Suatu malam di penghujung bulan April. Sebuah grup teater dari perguruan tinggi Universitas Surabaya yang bernama Teater US akan menggelar pertunjukan di gedung Cak Durasim. Pertunjukan itu akan mementaskan dua lakon. Yang pertama Monolog 'Balada Sumarah' karya Tentrem Lestari dan yang kedua 'Beranda Berdinding Kaca' karya August Strindberh. Pementasan itu merupakan puncak acara dari rangkaian kegiatan yang sudah berlangsung sejak bulan Maret yang diselenggarakan dalam rangka dies natalis Universitas Surabaya ke-23.
Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya mendapat undangan untuk menghadirinya. Dan karena tidak ada halangan saya pun hadir di sana, bersama istri dan anak. Lumayan, menghibur diri sambil mengedukasi si kecil lewat pertunjukan kesenian di atas panggung.
Kami tiba di lokasi dalam keadaan gelap gulita. Rupanya listrik di area gedung Cak Durasim sedang mengalami gangguan. Tapi penerangan di dalam gedung tidak terkendala. Meski di bagian registrasi pengunjung tidak seluruhnya lampu menyala namun di dalam lampu penerangan dan AC tetap menyala.
Ketika masuk ke dalam gedung saya merasakan ada perubahan dari terakhir kali saya mengunjungi gedung Cak Durasim yang terletak di jalan Genteng Kali itu. Bagian tempat duduk penonton lebih tinggi dari sebelumnya. Sedang di bagian depan terasa menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Entah apakah di bagian panggung juga ada perubahan.
Kegiatan dimulai oleh dua orang pembawa acara. Kemudian dilanjutkan pembacaan puisi dari naskah yang berasal dari juara pertama lomba cipta puisi yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan ini. Sayang, penyairnya tidak dapat hadir sehingga puisi dibawakan oleh orang lain. Padahal saya paling menantikan puisi juara pertama dibawakan langsung oleh penyairnya. Saya berpendapat, puisi yang dibawakan oleh penyairnya akan menguatkan karakter puisi itu sendiri. Tapi bukan berarti pembacaan puisi yang dilakukan tidak bagus. Hanya saja semestinya dilakukan konfirmasi dengan penyairnya terlebih dahulu perihal pembacaan puisi. Akan tetapi, tim penyelenggara tentu punya pertimbangan tersendiri.
Selanjutnya pentas diisi dengan tarian dari UKM Tari Universitas Surabaya. Tarian ini menampilkan tiga orang penari yang di atas panggung. Ketiga penari tersebut diiringi oleh musik gamelan. Setelah itu yang mendapat giliran tampil di panggung adalah dari teater pelajar. Mereka menampilkan pertunjukkan dengan menggunakan payung sebagai media pendukung yang utama. Setiap gerak dan langkah di atas panggung dari setiap orang mencoba mengeksplorasi imajinasi melalui media payung.
Pentas 'Monolog Balada Sumarah' tampil setelah itu. Dan pentas ini yan bsaya tunggu-tunggu. Saya ingin menyaksikan bagaimana tuturan seorang perempuan bernama 'Sumarah' itu ditampilkan di atas panggung. Sepertinya sangat menarik!
Pentas dimulai dengan menampilkan sosok perempuan yang duduk di atas dingklik di tengah-tengah panggung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat dua buah bingkai yang berdiri dan diletakkan secara simetris. Sedang di belakang terdapat sebuah gambar seperti siluet sosok perempuan dalam bentuk yang simetris pula dengan warna putih di bagian tengah dan warna hitam mengelilinginya. Di bagian tengahnya terdapat tanda silang 'X', mungkin sebagai simbol dari 'suara yang terbungkam'. Mungkin juga simbol yang berkaitan dengan 'leher' karena tanda silang itu terletak di bagian leher. Simbol yang berkaitan dengan, misalnya saja, hukuman mati.
Naskah monolog itu sendiri alur ceritanya bergerak mundur. Dimulai dari pengakuan seorang perempuan atas nasib yang menimpanya di negeri asing, Sumarah mengajak para pendengarnya menyelami masa lalunya. Akan tetapi nyata bahwa masa lalu yang dikisahkannya itu bukan sekedar masa lalu perempuan yang bekerja di negeri asing karena di negeri sendiri begitu sulit mendapatkan pekerjaan. Lebih dari itu, masa lalu Sumarah adalah sejarah kelam negeri ini.
Sumarah dengan gamblang menyampaikan bapaknya yang 'diciduk' akibat tragedi di tahun 1965. Dampak dari 'pencidukan' itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh orang yang 'diciduk' saja, tapi juga kepada orang-orang di sekeliling, dalam hal ini Sumarah sebagai anak. Padahal tak diketahui apakah benar bapak Sumarah terlibat atau tidak dalam tragedi itu.
Di sekolah Sumarah diejek oleh teman-temannya. Di masyarakat dia harus berupaya agar dia mendapat cap 'bersih lingkungan'. Pada bagian ini, naskah monolog hendak mempertanyakan kondisi sosial yang melingkupi Sumarah dalam naskah mau pun 'Sumarah-sumarah lain'.
Pendeknya, naskah ini memiliki kekuatan dari segi sosial. Realitas yang ada diangkat ke dalam naskah dan dipertanyakan. Lebih jauh, bukan hanya soal tragedi 1965 yang dipertanyakan. Tapi juga nasib Manusia Indonesia, manusia yang lahir dan besar dan bernegeri Indonesia yang bernama Sumarah. Sumarah yang di negerinya sendiri 'tidak dianggap ada' sehingga memilih mengais rezeki di luar negeri. Dan celakanya, di luar negeri sebagai TKI nasibnya tak lebih mujur. Sedang di sisi lain, seseorang yang punya kekuasaan dengan enak menjual jatah beras yang seharusnya untuk warganya. Pun jatah beras untuk rakyat itu kualitasnya....
Sumarah Menggugat, kalau saya boleh bilang. Sumarah menggugat ketidakadilan yang menimpa dirinya. Menggugat ketidakadilan yang menimpa 'Sumarah-sumarah lain. Menggugat ketimpangan dan kepincangan di sekelilingnya!
Monolog itu diakhiri dengan adegan Sumarah menikam sesuatu atau seseorang. Sebuah naskah monolog panjang telah berakhir. Meski cukup melelahkan mengikuti tuturan demi tuturan saya merasa puas. Dengan dukungan pencahayaan dan denting petikan gitar yang sesekali mengiringi monolog, menjadikan pentas itu lebih hidup.
Sayangnya waktu jua yang memisahkan. Saya tidak dapat mengikuti pementasan berikutnya karena harus segera pulang. Panggung tengah ditata untuk pementasan selanjutnya ketika kami meninggalkan gedung.
Meski begitu, saya salut pada kegigihan yang telah ditunjukkan oleh Tim Teater US. Pentas di atas panggung adalah buah dari latihan dan kerja keras yang panjang. Dan ini sangat layak diapresiasi. Semoga ke depan Teater US terus menghasilkan karya-karya yang apik.