Jumat, 05 Mei 2017

MENYAKSIKAN PENTAS MONOLOG BALADA SUMARAH OLEH TEATER US



Suatu malam di penghujung bulan April. Sebuah grup teater dari perguruan tinggi Universitas Surabaya yang bernama Teater US akan menggelar pertunjukan di gedung Cak Durasim. Pertunjukan itu akan mementaskan dua lakon. Yang pertama Monolog 'Balada Sumarah' karya Tentrem Lestari dan yang kedua 'Beranda Berdinding Kaca' karya August Strindberh. Pementasan itu merupakan puncak acara dari rangkaian kegiatan yang sudah berlangsung sejak bulan Maret yang diselenggarakan dalam rangka dies natalis Universitas Surabaya ke-23.

Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya mendapat undangan untuk menghadirinya. Dan karena tidak ada halangan saya pun hadir di sana, bersama istri dan anak. Lumayan, menghibur diri sambil mengedukasi si kecil lewat pertunjukan kesenian di atas panggung.

Kami tiba di lokasi dalam keadaan gelap gulita. Rupanya listrik di area gedung Cak Durasim sedang mengalami gangguan. Tapi penerangan di dalam gedung tidak terkendala. Meski di bagian registrasi pengunjung tidak seluruhnya lampu menyala namun di dalam lampu penerangan dan AC tetap menyala.

Ketika masuk ke dalam gedung saya merasakan ada perubahan dari terakhir kali saya mengunjungi gedung Cak Durasim yang terletak di jalan Genteng Kali itu. Bagian tempat duduk penonton lebih tinggi dari sebelumnya. Sedang di bagian depan terasa menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Entah apakah di bagian panggung juga ada perubahan.




Kegiatan dimulai oleh dua orang pembawa acara. Kemudian dilanjutkan pembacaan puisi dari naskah yang berasal dari juara pertama lomba cipta puisi yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan ini. Sayang, penyairnya tidak dapat hadir sehingga puisi dibawakan oleh orang lain. Padahal saya paling menantikan puisi juara pertama dibawakan langsung oleh penyairnya. Saya berpendapat, puisi yang dibawakan oleh penyairnya akan menguatkan karakter puisi itu sendiri. Tapi bukan berarti pembacaan puisi yang dilakukan tidak bagus. Hanya saja semestinya dilakukan konfirmasi dengan penyairnya terlebih dahulu perihal pembacaan puisi. Akan tetapi, tim penyelenggara tentu punya pertimbangan tersendiri.

Selanjutnya pentas diisi dengan tarian dari UKM Tari Universitas Surabaya. Tarian ini menampilkan tiga orang penari yang di atas panggung. Ketiga penari tersebut diiringi oleh musik gamelan. Setelah itu yang mendapat giliran tampil di panggung adalah dari teater pelajar. Mereka menampilkan pertunjukkan dengan menggunakan payung sebagai media pendukung yang utama. Setiap gerak dan langkah di atas panggung dari setiap orang mencoba mengeksplorasi imajinasi melalui media payung.

Pentas 'Monolog Balada Sumarah' tampil setelah itu. Dan pentas ini yan bsaya tunggu-tunggu. Saya ingin menyaksikan bagaimana tuturan seorang perempuan bernama 'Sumarah' itu ditampilkan di atas panggung. Sepertinya sangat menarik!






Pentas dimulai dengan menampilkan sosok perempuan yang duduk di atas dingklik di tengah-tengah panggung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat dua buah bingkai yang berdiri dan diletakkan secara simetris. Sedang di belakang terdapat sebuah gambar seperti siluet sosok perempuan dalam bentuk yang simetris pula dengan warna putih di bagian tengah dan warna hitam mengelilinginya. Di bagian tengahnya terdapat tanda silang 'X', mungkin sebagai simbol dari 'suara yang terbungkam'. Mungkin juga simbol yang berkaitan dengan 'leher' karena tanda silang itu terletak di bagian leher. Simbol yang berkaitan dengan, misalnya saja, hukuman mati.

Naskah monolog itu sendiri alur ceritanya bergerak mundur. Dimulai dari pengakuan seorang perempuan atas nasib yang menimpanya di negeri asing, Sumarah mengajak para pendengarnya menyelami masa lalunya. Akan tetapi nyata bahwa masa lalu yang dikisahkannya itu bukan sekedar masa lalu perempuan yang bekerja di negeri asing karena di negeri sendiri begitu sulit mendapatkan pekerjaan. Lebih dari itu, masa lalu Sumarah adalah sejarah kelam negeri ini.

Sumarah dengan gamblang menyampaikan bapaknya yang 'diciduk' akibat tragedi di tahun 1965. Dampak dari 'pencidukan' itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh orang yang 'diciduk' saja, tapi juga kepada orang-orang di sekeliling, dalam hal ini Sumarah sebagai anak. Padahal tak diketahui apakah benar bapak Sumarah terlibat atau tidak dalam tragedi itu.

