Oleh : Chandra Krisnawan
siapa yang tak menangis
melihat Jakarta
ia seperti penderita kusta
yang tak boleh mati
juga seperti ratu tak punya
istana
Demikian tulis MdL (baca: Medy Loekito) dalam
salah satu puisinya yang ditulis pada kurun waktu tahun 1996. Petikan puisi di
atas mengungkapkan betapa kota metropolis seperti Jakarta yang bergelimang kemajuan dan pembangunan ternyata seperti penderita kusta. Dan penderita ini tak boleh mati, dia harus hidup demi kelangsungan negara yang
beribu kota padanya dan demi penduduk yang tinggal di dalamnya.

Telaah kali ini akan dibagi kedalam beberapa
sub pembahasan. Sub pembahasan pertama akan menelaah puisi-puisi yang mengungkap tema realitas sosial. Kemudian dilanjutkan dengan sub
pembahasan berikutnya.
Ironisme Kota Jakarta
Jakarta (I)
I
tengah malam
erang kucing mengangkangi
Jakarta yang menjerit
seperti babi tersembelih
II
ketika pagi
bau sampah menggugah selera sarapan
lalu ambisi-ambisi memaksa
jemari menoreh gedung serta rumah-rumah
dengan caci maki
III
lepas maghrib
melongok jendela mesjid di kaca TV
hanya ada sepi
(okt 1996)
Puisi di atas merupakan puisi pertama
berjudul Jakarta. Dalam antologi puisi ini paling tidak terdapat sebanyak
sembilan puisi berjudul Jakarta. Yaitu Jakarta
(I tahun 1996), (II tahun 1996), (III tahun 1996), (IV tahun 1996), (V tahun
1996), (VI tahun 1996), (IX), (X tahun 1997), dan (XI tahun 1997). Nampak
ada penomoran yang tidak komplit. Nomor ke VII dan VIII tidak ada. Mungkin MdL
mengubahnya menjadi judul lain semisal Jakarta,
Senja Hari (tahun 1997), Jakarta dan Gelandangan (tahun 1996) atau Berkatilah Jakarta, Tuhan (tahun 1996).
Diperlukan penelitian terhadap seluruh sajak MdL agar diketahui kemana puisi Jakarta (VII) dan (VIII) berada.
Puisi di atas terbagi menjadi tiga bagian
waktu di mana masing-masing waktu terdiri dari satu bait. Bagian I menggambarkan
Jakarta pada waktu tengah malam. Bagian II menggambarkan Jakarta pada waktu
pagi hari. Sedangkan bagian III menggambarkan Jakarta pada waktu lepas maghrib.
Waktu tengah malam yang digambarkan pada
bagian I cukup jelas pada baris pertama tengah
malam. Frasa ini menyaran pada saat pergantian hari di mana waktu 24 jam nyaris
lewat dan akan masuk pada 24 hari berikutnya. Suasana Jakarta tengah malam ini digambarkan pada baris
kedua dengan metafora erang kucing
mengangkangi. Suasana malam telah demikian sepi hingga suara yang hadir
pada waktu ini adalah suara yang nyaris tidak diperhatikan pada siang hari
seperti suara erang kucing. Bisa jadi
frasa erang kucing dipilih dalam
puisi ini untuk mengganti lambang gonggong
anjing yang banyak menyaran pada situasi larut malam, seperti pada puisi
yang berjudul Elegi misalnya.
Frasa erang
kucing sendiri menyaran pada keadaan atau aktifitas kucing. Mungkin kucing itu
merasa lapar sehingga mengerang. Mungkin kucing
itu hendak bergelut dengan kucing lain. Atau mungkin juga kucing itu merasa birahi. Keadaan si kucing digambarkan dengan kata mengangkangi. Kata ini menyiratkan
adanya kuasa pada kucing untuk
melakukan sesuatu yang ditandai pada kata kerja mengangkangi. Penggunaan imbuhan me-i pada kata itu menunjukkan adanya relasi kekuasaan pada objek
yang dihadapi kucing. Siapa yang dikangkangi oleh erang kucing?
Jawabannya terletak pada baris ketiga, yaitu Jakarta yang menjerit. Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan
ternyata berada dalam kuasa kucing.
Dalam hubungannya itu Jakarta menjadi
objek yang dikangkangi oleh kucing. Jakarta tidak memiliki kuasa sehingga hanya bisa menjerit. Rupanya di balik suara erang kucing tersirat suara yang lebih
pilu pada tengah malam yaitu suara Jakarta yang menjerit. Jeritan ini
terasa memilukan karena diperbandingkan dengan jeritan babi tersembelih. Bagi kita yang pernah mendengarkan jeritan babi tersembelih tentu akan tahu betapa
memilukannya jeritan itu. Lalu apa makna Jakarta
pada bagian pertama puisi ini?
Masih terasa samar simbol apa yang diwakili
oleh Jakarta pada bagian pertama ini.
Mungkin kesepian dan kesunyian. Mungkin juga hingar bingar kehidupan malam
Jakarta yang beranjak pudar. Yang pasti simbol yang diwakili oleh Jakarta ini berada dalam relasi pasif
subjek yang dikangkangi oleh subjek
lain.
Bagian kedua menggambarkan suasana ketika pagi seperti diungkapkan pada
baris pertama. Baris ini sekaligus menggambarkan peralihan waktu dari tengah malam pada bagian sebelumnya
menjadi ketika pagi di mana aktifitas
atau kegiatan pada sebuah hari dimulai. Berbeda dengan bagian pertama yang
penuh dengan nuansa bunyi, bagian kedua ini terdapat nuansa suara dan aroma
sekaligus. Nuansa aroma ditunjukkan pada baris kedua bau sampah menggugah selera sarapan.
Rupanya pagi di Jakarta dimulai dengan menyeruaknya bau sampah di lingkungan rumah aku lirik (mungkin juga di
tengah-tengah meja makannya). Bau sampah
ini mungkin timbul dari aktifitas tukang sampah perumahan yang harus mengangkut
sampah dari bak ke gerobaknya. Aktifitas ini merupakan aktifitas khas
perkotaan. Di desa tempat pembuangan sampah umumnya berada pekarangan belakang
rumah yang digali tanahnya. Bau sampah di sana tidak mengganggu karena sampah
jauh dari rumah dan tidak dibongkar yang mana dapat menyebabkan bau sampah menyebar.
Meski begitu bau sampah justru digambarkan menggugah
selera makan. Aktifitas rutin pengangkutan sampah setiap pagi bersama
aromanya ini mungkin telah begitu akrab bagi si aku lirik sehingga dia
memandangnya dengan cukup ironis melalui penggunaan frasa menggugah selera sarapan.
Pada baris ketiga diungkapkan lalu ambisi-ambisi memaksa. Pada baris
ini terdapat subjek ambisi-ambisi
yang berpasangan dengan kata kerja memaksa.
Mengenai siapa yang dipaksa oleh ambisi-ambisi
terungkap pada baris ketiga jemari
menoreh gedung serta rumah-rumah. Rupanya objek dari ambisi-ambisi adalah jemari. Baris keempat ini memiliki keterkaitan
yang erat dengan baris sebelumnya di mana jemari
dipaksa melakukan aktifitas menoreh.
Aktifitas jemari serupa ini dapat
kita temukan pula pada puisi yang berjudul Saat
Duka. Nuansanya pun hampir sama, yaitu
menorehkan amarah dan kebencian sementara
puisi di atas menoreh dengan caci maki.
Adapun yang menjadi objek torehan itu
adalah gedung serta rumah-rumah.
Mungkin dapat diajukan pertanyaan: ambisi-ambisi siapa, dan kenapa gedung serta rumah-rumah menjadi korban caci maki? Pada puisi di atas tidak
nampak adanya hubungan si aku lirik dengan yang lain. Maka ambisi-ambisi dapat dipahami sebagai milik si aku lirik. Begitu
juga dengan jemari dan caci maki, merupakan aktifitas yang
dilakukan oleh si aku lirik sebagai akibat dari suasana bau sampah menggugah selera.
Mungkin dari gedung serta rumah-rumah itulah
bau sampah berasal, yang mana menyebabkan si aku lirik menoreh caci maki.
Bisa jadi ada makna lain yang tersembunyi
pada bagian kedua puisi di atas. Kata ambisi
yang digunakan pada baris ketiga dapat menyaran pada keinginan manusia dalam
menggapai sesuatu. Keinginan itu begitu kuat dan angkuh sehingga berubah
menjadi ambisi. Mungkin ambisi di sini bermakna keinginan untuk
hidup bersih sebagai kebalikan dari baris kedua. Kehidupan seperti baris kedua
ditemui oleh si aku lirik selama berada di Jakarta. Kehidupan serupa inilah
yang dicaci maki oleh si aku lirik. Frasa
gedung serta rumah-rumah bisa menjadi
simbol sebagai bagian dari kota Jakarta. Makna ambisi-ambisi akan terungkap pada puisi-puisi berikutnya.
Pada bagian ketiga menggambarkan tengah
berlangsungnya waktu sebagaimana diungkap pada baris pertamanya yaitu lepas maghrib. Waktu ini menyaran pada
usainya jam kerja atau usainya aktifitas kerja. Juga menyaran pada salah satu
waktu ibadah umat muslim, maghrib.
Akan tetapi jam kerja yang telah usai dan tibanya saat ibadah itu ternyata
tidak membuat manusia kembali kepada ibadahnya. Hal itu terungkap pada baris
kedua melongok jendela mesjid di kaca TV.
Baris kedua ini menunjukkan aktifitas yang
tengah dilakukan oleh si aku lirik, yaitu melongok.
Adapun yang dilongok adalah jendela mesjid di kaca TV. Hal ini
menyiratkan sebuah tempat di belahan bumi lain yaitu sebuah mesjid yang merupakan tempat ibadah bagi
umat muslim. Seperti apa suasana mesjid itu
terungkap pada baris ketiga yang hanya
ada sepi.
Mesjid
sebagai tempat ibadah dan lepas maghrib
sebagai salah satu waktu untuk beribadah rupanya menyajikan sepi bagi si aku
lirik. Mungkin si aku lirik dalam bagian ketiga puisi ini hendak mengungkapkan
betapa sepi mesjid yang ditinggalkan oleh umatnya karena terbelit rutinitas
yang menyibukkan. Rutinitas itu, sebagai bagian tak terpisahkan dari kota
metropolitan seperti Jakarta,
menyebabkan manusia lupa akan haknya untuk turut meramaikan mesjid.
