. Tidak seperti
Chairil yang menghadapi waktuku dengan penuh vitalitas, si aku lirik Medy
Loekito menghadapinya dengan lembut dan pelahan. Dengan gerak yang
lambat pelahan, si aku lirik menyimpan usianya. Tindakan ini
merupakan tindakan konkret yang tengah atau sedang berlangsung, yang dilakukan
oleh si aku lirik setelah berhadapan dengan momen saat-ku atau waktuku.
Dan bukan tindakan pengandaian di masa depan seperti pada kata kalau.
Berikutnya kita beralih kepada puisi yang berjudul “Malam
di Bukit”. Puisi ini cukup ringkas, hanya terdiri dari dua baris saja. Dan
lagi-lagi judul puisi ini mengingatkan penulis pada puisi Chairil Anwar. Kali
ini pada puisi yang berjudul “Malam di Pegunungan”. Berikut puisi Medy Loekito
yang berjudul “Malam di Bukit”.
Malam di Bukit
rumput kecil bergerigi tajam bagai belati
menyayat bulan hingga mengucurkan
sepi
Judul puisi ini menunjukkan dengan jelas situasi dan
tempat di mana si aku lirik berada, yaitu pada malam hari di bukit.
Dengan memilih judul tersebut, si aku lirik seolah hendak membawa kita pada
pemandangan alam yang tengah dihadapinya. Kata malam dengan jelas akan
membawa imaji kita kepada suasana ketika bumi berada di balik arah sinar
matahari sehingga gelap melingkupi. Begitu juga bukit, merujuk pada
tempat yang lebih tinggi dari sekelilingnya, dan biasanya berada dekat dengan
atau di hutan dan pegunungan. Selain membawa imaji kita kepada tempat dan
situasi seperti yang sudah disebutkan, imaji penulis juga tertuju pada puisi
Chairil Anwar yang berjudul “Malam di Pegunungan”. Mengapa?
Pertama, karena frasa pada judul kedua puisi tersebut
bisa dikatakan sejajar: malam di bukit dan malam di pegunungan. Kedua,
pada kedua puisi ini terdapat kata bulan yang menjadi episentrum dari
pemandangan yang terpantul dalam dunia batin si aku lirik. Perbedaannya, pada
puisi Medy Loekito si aku lirik tengah berada sendiri. Tidak mengandaikan
adanya bocah cilik atau orang lain. Selain itu, pada puisi Medy Loekito bulan
menjadi objek penderita yang dikenai pekerjaan oleh subjek lain.
Baris pertama rumput kecil bergerigi tajam bagai
belati menunjukkan pada kita objek yang pertama kali diamati oleh si aku
lirik adalah objek yang berada di tanah, yang dirasakan oleh telapak kakinya: rumput
kecil. Pemilihan frasa bergerigi tajam mesti dipahami sebagai
sensasi rasa yang dialami telapak kaki si aku lirik. Pemahaman ini lebih
mengena mengingat pada malam hari cahaya yang terpantul pada objek tidak
seterang pada siang hari meski pada malam itu ada sinar rembulan. Suasana malam
yang hanya diterangi cahaya rembulan, kurang memungkinkan untuk pemahaman frasa
bergerigi tajam sebagai objek visual. Namun lebih dekat dengan objek
yang dirasakan oleh kulit seperti jika kita meraba dalam gelap untuk mengenal
objek di sekeliling kita. Hal tersebut sejalan dengan metafora bagai belati.
Sebuah belati dapat dikenali tajamnya apabila kita menyentuhkan kulit
kita.
Apabila pemahaman di atas diterima, maka pada baris
pertama ini si aku lirik dapat digambarkan tengah berdiri atau berjalan di atas
rumput kecil.
Pada baris kedua dikatakan menyayat bulan hingga
mengucurkan sepi. Pada baris ini terdapat objek bulan dikenai tindakan
subjek pada baris sebelumnya rumput kecil. Tindakan yang terjadi adalah menyayat.
Kata menyayat yang digunakan mengandaikan pesinggungan dua materi, yaitu
yang disayat dan yang menyayat. Persinggungan tersebut sangat signifikan
sehingga dapat mengubah bentuk dari materi yang disayat. Sementara materi yang menyayat
cenderung tidak mengalami perubahan bentuk.