Di sekolah Sumarah diejek oleh teman-temannya. Di masyarakat dia harus berupaya agar dia mendapat cap 'bersih lingkungan'. Pada bagian ini, naskah monolog hendak mempertanyakan kondisi sosial yang melingkupi Sumarah dalam naskah mau pun 'Sumarah-sumarah lain'.





Pendeknya, naskah ini memiliki kekuatan dari segi sosial. Realitas yang ada diangkat ke dalam naskah dan dipertanyakan. Lebih jauh, bukan hanya soal tragedi 1965 yang dipertanyakan. Tapi juga nasib Manusia Indonesia, manusia yang lahir dan besar dan bernegeri Indonesia yang bernama Sumarah. Sumarah yang di negerinya sendiri 'tidak dianggap ada' sehingga memilih mengais rezeki di luar negeri. Dan celakanya, di luar negeri sebagai TKI nasibnya tak lebih mujur. Sedang di sisi lain, seseorang yang punya kekuasaan dengan enak menjual jatah beras yang seharusnya untuk warganya. Pun jatah beras untuk rakyat itu kualitasnya....

Sumarah Menggugat, kalau saya boleh bilang. Sumarah menggugat ketidakadilan yang menimpa dirinya. Menggugat ketidakadilan yang menimpa 'Sumarah-sumarah lain. Menggugat ketimpangan dan kepincangan di sekelilingnya!

Monolog itu diakhiri dengan adegan Sumarah menikam sesuatu atau seseorang. Sebuah naskah monolog panjang telah berakhir. Meski cukup melelahkan mengikuti tuturan demi tuturan saya merasa puas. Dengan dukungan pencahayaan dan denting petikan gitar yang sesekali mengiringi monolog, menjadikan pentas itu lebih hidup.

Sayangnya waktu jua yang memisahkan. Saya tidak dapat mengikuti pementasan berikutnya karena harus segera pulang. Panggung tengah ditata untuk pementasan selanjutnya ketika kami meninggalkan gedung.

Meski begitu, saya salut pada kegigihan yang telah ditunjukkan oleh Tim Teater US. Pentas di atas panggung adalah buah dari latihan dan kerja keras yang panjang. Dan ini sangat layak diapresiasi. Semoga ke depan Teater US terus menghasilkan karya-karya yang apik.



Senin, 01 Mei 2017

BERKUNJUNG KE CANDI DERMO



Tinggal di sebuah kota yang memiliki sejarah panjang seperti Surabaya memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi Surabaya berdekatan dengan wilayah kerajaan kuno Majapahit yang terletak di Mojokerto, tentu banyak tempat yang bisa dikunjungi.

Siang yang panas di hari minggu. Meski perjalanan menuju Krian-Sidoarjo agak tersendat, pada pukul setengah 12an kami, saya dan seorang kawan lagi, memasuki wilayah Krian. Tujuan kami kali tak lain adalah menengok situs purbakala yang ada di daerah Krian.

Sebagai pewaris kebudayaan, dalam hal ini bolehlah sedikit bergagah-gagah, kami hendak menjelajah situs-situs kuno. Untuk perjalanan pertama tujuan kami tentu yang lokasinya tak jauh dari Surabaya. Krian menjadi pilihan karena kami ingin melihat candi-candi peninggalan Majapahit yang ada di sini.

Tapi mencari sebuah situs candi ternyata agak sulit juga. Kami bertanya beberapa kali mengenai situs di daerah Terung yang merupakan peninggalan Adipati Terung. Namun dari sekian banyak orang yang kami tanya ternyata menunjukkan kepada kami situs candi lain, yaitu 'Candi Goro' (sebutan yang sepertinya diberikan oleh penduduk setempat karena ketika tiba di lokasi candi yang dimaksud bernama Candi Dermo; penamaan 'Candi Goro' mungkin karena candi itu terletak di desa Candinegoro). Entahlah, mungkin kami salah bertanya atau kata 'candi' yang kami gunakan untuk bertanya lebih pas dengan Candi Dermo. Kebetulan pula letak candi itu tidak terlalu jauh dari Terung.

Begitulah kami menuju Candi Dermo. Dalam sebuah perjalanan yang tak formal, sebuah tujuan bisa berubah sesuai dengan situasi terbaru di perjalanan. Meski tak sesuai dengan tujuan semula, perjalanan ini pun layak untuk dicatat karena apa yang kami tuju adalah satu warisan fisik dari kerajaan Majapahit.

Sampai di candi kami mendapati candi itu tengah dalam pemugaran. Tampak balok-balok kayu dipasang untuk pekerja yang melakukan pemugaran. Kami pun berkenalan dengan juru kunci candi yang bernama Pak Hadi. Oranganya ramah dan bersahabat. Kami meminta ijin melihat-lihat keadaan candi terlebih dahulu.