Jakarta (II)
aku pernah rindu sekali
belaian gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang
serta kabel-kabel telepon
juga desah klakson mobil, kucing sekarat
serta sumpah serapah
namun tiap kali ‘ku tiba di peluknya
tak lagi ada waktu buat berbagi rindu
kerna aku mesti menyusut air-matanya
yang membusuk di tong-tong sampah
dan menyuapi mulutnya
yang senantiasa selapar anak kutilang
(nop 1996)
Puisi di atas merupakan puisi kedua yang
berjudul Jakarta, terdiri dari satu
bait dan sebelas baris. Pada baris pertama si aku lirik mengungkapkan
perasaannya pada Jakarta dengan larik
yang berbunyi aku pernah rindu sekali.
Baris ini mengungkapkan aku lirik secara utuh dengan penggunaan kata ganti aku. Pengungkapan secara utuh ini
menguatkan suasana batin aku lirik yang pernah
rindu sekali.
Kerianduan aku lirik terletak pada baris
kedua, ketiga, keempat, dan kelima yang mana pada baris-baris itu menggambarkan
suasana perabadan kota metropolitan. Pada baris kedua misalnya belaian gedung-gedung tinggi, jalan-jalan
layang. Infrastruktur seperti gedung
tinggi dan jalan layang hanya
mungkin ditemui di sebuah kota metropolitan. Dalam hal ini Jakarta dimaknai melalui keberadaan infrastruktur fisik yang
mendukung mobilitas dan perekonomian sebuah ibu kota.
Baris ketiga masih menunjukkan infrastruktur
fisik lain yaitu serta kabel-kabel
telepon. Selain mobilitas, dukungan komunikasi juga menjadi bagian dari ibu
kota. kabel-kabel telpon yang
menjalar di jalan-jalan ibu kota tak luput dari kerinduan aku lirik. selain
itu penggunaan kata sambung serta menunjukkan adanya hubungan yang
erat dengan baris kedua, yaitu penunjukkan pada benda-benda konkret yang
melekat menjadi bagian ibu kota.
Baris keempat menunjukkan nuansa lain yang
dirindu aku lirik, yaitu juga desah
klakson mobil, kucing sekarat. Pada baris ini bayangan yang dirindu aku lirik
bergerak dari dunia benda ke dunia suara yang diwakili dengan penggunaan kata desah oleh klakson dan kucing.
Proses perpindahan dari dunia benda ke dunia suara ditandai dengan penggunaan
kata juga pada awal baris. Penggunaan
kata juga menyaran pada pengertian
bahwa ada sesuatu yang lain selain yang sudah disebut sebelumnya.
Pada baris ini frasa yang yang dipisahkan
oleh tanda baca koma ‘,’, yaitu desah
klakson mobil dengan kucing sekarat.
Ada hubungan apa antara kedua frasa itu? Telah disebutkan bahwa pada baris
keempat nuansa yang dihadapi aku lirik bergerak dari dunia benda ke dunia
suara; bukankah kucing sekarat masih
merujuk pada dunia benda? Kita bisa keliru juga menganggap frasa kucing sekarat sebagai tanda dari dunia
benda. Kucing sekarat harus dipahami
sebagai tanda dari dunia suara. Dalam hal ini kita harus merujuk pada puisi
lain yang juga menampilkan kata kucing,
yaitu pada puisi berjudul Jakarta I yaitu
pada baris kedua bagian pertama erang
kucing.
Dalam hubungan makna kedua kucing itu memang terlibat dalam
aktifitas yang berbeda di mana yang satu mengangkangi
sedang yang lain sekarat. Akan tetapi
nuansa suara yang coba dihadirkan dalam puisi Jakarta II memiliki hubungan makna yang dekat dengan erang. Dengan kata lain, kucing sekarat yang ada pada puisi Jakarta II menyaran pada erangannya dan
bukan pada konsep yang bersifat benda.
Selain dalam hubungannya dengan nuansa suara
yang hendak dibangun si aku lirik, kondisi Jakarta yang padat dengan
lalu-lalang kendaraan memungkinkan pemaknaan erang. Mungkin sebuah mobil lewat menabrak kucing. Fenomena seekor
kucing yang tiba-tiba menyeberang di jalan merupakan fenomena yang sangat mungkin ditemui di
jalanan dengan lalu lintas yang padat. Atau dalam keremangan malam di mana
lalu-lalang telah sepi dan kucing-kucing berkeliaran di jalan, lalu sebuah
mobil lewat tanpa memperhatikan kucing yang sedang melintas jalan.
Dalam khasanah puisi Indonesia fenomena
serupa ini dapat kita temui pada puisi Toeti Heraty yang berjudul Terbangun. Pada bait kedua baris kedua
sajak ini menggambarkan fenomena serupa, hewan yang tertabrak, meski objek yang
digunakan berbeda: anjing baru tergilas
mobil tetangga. Meski dalam puisi Terbangun
Toeti Heraty memiliki perbedaan makna dengan puisi Jakarta II MdL namun realitas serupa ini telah diangkat ke dalam
dunia puisi. Realitas yang hampir sama itulah yang hendak diungkap dalam
hubungannya dengan frasa kucing sekarat.
Baris kelima masih menyaran pada nuansa
suara. Pada baris ini diungkap serta
sumpah serapah. Penggunaan kata serta
menunjukkan adanya hubungan makna dengan baris sebelumnya, yaitu adanya sesuatu
yang sama atau yang serupa dengan yang sudah disebutkan sebelumnya. Kesamaan
itu masih terletak pada nuansa suara yang diungkap lewat frasa sumpah serapah, yaitu salah satu bentuk ucapan
yang digunakan oleh manusia dalam keadaan tertentu, merasa jengkel misalnya.
Sebagai bentuk ucapan frasa sumpah serapah cenderung bersifat
negatif. Frasa ini menunjukkan adanya hubungan subjek yang tidak harmonis
dengan lingkungannya. Satu subjek mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan pada subjek lain, atau pada sekian
banyak orang yang dalam bahasa Iwan Simatupang yang berarti: tak seorang pun. Mungkin
juga diucapkan pada keadaan yang terasa begitu menghimpit subjek. Tapi mungkin
makna yang lebih dekat terletak pada hubungannya dengan frasa desah klakson mobil. Pengendara yang
saling berlomba tak mau mengalah sehingga menyebabkan terjadinya singgunan yang
dapat memicu ucapan sumpah serapah.Begitu juga jika seekor kucing terlindas.
Dari keempat baris di atas, yaitu baris kedua
hingga kelima terungkap keadaan kota Jakarta. Pada baris kedua dan ketiga
menunjukkan betapa Jakarta begitu padat dengan bangunan yang menjulang dari
tanah. Sedang pada baris keempat dan kelima menunjukkan betapa bisingnya kota
Jakarta. Rupa-rupanya realitas seperti inilah yang oleh si aku lirik pernah rindu sekali.
Kerinduan si aku lirik itu diungkapkan dengan
rapi. Mulai penataan baris di mana dua baris menggambarkan nuansa benda.
Sedangkan dua baris lain menggambarkan nuansa suara. Juga penggunaan tanda baca
koma ‘,’ untuk memisahkan frasa berbeda pada pada baris awal penggambaran
nuansa benda dan suara. Begitu juga penggunaan kata serta untuk menunjukkan adanya sesuatu lain yang sama atau serupa
dari yang sudah disebutkan. Seolah-olah baris kedua-ketiga dengan baris
keempat-kelima memiliki kekembaran makna. Kalau kita ingat pembahasan puisi
yang berjudul Lawatan penyusunan
topograsi demikian seperti disengaja untuk menciptakan efek puitik tertentu,
yang dalam puisi ini adalah hal-hal yang oleh si aku lirik membuatnya merasa rindu.
Setelah dibawa dalam suasana kerinduan,
tiba-tiba pada baris keenam si aku lirik mengungkapkan situasi yang berlawanan
dengan kerinduannya dengan berkata namun
tiap kali ‘ku tiba di peluknya. Penggunaan kata namun pada baris ini menunjukkan adanya unsur yang saling
bertentangan atau berlawanan. Pertentangan itu terletak pada situasi yang
dihadapi aku lirik yang terungkap lewat baris berikutnya tak ada lagi waktu buat berbagi rindu.
Subjek yang merasa rindu tentu bercengkrama
dengan sesuatu yang dirinduinya itu ketika sesuatu itu tiba di pelukan. Akan tetapi yang terjadi pada si aku lirik dalam
puisi ini adalah sebaliknya. Justru ketika aku lirik tiba di peluknya dia malah kehilangan waktu buat berbagi rindu. Seolah sia-sia saja tiba di peluknya karena pada akhirnya tak bisa berbagi. Kegelisahan si aku lirik akan kesia-siaan itu terungkap
pula lewat enjabemen yang kuat pada baris keenam dan ketujuh. Enjabemen ini
juga nampak pada baris selanjutnya. Seolah-olah pada titik ini hanya kerinduan
aku lirik telah digantikan oleh kegelisahan. Bentuk-bentuk seperti pada baris-baris sebelumnya kehilangan keteraturannya.
Pada baris kedelapan terungkap sebab yang
menjadi sumber kegelisahannya kerna aku
mesti menyusut air-matanya. Penggunaan kata kerna pada awal baris ini menyiratkan adanya argumen atau alasan
atau pernyataan yang harus diungkap (pada diri si aku lirik sendiri atau pun
kepada pembacanya) yang menyebabkannya tak
sempat.
Pada baris kedelapan ini terdapat hubungan interaksional
antara aku lirik dengan subjek lain yang diwakili dengan kata ganti –nya. Siapakah –nya yang oleh aku lirik disusut
air matanya itu? Siapakah –nya
yang menyebabkan aku lirik tak ada lagi
waktu buat berbagi rindu itu? Jawab: Jakarta.
Sebagaimana yang terungkap pada baris keenam.
Baris kedelapan mengungkapkan sisi lain Jakarta yang berbeda dari yang sudah
disebutkan pada baris-baris sebelumnya. Pada baris ini Jakarta dianalogikan dengan manusia (atau hewan) yang memiliki
kemampuan mengalirkan air mata. Air mata inilah yang menjadi objek dari
aktifitas yang dilakukan oleh aku lirik, yaitu menyusut. Aktifitas ini pula yang menyebabkan aku lirik tak ada lagi waktu. Mengapa aktifitas
itu dapat menyebabkan aku lirik tak ada
lagi waktu buat berbagi rindu?