Berdasarkan pemahaman ini, baris kedua dapat dipahami
sebagai terjadinya perubahan bulan dari bentuk yang pertama kali dilihat si aku
lirik di bukit itu menjadi bentuk lain setelah disayat. Lalu
bagaimana benda kecil yang berada di tanah dapat menyayat bulan yang
berada di langit sana hingga mengucurkan sepi? Perubahan bentuk seperti
apa yang terjadi pada bulan? Jawab: bulan bergerak hilang di
balik bukit, bukit yang memiliki hamparan rumput kecil. Dengan
menghilangnya bulan di balik bukit, keadaan akan gulita. Yang tinggal hanya sepi
yang dikucurkan oleh bulan.
Jika pemahaman ini diterima, maka akan sangat berbeda
sekali nuansa pada puisi “Malam di Pegunungan”
dengan “Malam di Bukit”. Apabila
“Malam di Pegunungan” suasana yang hadir adalah suasana malam dengan sinar
rembulan pucat, yang pada akhirnya menghadirkan pemandangan sepi dan
muram bagi si aku lirik, namun pada “Malam di Bukit” sinar bulan melenyap
menjadi gulita. Tidak banyak yang dapat dilihat oleh si aku lirik pada puisi
“Malam di Bukit”, kecuali merasakan pada telapak kaki rumput kecil bergerigi
tajam bagai belati.
Puisi selanjutnya yang akan dibahas adalah puisi berjudul
“Malam”.
Malam
rembulan
rebah
di hamparan hening
tanpa warna
tanpa suara
tanpa pusara
Puisi berjudul “Malam” ini tak boleh ketinggalan untuk
dibahas. Puisi ini cukup menarik karena melalui puisi ini kita dapat menarik
benang merah dari pemaknaan yang sudah disampaikan sebelumnya. Benang merah
tersebut sedapat mungkin akan disampaikan selanjutnya.
Pertama, pada puisi terdapat kata hening yang juga
terdapat pada puisi berjudul “Saat”. Pada hemat penulis, kata hening pada
kedua puisi tersebut memiliki pemaknaan yang merujuk pada situasi yang kurang
lebih sama. Kemudian terdapat objek bulan yang rebah, sebagai
akibat dari perbuatan rumput kecil menyayat bulan pada puisi “Malam di
Bukit”. Puisi “Malam” ini seolah-olah merupakan kelanjutan dari kisah rembulan
pada puisi “Malam di Pegunungan”.
Hanya ada satu kata pada baris pertama rembulan. Pemilihan
kata ini tentu mengandung maksud tertentu karena pada puisi lain Medy Loekito
menggunakan kata bulan pada puisi lain seperti pada puisi “Le Parfait”,
“Sepi”, “In Solitude”, ataupun “Malam di Bukit”. Pemilihan kata rembulan
menunjukkan kekhasan objek yang ditunjuk, yaitu benda di langit yang merupakan
satelit bumi. Dengan begitu si aku lirik hendak menyajikan pemandangan malam
dengan rembulan sebagai episentrum dari pemandangan itu. Rembulan
menjadi subjek dalam pemandangan batin si aku lirik.
Rembulan
pada puisi ini digambarkan tengah rebah. Rebah sebagaimana arti
leksikalnya ‘terletak berbaring’. Jika pada puisi Chairil, bulan
bertindak sebagai subjek aktif yang membikin kaku pohonan. Maka pada
puisi “Malam” rembulan tidak digambarkan sebagai subjek aktif yang
memantulkan sinar matahari ke belahan bumi malam. Pantulan sinar matahari yang
jatuh ke bumi malam, dalam pemandangan batin si aku lirik tidak mendapat
tempat. Padahal dalam malam ber-rembulan, eksistensi sinar rembulan
tidak dapat diabaikan. Lalu rembulan yang tengah rebah seperti
apakah yang ada dalam pemandangan batin si aku lirik dalam puisi “Malam”?
Pada baris ketiga terdapat frasa ‘di hamparan hening’.