Kami mengelilingi candi yang lokasinya dilindungi dengan pagar kawat di sekeliling. Batu bata dari tanah liat yang dipesan khusus untuk pemugaran bertumpuk di depan pos penjagaan. Di sudut lain terdapat sebuah kamar mandi. Sedang di sisi lain batang-batang bambu tergolek di tanah.

Kami juga memasuki bagian dalam candi. Di dalamnya terdapat ruang kecil berbentuk persegi. Mungkin dulunya digunakan sebagai tempat ritual tertentu sebelum keluar dari gapura. Sedang bagian langit-langitnya merelung tinggi mengikuti struktur bangunan luar. Di bagian dalam tidak nampak ada motif atau pola tertentu seperti relief. Di bagian lantai sepertinya juga masih dalam proses pemugaran.

Kami lalu melanjutkan dengan berbincang dengan Pak Hadi. Dari percakapan dengan Pak Hadi kami mengetahui bahwa Candi Dermo merupakan sebuah gapura. Candi itu terbuat dari batu bata dengan pada bagian bangunan. Sedang di bagian lantai terbuat dari batu. Pintu masuk bagian candi terletak di bagian barat, sedang pintu keluarnya di bagian timur. Beliau juga menyampaikan bahwa pemugaran candi yang terletak di desa Candinegoro kecamatan Wonoayu-Sidoarjo ini sudah mulai dilakukan sejak 2 tahun lalu.







Lelaki yang bertugas menjadi juru kunci candi sejak tahun 2000an ini juga bercerita tentang pemugaran yang dilakukan pada saat zaman kolonial. Dan berbagai kemungkinan yang terjadi selama pemugaran di masa kolonial itu berlangsung. Beliau juga menjelaskan mengenai angka-angka yang tertera pada dinding candi. Angka-angka tersebut rupanya digunakan sebagai identifikasi penomoran susunan batu bata. Dengan begitu apabila ada kerusakan pada dinding nomor sekian, dapat langsung diidentifikasi bentuk dan batu bata yang diperlukan untuk perbaikan.

Saat ini terdapat beberapa arca yang tersimpan di sekeretariat. Dari lokasi candi kami masuk menuju kantor sekretariat yang terletak di depan sebuah mushola. Kantornya kecil dan bersih. Terdapat beberapa meja kerja. Sebuah papan gambar lengkap beserta alat ukur berdiri di pojokan. Dan tiga buah arca yang merupakan bagian dari candi diletakkan di kantor. Dua di antara arca yang ada merupakan hiasan yang terletak di bagian atas pintu gerbang.






Setelah ngobrol dengan Pak Hadi, kami mengelilingi candi sekali lagi. Entah bagaimana caranya supaya kami bisa 'bercakap-cakap' dengan bangunan yang sudah berdiri sejak beberapa abad lalu itu. Kami memilih tempat duduk yang teduh sambil mengamati candi yang tengah dalam pemugaran itu. Mengapa candi itu masih berdiri sampai sekarang mengundang pertanyaan seperti, "aku dibangun berabad lampau dan kini masih tegak untuk menjumpaimu; keindahan apa yang bisa kau gali dariku?"

Setidaknya, pertanyaan itu untuk saya pribadi.

Indonesia sendiri memiliki keragaman warisan budaya. Baik yang berbentuk fisik seperti candi mau pun yang berbentuk cerita seperti misalnya kisah Raden Panji. Warisan kebudayaan ini seharusnya bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi saat ini. Identitas dan kepribadian bangsa tercermin lewat warisan-warisan kebudayaan yang ditinggalkan untuk generasi saat ini.

Akan tetapi semua kembali pada pribadi masing-masing. Apakah kita sebagai generasi saat ini memilih untuk mengunjungi situs-situs kebudayaan dan menggali inspirasi dari sana atau mengunjungi bioskop-bioskop yang menyajikan khayalan berbalut teknologi canggih sebagai pilihan menikmati waktu luang.




Alih-alih ingin mencari hiburan, malah terjerumus menjadi korban industri perfilman. Di satu sisi mungkin kita puas setelah menonton film itu. Adegan-adegan memukau di layar yang didukung dengan sound sistem yang cetar menggelegar memang menghibur. Di sisi lain, partisipasi kita dalam membeli tiket akan dimasukkan dalam sebuah statistik yang mungkin akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa minat penonton pada film tertentu. Kemudian akan dibuat film baru yang lebih hebat, lebih dahsyat, lebih WOW, dengan menghadirkan lawan-lawan yang datang dari luarnya luar angkasa. Dan yang lebih celaka, kita menyumbang keuntungan kepada film yang kita sendiri tidak tahu apa yang hendak dicapai oleh film itu. Maka, saya hendak berkata: "Belum terlambat untuk bergerak!"

Akhirnya, mau tak mau pertemuan dengan Candi Dermo mesti berakhir. Hari beranjak sore dan petang nanti saya hendak menghadiri sebuah pagelaran teater yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Setelah berpamitan dengan Pak Hadi dan rekan-rekan, kami meluncur kembali menuju Surabaya.