Baris kedepalan memiliki hubungan yang erat
dengan baris berikutnya, yang membusuk di
tong-tong sampah. Pada baris
kesembilan ada pemunculan nuansa indra penciuman yang diwakili dengan kata
kerja membusuk yang diikuti dengan
keterangan di tong-tong sampah. Kata membusuk sendiri mengandaikan suatu
proses alamiah dari keadaan yang semula baik menjadi rusak, seperti pada proses
pembusukan buah misalnya. Biasanya proses membusuk
ini dialami atau berlangsung pada benda-benda yang dapat diurai oleh tanah
(dalam waktu yang relatif singkat).
Akan tetapi yang mengalami pembusukan pada baris ini adalah air matanya. Air mata yang merupakan
bagian dari proses tangis atau kesedihan rupanya bertempat di tong-tong sampah, tempat di mana
benda-benda yang tak berguna atau tak terpakai dibuang. Entah mana yang lebih
dulu: membusuk sehingga dibuang di tong-tong sampah atau dibuang di tong-tong sampah yang menyebabkannya membusuk. Pastinya kesedihan Jakarta tidak bukan sesuatu yang berarti
sehingga dia mesti dibuang di tong-tong
sampah. Bisa juga, kesedihan Jakarta
membusuk sehingga dia harus dibuang di tong-tong
sampah.
Jika mengacu pada puisi ini, sesuatu yang membusuk itu memiliki hubungan makna
dengan frasa kucing sekarat pada
baris keempat dan sumpah serapah pada
baris kelima. Kucing sekarat pada
akhirnya akan mati dan membusuk di
tong-tong sampah jika tak seorang pun sudi menguburkannya. Pernahkah kita
temui fenomena serupa ini? Begitu juga dengan sumpah serapah yang didengar oleh telinga, akan membusuk dan terbuang ke dalam tong-tong sampah di dalam dada bercampur
endapan caci maki yang diterima. Begitu juga dengan frasa desah klakson. Sebab frasa ini memiliki hubungan makna yang hampir
sama dengan frasa sumpah serapah.
Pengendara yang tak sabar sangat mudah membunyikan klakson pada pengendara lain di depannya. Atau apa pun yang terjadi
di jalan raya di mana satu pengendara dengan pengendara lain saling
bersinggungan. Bedanya satu disampaikan lewat mulut sedangkan satunya lagi
diteriakkan lewat klakson.
Begitu juga dengan frasa gedung-gedung tinggi, jalan-jalan layang/serta kabel-kabel telepon,
pada akhirnya akan membusuk dan
terbuang. Keberadaannya akan digantikan oleh yang baru. Sebab Jakarta selapar anak kutilang yang tak henti-hentinya membangun gedung-gedung, jalan-jalan, atau kabel-kabel
baru atau Jakarta akan mati
kelaparan.
Pada baris kesepuluh diungkap sisi lain dari Jakarta dengan larik yang berbunyi dan menyuapi mulutnya. Setelah pada
baris sebelumnya Jakarta digambarkan
memiliki bagian tubuh serupa manusia yang dapat mengucurkan air mata kini diungkap juga bagian tubuh
lain dari Jakarta, yaitu mulutnya. Rupa-rupanya pada baris ini
terdapat aktifitas lain yang dilakukan oleh aku lirik terhadap Jakarta yaitu menyuapi. Kata menyuapi
ini menyaran pada pengertian memberi makan pada seseorang yang belum mampu
(pada anak-anak) atau tak dapat menggunakan tangannya untuk makan.
Setelah terungkap bahwa Jakarta dianalogikan dengan sosok manusia, pada baris ini dapat
dipertanyakan: Jakarta adalah bocah, atau seorang tua renta? Atau si
sakit yang tak boleh mati seperti
pada puisi Mdl yang berjudul Berkatilah
Jakarta, Tuhan? Pada dua aktifitas yang dilakukan oleh aku lirik
menunjukkan sifat pasif Jakarta yang
menjadi objek dari kata menyusut dan menyuapi. Meski tersirat sifat yang
aktif seperti pada frasa air-matanya
di mana Jakarta menangis, akan tetapi bentuk aktif ini tidak
terungkap secara penuh. Akan tetapi sebagai penggambaran bahwa Jakarta tengah dianalogikan dengan
manusia. Lalu: seperti apakah sosoknya yang pasif itu?
Sebelum menjawabnya perlu ditelusuri terlebih
dahulu baris berikutnya, yang senantiasa
selapar anak kutilang. Baris ini memiliki hubungan yang erat dengan baris
sebelumnya, di mana frasa senantisa
selapar mengacu langsung pada kata
mulutnya yang terdapat pada baris sebelumnya. Hal itu juga ditunjukkan
dengan penggunaan kata penggunaan kata yang
di awal baris. Sedangkan penggunaan kata senantiansa
menunjukan adanya sesuatu yang berulang-ulang terjadi, yaitu selapar. Kata selapar pada itu sendiri merupakan perbandingan dari kata mulutnya. Dengan kata lain mulut yang terdapat pada baris kesepuluh
diperbandingkan dengan selapar anak
kutilang.
Sekarang insaf sudah mengapa aku lirik tak lagi ada waktu buat berbagi rindu.
Rupa-rupanya aku lirik terlalu ‘sibuk’ mengurus jakarta yang yang membusuk dan lapar. Jakarta yang pernah dirindukannya lewat pemandangan bangunan
dan kebisingan ternyata tak memberinya waktu untuk bercengkrama. Sebaliknya si
aku lirik malah harus ‘merawat’ Jakarta.
Jakarta (III)
dalam belantara asap polusi
kita saling menatap tanpa melihat
meraba tanpa bisa menjamah
dan tiap kali pembicaraan saling dipekikkan
tiada berita yang pernah sampai
sebab suara-suara terpantul dan terlempar pada
debu-debu
kembali ‘penuhi kepala sendiri
hingga tinggal angan-angan kosong belaka
Jika pada dua puisi sebelumnya
cenderung mengungkap lingkungan atau dunia benda, baik konkret (seperti gedung)
atau pun abstrak (seperti bunyi atau bau), pada puisi Jakarta (III) aku lirik cenderung mengungkap hubungan transaksional
antar personal. Bisa saja hubungan transaksional itu berlangsung antara aku
lirik dengan subjek lain. Bisa juga antara satu subjek dengan subjek lain dalam
pengamatan si aku lirik.
Meski demikian puisi berjudul Jakarta (III) tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari dua puisi sebelumnya. Sebab nuansa Jakarta yang menjerit, ambisi-ambisi,
atau sumpah serapah mendapat
bentuk yang lebih konkret dalam puisi Jakarta
(III).
Baris pertama dalam belantara asap polusi menunjukkan situasi atau tempat di mana
aku lirik tengah berada. Jakarta yang
padat dengan kendaraan bermotor, dan mungkin juga pabrik-pabriknya, digambarkan
sebagai belantara asap polusi. Kata
belantara umumnya digunakan berpasangan dengan kata hutan atau rimba untuk
pengertian keluasan dan ketebalan vegetasinya.
Akan tetapi pada baris pertama ini kata
tersebut berpasangan dengan asap polusi.
Kata asap yang berpasangan dengan polusi di sini menyaran pada pengertian
gas buangan yang dihasilkan oleh mesin tertentu seperti mesin kendaraan
misalnya, atau mesin produksi di pabrik. Penggunaan kata polusi juga menunjukkan bahwa asap
tersebut meracuni. Udara yang bersih dan segar telah tercemar, dan dalam skala
yang luas dan pekat sebagaimana terungkap dalam kata belantara. Dalam situasi seperti inilah aku lirik tengah berada.
Pada baris kedua disebutkan kita saling menatap tanpa melihat. Rupa-rupanya
aku lirik tidak berada sendirian dalam situasi yang digambarkan pada baris
pertama. Bersama aku-aku lain aku lirik berada dalam situasi itu. Penggunaan
kata kita untuk menyebut diri aku
lirik dan diri yang lain menunjukkan betapa ‘seharusnya’ mereka itu dekat.
Penggunaan kata kita untuk menyebut
aku dengan kau atau aku dengan kalian atau aku dengan kalian seharusnya
meniadakan jarak antara aku dengan mereka. Sebab aku dengan kau atau kalian
telah berada dalam satu komuni ‘kita’.
Akan tetapi kedekatan hubungan itu ternyata
hanya kulitnya saja. Aku dengan kalian didekatkan oleh ruang yang sama: belantara asap polusi. Aku dengan kalian
dekat karena bisa saling menatap.
Antara tubuhmu dengan tubuh kalian tidak terpisah jarak sehingga biji mataku
bisa menatap biji mata kalian. Tapi
ternyata cukup hanya itu yang terjadi. Sebab menatap tanpa melihat tidak memiliki banyak arti, baik bagi yang
ditatap mau pun yang menatap.
Menatap
sebagai salah satu bentuk dari melihat
kehilangan arti sepenuhnya. Mungkin bagi yang menatap berarti ‘oh, ada orang lain di sana, di jalan yang hendak
kulalui’. Mungkin juga bagi yang ditatap berarti ‘oh, ada orang yang akan
lewat’ tanpa ada minat untuk menyelami diri orang yang ditatap. Fenomena serupa
inilah yang coba diungkap dalam puisi ini. Hubungan antar manusia yang
semestinya harmonis menjadi kaku dan dingin di belantara asap polusi.
Pada baris ketiga meraba tanpa bisa menjamah aku lirik mengungkapkan hal senada dalam
nuansa yang berbeda. Jika pada baris sebelumnya indra yang digunakan untuk
mengetahui keberadaan aku-lain adalah mata, pada baris ketiga ini indra yang
digunakan adalah tangan atau kulit. Hal itu diwakili dengan kata kerja meraba yang memiliki hubungan makna yang
kuat dengan aktifitas yang dilakukan oleh tangan. Seperti pada baris
sebelumnya, pada baris ini ada kata pengingkaran ‘tanpa’ yang menyaran pada
kebalikan atau pertentangan dari makna yang diungkap sebelumnya.