Pemaknaan frasa ini dapat merujuk pada pemaknaan ‘langit hening’ pada
puisi “Saat”. Namun perlu ditambahkan: penggunaan kata hamparan
menyiratkan adanya proses perubahan ruang dan waktu. Dari hening yang
sebelumnya tidak ada menjadi terhampar. Bisa jadi proses perubahan ruang
dan waktu yang dimaksud adalah perubahan dari siang menjadi malam di mana rembulan
eksis. Namun bukan tidak mungkin, perubahan ruang dan waktu yang dimaksud
adalah perubahan dari malam yang ber-rembulan menjadi malam yang tak
ber-rembulan.
Pemaknaan terakhir ini sangat memungkinkan apabila kita
kembali pada puisi yang berjudul “Malam di Bukit” di mana sinar bulan melenyap
menjadi gulita. Pemaknaan tersebut dikuatkan oleh baris keempat ‘tanpa warna’.
Frasa tanpa warna dapat merujuk pada pengertian bulan berwarna pucat. Namun
sepertinya akan lebih tepat apabila dimaknai sebagai ketiadaan warna sebagai
akibat dari rebah-nya rembulan, yang pada puisi Chairil memberi
warna pucat pada dunia. Langit malam yang seharusnya diterangi oleh sinar rembulan,
berubah menjadi tanpa warna.
Selanjutnya, frasa ‘tanpa suara’ pada baris kelima
menggambarkan ketiadaan gerak. Segala sumber bunyi dalam pemandangan batin si
aku lirik diam. Tidak ada bisik, kersik, kertap, maupun cericit kelelawar
yang sampai pada telinga si aku lirik. Seolah yang ada hanya kehampaan.
Puisi ini ditutup dengan frasa ‘tanpa pusara’. Pemilihan
kata pusara menyiratkan bahwa subjek rembulan yang rebah dalam
pemandangan batin si aku lirik ini ternyata telah mati. Penggunaan kata pusara
ini menunjukkan bahwa mestinya subjek yang mati itu dikuburkan di suatu tempat
tertentu dengan sebuah nisan sebagai penanda bagi yang ditinggalkan. Kata pusara
juga dapat berarti sebagai pesan kepada yang masih tinggal bahwa ‘aku’ juga
pernah hidup. Lebih dari itu, kata pusara juga menyiratkan pengertian
bahwa si mati telah dikuburkan sebagaimana mestinya.
Namun pada penutup puisi ini rembulan dibiarkan rebah
begitu saja tanpa pusara. Di tengah hamparan bening yang luas,
jasad rembulan malam itu akan terurai oleh gerak ruang dan waktu.
Kemudian lenyap tak berbekas tanpa pusara. Lalu akan digantikan oleh rembulan
lain di malam yang lain.
Pada puisi-puisi yang sudah dibahas dapat dilihat
bagaimana alam dalam dunia batin si aku lirik bergerak ke arah sepi. Pemilihan
latar belakang waktu menyiratkan bahwa dunia telah terbenam dari riuh pikuk di
siang hari. Malam hari memang selalu menghadirkan kesepian tersendiri. Suasana
yang riang di tengah siraman sinar matahari berubah menjadi murung dan kelam di
malam hari.
Namun bagi si aku lirik dalam puisi Medy Loekito, tidak
hanya malam yang menghadirkan kegelisahan. Pagi hari pun, di mana hari baru
akan menjelang dan sinar matahari siap menyirami bumi, si aku lirik juga merasa
gelisah. Hal itu nampak pada puisi yang berjudul “Sketsa Fajar”.
Sketsa Fajar
embun
di bibir daun
resah
hari baru
entah
Puisi ini diawali dengan menyajikan pemandangan khas pagi
hari: embun. Udara yang tenang, suhu yang turun, hangat yang memudar,
menjenuhkan uap air di udara sehingga tercipta titik-titik embun. Titik-titik
embun ini akan menempel pada setiap benda yang telah menjadi dingin. Pada puisi
ini, embun yang dilihat oleh si aku lirik berada di bibir daun. Mengapa
embun yang menjadi perhatian si aku lirik adalah embun yang
berada di bibir daun? Bukankah embun akan menempel pada setiap benda
yang bersuhu dingin?
Pemilihan frasa di bibir daun bukan hanya
menunjukkan tempat di mana embun itu berada. Secara leksikal frasa di
bibir daun menunjukkan tempat atau bagian terujung dari daun, yang terjauh
dari batang: pucuk daun. Dalam hal ini daun disifatkan sebagaimana
mahkluk hidup, khususnya manusia yang memiliki bibir. Pemilihan kata bibir
sendiri menyiratkan tindakan yang mungkin dilakukan oleh bagian tubuh tersebut:
mencium atau mengecup.
Jadi embun pada pemandangan alam si aku lirik
berada dalam ciuman atau kecupan sang daun. Namun ciuman atau kecupan
itu tidak bertahan lama dan akan segera lepas. Seperti sudah disebutkan, frasa di
bibir daun menunjukkan termpat di mana embun itu berada: pucuk daun.
Apabila gerak alam terus berlaku, proses berikutnya yang mungkin terjadi
adalah: sang embun akan jatuh lepas dari bibir daun.
Proses lepasnya embun dari bibir daun
merupakan proses alam yang tak dapat ditawar. Baik itu lepas jatuh ke tanah
karena bibir daun tak lagi dapat menahan beban embun, ataupun
karena datangnya sang matahari yang akan menghangatkan bumi dan menguapkan
kembali sang embun. Dengan kata lain embun/di bibir daun bukanlah
pemandangan seperti apabila kita memotretnya dengan kamera di mana ada terdapat
objek embun yang terperangkap di bibir daun. Namun embun/di
bibir daun dalam puisi ini merupakan pemandangan gerak yang belum usai:
lepas jatuh ataupun menguapnya embun.
Dengan kata lain, pemandangan pagi hari di dunia batin si
aku lirik bukanlah sebuah pemandangan yang ceria dan penuh harapan. Pemandangan
pagi hari dalam dunia batin si aku lirik merupakan pemandangan dari yang
sudah nyata menjadi sesuatu yang akan lenyap, baik itu musnah terserap
tanah ataupun menguap terbawa hangat angin. Pemandangan ini merupakan
pemandangan yang sebagaimana dikatakan si aku lirik pada baris ketiga: resah.
Pada baris ketiga inilah pemandangan sesungguhnya yang
tersaji pada puisi “Sketsa Fajar”. Bangun dari tidur malamnya, si aku lirik
menatap pagi dengan suasana hati yang resah. Pemandangan yang nampak
pada penglihatannya bukan alam yang bersiap akan perayaan warna dan kehangatan
pagi. Bukan pula kicau burung bernyanyi atau bunga-bunga yang mekar. Akan
tetapi yang disaksikan si aku lirik malah embun yang bersiap untuk lepas
jatuh atau menguap di bibir daun.
Ke-resah-an ini terjadi karena si aku lirik pagi
itu akan menghadapi hari baru sebagaimana dikatakan pada baris keempat. Hari
baru bagi si aku lirik tidak menyiratkan semangat dan optimisme. Hari
baru yang bagi kebanyakan kita merupakan awal untuk memulai yang baru
dengan lebih baik dari hari kemarin, namun tidak demikian bagi si aku lirik. Hari
baru bagi si aku lirik pada puisi ini justru membangkitkan perasaan resah.
Seolah si aku lirik tengah putus asa dengan apa yang akan dilaluinya di hari
baru.
Pemaknaan seperti di atas sejalan dengan pemilihan kata
penutup puisi ini: entah. Kata entah mewakili ketidaktahuan si
aku lirik atas apa yang mesti dilakukan di hari baru itu.
Puisi selanjutnya yang tidak boleh ketinggalan untuk
dibahas adalah puisi berjudul “Jakarta XIV”. Mengapa tidak boleh ketinggalan?
Sebab ada banyak puisi dari Medy Loekito menggunakan nama ibu kota negara kita
sebagai judul puisinya, baik dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan maupun
Jakarta, Senja Hari. Jakarta, oleh Medy Loekito, telah ditilik dari berbagai
sudut dalam puisinya. Oleh karena itu, tak lengkap rasanya membahas antologi
puisi Medy Loekito tanpa membahas puisi “Jakarta”.