Baris keempat dan tiap kali pembicaraan saling dipekikkan mengungkap nuansa indra
yang berbeda, yaitu pembicaraan yang
terucap untuk didengar oleh indra pendengaran. Pada hakikatnya berbicara pada
individu lain dimaksudkan untuk menjalin dialog. Dengan begitu pesan yang
hendak disampaikan oleh individu yang berbicara dapat diterima dan direspon
oleh pendengar atau penerima pesan. Dialog ini mengandaikan hubungan dua arah
di mana pihak satu harus bersedia mendengar pihak lain, begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi pada baris ini ada momen tertentu
di mana pembicaraan saling dipekikkan.
Kata-kata disampaikan dengan nada tinggi dalam sebuah situasi yang terjadi
tidak hanya sekali tapi berulang kali. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan
frasa tiap kali yang menyaran pada
pengulangan peristiwa pada waktu yang berbeda. Mengapa harus dipekikkan? Adanya nada tinggi dalam pembicaraan ini menunjukkan transaksi
bahasa yang searah, yaitu dari si pembicara
saja. Siapakah si pembicara ini;
apakah dia atasan yang memberi perintah pada bawahannya, atau pekikkan kernet dan kondektur bus kota
kepada khalayak ramai di terminal?Atau sumpah serapah seseorang?
Akibat dari pekikkan itu terdapat pada baris kelima tiada berita yang pernah sampai. Baris keempat ini seolah menjadi
kunci untuk memahami puisi ini. Dalam sebuah interaksi antar individu hampir
dipastikan terjadi tukar informasi atau berita. Lewat tatapan mata misalnya,
individu bisa mengabarkan keadaan tertentu dalam dirinya. Mungkin yang hendak
dikabarkannya melalui tatapan itu adalah keinginan untuk bercakap, atau sekedar
untuk menunjukkan bahwa individu yang ditatap tidaklah berada sendirian. Atau
bisa juga lewat sentuhan seseorang hendak berkabar bahwa dia turut merasakan
penderitaan atau duka dari individu yang disentuh itu. Atau bisa juga lewat
kata-kata.
Akan tetapi tatapan, rabaan dan wicara yang bisa mengandung berbagai
kabar itu ternyata kehilangan arti yang sesungguhnya. Lebih tegas lagi diungkap
pada baris keenam sebab suara-suara
terpantul dan terlempar pada/debu-debu.
Pembicaraan yang dipekikkan bukannya
diterima oleh si pendengar tetapi malah terpantul
dan terlempar. Telinga si pendengar mungkin menganggapnya sebagai omelan
atau makian karena kata pekik dalam
baris keempat memiliki konotasi yang negatif, bukan sebagai informasi tentang
sesuatu. Maka apa yang didengar itu serupa debu
yang terbang terbawa angin lalu. Sebagaimana terungkap pada baris ketujuh debu-debu.
Baris kutujuh puisi ini menunjukkan kontras
tersendiri. Dibandingkan dengan baris-baris yang lain baris ini terbilang
pendek, hanya terdiri dari pengulangan kata debu
yang menunjukkan kejamakannya. Mengapa kontras ini dimunculkan? Apakah karena
terlalu panjang jika disertakan pada baris sebelumnya atau sesudahnya? Atau
adakah maksud lain yang harus dicari maknanya?
Seperti juga asap polusi, keberadaan debu-debu
juga dapat mengganggu kejernihan udara jika kebetulan angin menerbangkannya.
Bedanya yang satu bersifat merusak karena merupakan gas buangan dari suatu
konsentrasi kimiawi tertentu. Sedangkan yang lain tidak karena merupakan bagian
dari alam. Selain itu keberadaan debu-debu
pada puisi ini digambarkan diam atau tidak sedang bergerak. Keberadaannya lebih
menunjuk pada sebuah tempat yang kering. Tempat di mana pekikkan terlempar. Di
manakah tempat itu? Hati yang gersangkah?
Baris kedelapan kembali ‘penuhi kepala sendiri menyaran adanya tempat lain yang
berbeda dari debu-debu. Kata kembali yang digunakan menunjukkan ada
proses perpindahan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan dari
apa? Jawab: dari pekikkan. Kata-kata
bernada tinggi yang semula ditujukan pada subjek lain atau kawan bicara lain
tidak diterima beritanya. Malah
kata-kata itu terpantul dan terlempar.
Pada baris ini berita yang hendak
disampaikan kembali kepada si
pengirim berita tadi. Hal itu ditunjukkan dengan frasa ‘penuhi kepala sendiri. Jadi berita
yang mestinya diterima di kepala pendengar malah balik mengarah kepada kepala sendiri. Bahkan yang kembali itu
digambarkan dengan kata kerja ‘penuhi,
seolah-olah yang kembali lebih banyak
dari apa yang sudah dipekikkan.
Fenomena psikologis seperti ini kerap
berlangsung pada seseorang yang marah kepada orang lain. Kata-kata bernada
tinggi yang dipekikkan kepada orang
yang dimarahi terpantul dan terlempar kembali
pada orang yang memarahi. Bahkan kembalinya itu menyesakkan bagi yang memarahi.
Sebab amarah yang menguras banyak energi tidak memperbaiki sesuatu yang
membuatnya marah tapi malah membuat semakin marah. Ini yang mungkin terjadi
jika satu orang memarahi orang lain yang berada dalam sub-ordinat orang yang
dimarahi. Tapi bagaimana jika yang terjadi adalah: dua orang sama-sama
mengeluarkan kata-kata bertensi tinggi?
Nampaknya puisi di atas lebih dekat pada
fenomena serupa ini. Kata saling yang
digunakan menunjukkan adanya dua orang atau lebih yang berbicara saling dipekikkan. Lebih awal lagi juga
dijumpai kata saling pada baris
kedua. Jadi puisi ini memang sedang menggambarkan hubungan antar manusia satu
dengan manusia lain. Dalam pandangan eksistensialisme keberadaan aku selalu
mengandaikan keberadaan aku yang lain. Sebab aku ada karena aku dipandang
sebagai aku yang lain oleh aku yang lain itu. Begitu juga keberadaan aku yang
lain hanya mungkin jika aku mengakui keberadaannya sebagai aku yang lain. Tapi
bagaimana jika yang terjadi hanya ‘pengakuan’ saja?
Pada puisi di atas meski yang nampak terpantul dan terlempar kembali hanyalah
suara-suara yang hendak ber-berita mau tak mau aktifitas menatap dan meraba kembali juga
kepada pelaku aktifitas itu. Dunia indra yang hadir pada puisi di atas tak
dapat menjangkau keberadaan aku yang lain. Sebab aku yang lain pun tak dapat
menjangkau aku. Pengakuan kepada aku yang lain memang harus diberi arti. Dengan
begitu lengkaplah keberadaan aku yang lain bagiku. Sebaliknya, jika yang
terjadi hanyalah menatap tanpa melihat dan
meraba tanpa bisa menjamah dapatlah
dikatakan: alangkah kesepiannya manusia!
Sepertinya itulah yang hendak diungkapkan
dalam puisi di atas. Baris terakhir hingga
tinggal angan-angan kosong belaka menunjukkan betapa sia-sianya usaha yang
telah dilakukan. Frasa tinggal
angan-angan menunjukkan betapa sesuatu yang diharapkan ternyata tidak
terwujud. Apalagi diikuti dengan frasa selanjutnya kosong belaka yang menunjukkan dalam kesia-siaan usaha yang sudah
dilakukan. Padahal Jakarta yang menjadi judul puisi adalah tempat tinggal bagi ribuan
penduduknya. Tak dapat dibayangkan tempat yang begitu pada dan ramai itu
ternyata bagi si aku lirik sepi.
Lalu bagaimana memaknai debu-debu? Debu-debu
menjadi semacam tong-tong sampah dari
segala keinginan untuk berkomunikasi dengan manusia lain sebelum akhirnya kembali ‘penuhi kepala sendiri. Berbeda
dengan tong-tong sampah, sebuah
tempat yang ditunjuk dengan debu-debu
menyaran pada pengertian yang kering. Tempat di mana tidak ada air di tanah
untuk mengikat debu. Bisa dikatakan juga bahwa di sana tidak akan tumbuh
sesuatu. Benih komunikasi yang terpantul
dan terlempar akan mati di tempat kering, menjelma menjadi angan-angan kosong belaka.
Jakarta (IV)
berjuta kenangan terbantai setiap hari di sini
tak guna mencari hari-hari silam
kawan lamapun tak juga ‘jumpa
meski iklan telah terpasang
di setiap pojok restoran, bis kota dan sandal
manusia-manusia asing
Membaca puisi di atas terasa ada perubahan
yang kentara dalam diri si aku lirik di masa ini. Kalau ditinjau lagi
pembahasan bagian pertama tulisan ini yang berjudul kegelisahan aku liris Dalam
antologi puisi “jakarta, senja hari” medy loekito (Bagian pertama) yang
menelaah puisi-puisi pada kurun waktu tahun 1984 s/d 19945 si aku lirik merasa
‘nyaman’ dengan masa lalu seperti pada puisi berjudul Lawatan dengan lariknya yang
seindah musim panas dukanya. Si aku lirik pada kurun waktu itu lebih
‘gelisah’ dengan masa depan yang bakal ditempuhnya. Tapi tidak dengan puisi Jakarta (IV).
Baris pertama bejuta kenangan terbantai setiap hari di sini menunjukkan bahwa
masa lalu yang diwakili dengan kata kenangan
menjadi objek pasif dari kata kerja terbantai.
Kalau diperhatikan betapa kejam perbuatan yang diwakili dengan kata kerja terbantai. Seolah terjadi tragedi massal
karena di awal baris terdapat kata berjuta
yang menunjukkan banyaknya ‘pemilik’ kenangan
itu. Dan pembantaian ini terjadi berulangkali, seolah aktifitas rutin yang
ditunjukkan dengan frasa setiap hari.
Kenangan yang mestinya menjadi
sesuatu yang berharga bagi si empunya terbantai.
Di manakah kejadian mengerikan ini berlangsung? Jawab: di sini, di Jakarta (IV).