Jakarta XIV
sinar lampu
memungut serpih malam
yang dihempas sepi
Jakarta, mendengar nama kota ini terbayang sebuah kota yang padat dan ramai. Pada siang hari Gedung-gedung yang menjulang tinggi akan penuh sesak dengan pegawai-pegawai. Jalanan macet dan bising karena jumlah kendaraan dan tingkat mobilitas yang tinggi. Pada malam hari, musik dari tempat hiburan akan bergema. Lampu-lampu kota menerangi setiap sudut seolah tidak ada tempat bagi gelap.
Suasana Jakarta seperti itulah yang tersaji dalam puisi
berjudul “Jakarta XIV”. Beberapa puisi Medy Loekito yang berjudul “Jakarta”
menampilkan kota Jakarta sebagai tempat di mana gedung-gedung batu menjulang
tinggi. Kota Jakarta tidak ditunjuk dengan menampilkan sudut-sudut tertentu,
tapi disajikan sebagai sebuah lanskap. Begitu juga dengan puisi berjudul
“Jakarta XIV”, tersaji lanskap kota Jakarta pada malam hari.
Puisi ini diawali dengan frasa sinar lampu. Frasa
ini selain menunjuk pada objek lampu yang bersinar, secara tak langsung juga
merujuk pada waktu tertentu di mana lampu dinyalakan apabila hari telah gelap:
malam hari. Frasa sinar lampu ini dapat dimaknai sebagaimana makna
leksikalnya. Namun yang perlu ditanyakan adalah: sinar lampu mana yang
dimaksud dalam puisi ini? Apakah yang dimaksud adalah sinar lampu suatu
sudut tertentu dari Jakarta? Apakah sinar lampu jalan? Gedung? Atau yang
mana lagi?
Sayangnya tidak diketahui titimangsa dari puisi ini.
Seandainya ada titimangsa pada puisi ini, setidaknya dapat terbayang suasana
Jakarta malam hari dengan berbagai macam sinar lampu yang meneranginya.
Keadaan Jakarta malam hari pada saat puisi ini ditulis, tentu berbeda dengan
saat ini. Meski demikian, ketiadaan titimangsa itu tidak mempengaruhi kualitas
puisi tersebut. Hanya saja pengalaman membaca penulis akan lebih diperkaya
seandainya terdapat titimangsa.
Kita kembali ke pembahasan. Frasa sinar lampu yang
dimaksud pada puisi ini tidak merujuk pada salah satu sinar lampu tertentu
melainkan sebagai sebuah lanskap. Frasa sinar lampu ini merujuk pada ribuan
sinar lampu di Jakarta pada malam hari. Si aku lirik dalam puisi ini
seolah melihat Jakarta dari suatu tempat yang tinggi sehingga nampak di
hadapannya lanskap dari ribuan sinar lampu Jakarta malam hari.
Lebih dari itu, frasa sinar lampu dalam puisi ini
merupakan subjek yang menjadi pusat perhatian si aku lirik. Pada baris kedua, sinar
lampu digambarkan memiliki sifat sebagaimana makhluk hidup yang dapat
melakukan tindakan memungut. Hanya makhluk hidup yang memiliki tangan
yang dapat melakukan tindakan memungut. Adapun yang dipungutnya adalah
benda abstrak bernama serpih malam.
Frasa serpih malam yang dipungut itu tidak hanya
dimaknai sebagai potongan atau kepingan-kepingan malam, tapi juga mengandaikan
adanya proses yang terjadi pada malam, yaitu dari bentuknya yang utuh
lalu terberai menjadi serpih-serpih yang dapat dipungut. Penyebab terberainya malam
dapat diketahui pada baris ketiga yang dihempas sepi.
Baris ketiga yang dihempas sepi ini menggambarkan
tentang siapa yang memberaikan malam, yaitu sepi, dan bagaimana hal itu
dilakukan, yaitu dengan dihempas. Yang menarik untuk disimak adalah
objek sepi digambarkan mampu melakukan tindakan menghempas, dan yang dihempas
adalah malam.