Benarkah kejadian pada baris pertama ini
berlangsung secara massif? Selain ditunjukkan dengan pengunaan kata berjuta untuk menyatakan jumlah bilangan
yang lebih dari lima digit pada puisi di atas tidak ditemui kata ganti ‘aku’
atau ‘-ku’ yang dapat menjadi simbol dari si aku lirik. Hal ini menunjukkan
bahwa si aku lirik tidak sedang mengungkapkan dirinya. Si aku lirik tengah
menghayati fenomena yang berlangsung di sekelilingnya, di mana dia sendiri larut di dalamnya. Kalau kita baca
makalah Teeuw yang membahas tentang hubungan sajak Berdiri Aku Amir Hamzah dengan Senja
Di Pelabuhan Kecil Chairil Anwar dapat diketahui betapa keberadaan ‘aku’
dalam sebuah sajak menyiratkan situasi tertentu dari si aku lirik. Jika dalam
sajak Berdiri Aku si aku lirik yang
muncul di awal sajak tenggelam untuk kemudian hilang dalam keindahan alam; jika
dalam sajak Senja Di Pelabuhan Kecil
si aku lirik justru muncul di akhir sajak karena alam hanya menyinggung muram, maka dalam puisi Jakarta (IV) si aku lirik tenggelam
dalam situasi yang mengelilinginya. Si aku lirik tidak dapat menunjukkan
eksistensinya karena dia sendiri merupakan bagian dari berjuta kenangan yang tengah digambarkannya.
Baris kedua tak guna mencari hari-hari silam menguatkan makna baris sebelumnya.
Baris ini menyaran pada kesia-siaan aktifitas mencari hari-hari silam, sebab hari-hari
itu terbantai untuk pada akhirnya
membusuk di tong-tong sampah dan ‘penuhi kepala sendiri. Begitu juga
dengan baris ketiga kawan lamapun tak
juga ‘jumpa. Penggunaan frasa kawan
lama menunjukkan bahwa sesuatu yang dicari itu berasal dari hari-hari silam, hari di mana aku lirik
dan berjuta lainnya pernah akrab di masa lalu. Fenomena seperti apa yang tengah
digambarkan pada kedua baris ini?
Jakarta sebagai kota metropolitan dengan
tingkat lapangan kerja yang luas tentu menjadi magnet bagi daerah-daerah lain untuk
berurbanisasi di tempat ini. Mungkin si fulan yang berasal dari kampung
pedalaman atau dari kota lain mendengar kabar bahwa kawan sekolah atau kawan
sepermainnya dulu juga urban di Jakarta. Mungkin juga ada beberapa kawan lain
dua-tiga atau beberapa lagi. Kenangan seperti inilah yang terbantai. Kawan lama
dari hari-hari silam tak juga ‘jumpa. Mungkin kesibukan dari masing-masing menyebabkan ‘jumpa yang diharapkan tak kunjung tiba.
Akan
tetapi yang cukup mengejutkan adalah baris keempat meski iklan telah terpasang. Penggunaan kata meski di awal baris menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan
baris-baris sebelumnya, yaitu mengungkapkan usaha yang dilakukan dalam rangka mencari hari-hari silam itu. Yang
mengejutkan adalah usaha yang dilakukan iklan
telah terpasang; kalau hendak mencari kawan
lama kenapa mesti memasang iklan? Bahkan iklan itu terpasang/di setiap
pojok restoran, bis kota dan sandal. Kenapa pula di tempat-tempat seperti
ini iklan itu dipasang? Apakah fenomena si fulan sebagai urban
sesuai dengan puisi ini? Sepertinya tidak karena urban dengan mencari kawan melalui
iklan tidak memiliki kedekatan makna. Fenomena yang selanjutnya dapat
dikemukakan adalah: sebuah renui! Dan dari bentuk yang ada nampaknya: sebuah
reuni yang gagal!
Jakarta (V)
setiap
malam
kubaringkan
gedung-gedung batu berhimpitan lelah
menjadi
lahan berpetak-petak seperti sawah
lalu
kutebar benih-benih penuh kasih
yang
tumbuh menjadi serigala-serigala
setiap
pagi
setiap
pagi
kubangunkan
gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi
pusara-pusara makam maha luas
lalu
kuukir nama-nama penuh cinta
yang
tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap
malam
Bentuk
topografi pada puisi Jakarta (V) di
atas terdiri dari dua bait di mana masing-masing bait secara teratur terdiri
dari enam baris. Pensejajaran bentuk seperti pada puisi di atas menyiratkan
adanya pola hubungan yang sama antara bait satu dengan bait yang lain, meski
masing-masing bait mengungkapkan situasi waktu yang berbeda: situasi malam
menuju pagi pada bait pertama dan situasi pagi menuju malam pada bait kedua.
Jika
dilihat lagi pada pembahasan sebelumnya, puisi berjudul Jakarta (I)-(IV) hanya terdiri dari satu bait saja. Begitu juga dengan
puisi berjudul Jakarta (VI), (IX), (X), dan (XI) yang terdapat dalam buku antologi
puisi Jakarta, Senja Hari. hanya pada
puisi Jakarta (I) terdapat tiga bait,
itu pun terpisah menjadi tiga sub di mana masing-masing sub menggambarkan tiga
waktu yang berbeda: tengah malam, ketika
pagi, dan lepas magrib. Bahkan
jika diamati cukup banyak puisi yang terdiri dari satu bait saja dalam antologi
puisi ini. Apakah tujuan MdL menulis puisinya dalam bentuk seperti itu?
Pada
baris pertama setiap malam membawa
kita lagi pada puisi yang berjudul Jakarta
(I). Pada kedua puisi ini aku lirik memulai dengan puisinya dengan kala
waktu malam hari. Pemilihan waktu ini mungkin hendak mengungkap sisi lain Jakarta yang pada siang hari tidak
banyak menjadi perhatian orang. Mungkin juga menyaran pada proses penulisan
puisi pada malam hari; bukankah lebih mudah menuliskan berbagai imaji yang
berkelebat di kepala pada malam hari? Karena siang begitu padat dan sibuk, dan
malam dengan caranya sendiri menghadirkan ruang-ruang yang sebelumnya
tersembunyi dari dunia? Lepas dari itu, suasana malam memang menghadirkan
nuansa tertentu bagi aku lirik seperti tampak pada puisi-puisi yang lain. Dan inilah yang hendak diungkap aku lirik.
Baris
kedua kubaringkan gedung-gedung batu
berhimpitan lelah menyaran pada tindakan aku lirik yang ditunjukkan dengan
kata kubaringkan. Pada baris ini
dapat dijumpai pula metafora kota Jakarta
yang digambarkan melalui frasa gedung-gedung
batu. Metafora serupa ini dapat kita temukan pada Jakarta (II): gedung-gedung tinggi. Akan tetapi jika pada frasa gedung-gedung tinggi yang menjadi
perhatian adalah sifat luarnya yang tinggi
menjulang ke langit dari atas tanah, namun pada puisi ini yang menjadi
perhatian aku lirik adalah bagian kedalamannya: batu. Mungkin perbedaan perhatian aku lirik pada gedung-gedung berkaitan dengan waktu
yang hendak diungkap: gedung-gedung
tinggi menyaran pada waktu siang hari karena frasa tersebut secara implisit
menunjukkan keterlihatan tinggi gedung yang dinilai melalui indra penglihatan. Sebaliknya
pada gedung-gedung batu tidak
menyaran pada penggunaan indra penglihatan. Unsur batu yang menjadi materi dari gedung-gedung
bersembunyi dibalik semen-semen yang menutupinya. Di sini indra penglihatan
tidak banyak berfungsi, seperti halnya pada malam hari tanpa penerangan.
Berikutnya
frasa berhimpitan lelah menunjukkan
kontras yang lain lagi dari gedung-gedung
tinggi yang menyaran pada pengertian tegak berdiri. Mereka berdiri berhimpitan dengan gedung-gedung lain yang juga lelah.
Penggambaran gedung serupa manusia yang lelah
mengungkapkan bahwa gedung-gedung batu
itu serupa manusia yang perlu beristirahat di malam hari, dan itulah yang coba
dilakukan oleh si aku lirik dengan kata kubaringkan
nya.
Pada
baris ketiga gedung-gedung batu yang pada siang hari berdiri tinggi oleh si aku lirik dibaringkan menjadi lahan berpetak-petak seperti sawah
membawa kita pada situasi yang berbeda lagi. Kata kerja menjadi yang terletak di awal baris merupakan tindakan yang
dilakukan oleh si aku lirik dalam hubungannya dengan tindakan kubaringkan. Sekarang, pada baris ketiga
ini, tidak ada lagi gedung-gedung tinggi,
semuanya telah berbaring rata dengan tanah seperti
sawah yang datar. Dalam dunia batin aku lirik sekarang, setiap malam, Jakarta telah berubah menjadi hamparan luas tanpa gedung-gedung batu yang menjulang tinggi.
Lalu kutebar benih-benih penuh
kasih pada baris keempat menunjukkan tindakan lain
dari si aku lirik. setelah melakukan tindakan kubaringkan dan menjadi, kini
aku lirik melakukan tindakan kutebar. Seperti seorang petani yang mulai menanam biji-biji padi.
Tindakan kutebar ini memiliki hubungan
makna dengan baris sebelumnya di mana yang dihadapi oleh aku lirik sekarang
adalah lahan berpetak-petak seperti sawah.
Tindakan kutebar ini rupanya
merupakan bagian tak terpisah dari dua tindakan sebelumnya. Yang ditebar pun menunjukkan
hubungan makna yang dekat benih-benih
penuh kasih. Hubungan yang harmonis
ini menunjukkan seolah-olah aku lirik dalam puisi ini bertindak sebagai seorang
ibu yang tengah menidurkan anak-anaknya dengan penuh kasih.
Tapi
tindakan penuh kasih yang dilakukan
seperti seorang ibu pada anaknya ini dikejutkan pada baris kelima yang tumbuh menjadi serigala-serigala. Pada
baris ini si aku lirik lenyap. Tindakan-tindakan yang dilakukan aku lirik
selesai pada baris sebelumnya, selebihnya objek-objek yang semula dikenai oleh
tindakan si aku lirik berubah menjadi subjek aktif. Hal itu terungkap melalui
frasa yang tumbuh menjadi. Jadi benih-benih penuh kasih pada baris
keempat berkembang mendapatkan bentuknya yang nyata: serigala-serigala. Kehadiran serigala-serigala
sebagai lambang tertentu pada baris ini cukup mengejutkan karena pada
baris-baris sebelumnya kata-kata yang digunakan cenderung menyaran pada sesuatu
yang lembut dan halus. Lalu lambang dari apakah serigala-serigala ini?
Untuk
memahami lambang tersebut perlu dikutip sebuah lagu Ebit G Ade yang berjudul Rembulan Menangis. dalam lagunya itu
Ebit menyanyikan: intan buah hatimu dicabik tangan-tangan serigala. Dari sini
dapat dikatakan bahwa serigala-serigala
pada puisi Jakarta (V) merupakan
lambang dari kejahatan atau tipu muslihat yang licik. Inilah yang tumbuh setiap pagi dalam dunia batin aku lirik
dari usahanya sebagai seorang ibu yang membaringkan anak-anaknya dengan penuh kasih.
Baris
terakhir pada bait ini diakhiri dengan adanya perpindahan waktu dari setiap malam yang terungkap pada baris
pertama menjadi setiap pagi. Baris
ini juga menjadi penanda untuk masuk ke bait kedua yang mengungkapkan suasana Jakarta pada pagi hari.Peralihan waktu diungkap dengan mensejajarkan frasa yang sama di akhir bait dan awal awal bait berikutnya.
Bait
kedua dimulai dengan setiap pagi.
Frasa ini merujuk pada suasana di waktu pagi
di mana kita terbangun dan memulai rutinitas sehari-hari. Seperti halnya
pada puisi Jakarta (I) pada puisi Jakarta (V) suasana pagi mendapat tempat di struktur kedua, setelah sebelumnya dimulai
dengan malam hari. Kata setiap yang
digunakan menunjukkan adanya aktivitas yang berulang di pagi hari. Apakah yang berulang itu?
Baris
kedua kubangunkan gedung-gedung batu
berhimpitan kantuk memiliki hubungan makna yang kuat dengan bait pertama
baris kedua. Tindakan aku lirik kubaringkan
yang terdapat pada bait pertama baris kedua kini berganti menjadi kubangunkan. Sesuatu yang pada malam
hari dibaringkan kini hendak dibangunkan. Objek keduanya pun sama gedung-gedung batu dengan frasa
selanjutnya berhimpitan kantuk. Jadi
si aku lirik pada bait kedua ini masih berhadapan dengan objek yang sama. Hanya
saja yang dibangunkan pada bait kedua ini berhimpitan
kantuk.
Baris
ketiga menjadi pusara-pusara makam maha
luas juga menyaran pada tindakan aku lirik mengubah objeknya menjadi pusara-pusara makam: makna apa yang ada
di balik perbandingan ini? Baris ini mesti dipahami sebagai kebalikan dari bait
pertama baris ketiga di mana pada bait pertama terungkap gedung-gedung yang
menjulang dibaringkan rata dengan tanah; sebaliknya pada bait kedua baris
ketiga ada pemandangan pusara-pusara
makam di mana nisan-nisan berdiri di atas tanah. Atau dengan kata lain,
dari sesuatu yang tidur (gedung-gedung
batu) pada bait pertama baris ketiga menjadi sesuatu yang bangkit berdiri
pada bait kedua baris ketiga. Jadi gedung-gedung
batu kini disejajarkan dengan pusara-pusara
makam yang maha luas seluas kota Jakarta itu sendiri.
Penggunaan
frasa pusara-pusara makam menyaran
pada pengertian adanya sesuatu yang mati di sini atau ada yang terbantai dan telah dimakamkan di sini. Jika
menengok kembali pada puisi Jakarta (IV)
sepertinya kenangan lah yang
dimakamkan dengan pusara serupa gedung-gedung batu. Pemaknaan ini terasa
cukup dekat dengan maksud yang hendak diungkap oleh aku lirik. Sebab pada baris
keempat tindakan aku lirik kuukir
nama-nama penuh cinta menunjukkan bahwa tindakan ukir itu dilakukan kepada nama-nama
yang sudah dikenalnya atau yang akrab dengannya atau yang dicintainya yang
terungkap lewat frasa penuh cinta. Tindakan
ukir pada baris ini mesti dipahami
sebagai tindakan seperti pada puisi Saat
Duka yang pada puisi Jakarta (V)
aku lirik mengukir di atas pusara.
Inilah
salah satu kelebihan puisi-puisi MdL: kegelisahan yang dirasakan oleh si aku
lirik mendapatkan pemaknaan yang lebih utuh jika diperbandingkan dengan
puisi-puisinya yang lain. Pada dasarnya bisa saja pemaknaan sebuah puisi
dilakukan tanpa merujuk pada teks lain di luar puisi tersebut. Sebab puisi sebagai
sebuah teks merupakan struktur otonom yang dapat digali maknanya berdasarkan
struktur yang membangunnya sendiri. Akan tetapi bagi saya sebagai seorang
pembaca, pengetahuan tentang makna pada puisi yang lain dapat membantu memahami
puisi tersebut secara lebih utuh.
Baris
kelima yang tumbuh menjadi iblis-iblis.
Sebelum memaknai baris ini, yang patut menjadi perhatian adalah serigala-serigala yang merupakan lambang
dari kejahatan atau tipu muslihat yang licik. Serigala-serigala inilah yang oleh si aku lirik setiap pagi/kubangunkan yang
menyembunyikan diri atau merubah wujudnya ke dalam wajah gedung-gedung batu. Pada baris ini mesti dipahami bahwa yang menjadi iblis-iblis adalah serigala-serigala. Penggunaan kata iblis dalam bentuknya yang jamak
menunjukkan bahwa yang tumbuh dan
dihadapi oleh aku lirik lebih hebat lagi, dan lebih dari satu keberadaannya.
Jika serigala lebih mengacu pada
lambang keberadaan kejahatan di dunia, penggunaan kata iblis menunjuk langsung pada pelaku atau sosok yang tindakannya
dimaksudkan untuk menghasut manusia ke dalam kesesatan. Apakah sosok iblis yang dihadapi oleh aku lirik pada
puisi ini adalah sosoknya yang murni, iblis yang sama yang membujuk Adam dan
Hawa? Ataukah adakah makna tertentu yang yang hendak disampaikan dalam
kaitannya dengan kota Jakarta? Dan iblis-iblis inilah yang oleh aku lirik kubaringkan jika hari telah malam.
Setelah
menelaah puisi Jakarta (I) sampai
dengan (V) dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan serigala dan iblis adalah sebagaimana terungkap pada
puisi Jakarta (I): yaitu ambisi-ambisi. Ambisi inilah yang oleh
si aku lirik kubaringkan pada malam
hari dan kubangunkan pada pagi hari. Ambisi
inilah yang berubah menjadi serigala
pada pagi hari dan berubah menjadi iblis pada
malam hari. Dan proses ini berlangsung secara berulang. Hal itu ditunjukkan
pada baris terakhir setiap malam.
Puisi
Jakarta (V) secara umum memiliki
kepaduan yang utuh. Pola pengulangan bait yang digunakan untuk mengungkapkan
dua waktu yang berbeda mendapat bentuk yang padu. Cara seperti ini dirasa tepat
sebab objek yang dihadapi oleh si aku lirik di dua waktu yang berbeda itu pada
hakikatnya adalah sama: gedung-gedung
batu sebagai simbol dari Jakarta
yang penuh dengan belaian gedung-gedung
tinggi yang dapat bermakna: ambisi-ambisi.
Jakarta (VI)
di
jalan-jalan
Jakarta
merah membara
menebar
dendam
di
kepala-kepala
Puisi
Jakarta (VI) merupakan puisi terakhir
dari rangkaian puisi Jakarta (I)-(XI) yang
ditulis pada kurun waktu tahun 1996. Puisi ini cukup pendek dan padat,
menggambarkan situasi di jalan-jalan
yang dihayati oleh aku lirik seperti terungkap pada baris pertama. Pada puisi
ini aku lirik secara jelas menunjuk sebuah tempat dengan langsung tanpa
metafora. Cara pengungkapan secara langsung seperti ini menunjukkan bahwa aku
lirik ingin menyampaikan apa yang tengah dihayatinya tanpa terganggu bias-bias
makna.
Baris
kedua Jakarta merah membara
menggambarkan situasi kota Jakarta
yang tengah dihayati aku lirik pada baris pertama. Frasa merah membara yang digunakan mencoba membandingkan kota Jakarta dengan sesuatu yang terbakar.
Jika dilihat lagi sebelumnya seperti pada puisi Jakarta (II) akan terungkap desah
klakson mobil, kucing sekarat/serta sumpah serapah. Kondisi serupa inilah
yang pada puisi Jakarta (VI)
digambarkan dengan metafora merah membara.
Sebuah kondisi yang dapat membuat darah naik dengan cepat di kepala-kepala.
Baris
ketiga menebar dendam menunjukkan
betapa penuh amarah situatsi yang dihayati si aku lirik. Mungkin seorang
pengendara mendapat sumpah serapah, yang
kelak akan dilampiaskan pada pengendara lain yang entah siapa. Mungkin seorang
pengendara menyerobot pengendara lain. Mungkin ada seorang pengendara menyerobot
trafic light. Berbagai kemungkinan persinggungan di jalan-jalan tanpa disadari telah
menebar dendam.
Si
aku lirik sepertinya menyaksikan fenomena ini tanpa terlibat di dalamnya. Hal
tersebut terungkap dari tidak adanya kata ganti ‘aku’ atau ‘-ku’ yang dapat
menjadi simbol dari keberadaannya dalam sebuah puisi. Aku lirik hadir di sana
tapi terdapat jarak dengan objek yang disaksikannya. Si aku lirik tidak
menyuarakan desah klakson atau sumpah
serapah. Seperti seorang pelukis menatap objek lukisannya.
Tapi
bisa jadi juga sebaliknya, si aku lirik terlibat secara langsung. Sehingga pada
suatu ketika menjeritkan desah klakson
mobil dan sumpah serapah. Frasa kepala-kepala yang terdapat pada baris
keempat bisa jadi merupakan kepala
aku lirik yang lalu digambarkannya sebagai kepala-kepala
Jakarta. Akan tetapi kemungkinan ini terbilang kecil. Sebab sepertinya si
aku lirik lebih suka berbuat kuukir
dukaku ketimbang melontarkan sumpah
serapah.