Pada umumnya kata malam dan sepi memiliki
keterkaitan yang kuat. Frasa malam sepi dengan berbagai variannya,
sangat mudah ditemui dalam berbagai macam tulisan. Suasana yang dihadirkan oleh
kata sepi seolah melekat dengan malam. Apabila terdapat frasa
atau kalimat seperti malam ini begitu ramai dengan berbagai macam
variannya, tentu selanjutnya akan ada keterangan bahwa pada malam itu tengah
berlangsung atau terjadi sesuatu yang berbeda dari kebiasaan.
Namun pada puisi “Jakarta XIV” malam dan sepi
dipisahkan. Malam digambarkan tidak lagi utuh namun dalam keadaan
menjadi serpih. Sedangkan objek yang menjadikan malam dalam
keadaan serupa itu adalah sepi dengan cara dihempas. Apakah yang
terjadi dengan sepi sehingga ia berlaku serupa itu? Apakah pada malam
ini tengah berlangsung atau terjadi sesuatu yang berbeda dari biasanya?
Apakah pada malam ini ada pertunjukan, keributan, atau apa?
Tidak ada dan tidak terjadi apa-apa. Jakarta, dalam
pemandangan batin si aku lirik, berlaku sebagaimana sewajarnya sebuah kota
apabila malam tiba: sinar lampu menyala di setiap sudutnya. Apabila
dilihat dari tempat yang tinggi, akan nampak lanskap ribuan sinar lampu.
Si aku lirik seolah hendak berkata: tidak ada sepi pada malam-malam di Jakarta.
Namun itukah yang hendak disampaikan si aku lirik? Bukan.
Bagi si aku lirik dalam puisi Medy Loekito, Jakarta merupakan sebuah
ironi. Jakarta adalah ruang di mana benih yang ditebar penuh kasih, menjadi
serigala setiap pagi. Jakarta adalah ruang di mana angin tersesat dan
rumput tersekap, dan manusia terhempas di dalam detik waktu.
Dengan begitu, puisi “Jakarta XIV” mesti dipahami dengan
cara yang ironis. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa malam di Jakarta
selalu terang benderang dengan sinar lampu. Anda tidak akan kesepian
pada malam hari di sana. Namun sebaliknya, justru di sanalah berkumpulnya
manusia-manusia kesepian!
Penutup
Pada akhirnya, tak banyak puisi yang dapat dibahas dalam
tulisan ini. Dari seratus puisi yang terkmaktub hanya delapan puisi yang dapat
dibahas. Dan dari yang sedikit itu tidak dapat dikatakan mewakili keseluruhan
puisi yang ada dalam Antologi Puisi Air Mata Tuhan. Meski demikian, dengan
membahas yang sedikit itu diharapkan dapat menjadi pintu bagi pembaca (penulis,
red) untuk memahami puisi-puisi lain yang ada dalam antologi tersebut.
Dari puisi-puisi yang sudah dibahas dapat terlihat
bagaimana si aku lirik memaknai dunia yang dilihatnya. Sebagai makhluk
simbolik, si aku lirik menangkap objek-objek alam di sekitar, kemudian
ditangkap oleh dunia batinnya dan digunakan untuk menggambarkan pengalaman
batin yang disampaikan melalui puisi.
Objek-objek alam itu seperti karang, samudera, ombak,
batu, awan, laut, langit, bulan, ataupun embun. Objek-objek alam
itu, dalam pemandangan batin si aku lirik, tidak hanya digambarkan diam sebagai
objek pasif dari subjek, namun juga sebagai subjek aktif yang bergerak. Pada
puisi “Akhir” dapat kita lihat bagaimana samudera bergerak mendatangi tajam
karang. Juga dapat kita lihat bagaimana mercu suar menangkap dan
menjaring objek alam di sekitarnya. Gerak alam itu dapat juga dilihat pada laut
dan langit memagut objek lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan
objek lain seperti sinar rembulan, rumput kecil, embun, dan sinar
lampu. Berbagai gerak dari objek-objek alam itu dalam dunia batin si aku
lirik bergerak ke arah diam.
Diam
yang akan dituju oleh gerak itulah yang tersebar pada puisi-puisi yang sudah
dibahas dalam tulisan ini. Kondisi diam dari objek-objek alam yang telah
kehilangan gerak ini mengantarkan si aku lirik pada ruang di mana hanya ada si
aku lirik dengan pergulatan batinnya.