Jakarta dan Gelandangan
malam
tiba
para
gelandangan merekayasa
penampilan
hari berikut
sambil
kencing dan berak sembarangan
sementara
Jakarta
sibuk
memeras tubuh dari air-air kencing
sambil
menjanjikan pentas yang lebih hebat
untuk
hari berikut
Setelah
membahas puisi berjudul Jakarta (I) –
(VI) puisi selanjutnya berjudul Jakarta
dan Gelandangan yang bertitimangsa des
1996. Pada antologi ini puisi yang berjudul Jakarta selanjutnya adalah Jakarta
(IX), (X), (XI) yang ditulis pada kurun tahun 1997. Sedangkan untuk
(seandainya ada!) Jakarta (VII), (VIII)
tidak terdapat dalam antologi puisi ini. Mungkin kedua nomor itu terbit dalam
buku yang berbeda. Atau mungkin beralih judul seperti misalnya saja Jakarta, Senja Hari yang menjadi judul
antologi puisi ini. Diperlukan penelusuran terhadap puisi-puisi yang pernah
diterbitkan oleh MdL untuk menjawab pertanyaan: kemanakah engkau Jakarta (VII) dan (VIII)? Untuk saat ini kita akan lompat membahas puisi Jakarta dan Gelandangan.
Puisi
di atas memiliki struktur yang terdiri dari dua bait. Masing-masing bait yang
terdiri dari empat baris yang tersusun secara teratur. Seperti disengaja pula,
kedua bait tersebut mengungkapkan dua subjek yang disebut oleh si aku lirik
pada judul. Bait pertama mengungkap tentang Gelandangan.
Sedangkan bait kedua mengungkap tentang Jakarta.
Dapat dikatakan bahwa topografi pada puisi ini telah terbagi ke dalam dua
pengungkapan. Akan tetapi yang diungkap pada satu bait berhubungan erat dengan
bait lain. Sebab antara keduanya terdapat hubungan interaksional: Gelandangan sebagai ekses dari
ketimpangan sosial kota Jakarta, atau
Jakarta sebagai rumah dari para Gelandangan.
Selain
itu, jika dibandingkan dengan puisi-puisi sebelumnya, realitas yang diungkap
dalam puisi ini lebih tajam. Kalau pada puisi-puisi sebelumnya lebih banyak
bergulat dengan dunia batinnya sendiri dalam berhadapan dengan Jakarta atau dengan manusia-manusia asing yang tak disebut siapakah manusia itu, kali
ini aku lirik si aku irik mengacu pada Gelandangan.
Baris
pertama dimulai dengan malam tiba. Jika
sebelumnya si aku lirik melihat Jakarta
dari dalam kamar untuk ‘dibaringkan’, kini si aku lirik berada dalam situasi
yang berbeda: dia hadir di antara Gelandangan. Hal
ini tersirat pada sosok yang diungkap pada baris kedua para gelandangan merekayasa. Penggunaan kata para untuk menunjuk sosok gelandangan
menunjukkan bahwa yang diungkap oleh aku lirik adalah lebih dari satu orang
atau sebuah kelompok yang tinggal bersama-sama di suatu wilayah tertentu, yang
tengah merekayasa.
Apa
yang direkayasa? penampilan hari berikut
sebagaimana terungkap pada baris ketiga. Sebagaimana situasi yang mesti
dihayati seperti pada baris pertama, sosok yang diungkap oleh aku lirik dalam
puisinya ini tengah merekayasa/penampilan
untuk hari berikut. Mungkin yang
dimaksud adalah beristirahat setelah seharian menggelandang, atau tiduran di
emper-empor toko sambil menatap langit-langit. Atau bisa juga penonton lah yang pergi dari kursinya
sehingga para gelandangan yang tak
lagi disaksikan di atas pentas digambarkan
tengah merekayasa/penampilannya.
Baris
keempat sambil kencing dan berak
sembarangan. Sekilas baris ini nampak tidak sejalan dengan realitas sosial
yang hendak diungkap oleh aku lirik. Penggunaan kata sembarangan untuk menilai perilaku para gelandangan yang kencing
dan berak dapat merujuk pada ketidaksopanan para gelandangan. Yang mana dapat memberikan nilai negatif kepada
sosok yang hendak diungkap dalam puisi ini.
Akan
tetapi penilaian itu bisa keliru. Mengangkat sosok yang terpinggirkan ke dalam
karya sastra tentu bertujuan untuk menyuarakan sosok yang selama ini tak pernah
didengar suaranya itu. Tujuannya agar pembaca dapat lebih peka dan simpati
terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Bagimana kita bisa simpati terhadap
mereka yang kencing dan berak
sembarangan? Tapi, siapa yang sudi sediakan kamar kecil buat mereka?
Bait
kedua yang dimulai dengan sementara
Jakarta mendukung kontras realitas sosial yang hendak diungkap oleh aku
lirik. Baris pertama bait menunjukkan bahwa yang diungkap selanjutnya adalah
sosok yang lain lagi, yaitu Jakarta
yang pada saat bersamaan sibuk memeras
tubuh dari air-air kencing. Pada baris kedua ini terdapat kesan yang lebih
jelek lagi terhadap para gelandagan.
Hal itu dijunjukkan dengan penggunaan kata kerja memeras. Kata kerja ini menyaran tindakan tangan yang mengeluarkan
air dari sesuatu seperti kain untuk membersihkannya atau seperti ketika pada
memeras santan kelapa. Pada baris ini tindakan ini lebih menyaran pada
mengeluarkan air untuk membersihkannya dari. Pengertian ini tepat dengan
tindakan sembarangan. Dengan kata
lain, Jakarta harus menanggung
perbuatan sembarangan dari para gelandangan.
Dari
sini seolah-olah cukup jelas bahwa yang mesti menjadi perhatian untuk diberi
simpati adalah Jakarta dan bukan para gelandangan. Sebab Jakarta berada pada posisi ditindas. Tubuh nya mesti dibersihkan dari air-air
kencing. Tapi baris ketiga sambil
menjanjikan pentas yang lebih hebat dapat membawa kita pada pengertian yang
bertolak belakang. Frasa sambil
menjanjikan pentas mengungkap bahwa ada panggung di mana lakon-lakon tertentu akan pentas. Jadi selain memeras ternyata
Jakarta juga menjanjikan pentas. Bahkan pentas
ini diungkapkan akan lebih hebat dari
hari sebelumnya, sebagaimana terungkap pada baris keempat. Di sinilah
ironisnya: siapa yang dipentaskan oleh Jakarta?
Tentu
saja para gelandangan. Kata penampilan yang terdapat pada baris
ketiga bait pertama mesti dipahami berhubungan dengan kata pentas pada bait kedua baris ketiga. Dengan kata lain,
masing-masing baris ketiga pada dua bait puisi ini menggambarkan dua komponen
pertunjukan: penampilan dan pentas. Lagi-lagi kesejajaran bentuk topografi
kita temukan! Jadi para gelandangan
bagi Jakarta adalah tontonan. Mereka
dijadikan sebagai lakon pentas yang
dapat menghibur penontonnya, bukan sebagai ketimpangan sosial yang mesti
dibenahi.
Berkatilah Jakarta, Tuhan
siapa
yang tak menangis melihat Jakarta
ia
seperti penderita kusta yang tak boleh mati
juga
seperti ratu tak punya istana
tiap
pagi ditangkapnya para penjual nasi uduk
untuk
mengelu-elukan dan menyanjungnya
sementara
para gelandangan mengencingi tubuhnya
tanpa
sungkan-sungkan
Puisi
ini diawali dengan monolog aku lirik siapa
yang tak menangis melihat Jakarta. Kata tanya siapa yang digunakan tanpa ada tanda baca mengingatkan pada puisi
berjudu Sendiri Di Sudut Petang di
mana dalam puisi itu aku lirik bertanya kepada dirinya sendiri. Mengapa si aku
lirik memulai monolognya dengan kata tanya siapa?
Baris pertama ini secara tidak langsung menggambarkan keadaan aku lirik melalui
frasa yang tak menangis. Pada kondisi
seperti itulah aku lirik pada baris ini; monolog digunakan oleh si aku lirik untuk
mendamaikan tangis yang tumpah karena
melihat Jakarta.
Dimulai
dari puisi Jakarta dan Gelandangan,
puisi kali ini juga mengungkap realitas sosial yang dihayati oleh aku lirik. Dari
dunia batin yang bertabur gedung-gedung
batu kini kita dibawa ke dunia manusianya yang sarat dengan ironi. Dalam
puisi ini dijumpai sosok-sosok yang mengais
takdir dan berkeliaran di sudut-sudutnya. Kalau dalam puisi sebelumnya kita
jumpai para gelandangan, dalam puisi
ini sosok tersebut kembali diungkapkan bersama sosok lain para penjual nasi uduk. Sosok lain yang juga diungkap namun secara
implisit adalah sosok yang bersembunyi dibalik kata kerja pasif ditangkapnya yang merupakan oposisi
langsung dari para penjual nasi uduk:
siapakah sosok yang bertindak melaui kata ditangkapnya
itu? Tak lain dan tak bukan adalah Jakarta
dengan segenap aparaturnya.
Situasi
yang membuat si aku lirik menangis
terungkap pada baris berikutnya ia
seperti penderita kusta yang tak boleh mati. Kata ganti ia digunakan oleh si aku lirik untuk
menunjuk Jakarta. Pada baris ini kota
Jakarta dibandingkan dengan penderita kusta. Perbandingan ini
menimbulkan makna yang cukup dalam: gedung-gedung
tinggi, jalan-jalan layang adalah
penderita kusta. Kemegahan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia
ternyata adalah penderita kusta. Kesempatan
kerja yang luas, basis kemajuan ekonomi, serta pusat perdagangan ternyata
adalah penderita kusta yang tak boleh mati, sebab roda ekonomi,
politik, budaya, dan lain-lain bertumpu padanya.
Baris
kedua ini menyajikan sebuah pemandangan yang mengerikan. Di hadapan si aku
lirik seolah-olah tengah terbaring sesosok manusia yang menderita sakit namun
tak hendak disembuhkan. Kalau kita baca kembali puisi Jakarta (II) akan terasa bahwa yang diungkap pada baris-baris
terakhir puisi tersebut adalah si penderita
kusta ini. Inilah yang dirawat oleh si aku lirik dan yang kini
ditangisinya. Si sakit ini tak boleh atau tak bisa disembuhkan, tapi juga tak boleh mati. Pemandangan serupa ini
dapat menggetarkan hati yang melihatnya, paling tidak bagi si aku lirik.
Baris
kedua ini juga hendak mengungkapkan sisi lain dari Jakarta. Kota Jakarta
yang selalu berada dalam kelimpahan cahaya ternyata memiliki sisi gelap. Sosok penderita kusta yang digunakan sebagai
perbandingan menunjukkan kontrasnya dengan baris ketiga juga seperti ratu tak punya istana. Dari sosok yang rendah penderita kusta, kini Jakarta digambarkan sebagai sosok yang
kedudukannya tinggi seperti ratu. Penggunaan
kata ratu menyaran pada pengertian
sebagai sosok yang dapat menentukan hidup dan matinya kawula. Penggunaan kata juga di
awal baris menunjukkan bahwa sosok yang diungkap pada baris kedua dan ketiga
masih sosok yang sama. Adanya kontras perbandingan yang tajam seperti ini
menunjukkan betapa ironisnya kota Jakarta
yang diungkap oleh si aku lirik.
Akan
tetapi sosok ratu yang diungkap pada
baris ketiga ini digambarkan tak punya
istana, bangunan megah tempat sang ratu
tinggal dan mengatur pemerintahannya. Mengapa si aku lirik meletakkan
perhatiannya pada ketiadaan istana? Makna
apa yang tersembunyi di balik perbandingan itu? Bisa saja kata istana diartikan
sebagai Istana lain yang tidak terletak di Jakarta.
Akan tetapi pemberian arti seperti itu dapat membawa kita pada ‘pelebaran’ arti
yang justru bisa melenceng dari makna yang terdekat. Dalam hal ini tak punya istana lebih dekat diartikan
sebagai gelar tanpa baiat dari rakyatnya. Atau dengan kata lain, Jakarta menjadi ratu karena ketersediaan aparatur pemerintahannya, tapi rakyat
tidak pernah mengangkatnya sebagai ratu
mereka. Makna ini dirasa lebih dekat karena baris-baris berikut mengungkapkan
tindakan sang ratu dan perbuatan para gelandangan terhadapnya.
Baris
ketiga tiap pagi ditangkapnya para
penjual nasi uduk mengungkapkan tindakan yang dilakukan oleh Jakarta kepada para penjual. Penggunaan kata kerja pasif ditangkapnya menunjukkan adanya kekuasaan yang dimiliki oleh sang ratu. Bukankah kewajiban ratu adalah melindungi dan mengayomi
kawulanya? Lalu mengapa mereka yang mengais
takdir padanya malah ditangkapnya?
Bahkan perbuatannya itu dilakukan tiap
pagi.
Situasi
yang hendak diungkap pada baris ketiga ini mungkin situasi penertiban yang
dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap pedagang kaki lima. Perlu
dihadirkan sejumlah data sosial berseumber berita-berita di koran atau tulisan laina dari masa di mana puisi ini ditulis agar benar-benar
dapat ditangkap situasi yang sesungguhnya. Akan tetapi fenomena penertiban
pedagang kaki lima yang belakangan terjadi dapat membantu kita memahami situasi
pada baris ketiga. Paling tidak dalam situasi tersebut hadir
protagonis-protagonis seperti aparat, pedagang, dan rombong atau lapak yang
dimuat ke dalam truk pemerintah.
Padahal
jika diamati keberadaan para penjual nasi
uduk sangat membantu para pekerja dan masyarakat kelas bawah. Tapi dengan
kekuasaan dimiliki si ratu mereka ditangkap dengan alasan untuk mengelu-elukan dan menyanjungnya. Jadi
Jakarta perlu dielu dan disanjung: oleh
siapa? Kenapa eluan dan sanjungan mesti ‘menyingkirkan’ para penjual nasi uduk? Agar kota ibu
kota negara yang metropolit terlihat bersih dan indah? Sepertinya pertanyaan
terakhir mendekati makna yang hendak diungkap oleh aku lirik dalam baris kelima
ini. Keberadaan pedagang kaki lima memang unik ditengah-tengah kota besar.
Mereka berjualan secara berkelompok (secara terkoordinir atau pun tidak) di
tempat-tempat yang berpotensi didatangi banyak orang. Antara lapak satu dengan
lapak atau rombong satu dengan rombong lain kadang tidak teratur. Mungkin keberadaannya dapat menjadi sebab kemacetan. Atau mungkin juga menjadi kambing hitam kesemrawutan tata ruang kota. Yang mana
bagi ‘kebersihan dan keindahan’ kota mesti ditangkap
agar kota mendapat elu dan sanjung. Padahal keberadaan mereka
berpengaruh terhadap gerak perekonomian kota.
Pemaknaan
tersebut dirasa tepat jika dikaitkan dengan baris berikutnya sementara para gelandangan mengencingi
tubuhnya. Seperti pada puisi sebelumnya yang berjudul Jakarta dan Gelandangan, sosok para
gelandangan kembali diungkapkan oleh si aku lirik dalam kaitannya dengan
kota Jakarta. Seolah-olah
keberadaannya melekat benar. Juga pada puisi ini para gelandangan itu melakukan
tindakan yang serupa yaitu mengencingi.
Hanya saja kali ini aku lirik memberikan perhatian lebih pada kata sembarangan yang muncul pada puisi Jakarta dan Gelandangan menjadi tubuhnya, tubuh Jakarta. Bahkan tindakan
itu dilakukan tanpa sungkan-sungkan,
seolah-olah Jakarta bukanlah ratu yang berkuasa terhadap para penjual nasi uduk.
Di
sini dapat dilihat betapa kuat ironis yang ditampilkan dalam puisi ini. Dua
sosok yang diungkap dalam puisi ini mendapat perlakukan yang berbeda dari sang ratu. Dua sosok ini melakukan tindakan
yang berbeda kepada sang ratu: yang
satu mengais takdir sedang yang laing
mengencingi tubuhnya. Kenapa para gelandangan tidak ditangkap sebagaimana halnya para penjual nasi uduk? ‘Penangkapan’
itu sendiri apakah dapat juga diartikan sebagai pentas yang lebih hebat juga? Bukankah koran-koran memerlukan
berita untuk disajikan kepada khalayak? Berita tentang ditangkapnya para penjual nasi uduk mungkin merupakan salah satu pentas itu.
Ironisnya,
sang ratu tak dapat berbuat banyak
terhadap para gelandangan. Jika
konsep ‘kebersihan dan keindahan’ kota hendak diterapkan, mestinya mereka
inilah yang pertama-tama ditangkapnya.
Keberadaan mereka digambarkan seolah-olah sebagai penderita kusta yang tak boleh mati.Jadi, yang diungkap oleh si aku lirik adalah permintaan yang bernada ironis: "Berkatilah Jakarta, Tuhan".
Kesimpulan
Tanpa
disadari puisi-puisi yang telah dibahas pada ‘bagian kedua’ ini bergerak
mencari jalinan makna di antara puisi-puisi yang lain. Kelebihan membahas
puisi-puisi yang telah termaktub dalam satu buku adalah ketika membaca salah
satu puisi di dalamnya, ada kemungkinan menemukan makna lain yang tersembunyi
dari puisi telah dibaca di halaman sebelumnya atau halaman berikutnya. Khusus
dalam ‘bagian kedua’ ini ada beberapa makna yang telah dibahas pada tulisan
‘bagian pertama’ yang coba diungkap kembali di sini untuk memperkaya pemaknaan
tanpa harus menjadikan pembahasan melebar.
Dari
delapan puisi yang telah dibahas dalam tulisan ini dapat dibedakan ke dalam dua
situasi yang dihayati oleh si aku lirik. Pertama, si aku lirik cenderung
menjadikan Jakarta sebagai pintu
masuk untuk menghayati dunia batinnya. Lambang-lambang dari kota Jakarta seperti erang kucing, jalan-jalan layang, belantara asap polusi, atau gedung-gedung batu merupakan
lambang-lambang khas yang hanya dapat ditampilkan atau dimiliki oleh kota
metropolitan seperti Jakarta.
Melalui
lambang-lambang itu si aku lirik menemukan betapa dirinya hanyut dalam situasi
yang Jakarta yang mengepungnya. Keterasingan
dapat menjadi kata kunci dari apa yang tengah dihadapi oleh si aku lirik. Begitu
juga dengan manusia-manusia asing
yang ditemuinya. Seolah-olah kehidupan berlangsung seperti gerakan
materi-materi lembam tanpa tegur sapa dan komunikasi yang berarti. Keterasingan
serupa ini mencapai puncaknya pada puisi Jakarta
(III) yang disarati dengan penyangkalan upaya manusia membangun komunikasi
dengan manusia lain.
Lewat
lambang-lambang yang sama si aku lirik juga menghayati sisi gelap dalam dirinya
yang ternyata selama ini ‘berbaring’ dan ‘bangun’ bersamanya. Dan keberadaan
sisi gelap ini sangat erat kaitannya dengan Jakarta.
Mungkin tanpa disadari lingkungan dan kehidupan Jakarta yang begitu padat dan bising beserta ambisi-ambisi nya telah membesarkan anak serigala-serigala dalam diri aku lirik. Aku lirik menjadi lihai
‘bermuslihat’ untuk kemudian menjadi ‘penghasut’.
Puisi-puisi yang menjadikan Jakarta sebagai pintu masuk bagi si aku
lirik untuk menghayati dunia batinnya terdapat pada puisi Jakarta (I), (II), (III), (IV), (V), dan (VI). Sedangkan pada puisi Jakarta
dan Gelandangan dan Berkatilah
Jakarta, Tuhan si aku lirik lebih banyak mengungkap realitas sosial yang
dihayati dari eksistensi dirinya sendiri. pada kedua puisi ini tidak kita
temukan adanya kata ganti ‘aku’, ‘-ku’, atau kata lain yang dapat dianggap
sebagai wakil dari keberadaan aku lirik. Kedua puisi ini sarat dengan dunia
luar yang dihayati aku lirik.
Rupa-rupanya dunia luar yang dihayati oleh aku
lirik penuh dengan ironisme. Sosok-sosok ironis yang menjadi perhatian aku
lirik pertama-tama adalah Jakarta itu
sendiri, lalu mereka yang tertangkap, dan yang terbuang. Ironis karena sang ratu yang berkuasa ternyata hanya diam
saja tubuhnya dikencingi. Ironis karena ternyata kekayaan yang melimpah di
suatu tempat berseberangan dengan gelandangan
di tempat lain. Ironis karena ternyata mereka yang mengais takdir sebagai penjual
nasi uduk disingkirkan sementara gedung-gedung
batu menjulang tinggi, dan jalan-jalan layang menjadi bagian kota:
untuk siapa pembangunan itu ditujukan? Pertanyaan ini seolah-olah menjadi pesan
moral yang hendak diungkap oleh si aku lirik.
Surabaya, 23
February 2016